"Buku Putih" Versus White Paper "Kebenaran adalah milik milik sang pemenang, dan kebenaran biasanya datang terlambat http://blog.suaramerdeka.com/?p=197 posted September 29, 2012by Yunantyo Adi S (YAS)/ 2 Comments/ 1792 views EMPAT hari setelah Gerakan 30 September (G30S) digulung, Pusat Penerangan Markas Besar Angkatan Darat menerbitkan Fakta-Fakta Sekitar Peristiwa Gerakan 30 September. Kata pengantar terbitan khusus seri pertama ialah tertanggal 5 Oktober 1965. Buku Fakta-Fakta Sekitar Peristiwa Gerakan 30 September merupakan terbitan khusus yang terdiri dari tiga seri. Setelah terbitan khusus edisi pertama, segeralah diikuti terbitan khusus kedua tertanggal 5 November 1965 dan terbitan khusus ketiga tertanggal 5 Desember 1965. Salah satu tujuan penerbitan Fakta-Fakta Sekitar Peristiwa Gerakan 30 September, sebagaimana disebut dalam kata pengantar terbitan khusus buku pertama, ialah untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa tragedi pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September bukan merupakan konflik internal AD. Sebagai alat propaganda, pembaca diberi kesan siapa baik dan siapa jahat, dan sepertinya buku ini mendulang kesuksesan. Pesan dari buku tersebut intinya adalah: (1) Peristiwa G30S bukan merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD), (2) G30S merupakan aksi petualangan perwira menengah yang berada di bawah pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Biro Khususnya, kepanjangan tangan PKI di tubuh AD, (3) PKI-lah yang memprakarsai kudeta melalui perwira yang berada di bawah pengaruhnya itu, (4) PKI mengulangi sifat jahatnya dengan mengulangi aksi petualangan Peristiwa Madiun 1948. Sekitar satu bulan setelah terbitan ketiga buku tersebut, sebuah studi kompehensif diselesaikan ilmuwan dari Cornell University, New York, Amerika Serikat, judulnya A Preliminary Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia, yang kesohor dikenal sebagai White Paper, ada juga yang menyebutkan sebagai Cornell Paper, ditulis oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey. Studi tersebut mula-mula disebarkan di kalangan terbatas guna memperoleh komentar, tanggal penerbitan 10 Januari 1966. Tetapi tampaknya ada yang menggandakan dan hasil 1
penggandaan itu tersebar di Indonesia. Hal ini menimbulkan kegembaran dan kegerahan sebab pembunuhan yang terjadi sebagai buntut dari Peristiwa G30S itu masih berlangsung di daerah-daerah, dan kesimpulan studi ini bertentangan dengan versi resmi serta hawa fobia komunis pada masa itu. Tesis utama White Paper adalah, kudeta yang terjadi sejatinya merupakan konflik internal AD. Tesis diuraikan dengan kerangka yang sangat canggih, bahkan menampilkan budaya Jawa, seperti dipilihnya malam Jumat untuk melancarkan aksi, dan sebagainya. Mengacu tesis ini, sekelompok perwira dari Divisi Diponegoro yang frusrasi memraparsai gerakan. Para perwira, utamanya perwira menengah yang menentang senior mereka di Jakarta. * * * Betapa seriusnya Pemerintah RI merespons White Paper. Pada tahun 1967, Kepala Lembaga Sejarah Departemen Pertahanan dan Keamanan Letkol Nugroho Notosusanto bersama Ismail Saleh (perwira militer berlatar belakang sarjana hukum) merintis studi yang akhirnya menjadi versi resmi Pemerintah RI atas Peristiwa G30S. Studi itu merupakan elaborasi karya awal Notosusanto, 40 Hari Kegagalan G30S, yang diterbitkan hanya sebulan setelah kudeta. Studi Notosusanto tersebut menyandarkan pada bahan-bahan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dan ditulis dalam bahasa Inggris, dengan judul The Coupt Attempt of the September 30 Movement, terbit kali pertama tahun 1968, jelas dimaksudkan untuk menyanggah White Paper. Pada awal 1970-an, Deputi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Letjen Ali Murtopo meminta kepada para penulis White Paper agar merevisi karya mereka. Namun permintaan itu dijawab, sebagai ilmuwan mereka tidak dapat mengubah pandangan tanpa bukti-bukti baru. Angkatan Darat pun lantas mengirim bahan-bahan asli tentang G30S yang banyak diambil dari sidang Mahmilub ke Cornell University. Hanya saja sebelum seluruh bahan aman tersimpan di Cornell, situasi politik berubah, Ali Murtopo kehilangan jabatannya. Pemerintah RI sepertinya berupaya agar bahan-bahan itu dapat mengubah kesimpulan dari White Paper. Upaya Badan Koordinasi Intelijen Negara rupanya tetap tak mengubah kesimpulan White Paper. Terbukti, A Preliminary Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia, Interim Report Series, Cornell University, New York, 1971, terbit untuk umum dan tetap dengan kesimpulan yang sama. Para penulis White Paper sampai sekarang tidak pernah memulai proyek baru kaitan G30S. Pemerintah Indonesia selanjutnya menerbitkan status persona non grata bagi penulis White Paper sejak April 1972. Persona non grata adalah sebuah istilah bahasa Latin yang dipakai 2
dalam kancah politik dan diplomasi internasional. Makna harfiahnya adalah orang yang tiak diinginkan. Orang-orang yang di-persona non grata biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau negara. Apabila sudah berada di negara tersebut, maka ia harus diusir/dideportasi. Namun yang cukup aneh, kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo dalam studinya Palu Arit di Ladang Tebu (2000), meski timbul ketengan antara Pemerintah Indonesia dengan Cornell University, berbagai bahan tak ternilai harganya secara resmi dibawa dan disimpan di Cornell. Tak selesai sampai di situ, pada tahun 1975 Pemerintah Orde Baru mengutuskan sekelompok akademisi untuk mempelajari dan menanggapi karya-karya asing tentang kudeta tersebut, dan dimintai pendapatnya apakah perlu membuat buku putih yang lebih ditujukan terhadap White Paper. Kelompok ilmuwan ini menyimpulkan tidak ada gunanya menerbitkan buku putih sebagai tandingan White Paper. Tim tersebut merekomendasikan buku putih Nugroho Notosusanto-Ismail Saleh sudah mencukupi sebagai versi resmi. Penerbitan buku putih yang baru, menurut tim akademisi itu, hanya akan menimbulkan perdebatan yang tidak perlu. Meski ilmuwan di Tanah Air menyarankan agar pemerintah tidak menerbitkan buku putih, namun Sekretariat Negara tetap menerbitkan buku putih pada tahun 1994, dengan judul Gerakan 30 September, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Buku ini tidak menyajikan fakta baru, lebih terlihat sebagai penyederhanaan karya Nugroho Notosusanto, dan disajikan untuk pembaca umum. * * * White Paper bukanlah satu-satunya studi tentang G30S yang dilakukan peneliti asing. Terbuka luasnya studi dan perdebatan mengenai Peristiwa G30S/1965 di luar negeri, dapat kita baca ungkapan Rex Mortimer, profesor dalam bidang studi politik di University of Papua and New Guinea dalam Indonesian Communism Under Soekarno, Cornell University Press, 1974, sebagai berikut: Di luar Indonesia muncul perdebatan hangat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam kudeta tersebut, khususnya terkait peran PKI di dalamnya. Meskipun beberapa penulis menyatakan kalau kudeta disebabkan ambisi para jenderal itu sendiri di tubuh pemerintahan, dan beberapa penulis lagi menambahkan kalau ambisi ini didukung oleh PKI, namun semua penulis umumnya ragu akan fakta yang diusaikan pemerintahan baru di Indonesia terkait keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September. 3
Bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, merupakan kesempatan emas untuk bisa mempelajari komunisme dan PKI. Hermawan Sulistiyo yang pada tahun 1986 berkesempatan melanjutkan studi di Ohio University, Amerika Serikat, dalam kata pengantar buku Palu Arit di Ladang Tebu (2000) berkisah, Perpustakaan Alden Library di universitas tersebut memberi peluang kepada saya untuk mempeajari sejarah PKI dan komunisme hampir tanpa batas. Kendati demikian, banyak di antara studi-studi seperti White Paper dan The Army and Politics karya Harold Crouch, karena iklim hukum, politik, dan situasi sosial yang tidak mendukung kesusahan masuk ke Indonesia hingga beberapa tahun pascarobohnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Sejak terbitnya TAP MPRS XXV/1966, mempelajari komunisme dan PKI dilarang kecuali untuk kepentingan studi, yang ini akan diatur dengan undang-undang. Tetapi undang-undang dimaksud tidak pernah terbit sampai sekarang. Hanya ada satu dinas yang berhubungan dengan komunisme yakni Dinas Penelitian dan Pengembangan Masalah-Masalah Komunis pada Departemen Hankam. Tanpa seizin dinas ini, studi-studi berkenaan komunisme dan PKI dilarang. Baru setelah Orde Baru tumbang, meski TAP MPRS XXV/1966 tak pernah dicabut, studi-studi mengenai sejarah Indonesia periode 1965-1966 dan komunisme mulai hadir di tengah-tengah masyarakat. Pun tidak sembarang buku boleh hadir di tengah-tengah masyarakat, sebab pelarangan-pelarangan terhadap buku tertentu oleh pemerintah, kadang pembubaran diskusi mengenai Marxisme yang dilakukan ormas dan/atau polisi masih terjadi di era reformasi. Misalnya, tahun 2009 Kejaksaan Agung membredel buku Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, profesor di University of British Columbia (UBC), Vancouver, Canada. Pada tahun itu ada juga pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Belakangan Mahkamah Konstutusi melalui keputusan tanggal 13 Oktober 2010 mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan inkonstitusional dan oleh karenanya tidak berlaku lagi. Adapun studi-studi terkait G30S buku-buku yang hadir di tengah masyarakat di Tanah Air maupun di luar negeri sekarang ini, menurut Hermawan Sulistyo dan Asvi Marwan Adam (yang juga sejarawan LIPI), ada versi-versi pelaku, yakni (1) versi resmi atau versi buku putih, (2) versi White Paper dan studi-studi lanjutan yang mengikuti kecenderungan ini, (3) tesis bahwa Soekarno sendiri yang menyusun skenario G30S (Anthony Dake), yang kelemahan studi ini ditunjukkan Harold Crouch secara meyakinkan, (4) spekulasi peran Soeharto di balik G30S (WF Wertheim), (5) CIA/Pemerintah Amerika Serikat (Peter Dale Scott, G Robinson, Coen Holtzappel, Kathy Kadane), (6) rencana Inggris yang sejalan 4
dengan skenario CIA (JohnHuges, Antonie Dake), (7) dugaan keterlibatan China Komunis (laporan Marshall Green), dan (8) versi yang menyebut tidak ada pelaku tunggal (Nawaksara dan Manai Sophiaan). Di luar studi-studi itu, belakangan juga muncul buku kesaksian Soendrio (2001) dan DeTAK Files-nya Eros Djarot dkk (2006) yang mendukung kecurigaan terhadap peran Soeharto di balik G30S. Ada pula versi yang menyebut adanya keterlibatan permainan Cekoslowakia (salah satu negara bagian Uni Soviet waktu itu), yang ditulis TH Bambang Murtianto dkk (2011). Hadirnya studi-studi mengenai Peristiwa G30S di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, semestinya akan memberi gambaran baru serta lebih luas tentang peristiwa itu. Bagi sebagian orang hadirnya studi-studi yang terlambat masuk ke Tanah Air ini disambut gembira, sebagian lainnya resah tapi diam saja, sebagian gelisah dan bereaksi, ada juga yang tidak peduli karena terlanjur menganggap buku putih adalah kitab suci dan satu-satunya kebenarannya dan tidak perlu diperdebatkan tetapi cukup diyakini, sebagian tahu keberadaannya tetapi cuek, serta sebagian lainnya lagi barangkali sama sekali tidak tahu akan kehadirannya. (*) 5