BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji; apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan juga tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Pemikiran Kelsen dari Austria mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Ide Hans Kelsen di Indonesia mengenai pengujian undang-undang di atas sejalan dengan gagasan yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun, ide tersebut tidak langsung dapat diterapkan di Indonesia secara langsung. Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus melalui proses yang panjang. Baru pada masa reformasi, dengan ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, MPR diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. 14
15 Namun hal ini juga tidak dapat disebut sebagai judicial review mengingat bahwa MPR tidak termasuk dalam cabang kekuasaan yudisial, tetapi merupakan legislative review on the constitutionality of law. Hingga tidak berlakunya Ketetapan tersebut MPR belum pernah melaksanakan pengujian karena Sidang MPR memang tidak ada mekanisme yang memungkinkan pelaksanaan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Seiring dengan momentum Perubahan UUD pada era reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia diterima keberadaannya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar dalam bentuk undang-undang. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi juga didorong oleh beberapa alasan mendasar bahwa : 1) Suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi; 2) Perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara; 3) Mekanisme pemakzulan (impeachment) berdasar hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak sematamata didasarkan alasan politis semata dan oleh lembaga politik saja. Untuk itu, disepakati lembaga tersendiri untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan tersebut. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
16 masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Melalui perubahan keempat UUD 1945, Pasal 24 ayat (2) menjadikan cabang kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Mahkamah Konstitusi. Dalam Perubahan Keempat UUD 1945 ditetapkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menegaskan batas waktu paling akhir pembentukan MKRI pada 17 Agustus 2003. Sebelum batas akhir tersebut, segala kewenangan MKRI dilakukan Mahkamah Agung. Hingga akhirnya RUU tentang MK usulan DPR dapat disepakati bersama antara pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga undang-undang tentang MK ini diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Pada saat itu, Indonesia merupakan negara ke- 78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Setelah penetapan undang-undang tersebut, dilanjutkan dengan rekrutmen Hakim Konstitusi oleh setiap lembaga pengusul, yaitu DPR, Presiden, dan MA. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing masing lembaga tersebut, DPR, Presiden, dan MA menetapkan tiga calon Hakim Konstitusi yang selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pada tanggal 15 Agustus 2003, sembilan Hakim Konstitusi pertama diangkat dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M/Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan
17 pengucapan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003 yang disaksikan Presiden Megawati Soekarnoputri. Susunan Hakim Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota Hakim Konstitusi. 2.1.1 Wewenang dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1) Menguji UU terhadap UUD 1945. 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. 3) Memutus pembubaran parpol. 4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diatur dalam Pasal Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Wewenang Tambahan sesuai dengan Pasal 236C Perubahan Kedua UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu Penanganan sengketa hasil perolehan suara Pilkada.
18 2.1.2 Visi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Visi dari MKRI adalah Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. 2.1.3 Misi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Visi ini kemudian dituangkan dalam misi MKRI yang berbunyi a) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya. Dan b) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. 2.1.4 Tujuan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Tujuan merupakan pernyataan tentang keinginan yang akan dicapai dan dijadikan pedoman bagi MK untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang dilakukan pada dimensi waktu tertentu dengan didasarkan pada dua misi MK yang telah ditetapkan, yaitu : 1) Peningkatan efektifitas pelaksanaan kewenangan konstutional Mahkamah Konstitusi. 2) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman.
19 Gambar 2.1 Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
20 2.2 Lingkup Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri dari 2 (dua) eselon I, yaitu Kepaniteraan yang dikoordinasikan oleh seorang Panitera dan dibantu oleh 2 (dua) orang Panitera Muda, 4 (empat) orang Panitera Pengganti Tingkat I, dan 12 (dua belas) orang Panitera Pengganti Tingkat II. Sedangkan Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dibantu oleh: 1) Biro Perencanaan dan Pengawasan 2) Biro Keuangan dan Kepegawaian 3) Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol 4) Biro Umum 5) Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi 6) Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. 2.3 Sumber Daya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sumber daya manusia dalam sebuah organisasi merupakan penggerak sumber daya lainnya agar dapat berdaya dan berhasil guna dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Untuk dapat menyelenggarakan tata kelola lembaga peradilan yang baik, Mahkamah Konstitusi membutuhkan sumber daya manusia yang handal. Dalam hal ini, sebagai lembaga pemerintahan, Mahkamah Konstitusi didukung oleh sumber daya manusia dengan status Pegawai Negeri Sipil. Sampai dengan 31 Desember 2015, jumlah pegawai di Mahkamah Konstitusi sebanyak 252 orang.
21 Tabel 2.1 Komposisi Pegawai Menurut Jabatan Tabel 2.2 Komposisi Pegawai Menurut Pendidikan Tabel 2.3 Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan
22 2.4 Tantangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tantangan yang dihadapi MKRI saat ini masih banyak yang harus dibenahi dalam berbagai bidang terutama dalam hal memberikan layanan yang optimal kepada publik dan para stakeholder lainnya. Pelayanan yang paling menimbulkan masalah adalah masalah Persentase Penanganan Perkara PUU dan Persentase Penanganan Perkara Pemilu dan Pemilukada ditambah dengan masalah aksesabilitas publik terhadap informasi yang dikeluarkan MK.. Adapun masalah Persentase Penanganan Perkara PUU dan Persentase Penanganan Perkara Pemilu dan Pemilukada yang menunjukkan kinerjanya masih terdapat beberapa tahun belum memenuhi target yang telah ditetapkan dan jumlah perkara yang ditangani belum semuanya diputuskan. Kedua indikator tersebut diatas merupakan kewenangan utama MK dan menjadi salah satu indikator kinerja sasaran strategis. Untuk itu pihak MKRI selalu berusaha untuk mengatasi masalah tersebut. Faktor yang menjadi penyebab permasalahan tersebut diatas berdasarkan hasil survey secara garis besar menyangkut faktor gaya kepemimpinan, motivasi pegawai dan disiplin kerja pegawai MKRI. Faktor gaya kepemimpinan merupakan faktor yang krusial karena setiap periode penggantian Pimpinan MKRI maka sudah barang tentu berpengaruh kepada pegawainya sebagai bawahan. Hal ini terjadi karena setiap pemimpin memiliki karakter yang berbeda dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda sehingga mempengaruhi gaya kepemimpinan dan keinginan pelayanan yang berbeda. Tentunya hal ini berdampak pada jenis kegiatan-kegiatan program kerja yang beda pula.
23 Disisi lain MKRI sebagai lembaga yang bertugas untuk mendukung kelancaran arus informasi yang berkaitan dengan perkara hukum, produk hukum dan informasi lainnya masih belum optimal kinerjanya dalam memberikan akses kepada publik sehingga publik sering terlambat mengetahui tentang kondisi yang terjadi saat ini karena sulitnya akses yang ada di MKRI. Secara umum terdapat dua permasalahan yang dihadapi oleh MKRI saat ini, yaitu permasalahan dari sisi internal dan permasalahan dari sisi eksternal. Dari sisi internal, khususnya dalam aspek sumber daya manusianya adalah masalah gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan di bagiannya masing-masing. Hal tersebut menyebabkan tumpang tindihnya tugas dan fungsi pekerjaan pada unit kerja serta kurang seimbangnya struktur organisasi dengan beban kerja. Keadaan seperti ini diperparah lagi dngan motivasi yang dimiliki pegawai cukup rendah dan disiplin kerja juga cukup rendah. Sedangkan dari aspek tata kelola, berbagai persoalan yang dihadapi MKRI saat ini antara lain belum dilaksanakannya secara optimal pedoman-pedoman yang telah dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan, sistem perencanaan program kerja kurang terpola secara jelas sehingga lemahnya koordinasi dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program. Sedangkan dari sisi eksternal berbagai persoalan yang dihadapi MKRI terutama yang berasal dari publik yang mana masalahnya berasal dari pemahaman para anggota MKRI masih kurang paham terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi MKRI Kondisi yang lain adalah masalah SDM kapasitas SDM internal yang masih relatif kurang optimal jika dikaitkan dengan beban kerja. Karena meskipun secara
24 kuantitas sedikit itu terlihat banyak, lantaran banyaknya kualifikasi yang kurang memadai. Banyaknya jabatan struktur yang tidak diimbangi dengan jabatan fungsional tertentu dalam menjalankan tugas-tugas kesekretariatan. Selain itu, dari sisi distribusi SDM MKRI juga belum merata, sehingga pekerjaan sering terkonsentrasi pada individu/pegawai tertentu saja selain itu SDM bekerja di bidang apa saja, karena tidak mempunyai keahlian khusus. Dampak dari kondisi ini antara lain adalah sulitnya bagi MKRI untuk bisa menjawab tuntutan nasional dan global yang dengan berbagai perubahannya terus berkembang secara cepat dan tepat. 2.5 Proses/Kegiatan Fungsi Bisnis Sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 diuraikan bahwa Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis administratif kepada seluruh unsur di lingkungan MKRI, sedangkan Kepaniteraan mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis administrasi justisial kepada Mahkamah Konstitusi. Tugas teknis administratif peradilan Kepaniteraan MKRI meliputi; (a) koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi; (b) pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara; (c) pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan (d) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya. Sedangkan untuk fungsi dari kepaniteraan adalah (a) menyatakan permohonan telah memenuhi kelengkapan atau belum memenuhi kelengkapan;
25 (b) menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; (c) menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan; (d) menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan jadwal sidang; (e) menetapkan penugasan panitera pengganti dalam pelayanan perkara dan menetapkan petugas persidangan dalam pelayanan persidangan; dan (f) memberikan pertimbangan pengangkatan, pemindahan, penilaian dan pemberhentian panitera muda dan panitera pengganti. Sementara itu, Sekretariat Jenderal MKRI melaksanakan tugas teknis administratif, yaitu (a) koordinasi pelaksanaan administratif di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan; (b) penyusunan rencana dan program dukungan teknis administratif; (c) pelaksanaan kerja sama dengan masyarakat dan hubungan antar lembaga; (d) pelaksanaan dukungan fasilitas kegiatan persidangan; dan (e) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam menjalankan tugas tersebut, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi (a) perencanaan, analisis dan evaluasi, pengawasan administrasi umum dan administrasi peradilan, serta penataan organisasi dan tata laksana; (b) pengelolaan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia; (c) pengelolaan kerumahtanggaan, kearsipan dan ekspedisi, serta barang milik negara; (d) pelaksanaan hubungan masyarakat dan kerja sama, tata usaha pimpinan dan protokol, serta
26 kesekretariatan kepaniteraan; (e) penelitian dan pengkajian perkara, pengelolaan perpustakaan, serta pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi; dan (f) pendidikan Pancasila dan Konstitusi.