RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR... TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dokumen-dokumen yang mirip
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI

SOSIALISASI. Jakarta, 7 Desember 2015 Otoritas Jasa Keuangan Direktorat Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan IKNB

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.05/2017 TENTANG LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP /LK/ 2004 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI OTOMATIS DALAM NEGERI DAN RETENSI SENDIRI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.010/2012 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10/POJK.05/2014 TENTANG PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.05/2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR PERASURANSIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

DAPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDRAL LEMBAGA KEUANGAN

2017, No f. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Ban

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2 menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2017 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2016 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 d. bahwa untuk mengelola eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu menerapkan manajemen risiko secara terinteg

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Ke

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN V SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /SEOJK.05/2016 TENTANG PELAPORAN PRODUK ASURANSI BAGI PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.05/2016 TENTANG

Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 4. Perusahaan Asu

- 1 - SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2016 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN VI SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /SEOJK.05/2016 TENTANG PELAPORAN PRODUK ASURANSI BAGI PERUSAHAAN ASURANSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2/POJK.05/2015 TENTANG

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31/SEOJK.05/2015 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.05/2015 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10/POJK.05/2014 TENTANG PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

2015, No.71 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111

-1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2013 TENTANG

2015, No.74 2 d. bahwa informasi yang diungkapkan kepada masyarakat perlu memperhatikan faktor keseragaman dan kompetisi antar Bank; e. bahwa berdasar

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM.

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.05/2017 TENTANG LAPORAN PERIODIK PERUSAHAAN PERASURANSIAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.03/2017 TENTANG BANK PERANTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 4/POJK.04/2014 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74 /PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEPEMILIKAN ASING PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 124 /PMK.010/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undan

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega

BAB I PERUSAHAAN ASURANSI

2016, No Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DANA PERLINDUNGAN PEMODAL

2017, No sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan diperlukan pengaturan kembali transparansi kondisi keuangan Bank Perkre

Transkripsi:

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR... TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangkameningkatkan kemampuan industri asuransi dalam negeri untuk menahan risiko asuransi perlu dilakukan optimalisasi kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri; b. bahwa optimalisasi kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri tersebut sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi defisit neraca pembayaran sektor asuransi; c. bahwa peningkatan kemampuan industri asuransi dalam negeri untuk menahan risiko asuransi perlu dilakukan dengan menyempurnakan pengaturan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri; Mengingat : a. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Tambahan Lembaran Negara Republik

- 2 - Indonesia Nomor 5618); b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa. 2. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau Perusahaan Reasuransi lainnya. 3. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi umum dan usaha asuransi umum syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 4. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa dan usaha asuransi

- 3 - jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 5. Modal Sendiri adalah modal sendiri berdasarkan standar akuntansi keuangan pada akhir tahun sebelumnya. 6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai otoritas jasa keuangan. BAB II DUKUNGAN REASURANSI Bagian Kesatu Reasuransi Otomatis Pasal 2 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkan, termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks). (2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperoleh sesuai dengan profil risiko dan kerugian (risk and loss profiles) yang dibuat secara tertib, teratur, akurat, dan relevan. Pasal 3 (1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.

- 4 - (2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (3) Perusahaan Asuransi wajib memilih Perusahaan Reasuransi dalam negeri sebagai ketua (leader) panel reasuransi otomatis. Pasal 4 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. (2) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis diperoleh dari Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi Umum wajib memilih salah satu dari Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri yang memberikan dukungan reasuransi otomatis sebagai ketua (leader) panel reasuransi otomatis. (3) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi Umum dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi di luar negeri. (4) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan Asuransi Umum tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh

- 5 - Perusahaan Reasuransi dan 6 (enam) Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. (5) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi di luar negeri. (6) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan Asuransi Jiwa tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (7) Perusahaan Asuransi wajib melampirkan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri dalam laporan program reasuransi. Pasal 5 (1) Dalam hal Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dalam negeri menolak memberikan dukungan reasuransi otomatis, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dimaksud wajib menyampaikan tembusan surat penolakan tersebut kepada Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK dengan dilengkapi alasan penolakannya paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal penolakan. (2) Perusahaan Asuransi yang tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri wajib melakukan perbaikan terhadap penyebab tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dimaksud. (3) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

- 6 - wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri pada tahun berikutnya. (4) Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK dapat melarang pemasaran lini usaha asuransi tertentu yang tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri bagi Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri pada tahun berikutnya. Pasal 6 (1) Perusahaan Asuransi wajib melakukan upaya optimalisasi kapasitas reasuransi dalam negeri dengan cara memperoleh dukungan reasuransi otomatis dalam negeri secara prioritas dari Perusahaan Reasuransidan/atau Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. (2) Dukungan reasuransi dalam negeri secara prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bagi dukungan reasuransi otomatis proporsional sekurang-kurangnya sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) atau sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), mana yang lebih besar. b. Bagi dukungan reasuransi otomatis non proporsional sekurang-kurangnya sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) atau sebesar Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima miliar rupiah), mana yang lebih besar. (3) Dukungan reasuransi dalam negeri secara prioritas

- 7 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh sekurang-kurangnya sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) atau sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah), mana yang lebih besar. Pasal 7 (1) Perusahaan Reasuransi wajib memiliki program retrosesi yang memadai, aman, dan didukung oleh panel retrosesi dengan peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (3) Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan bukti peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di dalam laporan program reasuransi. Pasal 8 (1) Perusahaan Reasuransi wajib melakukan upaya optimalisasi kapasitas reasuransi dalam negeri antara lain dengan cara melakukan penyatuan kapasitas untuk memberikan dukungan reasuransi kepada Perusahaan Asuransi dan memperoleh dukungan reasuransi dari Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. (2) Upaya optimalisasi kapasitas reasuransi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap mempertimbangkan manajemen risiko terhadap potensi terjadinya akumulasi risiko di dalam negeri. Pasal 9

- 8 - (1) Kewajiban untuk memperoleh dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal: a. Perusahaan Asuransi menerima penutupan asuransi yang memiliki karakteristik risiko khusus sehingga tidak ada Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Umum yang bersedia memberikan dukungan reasuransi otomatis; b. Perusahaan Asuransi memasarkan produk asuransi hanya untuk memenuhi permintaan pemegang polis atas paket asuransi yang komprehensif dan tidak memasarkan secara tersendiri; atau c. Perusahaan Asuransi akan memulai memasarkan lini usaha asuransi yang baru. (2) Perusahaan Asuransi wajib menyampaikan bukti tidak diperoleh atau diperlukannya dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK. (3) Kewajiban untuk memperoleh dukungan reasuransi dalam negeri secara prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Perusahaan Asuransi memasarkan produk asuransi yang membutuhkan dukungan dari Perusahaan Asuransi di luar negeri setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK. Bagian Kedua Reasuransi Fakultatif Pasal 10

- 9 - (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dalam hal: a. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); atau b. dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi untuk risiko yang diterima oleh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi. (2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (3) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. Pasal 11 (1) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. (2) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif dari Perusahaan Reasuransi di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif bagi Perusahaan Asuransi Umum dapat diperoleh dari Perusahaan Reasuransi di luar

- 10 - negeri. (3) Dukungan reasuransi fakultatif dari Perusahaan Reasuransi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan Asuransi Umum tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi dan 6 (enam) Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri. Pasal 12 (1) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dapat diperoleh dari Perusahaan Reasuransi di luar negeri. (2) Dukungan reasuransi fakultatif dari Perusahaan Reasuransi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan Asuransi Jiwa tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi. Pasal 13 Perusahaan Asuransi wajib menyampaikan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi fakultatif dari Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Asuransi di dalam negeri kepada Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK. Pasal 14 (1) Perusahaan Asuransi wajib melakukan upaya optimalisasi kapasitas reasuransi dalam negeri dengan cara memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dalam negeri secara prioritas dari Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Umum di dalam negeri.

- 11 - (2) Dukungan reasuransi dalam negeri secara prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk lini usaha asuransi harta benda, rekayasa, dan energi sekurang-kurangnya sebesar Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah). b. Untuk lini usaha asuransi aneka sekurang-kurangnya sebesar Rp360.000.000.000,00 (tiga ratus enam puluh miliar rupiah). c. Untuk lini usaha asuransi pengangkutan, rangka kapal, dan rangka pesawat sekurang-kurangnya sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus enam puluh miliar rupiah). Pasal 15 Perusahaan Reasuransi wajib melakukan upaya optimalisasi kapasitas reasuransi dalam negeri antara lain dengan cara melakukan penyatuan kapasitas untuk memberikan dukungan reasuransi fakultatif kepada Perusahaan Asuransi di dalam negeri. Bagian Ketiga Lain-lain Pasal 16 (1) Dukungan reasuransi otomatis dan reasuransi fakultatif dari Perusahaan Reasuransi di luar negeri hanya dapat diperoleh dari Perusahaan Reasuransi yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana

- 12 - dimaksud pada ayat (1) diterbitkan lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (3) Perusahaan Asuransi wajib menyampaikan bukti peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di dalam laporan program reasuransi. Pasal 17 (1) Perusahaan Asuransi wajib melakukan optimalisasi penempatan reasuransi dalam negeri melalui penempatan reasuransi otomatis dan penempatan reasuransi fakultatif kepada Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. (2) Penempatan reasuransi kepada Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Reasuransi di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan tetap memperhatikan manajemen risiko. (3) Penempatan reasuransi di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penempatan yang dilakukan secara langsung maupun penempatan yang dilakukan melalui perusahaan pialang reasuransi. (4) Bagi Perusahaan Asuransi Umum, optimalisasi penempatan reasuransi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menempatkan sepenuhnya reasuransi untuk pertanggungan pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, asuransi kredit dan penjaminan (suretyship), serta pertanggungan yang memiliki risiko sederhana pada lini usaha asuransi yang lain kepada Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.

- 13 - (5) Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, optimalisasi penempatan reasuransi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menempatkan sepenuhnya reasuransi untuk seluruh pertanggungan pada lini usaha yang diselenggarakan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa kepada Perusahaan Reasuransi dan/atau Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. Pasal 18 Perusahaan Asuransi Umum wajib menempatkan reasuransi structured (layer basis) fakultatif secara accros the board untuk seluruh layer. Pasal 19 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau dukungan reasuransi fakultatif dinilai oleh Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi atau dapat menjadikan Perusahaan Asuransi tidak melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Asuransi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi untuk mengubah program dukungan reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi perusahaan, berupa: a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi otomatis, atau sebaliknya: b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi reasuransi proporsional, atau sebaliknya; dan/atau c. perubahan lainnya. (2) Perusahaan Asuransi wajib melaksanakan perintah Kepala

- 14 - Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 20 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi setiap tahun wajib menyampaikan laporan program reasuransi otomatis kepada Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, paling lambat tanggal 15 Januari. (2) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan menjadi pada hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. (3) Laporan program reasuransi otomatis disertai dengan grafik yang menggambarkan retensi sendiri dan dukungan reasuransi otomatis yang diterima serta limit dukungan reasuransi. (4) Laporan program reasuransi otomatis wajib dilengkapi dengan perjanjian reasuransi yang telah ditandatangani oleh Perusahaan Reasuransi dan reasuradur. (5) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan program reasuransi diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 21 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi setiap tahun wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penempatan reasuransi otomatis dan reasuransi fakultatif, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan penempatan reasuransi diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 22

- 15 - Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) apabila Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi dimaksud dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh lini usaha asuransi dan/atau dalam proses untuk mengembalikan izin usaha. BAB II RETENSI SENDIRI Pasal 23 (1) Perusahaan wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi maksimum yang ditetapkan. (2) Penetapan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. Pasal 24 (1) Batas minimum retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) untuk setiap risiko asuransi adalah sebagai berikut: a. lini usaha Harta Benda, Pengangkutan, Energi Onshore, dan Rekayasa i. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sebesar 2% (dua per seratus) dari Modal Sendiri; ii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi

- 16 - Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sebesar 1,5% (satu koma lima per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); iii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp11.250.000.000,00 (sebelas miliar dua ratus lima puluh juta rupiah); dan iv. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). b. lini usaha Energi Offshore i. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sebesar 1% (satu per seratus) dari Modal Sendiri; ii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sebesar 7,5% (tujuh koma lima per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); iii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi

- 17 - Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebesar 0,375% (nol koma tiga tujuh lima per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp5.625.000.000,00 (lima miliar enam ratus dua puluh lima juta rupiah). c. lini usaha Rangka Kapal i. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sebesar 0,8% (nol koma delapan per seratus) dari Modal Sendiri; ii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sebesar 0,6% (nol koma enam per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah); iii. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebesar 0,3% (nol koma tiga per seratus) dari Modal Sendiri atau paling sedikit sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah); dan iv. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi Umum dengan Modal Sendiri lebih dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebesar

- 18 - Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). d. lini usaha Rangka Pesawat sebesar 0,5% (nol koma lima per seratus) dari Modal Sendiri. e. lini usaha Satelit sebesar 1% (satu per seratus) dari Modal Sendiri. f. lini usaha Kendaraan Bermotor, Kematian, Kecelakaan Diri, dan Kesehatan sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). g. Lini usaha Tanggung Gugat, Kredit, Penjaminan (Suretyship), dan Aneka sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Batas maksimum retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) adalah 10% (sepuluh per seratus) dari Modal Sendiri untuk setiap risiko. BAB III SANKSI Pasal 25 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini, dapat dikenakan sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. kewajiban bagi direksi untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; c. pembatasan kegiatan usaha; dan d. pencabutan izin usaha.

- 19 - (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku: a. Ketentuan mengenai dukungan reasuransi dan retensi sendiri sebagaimana diatur di dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.10/2012 tanggal 3 April 2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b. Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-11/BL/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Dukungan Reasuransi, Batas Retensi Sendiri, serta Bentuk dan Susunan Laporan Program Reasuransi; dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

- 20 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd, MULIAMAN D. HADAD