BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

[Standar Pelayanan Minimum KM. Andalus] 1

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 48 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN PELAYANAN PUBLIK KAPAL PERINTIS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Nega

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT DIREKTORAT LALU LINTAS DAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG KUNJUNGAN KAPAL WISATA (YACHT) ASING KE INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR PM 103 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KENDARAAN YANG MENGGUNAKAN JASA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

2017, No c. bahwa untuk mempercepat penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, darat, dan udara diperlukan progr

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENT ANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN PELAYANAN PUBLIK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG KUNJUNGAN KAPAL WISATA (YACHT) ASING KE INDONESIA

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2008 NOMOR : 13 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

Pesawat Polonia

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik In

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2011 TENTANG KUNJUNGAN KAPAL WISATA (YACHT) ASING KE INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2011 TENTANG KUNJUNGAN KAPAL WISATA (YACHT) ASING KE INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT DIREKTORAT LALU LINTAS DAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 5

BUPATI BANGKA TENGAH

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah akan memicu peningkatan ekonomi serta mengembangkan

TERMINAL TOPIK KHUSUS TRANSPORTASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

- 1 - BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PELAYANAN KEPELABUHANAN DI KABUPATEN SERANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor : 17 Tahun 1988 Tanggal: 21 Nopember Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lemb

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2005

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN PELAYANAN PUBLIK KAPAL PERINTIS MILIK NEGARA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN TAHAP 1 STANDAR PELAYANAN MINIMUM KAPAL PERINTIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAU RANCANGAN KRITERIA TRAYEK TETAP DAN TERATUR, SERTA TIDAK TETAP DAN TIDAK TERATUR

2016, No Republik Indonesia Nomor 4152); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL BAB IX SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 106 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK UNTUK ANGKUTAN BARANG DI LAUT

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP-447 TAHUN 2014 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 8 TAHUN 2009 T E N T A N G

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI. Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Standar Pelayanan Berdasarkan PM 37 Tahun 2015 Standar Pelayanan Minimum adalah suatu tolak ukur minimal yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggaraan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Standar pelayanan minimum juga merupakan suatu langkah untuk mensiasati suatu bentuk tujuan yang ingin dicapai dapat terlaksana dengan baik, tepat sasaran dan dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa pengecualian. Oleh sebab itu, standar pelayanan minimum harus berlandaskan dasar hukum yang terkait. Adapun dasar hukum tersebut adalah sebagai berikut: I. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Dalam Pasal 24 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dijelaskan bahwa: Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan penugasan. Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (20 dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik. Pelayaran-perintis dan penugasan dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.

Angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setiap tahun. II. Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2016 Pasal 1 poin 1 Penyelenggaraan angkutan pelayaran perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial. Pasal 2 Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah menugaskan kepada PT. Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk melaksanakan pelayanan publik berupa kegiatan pelayaran perintis. Kegiatan pelayaran perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melayani daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dan belum berkembang. Pasal 4 poin 1 dan 2 Penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk kegiatan pelayaran perintis dilakukan untuk: a) Menghubungkan daerah yang masih tertinggal, wilayah terpencil dan/atau wilayah terluar yang belum berkembang dengan daerah yang sudah berkembang dan maju; b) Menghubungkan daerah yang moda transportasi lainnya belum memadai; dan c) Menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani oleh pelaksana kegiatan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan. Kegiatan pelayaran perintis yang dilakukan pada daerah yang masih tertinggal, wilayah terpencil dan/atau wilayah terluar yang belum berkembang sebagaimana pada ayat (10 huruf a ditentukan berdasarkan kriteria:

a) Belum terlayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur; b) Secara komersial belum menguntungkan; atau c) Tingkat pendapatan penduduknya masih rendah. III. Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 20 Tahun 2015 Pasal 1 poin 1 Keselamatan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Pasal 2 poin 1,2 dan 3 1. Penyelenggara pelabuhan, penyelenggara angkutan laut, dan penyelenggara navigasi pelayaran wajib memenuhi standar keselamatan pelayaran. 2. Standar keselamatan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Sumber daya manusia; b. Sarana dan/atau prasarana; c. Standar operasional prosedur; d. Lingkungan; dan e. Sanksi. IV. Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 37 Tahun 2015 Pasal 5 Standar pelayanan penumpang angkutan laut di atas kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) poin 2 wajib disediakan dan dilaksanakan oleh penyelenggara angkutan laut, yang meliputi: a. Pelayanan keselamatan; b. Pelayanan keamanan dan ketertiban; c. Pelayanan kehandalan;

d. Pelayanan kenyamanan; e. Pelayanan kemudahan; dan f. Pelayanan kesetaran. Pelayanan keselamatan di atas kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. Informasi dan fasilitas keselamatan; dan b. Informasi dan fasilitas kesehatan. Pelayanan keamanan dan ketertiban di atas kapal sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, meliputi: a. Fasilitas keamanan; b. Petugas keamanan; dan c. Informasi gangguan keamanan. Pelayanan kehandalan di atas kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi: a. Ketepatan jadwal keberangkatan; dan b. Ketepatan jadwal kedatangan kapal. Pelayanan kenyamanan di atas kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. Kapasitas angkut; b. Lampu penerangan; c. Fasilitas pengatur suhu; d. Fasilitas kebersihan; e. Tingkat kebisingan; f. Toilet; g. Ruang ibadah; h. Kafetaria; dan i. Informasi larangan merokok. Pelayanan kemudahan di atas kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi: a. Informasi untuk mengetahui tempat duduk/tempat tidur sesuai tiket; b. Informasi mengenai ruang kapal;

c. Informasi pelabuhan yang akan disinggahi; dan d. Informasi gangguan perjalanan kapal. Pelayanan kesetaraan di atas kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi: a. Tempat tidur prioritas untuk difabel; dan b. Kursi roda. V. Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 1 poin 4 Kapal perintis adalah kapal yang memiliki tugas menghubungkan daerah terpencil yang belum terbuka dengan menggunakan kapal milik negara tipe kapal penumpang barang. Pasal 8 Pelaksana penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik angkutan pelayaran perintis yang ditunjuk untuk melaksanakan kewajiban pelayanan publik, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Melayani jaringan trayek angkutan laut dalam negeri yang teratur dan berjadwal tetap (liner) yang telah ditetapkan; b) Memenuhi standar dalam pemberian pelayanan kapal perintis; dan c) Menjamin kelangsungan pelayanan secara berkesinambungan. II.2 Kapal, Rute dan Pelabuhan II.2.1 Kapal Penumpang Barang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dalam pasal 1 point 36 dijelaskan pengertian kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Berdasarkan definisinya, kapal penumpang barang (cargo passenger) dapat diartikan sebagai kapal atau transportasi laut yang dapat mengangkut muatan berupa barang dan penumpang secara bersamaan. Pada umumnya kapal

cargo passenger ini sudah teramat jarang dioperasikan di benua-benua eropa, namun jenis kapal ini sangat mudah ditemukan di benua asia khususnya dimana wilayah/negara-negara yang terdiri/memiliki kepulauan. Jenis kapal ini sangat berkembang pesat dan bahkan bisa menjadi sangat penting dalam menghubungkan wilayah-wilayah yang terpencil dan belum tersedianya sarana transportasi. Namun, penyelenggaraan kapal perintis pada dunia kemaritiman di Indonesia juga memiliki sisi negatif yang tak ayal dalam kenyataannya di lapangan aktifitas kapal-kapal perintis di pelabuhan yang mana aktifitas bongkar dan muat muatannya (penumpang dan barang) dalam waktu bersamaan, sehingga memiliki dampak negatif bagi kesehatan, kenyamanan, dan keamanan bagi para penumpang kapal yang ingin naik ke dalam kapal. oleh sebab itu, perencanaan untuk peralihan jenis kapal penumpang barang akan terasa lebih berkemanusiaan jika diganti dengan kapal jenis ferry ro-ro yang jika ditinjau lebih dalam memiliki dampak negatif kesehatan, kenyamanan dan keselamatan yang jauh lebih baikdari pada kapal penumpang barang. Yang mana dalam hal tersebut juga akan berdampak dalam sisi ekonomis pelabuhan-pelabuhan yang akan disinggahi. Adapun maksud dari sisi ekonomis yang dimaksud adalah langkah penyatuan antara dermaga penumpang dan barang akan merugikan penumpang sedangkan jika pelabuhan tersebut dipisahkan seperti kenyataan tentang pengaturan tata kelola pelabuhan laut di Indonesia, maka tak dapat terbantahkan seberapa besar pemborosan akibat tata kelola pelabuhan yang tidak tepat tersebut dan kenyataan bahwa jumlah penumpang yang menggunakan transportasi laut khususnya kapal penumpang dan barang yang telah dilakukan oleh peneliti pada 2 kapal penumpang barang jauh dari melebihi kapasitas muatnya. Selain masalah atau dampak penyelenggaraan dari jenis-jenis kapal penumpang barang di atas, masalah konstruksi kapal, peralatan baik keselamatan, dan keamanan pada kapal ini dirasa jauh lebih tidak ekonomis. Dikaranekan berdasarkan Peraturan BKI Volume II Peraturan Untuk Lambung edisi 2014 dalam Bab 29 I.A.2 disebutkan bahwa kapal penumpang didefinisikan sebagai kapal yang mengangkut penumpang lebih dari 12 orang. Oleh sebab itu, berdasarkan peraturan tersebut, kapal-kapal yang mengkut penumpang lebih dari 12 orang akan dikatagorikan kedalam kapal penumpang dan wajib mengikuti

peraturan-peraturan konstruksi, keselamatan, keamanan dari kapal penumpang yang notabenenya peraturan-peraturan kapal penumpang jauh lebih ketat dan sarana dan fasilitas keselamatan yang jauh lebih mahal daripada jenis-jenis kapal selain kapal penumpang. II.2.2 Pelayaran Perintis Berdasarkan KBBI perintis dapat diartikan sebagai orang yang memulai mengerjakan sesuatu (pelopor) atau usaha pertama atau permulaan (pembuka jalan). Menilik makna kata tersebut, istilah perintis dalam bahasa indonesia dapat dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru yang belum pernah dilakukan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran dalam pasal 1 poin 8 dijelaskan bahwa pelayaran perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial. II.2.3 Fasilitas-Fasilitas di Atas Kapal Menurut Peraturan NCVS pada bab 1 page 1-10, dijelaskan bahwa kapal penumpang adalah suatu kapal yang mengangkut, atau mempunyai sertifikat untuk mengangkut, 12 penumpang atau lebih. Sehingga berdasarkan pengertian kapal penumpang menurut NCVS tersebut, maka kapal-kapal yang mengangkut penumpang 12 atau lebih akan mengikuti peraturan-peraturan kapal penumpang. Selain akan mengikuti dari peraturan baik konstruksi kapal penumpang, fasilitas-fasilitas kapal tersebut juga akan berbeda dengan kapal-kapal jenis lainnya. Adapun fasilitas-fasilitas tersebut harus memenuhi standar yang berlaku di dalam negeri ataupun internasional. II.2.4 Pelabuhan Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan laut dalam pasal 1 pengertian pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kapal bersandar, naik turun

penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa tempat terminal dan berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. Dalam memperlancar atau demi kelancaran dari suatu aktifitas bongkar muat muatan KM. Andalus yang berupa penumpang dan barang. Maka diperlukan suatu keputusan untuk menentukan pelabuhan yang akan disinggahi atau sebagai tempat berlabuh dari kapal ini. Oleh sebab itu berdasarkan dari perencanaan rute pelayaran KM. Andalus dalam Tugas Merancang Kapal Cargo passenger Ship 800 DWT. Perencana telah terlebih dahulu memutuskan pelabuhan yang akan disinggahi atau tempat berlabuhnya KM. Andalus pada Tugas Merancang Kapal yaitu di Pelabuhan Tanjung Priok-Tanjung Pandan-Pangkal Balam. Selain itu Menteri Perhubungan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 119 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 37 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan Laut pasal 4 berbunyi sebagai berikut: 1) Kewajiban untuk menyediakan fasilitas garbarata bagi kenyamanan penumpang angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 5 huruf c berlaku pada pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul. 2) Ketentuan mengenai pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul yang wajib dilengkapi garbarata, diatur lebih lanjut dengan keputusan Direktur Jendral Perhubungan Laut Sehingga berdasarkan dari peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia di atas, maka SPM (Standar Pelayanan Minimum) pada kapal dapat terpenuhi khususnya untuk pelayanan kesetaraan dan tujuan untuk menciptakan transportasi yang aman, nyaman dan sehat. II.2.5 Rute pelayaran Berdasarkan perencanaan rute pelayaran KM. Andalus dalam Tugas Merancang Kapal Cargo Passenger Ship 800 DWT karya Agung Satrya. KM. Andalus akan melayari rute pelayaran Tanjung Priok (Jakarta) Tanjung Pandan (Belitung) Pangkal Balam (Bangka) Tanjung Priok (Jakarta). Adapun

perkiraan dari jarak tempuh pelayaran yang akan dijabarkan dalam tabel dibawah ini bersumber dari hasil pengukuran pada google earth dan satuan yang digunakan adalah NM (Nautical Miles) yang mana diyakini bahwa 1 NM sama dengan 1852 meter atau 1,852 km: Tabel II.1 Jarak Rute Pelayaran Jakarta-Belitung Belitung-Bangka Bangka-Jakarta ± 206 NM ± 98 NM ±270 NM Sumber: Data KM. Andalus Sedangkan untuk sketsa perencanaan rute pelayaran KM. Andalus, dapat dilihat dari gambar di bawah ini: Sumber: Googleearth.com Gambar II 1 Rute Pelayaran KM. Andalus Berdasarkan tabel dan gambar rute pelayaran KM. Andalus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa KM. Andalus ini memiliki rute pelayaran yang teratur dan terjadwal. Oleh sebab itu rute pelayaran yang dijalankan KM. Andalus adalah jenis pelayaran Liner.

II.3 Kuesioner Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan analisis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang diajukan atau oleh sistem yang sudah ada. Dalam hal ini, bentuk skala kuesioner yang dibuat adalah Skala Likert. Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam angket dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Adapun penggunaan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui seberapa besar penilaian penumpang terhadap pelayanan kenyamanan fasilitas-fasilitas yang ada pada 2 unit kapal, yang nantinya akan menjadi dasar pertimbangan untuk mendesain sebuah pelayanan kenyamanan yang lebih baik.