BAB 1 PENDAHULUAN. Indoaustralia dan Pasifik serta terletak pada zona Ring of Fire. Kondisi ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan lipatan anatomik berupa garis jaringan ikat fibrous yang iregular dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Odontologi forensik adalah ilmu di kedokteran gigi yang terkait dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Rugae palatina disebut juga dengan plica palatine transversa atau palatal rugae

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keadaan geografis dan demografisnya. Menurut Kementrian

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. mayat korban susah untuk dapat diidentifikasi. yaitu adalah bencana alam. Kejadian bencana massal

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Identifikasi manusia adalah hal yang sangat. penting di bidang forensik karena identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang sering terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Proses identifikasi dari jenazah dan sisa-sisa. makhluk hidup yang telah meninggal merupakan ranah yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada kejadian bencana alam banyak korban yang tidak. dikenal hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat kita salah satu diantaranya adalah bencana alam, kecelakaan, ledakan

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam, pesawat jatuh, ledakan bom dan lain-lain, menyebabkan banyak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada kasus korban bencana alam atau kecelakaan, sering ditemukan masalah dalam proses identifikasi, disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dibentuk oleh processus palatines ossis maxilla dan lamina horizontalis

BAB 1 PENDAHULUAN. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1

BAB 1 PENDAHULUAN pulau dengan keanekaragaman suku yang tinggi (Kementerian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fenomena maraknya kriminalitas di era globalisasi. semakin merisaukan segala pihak.

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap berbagai bencana alam karena secara geologis Indonesia terletak di pertemuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan. tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang pada

PEMANFAATAN RUGA PALATAL UNTUK IDENTIFIKASI FORENSIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan. tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang pada

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rasa. Istilah aesthetic berasal dari bahasa Yunani yaitu aisthetike dan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGENALAN INDIVIDU BERDASARKAN POLA RUGAE PALATINA MENGGUNAKAN HISTOGRAM OF ORIENTED GRADIENTS DAN MULTI LAYER PERCEPTRON

DATA PERSONALIA PENELITI

BAB 1 PENDAHULUAN. humor. Apapun emosi yang terkandung didalamnya, senyum memiliki peran

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

PERBEDAAN POLA DAN UKURAN RUGE PALATAL RAS DEUTRO MELAYU DENGAN RAS AUSTRALOID JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

TINGKAT KEBUTUHAN PERAWATAN ORTODONTI BERDASARKAN DENTAL HEALTH COMPONENT PADA SMA N 8 MEDAN

No semua komponen bangsa, maka pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pencarian yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Badan

Lampiran 1. Skema Alur Pikir

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencapai 50 derajat celcius yang menewaskan orang akibat dehidrasi. (3) Badai

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 terdapat banyak kasus mutilasi yang terungkap di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mengevaluasi keberhasilan perawatan yang telah dilakukan. 1,2,3 Kemudian dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi dalam melakukan diagnosa dan perencanaan perawatan gigi anak. (4,6,7) Tahap

BAB I PENDAHULUAN. penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

I. PENDAHULUAN. Tinggi badan ditentukan olah kombinasi faktor genetik dan faktor. antropologis untuk menentukan perbedaan rasial (Patel, 2012).

LAMPIRAN 1 ALUR PIKIR

IMPLEMENTASI IDENTIFIKASI POLA RUGAE PALATINA MENGGUNAKAN DETEKSI BINARY LARGE OBJECT (BLOB) DAN KLASIFIKASI SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM) PADA ANDROID

Types and Origins Analysis of Palatal Rugae in Males and Females for

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Gigi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Studi Arkeologis dan Genetik Masyarakat Bali

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Lempeng Euro-Asia dibagian Utara, Lempeng Indo-Australia. dibagian Selatan dan Lempeng Samudera Pasifik dibagian Timur.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBANDINGAN PROFIL LATERAL WAJAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA MAHASISWA USU RAS DEUTROMELAYU.

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

DEPARTEMEN KEDOKTERAN GIGI PENCEGAHAN/ PENYULUHAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA PENDERITA TUNANETRA USIA TAHUN ( KUESIONER )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang

PERBEDAAN PANJANG DAN LEBAR LENGKUNG RAHANG BAWAH ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PADA ANAK KEMBAR DIZIGOTIK

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

IDENTIFIKASI POLA RUGAE PALATINA MENGGUNAKAN GABOR WAVELET DAN DWT DENGAN METODE KLASIFIKASI ANN- BACKPROPAGATION

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari

Identification of Rugae Palatine Using Digital Image Processing Technique with Spatial Processing and Fuzzy Logic Classification

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

GUIDELINE AKSI TANGGAP BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehilangan gigi menyebabkan pengaruh psikologis, resorpsi tulang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara rawan bencana karena kondisi geografisnya. Indonesia berada pada jalur pertemuan tiga lempeng raksasa yaitu lempeng Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik serta terletak pada zona Ring of Fire. Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi wilayah rawan mengalami bencana seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. Di Indonesia salah satu kawasan rawan bencana adalah Sumatera Barat. Provinsi ini berada pada jalur patahan Semangko dan terletak pada pertemuan lempeng yang mengakibatkan Sumatera Barat berada pada rawan bencana (BNPB, 2014). Pada penanganan bencana, identifikasi korban yang hidup langsung dibantu oleh tim medis dan para medis. Tetapi pada korban yang meninggal perlu ditangani secara khusus dengan menggunakan bantuan tim forensik kedokteran bersama odontologi forensik. Dalam melakukan identifikasi terdapat berbagai macam metode dan teknik yang bisa digunakan (Singh, 2008). Pada awal abad ke 19 ada pengetahuan identifikasi secara ilmiah yang diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan menggunakan ciri umum sebagai alat bukti identifikasi seperti ukuran anthropometri, warna rambut dan mata. Identifikasi secara umum mempunyai keterbatasan yang disebabkan karena adanya pertambahan usia sehingga seseorang secara biologis mengalami perubahan-perubahan serta mengalami kesulitan dalam penyimpanan data secara sistematis (Singh, 2008). 1

2 Untuk identifikasi forensik ada dua data yang bisa digunakan. Data primer yang terdiri dari sidik jari, analisis DNA dan dental record sedangkan data sekunder terdiri dari analisis sidik bibir dan analisis rugae palatina (Caldas et al, 2007 ; Prawestiningtyas, 2009). Pada data primer seperti metode DNA mempunyai tingkat keakuratan yang baik, tetapi memiliki kendala yang tidak bisa digunakan pada kasus yang dibutuhkan identifikasi segera (Patil, 2008). Prosedur pembuktian dengan metode DNA membutuhkan waktu yang lama, karena analisisnya memerlukan keahlian dan teknologi yang canggih (Mushannavar et al, 2015). Sidik bibir juga dapat membantu dalam proses identifikasi di bidang forensik karena memiliki bentuk yang berbeda setiap individu. Sidik bibir jarang digunakan karena posisi bibir yang terletak di luar sehingga proses dekomposisi lebih cepat (Chairani dan Auerkari, 2008). Rugae palatina mirip seperti sidik jari. Menentukan identitas secara pasti karena sifat kekhususanya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus saudara kembar satu telur dan juga tidak akan berubah selama kehidupan individu (Shetty dan Premalatha, 2011). Keunggulan rugae palatina bisa digunakan sebagai alat bantu identifikasi korban, pada saat analisis sidik jari tidak dapat dilakukan seperti kasus tangan terbakar atau korban yang telah mengalami dekomposisi (Chairani dan Auerkari, 2008 ; Shetty dan Premalatha, 2011). Rugae palatina memiliki morfologi unik yang sangat individualistik dan proses analisis dapat dilakukan dengan mudah dan murah yaitu dengan pembuatan cetakan rahang atas individu atau foto intra oral dari rahang atas (Chairani dan Auerkari, 2008). Palatoscopy atau rugoscopy palatina adalah nama yang diberikan untuk mempelajari rugae palatina dalam rangka membangun identitas seseorang. Pola

3 rugae palatina memiliki keunikan individu. Pola rugae palatina yang telah diakui jelas sebagai sumber potensi yang dapat diandalkan untuk identifikasi (Kesri et al, 2014). Rugae palatina merupakan ridge dari membran mukosa yang irregular dan asimetris yang meluas ke lateral dari papilla insisivus dan bagian anterior dari median palatal raphe (Caldas et al, 2007). Rugae palatina muncul pada bulan ketiga kehidupan intrauterine, perkembangan dan pertumbuhan dikontrol oleh interaksi epitel mesenkim (Kesri et al, 2014). Setelah terbentuk, rugae palatina tidak akan mengalami perubahan apapun kecuali panjang, sesuai dengan pertumbuhan normal (Mushannavar et al, 2015). Pola rugae palatina yang dapat dipelajari meliputi jumlah, panjang, lokasi dan bentuknya. Pola rugae palatina dapat dilihat melalui cetakan gigi atau foto intra oral (Chairani dan Auerkari, 2008). Pola rugae palatina menurut Thomas CF dan Kotze pada tahun 1983 yang paling sering digunakan dan memiliki klasifikasi bentuk yang lengkap. Berdasarkan bentuk, rugae terbagi menjadi melengkung, bergelombang, lurus, sirkular serta menambahkan cabang atau unifikasi tergantung pada asalnya. Klasifikasi menurut Kapali pada tahun 1997 mengkategorikan ukuran rugae palatina menjadi rugae primer: (dibagi menjadi dua bentuk, yaitu rugae A: panjang 5-10 mm dan rugae B: 10 mm atau lebih), rugae sekunder: 3-5 mm dan rugae fragmenter kurang dari 3 mm (Chairani dan Auerkari, 2008). Kelebihan rugae palatina mampu terlindungi dari trauma dan suhu tinggi karena posisi rugae yang berada di dalam rongga mulut. Rugae dikelilingi dan dilindungi oleh bibir, pipi, lidah, gigi dan tulang (Shetty dan Premalatha, 2011).

4 Pola rugae palatina tidak akan berubah hingga mengalami degenerasi mukosa mulut saat seseorang meninggal (Kesri et al, 2014). Muthusubramanian et al di India pada tahun 2005 membandingkan 30 korban luka bakar dan 30 kadaver. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi pada pola rugae palatina kasus kebakaran atau pada kadaver. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa 93% dari korban kebakaran dengan luka bakar derajat tiga dan 77% pada kadaver tidak terdapat perubahan pola rugae palatina serta menyatakan bahwa rugae palatina dapat bertahan dari dekomposisi hingga 7 hari setelah kematian. Walaupun mengalami perubahan, tetapi perubahan rugae palatina tidaklah sebesar perubahan pada bagian tubuh yang lain (Muthusubramanian et al, 2005). Rugae palatina dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada populasi tertentu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fahmi et al pada tahun 2001 membandingkan 60 pria dan 60 wanita populasi Arab Saudi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada jumlah dan panjang rugae pria dan wanita. Tetapi dari segi bentuk bentuk terdapat perbedaan, bentuk rugae konvergen lebih banyak pada perempuan dan bentuk rugae sirkular lebih banyak pada pria (Chairani dan Auerkari, 2008). Rugae palatina tidak hanya menentukan jenis kelamin, ras dan individu. Rugae palatina dapat dijadikan alat penting dalam menentukan garis keturunan seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rajesh N dkk pada tahun 2015 dengan 30 kelompok anggota keluarga di India, menunjukkan bahwa adanya kemiripan pola rugae palatina anak dengan pola rugae palatina orang tua. Hasil

5 penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada peran herediter dalam pola rugae palatina seseorang (Patel et al, 2015). Pewarisan watak dari induk pada keturunannya baik secara biologis melalui gen (DNA) atau secara sosial melalui pewarisan gelar (Citrawathi dan Mulyadiharja, 2014). Secara genetik, persentase pewarisan sifat yang diturunkan adalah 50% dari ibu dan 50% dari ayah kepada anaknya. Persentase untuk saudara kandung atau kakak adik yang memiliki orang tua biologis sama akan berbagi 50% dari gen mereka (Suryo, 2011). Fenotip merupakan karakteristik yang dapat dianalisis dengan panca indera (Yuwono, 2005) misalnya bentuk rugae palatina. Penelitian yang membandingkan rugae palatina pada saudara kandung masih jarang bahkan di Indonesia belum ada yang melakukan penelitiannya. Penelitian yang sudah pernah dilakukan yaitu di India oleh Kochhar pada tahun 2015 dengan membandingkan perempuan dan laki-laki saudara kandung yang berumur 5 sampai 15 tahun menunjukkan hasil bahwa adanya terdapat perbedaan bentuk, tetapi dari jumlah rugae palatina tidak terdapat perbedaan signifikan (Kochhar, 2015). Penelitian yang membandingkan rugae palatina antara saudara kandung pada suku Minangkabau belum ada. Dari penelitian ini peneliti tertarik melakukan perbandingan antara saudara kandung pada suku Minangkabau. Suku Minangkabau memiliki hubungan kekerabatan matrilineal. Matrilineal adalah aturan penarikan garis keturunan yang terikat dalam jalinan kekerabatan pada pihak ibu sejak lahir (Sutardi, 2007). Asal budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo (Djamaris, 2001). Luhak Nan Tigo terdiri atas Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota (Fauzan, 2011).

6 Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik ingin melakukan analitik observasional tentang perbedaan pola rugae palatina perempuan dan lakilaki saudara kandung pada suku Minangkabau. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan bentuk rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau? 2. Apakah ada perbedaan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan bentuk dan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 1. Untuk mengetahui perbedaan bentuk rugae palatina perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau. 2. Untuk mengetahui perbedaan ukuran rugae palatina perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau.

7 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis a. Bagi ilmu pengetahuan : Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai ciri khas rugae palatina suku Minangkabau antara perempuan dan laki-laki saudara kandung dalam ilmu forensik khususnya odontologi forensik dan ilmu pengetahuan pada dokter gigi dan tenaga profesional yang bekerja dibidang forensik. b. Bagi peneliti : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana penerapan ilmu kedokteran gigi yang telah didapat selama masa perkuliahan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam bidang odontologi forensik. c. Bagi penelitian selanjutnya : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal yang menjadi landasan pada penelitian berikutnya antara hubungan keturunan dengan bentuk rugae palatina. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan untuk identikasi forensik. 1.5 Ruang Lingkup Peneltian Ruang lingkup penelitian ini adalah perbedaan bentuk dan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau yang berasal dari wilayah Luhak Nan Tigo.