BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGALIHAN BARANG GADAI KEPADA PIHAK KETIGA DI DESA KLOPOSEPULUH KABUPATEN SIDOARJO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB II PENGALIHAN BARANG GADAI KEPADA PIHAK KETIGA DALAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI KTP SEBAGAI JAMINAN HUTANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB IV PEMANFAATAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT DESA SANDINGROWO DILIHAT DARI PENDAPAT FATWA MUI DAN KITAB FATH}UL MU I<N

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN, PERBEDAAN, DAN AKIBAT HUKUM ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA DALAM MENGATUR OBJEK JAMINAN GADAI

BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

BAB IV ANALISIS TERHADAP MEKANISME PEMBIAYAAN EMAS DENGAN AKAD RAHN DI BNI SYARIAH BUKIT DARMO BOULEVARD CABANG SURABAYA

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang. memberikan pelayanan terhadap konsumen yang merasa dirugikan, maka dalam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI QARD} UNTUK USAHA TAMBAK IKAN DI DESA SEGORO TAMBAK KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

BAB VI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI GADAI SAWAH DI DESA MORBATOH KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

Solution Rungkut Pesantren Surabaya Perspektif Hukum Islam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGULANGAN PEKERJAAN BORONGAN PEMBUATAN TAS DI DESA KRIKILAN KECAMATAN DRIYOREJO KECAMATAN GRESIK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI HUTANG PUPUK DENGAN GABAH DI DESA PUCUK KECAMATAN DAWARBLANDONG KABUPATEN MOJOKERTO

BAB IV PRAKTIK UTANG-PIUTANG DI ACARA REMUH DI DESA KOMBANGAN KEC. GEGER BANGKALAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS SADD AH TERHADAP JUAL BELI KREDIT BAJU PADA PEDAGANG PERORANGAN DI DESA PATOMAN ROGOJAMPI BANYUWANGI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PINJAM MEMINJAM UANG DENGAN BERAS DI DESA SAMBONG GEDE MERAK URAK TUBAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI GANDA KENDARAAN BERMOTOR DI KELURAHAN PAGESANGAN KECAMATAN JAMBANGAN KOTA SURABAYA

BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN JATUH TEMPO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH AGAMA TENTANG PENAMBAHAN UANG SEWA TAMBAK DI DESA GISIK CEMANDI KEC. SEDATI KAB.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DENGAN SISTEM KELOMPOK DI BMT KUBE SEJAHTERA KRIAN SIDOARJO

BAB II MEKANISME GADAI SYARIAH (RAHN) harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM JUAL BELI IKAN DENGAN PERANTAR PIHAK KEDUA DI DESA DINOYO KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV. Sejalan dengan tujuan dari berdirinya Pegadaian Syariah yang berkomitmen

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGEMBALIAN SISA PEMBAYARAN DI KOBER MIE SETAN SEMOLOWARU

BAB IV ANALISIS PENERAPAN BIAYA IJARAH DI PEGADAIAN SYARIAH SIDOKARE SIDOARJO MENURUT PRINSIP NILAI EKONOMI ISLAM

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

BAB IV ANALISIS DATA. A. Proses Akad yang Terjadi Dalam Praktik Penukaran Uang Baru Menjelang Hari Raya Idul Fitri

BAB I PENDAHULUAN. Melakukan kegiatan ekonomi dan bermuamalah merupakan tabi at. manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan kegiatan

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM. etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan. 1

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP SIMPAN PINJAM BERGULIR PADA P2KP (PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI SAWAH DIDESA UNDAAN LOR KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN DEMAK

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang Dengan Jaminan. bab sebelumnya, bahwa praktek utang piutang dengan jaminan barang

BAB IV ANALISIS FATWA DSN-MUI NOMOR 25/III/2002 TERHADAP PENETAPAN UJRAH DALAM AKAD RAHN DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM. A. Pengertian Gadai Dalam fiqih muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn

Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah ISSN:

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN HARGA

utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD QARD\\} AL-H\}ASAN BI AN-NAZ AR DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Dari

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBULATAN TIMBANGAN PADA PT. TIKI JALUR NUGRAHA EKAKURIR DI JALAN KARIMUN JAWA SURABAYA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PEMANFAATAN BARANG TITIPAN. A. Analisis Praktik Pemanfaatan Barang Titipan di Kelurahan Kapasari

Rahn - Lanjutan. Landasan Hukum Al Qur an. Al Hadits

BAB IV ANALISIS TERHADAP HUKUM JUAL BELI CABE TANPA KESEPAKATAN HARGA

BAB IV KONSEP SAKIT. A. Ayat-ayat al-qur`an. 1. QS. Al-Baqarah [2]:

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Keutamaan Akrab Dengan Al Qur an

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI CEGATAN DI DESA GUNUNGPATI KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG

MURA<BAH{AH BIL WAKA<LAH DENGAN PENERAPAN KWITANSI

BAB IV GADAI TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI DAN PEMANFAATANNYA OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO KABUPATEN TUBAN

BAB I PENDAHULUAN. berpedoman penuh pada Al-Qur an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH AGAMA ISLAM TENTANG SEWA POHON MANGGA

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA JIKA DIKAITKAN DENGAN PEMAHAMAN PARA PELAKU

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI IJĀRAH JASA SIMPAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG BLAURAN SURABAYA

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA- MENYEWA TANAH FASUM DI PERUMAHAN TNI AL DESA SUGIHWARAS CANDI SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN UPAH DENGAN KULIT HEWAN KURBAN DI DESA JREBENG KIDUL KECAMATAN WONOASIH KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG DALAM BENTUK UANG DAN PUPUK DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PENETAPAN HARGA PADA JUAL BELI AIR SUMUR DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLAIM ASURANSI DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH

BAB IV ANALISIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI QARD} BERAGUN EMAS DI BANK BRI SYARIAH KANTOR CABANG (KC) SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Salah satu aspek

BAB IV ANALISIS AKAD IJA>RAH TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DENGAN PJTKI DI PT. AMRI MARGATAMA CABANG PONOROGO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI IKAN TANGKAPAN NELAYAN OLEH PEMILIK PERAHU DI DESA SEGORO TAMBAK KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV PENERAPAN AKAD BAYʽ BITHAMAN AJIL DALAM PENINGKATAN KEUNTUNGAN USAHA DI KOPONTREN NURUL HUDA BANYUATES SAMPANG MADURA

Sunnah menurut bahasa berarti: Sunnah menurut istilah: Ahli Hadis: Ahli Fiqh:

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 4 Tahun 2003 Tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANA DEPOSITO DI BNI SYARI AH CAB. SURABAYA

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Praktek Pinjam Pakai Sepeda Motor

KAIDAH FIQH. Yang Ikut Itu Hukumnya Sekedar Mengikuti. حفظو هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Publication: 1437 H_2016 M

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK BISNIS JUAL BELI DATABASE PIN KONVEKSI. A. Analisis Praktik Bisnis Jual Beli Database Pin Konveksi

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK MERTELU LAHAN PERTANIAN CABAI MERAH DI DESA SARIMULYO KECAMATAN CLURING KABUPATEN BANYUWANGI

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI ALAT TERAPI DI PASAR BABAT KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN KODE UNIK DALAM JUAL BELI ONLINE DI TOKOPEDIA. A. Analisis Status Hukum Kode Unik di Tokopedia

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KERJASAMA BUDIDAYA LELE ANTARA PETANI DAN PEMASOK BIBIT DI DESA TAWANGREJO KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI HANDPHONE (HP) SERVIS YANG TIDAK DIAMBIL OLEH PEMILIKNYA

KAIDAH FIQH. Perubahan Sebab Kepemilikan Seperti Perubahan Sebuah Benda. حفظو هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HUTANG PIUTANG PETANI TAMBAK KEPADA TENGKULAK DI DUSUN PUTAT DESA WEDUNI KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. wawancara kepada para responden dan informan, maka diperoleh 4 (empat) kasus

BAB IV ANALISIS PRAKTIK PENYITAAN BARANG AKIBAT HUTANG PIUTANG YANG TIDAK DITULISKAN DI DESA BERAN KECAMATAN NGAWI KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. ingin tahu, Man is corious animal. Dengan keistimewaan ini, manusia dengan

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB I PENDAHULUAN. berupa uang atau barang yang akan dibayarkan diwaktu lain sesuai dengan

PEMIKIRAN ULAMA HANA>FIYAH TENTANG PEMANFAATAN BARANG GADAI Mahmudi

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

BAB IV ANALISIS LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGUPAHAN DI DESA SUMBERREJO KECAMATAN WONOAYU KABUPATEN SIDOARJO. Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo

Bagi YANG BERHUTANG. Publication: 1434 H_2013 M. Download > 600 ebook Islam di PETUNJUK RASULULLAH

Transkripsi:

67 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGALIHAN BARANG GADAI KEPADA PIHAK KETIGA DI DESA KLOPOSEPULUH KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Pengalihan Barang Gadai Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan hasil penelitian dalam bab III, bahwa praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kloposepuluh Kabupaten Sidoarjo belatar belakang karena adanya keterbatasan kemampuan dan persediaan yang mereka miliki terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi seketika itu. Agar kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi seketika itu, cara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Desa Kloposepuluh adalah dengan meminta bantuan dari orang lain. Dalam hal ini adalah bantuan uang. Bantuan tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi (dibebankan) pada mereka, yakni dengan menyerahkan suatu barang yang bernilai sebagai jaminan kepercayaan atas sejumlah uang yang dipinjamkan padanya, sekaligus memberikan kekuasaan (ijin) pada orang yang berpiutang bahwa barang tersebut selama tenggang waktu yang diperjanjikan boleh dipakai dan dimanfaatkan seperti barangnya sendiri. 67

68 Kenyataan ini, dapat dilihat dari sudut pandang Hukum Islam sendiri (al- Qur an, hadits, dan ijma ) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut hukum Islam permasalahan tersebut, dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 283 : Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermualah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya 1 Dalam hadis ل ق ب يل ح د ث ن ا م س د د ح د ث ن ا ع ب د ال و اح د ح د ث ن ا ا ل ع م ش ق ال ت ذ اك ر ن ا ع ن د إ ب ر اه يم الر ه ن و ا ف الس ل ف ف ق ال إ ب ر اه يم ح د ث ن ا ا ل س و د ع ن ع ائ ش ة ر ض ي الل ه ع ن ه ا أ ن الن ي ب ص ل ى الل ه ع ل ي ه و س ل م اش ت ر ى م ن ي ه ود ي ط ع ام ا إ ل أ ج ل و ر ه ن ه د ر ع ه Artinya: Dari Aisyah ra. Bahwasannya Rasullah saw. Membeli makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan (HR al-bukhari). 2 1 Depag, Al-Qur an dan Terjemahanya, 71. 2 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, 115.

69 Dalam hukum Islam, suatu perjanjian dianggap sah dan berlaku serta mengikat antara keduanya apabila sudah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun dalam perjanjian adalah, sebagai berikut: 1. Sighat (lafal ijab dan qobul). 2. Orang yang berakad. 3. Harta yang dijadikan agunan. 4. Hutang (marhun bih). 3 Sedangkan mengenai syarat-syarat dalam perjanjian, menurut ulama fiqh sesuai dengan rukum dan perjanjian itu sendiri, yaitu: a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan untuk bertindak hukum menurut ulama adalah baligh dan berakal. b. Syarat sighat (lafal), Menurut Ulama Syafi iyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa akad tersebut tidak boleh disyaratkan dengan hal tertentu, kecuali apabila syarat tersebut syarat yang mendukung kelancaran akad. c. Syarat al-marhun bih (hutang), Hutang haruslah jelas dan tertentu, hutang itu boleh dilunasi dengan barang jaminan, wajib dikembalikan pada orang yang menghutangkan. 3 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 254.

70 d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan). Menurut pakar fiqh, adalah barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang. Barang tersebut bernilai, milik orang yang berhutang, barang tersebut merupakan barang yang tidak terpisah dan barang tersebut dapat diserahkan. 4 Dengan demikian perjanjian hutang-piutang yang terjadi didaerah penelitian ini telah terjadi penyimpangan dari pendapat jumhur ulama. Hal ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa pemilik gadai tidak boleh mengalihkan barang gadai, tanpa seidzin pemegang gadai. Begitu pula pemegang gadai tidak boleh menyewakan barang gadai gadai kepada pihak ketiga tanpa seidzin pemilik gadai. Pendapat ini senada dengan Ulama Hanabilah, sebab pada dasarnya manfaat yang ada pada barang jaminan merupakan bagian rahn. Sedangkan Ulama Malikiyah berpendapat, apabila pemegang gadai mengijinkan pada pemilik gadai untuk memanfaatkan barang jaminan, maka akad menjadi batal. Adapun pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadai jika tidak terlalu lama, itupun atas seidzin pemilik gadai. Sebagian Ulama Malikiyah berpendapat, jika pemegang gadai terlalu lama memakai barang jaminan, ia 1997), 159. 4 Mulis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,

71 harus membayarnya. Pendapat lain harus membayar, kecuali pemilik gadai mengetahui dan tidak mempermasalahkannya. Sedangkan Ulama Syafi iyah berpendapat bahwa pemilik gadai dibolehkan memanfaatkan barang gadai dengan cara barang tersebut disewakan kembali kepada pihak lain tanpa seijin pemegang gadai, tetapi pemilik gadai tidak diperbolehkan menghilangkan atau mengurangi nilai dari barang yang digadaikan tersebut. Apabila dalam pemanfataan barang gadai bisa berkurang, maka harus ada ijin pemegang gadai. 5 Sedangkan dalam Hukum Perdata (sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320), untuk sahnya suatu perjanjian, maka harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri. Maksudnya bahwa kedua belah pihak mengadakan perjanjian mempunyai, kemauan bebas tanpa ada paksaan dari pihak lain untuk mengikat diri. 6 2. Kecakapan untuk bertindak sesuatu. Maksudnya antara kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak. Jadi telah berumur 21 tahun atau kawin terlebih dahulu sebelum berumur 21 tahun. 7 3. Mengenai suatu hal tertentu. Maksudnya, barang yang dijadikan jaminan harus jelas dan tertentu. 5 Rachmat Syafe I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 172-173. 6 Muhammad Musadi, Hukum Perikatan Dalam Undang-Undang Hukum Perdata,19. 7 Ibid., 21.

72 4. Mengenai suatu sebab yang yang sah dan halal. Maksudya adalah setiap suatu perjanjian harus mempunyai sebab dan tujuan. Sedangkan sebab dan tujuan dari perjanjian tersebut harus sah dan halal menurut undangundang. Dari beberapa persyaratan sebagaimana dijelaskan diatas jika dihubungkan dengan praktik gadai yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh, sudah memenuhi persyaratan, karena praktik gadai yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh lahir dari adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dan masing-masing yang mengadakan perjanjian cukup untuk bertindak menurut hukum. Dengan demikian perjanjian yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh, menurut Hukum Perdata adalah boleh. Sedangkan untuk sahnya barang yang dijadikan jaminan menurut hukum Islam,harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Barang tersebut sudah tersedia. 2. Untuk hutang yang jelas. 8 Selain itu, syarat-syarat menurut pakar fiqh adalah: 1. Barang tersebut dapat dijual dan nilainya seimbang dengan hutang. 2. Barang jaminan bernilai dan dapat dimanfaatkan. 8 Imam Taqyudin Abi Bakar Muhammad al-khusaini, Kifayah al Akhyar, terj. Abul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 143.

73 3. Barang jaminan jelas dan tertentu. 4. Barang jaminan milik sah dari yang berhutang. 5. Barang jaminan tidak terkait dengan hak orang lain. 6. Barang jaminan merupakan harta yang utuh dan tidak terpisah. 7. Barang jaminan dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya. Menurut penjelasan diatas, mengenai syarat-syarat barang jaminan, tidak ditentukan jenisnya, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak, tetapi barang jaminan harus merupakan barang yang berwujud, untuk barang yang jelas dan bernilai, nilainya harus seimbang dengan hutang, jelas dan tertentu. Mengingat benda bergerak yang dijadikan jaminan (misalnya: sepeda motor, mobil, dll) dalam praktik gadai di Desa Kloposepuluh merupakan benda yang berwujud, jelas dan bernilai serta dapat dijual. Berdasarkan hukum Perdata, mengenai gadai diatur dalam Pasal 1150 BW. (mengenai barang bergerak) dan Pasal 1162 BW (mengenai barangbarang yang tidak bergerak). Sedangkan mengenai syarat-syarat barang yang dijadikan jaminan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: 1. Barang tersebut dapat diperjualbelikan (bernilai). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1332 BW yang berbunyi bahwa barang-barang yang dapat di perdagangkan saja yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.

74 2. Barang tersebut harus tertentu dalam pasal 1333 BW, menjelaskan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok sebagai barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. 3. Barang tersebut dapat dikuasai. Dari syarat-syarat diatas, jelaslah telah memenuhi aturan-aturan dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata mengenai syarat barang yang digadaikan harus bernilai, dapat dikuasai tertentu. Mengingat barang tersebut merupakan barang yang bernilai, tertentu jenisnya dan sekaligus merupakan barang yang dapat dikuasai, maka logis dalam hukum Perdata dapat dijadikan barang jaminan atau agunan. Dengan demikian, menurut hukum Islam dan hukum Perdata, bahwa barang jaminan berupa benda bergerak sebagai obyek dari perjanjian yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh diperbolehkan. Sedangkan mengenai batas waktu atau hapusnya gadai, sebagaimana yang dijelaskan diatas, bahwa batas waktu dalam praktik gadai yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh, berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Batas waktu ada yang satu sampai dua bulan, ada yang satu sampai lima bulan bahkan ada yang satu sampai delapan bulan. Semua batas-batas waktu di atas harus sesuai dengan kesepakatan ketika akad tersebut diadakan. Batas waktu tersebut merupakan batas waktu yang memaksa, artinya jika selama dalam batas waktu yang diperjanjikan, pemberi

75 gadai tidak mampu (belum bisa) melunasi barangnya, maka penggadai harus merelakan barang yang digadaikan tersebut dijual sebagai ganti pembayaran atas sejumlah uang yang dipinjamnya. Batas waktu tersebut juga merupakan batas waktu dimana barang jaminan dapat disebut oleh pemilik barang jaminan, karena menurut kesepakatan walaupun pemberi gadai dalam pertengahan batas waktu (batas waktu belum habis) yang diperjanjikan sudah dapat melunasi hutangnya barang gadai tetap berada dalam kekuasaan pemegang gadai orang yang berpiutang. Selanjutnya menurut hukum Islam, mengenai permasalah tersebut di atas, dijelaskan bahwa, rahn dipandang hapus apabila: 1. Barang jaminan diserahkan pada pemiliknya. 2. Dipaksa menjual jaminan tersebut. 3. Pembebasan hutang. 4. Pembatalan ra>hin dari pihak murtahin. 5. Ra>hin meninggal. 6. Barang jaminan tersebut rusak. 7. Barang jaminan tersebut dijadikan hadiah, hibah, sedekah dan lain-lain atas seijin pemiliknya. 9 Dengan demikian, praktik gadai didaerah penelitian dalam praktiknya tidak relevan dengan hukum Islam. Hukum Islam memandang bahwa gadai 9 Rachmat Syafe I, Fiqh Muamalah, 179.

76 hapus apabila hutang sudah dilunasi sedangkan praktik di Desa Kloposepuluh dijelaskan bahwa gadai, gadai dianggap hapus apabila batas waktu yang diperjanjikan sudah habis. Dalam hukum Islam juga mensyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian yang salah satunya adalah syarat sighat (lafal ijab dan qobul). 10 Syarat sighat merupakan syarat yang mutlak yang harus dipenuhi dalam akad perjanjian. Dan sah tidaknya akad perjanjian tergantung pada syarat sighat tersebut. Dengan demikian, hapusnya gadai didaerah penelitian dianggap sah, karena praktik gadai yang dilakukan di Desa Kloposepuluh terjadi karena adanya suatu perjanjian atas dasar suka rela. Sebagaimana kaidah fiqh : ف ا ل صل ر ال ع ق د د دي ن و ن ت ي جت ه م اا ل ت ز مه الت عاق ضا ت عاق ال Artinya : hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan hasilnya apa yang saling ditentukan dalam akad tersebut. 11 Jadi kerelaanlah yang menjadi syarat mutlak bagi setiap transaksi atau akad perjanjian. Hal ini dijelaskan dalam kaidah fiqh : ضا ب ال ش ي ئ الر ر ضا ب ا ي ت ول د م ن ه ز 254 Muamalah, 10 Nasrun, Fiqh 11 Mulish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 184.

77 Artinya : kerelaan terhadap sesuatu adalah kerelaan juga terhadap apa-apa yang mengikutinya. 12 Sedangkan menurut hukum Perdata penghapusan gadai terjadi apabila : 1. Hutang beserta bunga dan biaya telah dilunasi. Menurut Pasal 1160 ayat 1 BW. Bahwa gadai tidak dapat dibagi-bagi. Maksudnya adalah sebagian hak gadai itu tidak dihapus karena sebagian sudah dibayar sebagai hutangnya, hak gadai tetap pada keseluruhan barang jaminan. 2. Barang yang dijadikan jaminan keluar dari kekuasaan pemegang gadai. 13 Dalam masalah perjanjian dalam hukum Perdata, dalam prosesnya diserahkan pada para pihak yang mengadakan perjanjian demi kelancaran akad perjanjian tersebut, karena sistem dimuat dalam buku III BW. (yang mengatur tentang hukum perikatan) adalah sistem terbuka, yang maksudnya adalah orang yang dapat mengadakan verbintenis atau mengadakan perjanjian apapun juga yang diatur dalam Undang-Undang (yang terdapat dalam buku III dan WvK) maupun yang sama sekali belum ada peraturannya. 14 Ketentuan ini disyaratkan dengan berbagai syarat antara lain: 1. Tidak dilarang oleh Undang-Undang. 12 Ibid., 159. 13 Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam II, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), 348. 14 Muhanan Musadi, Hukum Perikatan Menurut Undang-Undang Perdata, 23.

78 2. Tidak bertentangan dengan kesusilaan. 3. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 15 Sebagaimana dijelaskan dijelaskan pada pasal 1152 ayat 3. Pada prinsipnya penghapusan gadai menurut hukum Perdata sebagaimana dijelaskan diatas, identik dengan ketentuan hapusnya gadai menurut hukum Islam, yakni sama-sama menekan bahwa dihapusnya gadai apabila hutang sudah dilunasi dan barang yang dijadikan jaminan keluar dari kekuasaan orang yang berpiutang. Dengan demikian dasarnya praktik gadai di daerah penelitian, menurut hukum Perdata sudah dianggap hapus, tetapi dalam praktiknya di daerah penelitian, bahwa dengan dilunasinya hutang masa penggadaian masih berlaku tidak serta merta dianggap hapus (lunas). Namun demikian bukan berarti tidak sah menurut hukum Perdata, karena dalam buku III BW, sistem yang dianut adalah sistem terbuka yang maksudnya bahwa seseorang dapat secara bebas mengadakan suatu perjanjian apapun, baik yang sudah diatur dalam Undang-Undang maupun yang sama sekali belum diatur oleh Undang-Undang yang maksudnya sebagaimana dijelaskan diatas dengan demikian permasalahan tersebut (hapusnya gadai) yang dipraktikkan masyarakat Desa Kloposepuluh menurut hukum Perdata adalah boleh. Sedangkan mengenai penjualan barang gadai, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa dalam praktik gadai yang dilakukan masyarakat 15 Ibid., 18.

79 Desa Kloposepuluh, mengenai penjualan barang gadai sebagai pengganti pembayaran jarang terjadi, karena jika dalam batas waktu yang sudah ditentukan, pemilik gadai tidak dapat melunasi hutangnya, biasanya digunakan pembaharuan perjanjian dengan memperpanjang batas waktu atau pemegang gadai memberikan dispensasi waktu. Penjualan barang gadai yang sering terjadi di daerah penelitian ketika sudah diberi kelonggaran (dispensasi) waktu tetapi pemilik gadai tetapi tidak dapat melunasi hutangnya, maka jalan penyelesaiannya adalah dengan menjual barang tersebut. Penjualan barang tidak melalui pelelangan melainkan menurut kesepakatan kedua belah pihak menurut kebiasaan yang sering terjadi. Misalnya: penjualan barang gadaian kepada pemegang gadai. Keadaan demikian bila ditinjau dari hukum Islam dan hukum Perdata, maka tidak bisa dipisahkan dari syarat-syarat yang dijelaskan dalam hukum Islam dan hukum Perdata. Dalam hukum Islam, dijelaskan bahwa penjualan barang gadai hendaklah melalui hakim dan hakim berhak memaksa orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya atau memaksa menjual barang jaminan. 16 Proses penjualan di muka hakim bisa dilakukan oleh masyarakat Desa Kloposepuluh kepada pemegang gadai tidak menyalahi aturan sebagaimana 16 Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah, 144.

80 yang dijelaskan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, maka hukumnya adalah boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah: كم ة ا ل عا دة م Artinya : adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum 17 Sedangkan dalam hukum Perdata mengenai penjualan barang gadaian, telah dijelaskan dalam Pasal 1156 BW. Yang berbunyi sebagai berikut: bagaimanapun, apabila si berhutang atau si pemberi gadai bercedera janji (wanprestasi), si berpiutang dapat menuntut di muka hakim supaya barang gadaianya dijual menurut cara yang ditentukkan oleh hakim untuk melunasi hutang beserta bunga dan biaya, atau hakim atas tuntutan orang yang berpiutang untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya. Dengan demikian, praktik penjualan barang gadai yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh adalah boleh. Keabsaan penjualan barang tersebut, selain dalam hukum Perdata tidak menentukan syarat-syarat tertentu dalam proses penjualan, jika karena sistem dari buku III BW, menganut sistem terbuka, yang memberikan suatu kebebasan terhadap pihakpihak yang menandakan suatu perikatan. 17 Mulish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 140.

81 Sedangkan mengenai praktik tentang pengalihan barang gadai, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab III, mengenai praktik gadai, dilakukan dalam masyarakat Desa Kloposepuluh, adalah dengan memberikan kekuasaan penuh pada pihak murtahin memegang gadai, untuk tidak memakai dan memanfaatkan barang gadai selama dalam kekuasaanya dan selama batas waktu yang diperjanjikan. Tetapi murtahin memanfaatkan barang jaminan tersebut dengan cara meyewakan pada orang lain, dan keuntungan dari hasil menyewakan tersebut sepenuhnya diambil oleh pihak murtahin. Keadaan demikian, bila dihubungkan dengan hukum Islam terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Ulama Syafi iyah berpendapat bahwa pihak murtahin yang tiada kuasa untuk mengambil manfaat barang gadai tersebut, pemilik gadailah yang berhak atas manfaat barang yang digadaikan karena dialah pemiliknya. 18 Menurut mereka, Hadits Nabi SAW yang berbunyi : ع ن أ ب ه ر ي ر ة ق ال ق ال ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ه و س ل م ال ظ ه ر ي ر ك ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا و ل ب ال د ر ي ش ر ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا و ع ل ى ال ذ ي ي ر ك ب و ي ش ر ب ن ف ق ت ه Artinya : Dari Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW bersabda: punggung binatang itu boleh dinaiki jika menjadi barang gadaian dan susu yang memancar boleh diminum apabila menjadi barang gadaian. 18 Rachmat Syafe i, Fiqh Muamalah, h. 173

82 Dan bagi orang yang menunggangi serta meminum (susunya) berkewajiban memberi nafkah (makan) (HR Ibnu Majah). 19 Mereka (Ulama Syafi iyah) berpendapat, apa yang dijelaskan pada hadits tersebut diatas, ditujukan pada pemilik gadai, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah. Dengan kewajibannya itu, maka dialah yang berhak atas manfaat barang yang digadaikan. 20 Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, pada dasarnya pemberi gadailah yang berhak memanfaatkan barang gadai, tetapi murtahin diperbolehkan memanfaatkan barang gadai tersebut dengan syarat : 1. Hutang tersebut karena jual beli bukan karena qiradh. 2. Disyaratkannya pada akad. 3. Diijinkan oleh pemilik gadai. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pihak murtahin tidak boleh memanfaatkanya dengan cara menyewakan kembali. Sebaliknya apabila ketiga syarat tersebut dipenuhi, bolehlah pihak pemegang gadai memanfaatkannya. Dengan memberikan persyaratan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya Ulama Malikiyah tidak memperbolehkan murtahin 19 Abu Abdullah Ibn Yazid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, h. 816 20 Chuzaimah T. Yanggo da Hafiz Anshari AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer, 65.

83 memanfaatkan barang yang digadaikan. Manfaat dan apa yang dihasilkan oleh barang gadaian adalah hak pemilik gadai. Mengenai hadis yang berbunyi: ع ن أ ب ه ر ي ر ة ق ال ق ال ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ه و س ل م ال ظ ه ر ي ر ك ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا ال د ر ي ش ر ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا و ع ل ى ال ذ ي ي ر ك ب و ي ش ر ب ن ف ق ت ه و ل ب Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW bersabda: punggung binatang itu boleh dinaiki jika menjadi barang gadaian dan susu yang memancar boleh diminum apabila menjadi barang gadaian. Dan bagi orang yang menunggangi serta meminum (susunya) berkewajiban memberi nafkah (makan) (HR Ibnu Majah). Menurut Ulama Malikiyah tidak dapat dijadikan hujjah diperbolehkannya pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian, karena tindakan demikian menyalahi qiyas dari dua segi yaitu : 1. Membolehkan memakai, menunggangi serta meminum air susu dari hewan yang bukan miliknya. 2. Pertanggungjawaban penerima gadai bukan diukur dengan hutang, melainkan dengan nafkah. 21 Menurut Ulama Hanabilah, pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadai apabila barang tersebut berupa hewan walaupun tanpa seizin dari 21 Chuzaimah T. Yanggo da Hafiz Anshari AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer, 67.

84 pemiliknya, seperti boleh mengendarai dan meminum air susunya, sekadar pengganti biaya perawatan dan pemeliharaan. Sedangkan mengenai barang gadai yang tidak ditunggangi, maka murtahin tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari barang tersebut. 22 Menurut Ulama Hanafiah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadaian apabila mendapat ijin dari pemilik gadai. Mereka menginterprestasikan hadis Nabi SAW yang berbunyi: ع ن أ ب ه ر ي ر ة ق ال ق ال ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ه و س ل م ال ظ ه ر ي ر ك ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا و ل ب ال د ر ي ش ر ب إ ذ ا ك ا ن م ر ه ون ا و ع ل ى ال ذ ي ي ر ك ب و ي ش ر ب ن ف ق ت ه Artinya : Dari Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW bersabda: punggung binatang itu boleh dinaiki jika menjadi barang gadaian dan susu yang memacar apabila menjadi barang gadaian. dan bagi orang yang menunggangi serta meminum (susunya) berkewajiban memberi nafkah (makan). (HR. Ibn Majah) 23 Bahwa kewajiban memberi nafkah sebagaimana yang dijelaskan pada hadits di atas ditujukan kepada pemegang gadai, karena barang yang digadaikan tersebut berada dalam kekuasaanya. Dengan berkewajiban memberi nafkah pada barang yang digadaikan., dengan begitu apa yang 22 Ibid., 69. 23 Abu Abdullah Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz III, 816.

85 dimaksud oleh menunggangi dan meminum air susunya sebagaimana dijelaskan pada hadis diatas, ditujukan pada pemegang gadai. 24 Dari beberapa pendapat ulama fiqh atas, yang lebih relevan dengan keadaan sosial sekarang adalah pendapat Ulama Hanabilah dan Ulama Hanafiyah, yang membolehkan pemegang gadai. Walaupun pada dasarnya pemberian ijin dari pihak pemberi gadai dianggap telah cacat, sebagaimana pendapat Ulama Syafi iyah (karena Ulama Syafi iyah berpendapat, dalam akad tidak boleh disyaratkan dengan syarat tertentu, kecuali syarat tersebut merupakan syarat pendukung kelancaran akad gadai). Namun demikian, bukan berarti syarat perjanjian tersebut batal, karena pada awal akad perjanjian sebelumnya sudah diperjanjikan, dan perjanjian tersebut atas dasar suka rela. Perjanjian atas dasar suka rela merupakan syarat sah dalam suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh : ف ا ل صل ر ال ع ق د د دي ن و ن ت ي جت ه م اا ل ت ز مه الت عاق ضا ت عاق ال Artinya : Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan hasilnya apa yang saling ditentukan dalam akad tersebut. 25 24 Chuzaimah T. Yanggo da Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, 73. 25 Ibid., 184.

86 Jadi kerelaanlah yang menjadi syarat mutlak bagi syarat mutlak bagi setiap transaksi atau akad perjanjian. Hal ini juga dijelaskan dalam kaidah fiqh, yaitu : ضا ب ال ش ي ئ الر ر ضا ب ا ي ت ول د م ن ه Artinya : kerelaan terhadap sesuatu berarti kerelaan juga terhadap apa-apa yang mengikutinya. 26 Apabila dilihat dari latarbelakang terjadinya praktik gadai yang dilakukan masyarakat Desa Kloposepuluh, sebagaimana dijelaskan di bab III, yaitu belatarbelakang dari adanya kebutuhan yang mendesak, yang tidak mungkin dipenuhi seketika itu, maka jalan yang ditempuh adalah dengan menggadaikan suatu barang demi mendapatkan sejumlah uang. Jalan ini mereka lakukan sesudah kesana kemari mencari pinjaman, namun tetap tidak membuahkan hasil. Seandainya dapat pinjaman, biasanya pinjaman tersebut disertai beban bunga (tambahan pembayaran), yang menurut hemat mereka lebih menyengsarakan sehingga jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah menggadaikan sesuatu barang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak tersebut. 26 Mulish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,159.

87 Dalam hukum Islam, suatu keterpaksaan dapat menarik suatu kemudahan. Sebagaimana firman Allah surat al-baqarah ayat 286 yang berbunyi: Artinya : Allah tidak memberikan beban pada seseorang kecuali dalam batas kesanggupannya.(qs. Al-Baqarah: 2. 286) Kaidah fiqh م ا ل ب الت يس ي ش قة ت ل Artinya : kesukaran itu dapat menarik kemudahan Dalam hukum Perdata untuk mendapatkan keuntungan dari barang yang digadaikan bukan melalui pemanfaatan dari barang tersebut melainkan dengan memberikan pembebanan bunga dan biaya perawatan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1156 dan 1157 ayat 2. Dengan demikian segala apa yang diatur dalam hukum Perdata, hanya mengenai bunga dan biaya perawatan, sedangkan mengenai pemgalihan atau pemanfaatan barang gadai tidak dijelaskan secara tegas.

88 Namun demikian, menurut Subekti, bahwa orang yang digadaikan tersebut dapat digadaikan lagi apabila sudah kebiasaan seperti menggadaikan surat-surat sero dan obligasi. 27 Dalam ha ini, H.F.A.Vollmer berpendapat bahwa, pada dasarnya sesuatu barang yang dijadikan jaminan dapat atau boleh diambil manfaatnya dengan ketentuan pemanfaatan tersebut atas persetujuan kedua belah pihak. 28 Jadi berdasarkan penjelasan Subekti dan Vollmer sebagaimana dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa barang gadai itu pada dasarnya masih dapat diambil manfaatnya. Dengan begitu hukum dari pengalihan barang gadai adalah boleh berdasarkan penjelasan diatas. Berdasarkan keterangan di atas, bila dibandingkan ar-rahn dalam hukum Islam dan gadai dalam KUH Perdata, maka dapat ditarik persamaan dan perbedaan sebagai berikut: Persamaannya antara lain: 1. Hak gadai dalam KUH Perdata atau rahn dalam hukum Islam berlaku atas pinjaman uang. 2. Adanya agunan sebagai jaminan hutang. 27 Subekti, Pokok-PokokHukum Perdata, 81. 28 H.F.A Volmer, Pengantar Studi Hukum Perdata, 326.

89 3. Tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, misalnya menggunakan mobil yang digadaikan untuk kepentingan pribadi atau bisnis. 4. Biaya (pajak) barang yang digadaikan ditanggung oleh debitur. 5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang. Perbedaan antara gadai dalam hukum perdata dengan rahn dalam hukum Islam sebagai berikut: 1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedangkan gadai, menurut hukum Perdata, di samping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui bunga atau sewa modal yang ditetapkan. 2. Dalam hukum Perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. 3. Dalam rahn menurut hukum Islam, tidak ada istilah bunga uang. Sedangkan dalam KUH Perdata ada istilah bunga uang. Gadai, menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Forum Pegadaian. Sedang rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

90 B. Analisis Latar Belakang Pengalihan Barang Gadai Sudah fitrahnya manusia, untuk mendapatkan keuntungan dari semua jeri payahnya. Manusia tidak mau dirugikan, sehingga segala biaya (dana) yang dikeluarkan diproyeksikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Keadaan untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mau dirugikan dalam setiap urusannya ini, juga berlaku di daerah penelitian,dimana dalam praktik gadai yang mereka lakukan, murtahin (pemegang gadai) dalam memberikan pinjaman pada ra>hin (pemilik gadai) identik dengan mendapatkan (keuntungan). Bukti nyata bahwa murtahin ingin mendapatkan keuntungan serta tidak mau dirugikan, dapat dilihat dari aspek yang melatar belakangi murtahin untuk sejumlah pinjaman pada ra>hin, yakni rahin membutuhkan sepeda motor, kekhawatiran murtahin mengenai sejumlah uang yang dipinjamkan tersebut tidak mendatangkan hasil, sebagaimana uang tersebut dioperasionalkan sendiri, dan adanya kekhawatiran apabila uang yang dipinjamkan tersebut berkurang nilainya disebabkan adanya inflasi, sehingga murtahin secara tidak langsung merasa dirugikan.

91 Firman Allah SWT. Al Baqarah ayat 278-279: Artinya: (278) hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. (279) maka jika kamu tidak mengerjakan (perintah itu) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosulnya akan memeranginya. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya. 29 Firman Allah SWT Al-Imran ayat 130: Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memkan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan. Firman Allah SWT ar Rum ayat 39: 29 Depag RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, 69-70.

92 Artinya: dan sesuatu riba yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka (sebenarnya) riba itu tidak menambah di sisi Allah Dari beberapa ayat diatas, pada intinya menjelaskan bahwa riba adalah haram (dilarang), baik riba berlipat ganda maupun riba yang ringan. Sedangkan riba ringan diharamkan karena untuk menutup pintu ke riba yang berlipat ganda. Dengan demikian, dapat ditarik suatu gambaran bahwa, ayatayat tersebut bersifat umum, mencangkup semua riba baik besar maupun kecil. Sehingga yang menjadi patokan adalah keumuman lafal nas dan bukan kekhususan sebab. Namun demikian, permasalahan riba masih merupakan wacana yang sampai sekarang masih diperselisihkan kedudukan hukumnya. Apakah riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda atau riba yang ringan. Atau kedua-duanya diharamkan?. Jumhur Fuqaha berpendapat, terdapat riba pada keduanya yakni riba yang berlipat ganda (nasi ah) dan riba fadl (ringan). 30 Sedangkan para intelek muslim berependapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipatganda, sedsngkan riba yang diperbolehkan demikian menurut Muhammad Abduh dan Mahmud Syaltut. 31 30 Chuzaimah T. Yanggo da Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, 337 31 Ibid., 39.

93 Sedangkan menurut hukum perdata, mengenai hal tersebut adalah boleh, karena dalam hukum perdata mengenai tambahan terhadap sejumlah pinjaman (bunga) adalah diperbolehkan, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 1763 BW yang berbunyi: adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaianya. Dari bunyi pasal 1763 BW sebagaimana diatas, mencantumkan mengenai bunga (tambahan pembayaran), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hukum Perdata melegalitaskan pengalihan brang gadai untuk dimanfaatkan dari sejumlah uang yang dipinjamkan.