1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan instrumen penting dalam membangun negara yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan tetapi perkembangan ekonomi tersebut haruslah dibarengi dengan perkembangan hukum, guna menjamin kepastian hukum agar tercipta perlindungan hak dan kewajiban. Perkembangan ekonomi mempunyai dampak yang luar biasa bagi setiap dimensi kehidupan manusia, baik sosial, hukum dan budaya. Perekonomian suatu negara yang maju dengan pesat menjadi kekuatan besar yang akhirnya menuntut adanya peran notaris dalam melengkapi perkembangan ekonomi tersebut. Transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat antara satu pihak dengan pihak yang lain tentu membutuhkan sebuah perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Oleh karena itulah peran Notaris dalam perkembangan ekonomi saat ini semakin dibutuhkan. Notaris sebagai pengemban kepercayaan yang telah diberikan oleh negara untuk menjalankan kewenangannya, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN). Kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum saat ini sangat krusial dan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap
2 elemen-elemen dalam masyarakat yang berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut haruslah memiliki parameter yang sama yaitu tercapainya kepastian hukum. 1 Hal ini tentulah yang diinginkan oleh setiap masyarakat agar tercipta keadilan bagi siapa saja yang ingin melakukan perbuatan hukum. Notaris merupakan jabatan yang telah diberikan kewenangan khusus yaitu memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan sebaik-baiknya berupa membuatkan akta sebagai bentuk kepastian hukum untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang berkepentingan. Kewenangan yang diberikan negara yang bisa disebut sebagai kewenangan atributif ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi pribadi yang memangku jabatan sebagai Notaris, karena tugas dan jabatan Notaris tidaklah gampang untuk dilaksanakan, karena seorang Notaris harus mentaati UUJN dan Kode Etik Notaris. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini. Kemudian kewenangan Notaris tersebut lebih diperjelas lagi dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN. Kewenangan Notaris merupakan kewenangan absolut yang tidak bisa dihindari dan tidak bisa dilalaikan, karena negara yang telah memberikan kewenangan itu melalui undang-undang. Merupakan sebuah kesalahan besar jika 1 Abdul Hakim G. Nusantara, 1998, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, hlm 70.
3 Notaris tidak melaksanakan kewenangan yang telah diberikan kepadanya atau Notaris menyalahi aturan yang sudah tercantum dalam UUJN. Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris tidak bisa dijalankan hanya dengan mengejar klien semata, tanpa dipagari oleh undang-undang. Banyak kewajiban yang harus dilakukan oleh Notaris seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UUJN dan juga ada banyak larangan yang harus dihindari Notaris agar tidak menyentuhnya seperti yang tercantum dalam Pasal 17 UUJN. Kewajiban dan larangan itu semata-semata adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap kemuliaan jabatan Notaris agar tidak rusak citranya. Seorang Notaris harus menjaga betul kemuliaan dan kehormatan jabatannya, karena jika tidak menjaga kehormatan dan kemuliaan jabatannya tersebut, maka akan berimplikasi pada jabatannya tersebut yaitu diberhentikan, baik diberhentikan sementara atau diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri. Seorang Notaris diangkat haruslah berdasarkan UUJN. Adapun mekanisme pengangkatan Notaris berdasarkan UUJN adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 3, yaitu: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. Sehat jasmani dan rohani; e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
4 f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 2. Mengucapkan sumpah menurut agama yang dianut di hadapan Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk. 3. Pengucapan sumpah paling lambat 2 (dua) bulan, terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris. Jika pengucapan sumpah tidak dilakukan, maka keputusan pengangkatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri. 4. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, maka wajib: a. Menjalankan jabatan dengan nyata; b. Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria pertanahan, Organisasi
5 Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati atau Walikota di tempat Notaris diangkat. Sebagai seorang Notaris yang telah diangkat oleh Menteri, tentulah. Notaris tersebut harus menjalankan tugas dan jabatannya dengan benar. Jika tugas dan jabatan itu dijalankan dengan tidak benar, maka akan dikenakan sanksi yang tegas kepada Notaris tersebut, salah satu sanksi yang diatur dalam UUJN adalah diberhentikannya Notaris tersebut dari jabatannya secara tidak hormat. Adapun salah satu hal yang bisa menyebabkan Notaris dikenakan sanksi berupa diberhentikan secara tidak hormat adalah karena pernyataan pailit. Pemberhentian Notaris secara tidak hormat tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf a UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberhentian Notaris secara tidak hormat merupakan sebuah perlakuan yang kurang sesuai dengan konsep kepailitan secara teoritis. Hukum kepailitan merupakan sebuah upaya hukum untuk melindungi kepentingan kreditur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU). Kepailitan itu tidak berlaku hanya untuk badan usaha saja, tapi orang perorangan pun juga bisa dinyatakan pailit. Terhadap orang perorangan itu baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah. Jika
6 permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada percampuran harta. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. 2 Pasal 1 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Salah satu akibat hukum dari kepailitan adalah mulai saat itu si debitur kehilangan hak atau kewenangannya untuk mengurus (daden van behoreen) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU bahwa debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Berdasarkan uraian di atas maka ditemukan ketidaksesuaian dalam konsep dari akibat hukum kepailitan. Dalam Pasal 12 huruf a UUJN disebutkan bahwa 2 M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan), Prenada Media Group, Jakarta, hlm 1.
7 Notaris yang sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka akan diberhentikan secara tidak hormat, sedangkan menurut Pasal 24 (1) UUKPKPU akibat hukum kepailitan itu adalah demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tentu menjadi hal yang sangat mengherankan bahwa begitu ampuhnya konsep akibat hukum kepailitan menurut UUJN bisa sampai memberhentikan seorang pejabat umum secara tidak hormat dan dianggap setara dengan penyebab lain seperti berada di bawah pengampuan secara terus menerus selama 3 (tiga) tahun, melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan dan melakukan tindak pidana setelah dijatuhi pidana penjara, sedangkan akibat hukum kepailitan menurut UUKPKPU tidaklah sampai sekeras itu hingga bisa memberhentikan seseorang dari jabatannya. Debitur pailit hanyalah tidak cakap dalam mengurus harta kekayaannya saja, sedangkan dalam hak-hak yang lain si debitur tetap cakap dalam melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini, Notaris yang dinyatakan pailit tersebut masih berhak dan tetap cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu menjalankan kewenangannya sebagai pejabat, akan tetapi UUJN mengatakan lain bahwa Notaris yang sudah dinyatakan pailit sudah gugur hak pribadinya, hak untuk menjalankan
8 tugas dan jabatannya sebagai Notaris dan hak untuk melakukan perbuatan hukum, karena secara logis jika Notaris yang dinyatakan pailit itu diberhentikan secara tidak hormat, maka dia dianggap tidak cakap sama sekali dalam menjalankan kewenangannya sebagai Notaris. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dalam bentuk penelitian dengan judul Tinjauan Terhadap Notaris Yang Diberhentikan Dari Jabatannya Secara Tidak Hormat Karena Pernyataan Pailit. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Apakah debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dalam lapangan harta kekayaan serta merta tidak cakap dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum? 2. Apakah debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dan diberhentikan secara tidak hormat bisa diangkat kembali menjadi Notaris?
9 C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, tidak ditemukan penelitian tentang tinjauan yuridis terhadap Notaris yang diberhentikan dari jabatannya karena kepailitan. Akan tetapi penulis menemukan penelitian yang berkaitan dengan sanksi Notaris dan kepailitan, yaitu: 1. Amelia Merdeka Sari 3, Sanksi terhadap Notaris terkait dengan pelanggaran kode etik di wilayah Kota Bengkulu, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Permasalahan: a. Bentuk-bentuk pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh Notaris terkait dengan kode etik Notaris di wilayah Kota Bengkulu? b. Sanksi apa sajakah yang dijatuhkan kepada Notaris terkait dengan pelanggaran kode etik Notaris di wilayah Kota Bengkulu? 2. Anita Zulifiani 4, Pembuktian kepailitan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Permasalahan: a. Bagaimanakah pembuktian perkara kepailitan sebelum dan sesudah berlakunya UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3 Amelia Merdeka Sari, 2010, Sanksi Terhadap Notaris Terkait Dengan Pelanggaran Kode Etik di Wilayah Kota Bengkulu, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada. 4 Anita Zulifiani, 2008, Pembuktian Kepailitan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada.
10 b. Apakah faktor penghambat upaya pembuktian perkara kepailitan dalam pengadilan niaga dan bagaimana solusinya? Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang tersebut di atas, maka penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis sekarang. Penulis sekarang meneliti tentang kecakapan debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dalam lapangan harta kekayaan di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum dan pengangkatan kembali debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dan diberhentikan secara tidak hormat menjadi Notaris. D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengkaji kecakapan debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dalam lapangan harta kekayaan di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum. 2. Untuk mengkaji pengangkatan kembali debitur (Notaris) yang dinyatakan pailit dan diberhentikan secara tidak hormat menjadi Notaris lagi. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam menambah pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut adalah :
11 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Perdata dan bidang Kenotariatan, khususnya mengenai Notaris yang diberhentikan dari jabatannya karena kepailitan. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat umum, khususnya Notaris maupun para professional lainnya dan juga para praktisi hukum serta mahasiswa. \