Mam MAKALAH ISLAM Kementerian Agama Pilar Konstitusi Negara 20, September 2014
Makalah Islam Kementerian Agama Pilar Konstitusi Negara M. Fuad Nasar Pemerhati Sejarah, Wakil Sekretaris BAZNAS
Polemik seputar ada atau tiadanya Kementerian Agama dalam rancangan kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mendapat titik terang. Kementerian Agama hampir dipastikan tidak akan dihapus atau diganti dengan nama lain. Pembubaran Kementerian Agama walaupun diganti dengan Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf, seperti yang diwacanakan, akan menjadi blunder bagi pemerintahan Jokowi di awal masa pemerintahannya. Jika dicermati Undang-Undang No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan ada tiga kementerian yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Tiga kementerian ini tidak dapat diubah oleh Presiden. Sedangkan urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi antara lain urusan agama, menurut Undang-Undang Kementerian Negara, tidak harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Kementerian tersebut (baca: Kementerian Agama) dapat diubah oleh Presiden. Nomenklatur Kementerian Agama sebenarnya tidak cukup kuat dalam Undang-Undang Kementerian Negara. Meski di dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 29 tentang Agama merupakan bab tersendiri, tetapi posisi Kementerian Agama tidak demikian. Masalah ini saya kira perlu dipikirkan untuk ke depannya.
Mengenai ide Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf, entah dari mana timbulnya, saya kira merupakan gagasan yang bagus. Tetapi jika sampai menghapus Kementerian Agama, maka kerugian umat tidak seimbang dengan kemajuan yang diharapkan. Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf selintas terkesan lebih pro-umat, namun ada substansi pokok dan mendasar yang lenyap bersamaan dengan hilangnya nama Kementerian Agama. Kecuali seandainya Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf dibentuk tanpa menghapus Kementerian Agama. Saya kira wajar kalau di kalangan tokoh umat Islam dan ormas Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyatakan keberatan jika Kementerian Agama dihapus. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kementerian Agama masih sangat penting keberadaannya dalam konteks Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan keberagamaan masyarakat Indonesia. Kementerian Agama merupakan salah satu kekhasan Indonesia yang perlu dipertahankan. Kementerian Agama bukan sekedar nama. Di balik nama Kementerian Agama tersimpan ruh ideologis dan amanat historis para founding fathers negara kita. Kementerian Agama bukan sekedar kementerian teknis dan administratif belaka. Kalau hanya kementerian teknis dan administratif, tugas dan fungsinya dapat dialihkan kepada instansi lain.
Kementerian Agama mempunyai nilai dan makna tersendiri dalam susunan pemerintahan negara Republik Indonesia. Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf, sekalipun menguntungkan umat Islam, tapi belum menampung ruh Konstitusi. Dengan demikian Kementerian Agama perlu dipertahankan eksistensinya, namun alasannya bukan Undang-Undang Kementerian Negara, tetapi justru karena pijakan landasan konstitusi yang lebih kuat. Saya ingat pernyataan almarhum Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia dalam majalah Panji Masyarakat (1982) bahwa Kementerian Agama di Indonesia jauh lebih luas ruang lingkup tugasnya dibanding Kementerian Wakaf di negara-negara Arab. Pembentukan Kementerian Agama, sebagaimana diungkapkan almarhum R. Moh. Kafrawi (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama),. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler. Sejalan dengan Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan R. Moh Kafrawi, saya ingin menekankan disini bahwa bukti terang Indonesia bukan negara Sekuler ditunjukkan dengan adanya Kementerian Agama. Ada dua substansi
mendasar yang perlu dipahami sekitar pembentukan Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, yaitu: Pertama, Kementerian Agama merupakan hasil perjuangan ulama dan tokoh Islam di awal kemerdekaan. Tanpa usaha para tokoh Islam, tidak akan ada Kementerian Agama yang kini menaungi semua agama di Indonesia. Jika Kementerian Agama dihapus, niscaya akan mengusik kepentingan umat beragama pada umumnya. Sejarah mencatat pembentukan Kementerian Agama diusulkan oleh para tokoh Islam dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, namun tidak disepakati oleh yang lain. Kabinet Pertama RI disusun tanpa Kementerian Agama. Pembentukan Kementerian Agama kembali diperjuangkan oleh para tokoh Islam dari kalangan Masyumi dalam sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tanggal 25-27 November 1945. Usulan itu mendapat persetujuan secara aklamasi dari seluruh peserta sidang sehingga Kementerian Agama ditetapkan dalam Kabinet Sjahrir. Sekedar untuk diingat usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Semuanya anggota KNI dari partai politik Masyumi. Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy,
utusan KNI Banyumas mengusulkan, Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri. Kedua, Kementerian Agama didirikan dalam rangka melaksanakan tugas Konstitusi. Hal ini dapat dilacak dari risalah Konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta 17 18 Maret 1946. Ketika itu Menteri Agama H.M. Rasjidi menguraikan kepentinganpemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama,yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29, yang menerangkan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya. Pemikiran sementara kalangan yang ingin menghapus Kementerian Agama bukan hal baru tapi sudah sejak dulu, sebagaimana juga pemikiran untuk mempertahankannya. Sampai dekade 1950-an eksistensi Kementerian Agama tidak luput dari kritik tajam para
anggota parlemen hingga tuntutan agar kementerian ini dibubarkan dengan berbagai alasan. Sebagian kalangan di luar Islam menganggap eksistensi Kementerian Agama tidak sejalan dengan pemerintahan yang bercorak nasional. Soal-soal keagamaan mestinya tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Beberapa anggota DPR masa itu menyoroti besarnya anggaran KementerianAgama, sementara tugastugasnya dapat ditampung oleh kementerian lain. Ada pula yang merasa bahwa Kementerian Agama lebih memperhatikan soal-soal Islam saja dan oleh sebab itu terjadi diskriminasi perlakuan terhadap agama-agama lain. Di masa itu aspirasi politik yang menyuarakan dihapusnya Kementerian Agama dengan berbagai alasan berhadapan dengan aspirasi politik yang ingin mempertahankannya atas dasar juridis konstitusional. Menanggapi suara-suara di parlemen yang masih mempertanyakan dan bahkan menggugat eksistensi Kementerian Agama, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim yang menjabat tahun 1949 1952 menjelaskan bahwa pemisahan agama dan negara hanya terdapat secara teori, dan tidak pernah dipraktikkan sepenuhnya di negara mana pun kecuali negara atheis. Walaupun Kementerian Agama dapat saja dihapuskan, dan berbagai fungsi departemen itu dilaksanakan oleh departemen lain,
ia tegaskan bahwa penghapusannya akan menyinggung perasaan umat Islam Indonesia. tegasnya. Menjawab tuduhan kalangan nonmuslim bahwa Kementerian Agama lebih banyak memberi perhatian pada umat Islamsaja, K.H. A. Wahid Hasjim menjelaskan bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar daripada yang bukan Islam. Jadi, wajar kalau Kementerian Agama memberikan perhatian lebih besar kepada umat Islam. Tapi hal itu dilakukan bukan karena diskriminasi, melainkan semata karena jumlah umat Islam yang sangat besar itu. Wahid Hasjim meyakinkan tidak adanya campur tangan Kementerian Agama dalam soal-soal intern agama. Campur tangan pemerintah hanyalah mengenai aspek-aspek kemasyarakatan dan kenegaraan saja. Pada waktu memperingati 10 tahun berdirinya Kementerian Agama, tahun 1956, Menteri Agama K.H. Muchammad Iljas menegaskan kembali politik keagamaan dalam Negara Republik Indonesia. Ditegaskannya, fungsi Kementerian Agama adalah merupakan pendukung dan pelaksana utama asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dan tujuan mendirikan Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air ini, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan keagamaan diurus
serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di tangan seorang menteri. Menurut hemat saya,ide menghapus Kementerian Agama dan menggantinya dengan nama lain, dari manapun ide itu berasal, boleh jadi sebuah test-case politik untuk mengetahui apakah keberadaan Kementerian Agama masih dianggap perlu oleh umat. Wallahu a lam. Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini