BAB II KONSEP PENAMBAHAN HUKUMAN MENURUT FIQH JINAYAH. Hukuman dalam bahasa Arab disebut uqūbāh.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. A. Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

BAB II PEMIDANAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA MENURUT PERMEN NO.M.2.PK.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB II PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN (PENCURIAN) MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM. A. Pengertian Pelanggaran Hak Pemegang Paten (Pencurian)

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM NOMOR :191/PID.B/2016/PN.PDG

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

KAIDAH FIQH. Sama saja antara orang yang merusak milik orang lain baik dengan sengaja, tidak tahu, ataupun lupa

A. Analisis Tentang Fenomena Pemasangan Identitas KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) pada Alat Peraga Kampanye PKB di Surabaya

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN TENTANG HUKUMAN AKIBAT CAROK MASAL (CONCURSUS) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM PIDANA DAN FIQH JINAYAH TERHADAP TINDAK KEJAHATAN PERDAGANGAN ORGAN TUBUH

Assalamu alaikum wr. wb.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PASAL 55 KUHP TERHADAP MENYURUH LAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BAB IV. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri. Pidana Hacker. Negeri Purwokerto No: 133/Pid.B/2012/PN.

BAB II MENURUT FIKIH JINAYAH

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang Penggelapan dalam Jabatan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANGKALAN NO.236/PID.B/2014/PN.BKL TENTANG PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

Tindak pidana perampasan kemerdekaan orang lain atas dasar. keduanya, diantaranya persamaan-persamaan itu adalah sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN

BAB III TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAPPERCOBAAN KEJAHATAN

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gambaran Peristiwa Tindak Pidana Pencurian Oleh Penderita

jina>yah atau jari>mah. Jina>yah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENENTUAN HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Hukum pidana adalah sistem aturan yang mengatur semua perbuatan

WELCOME MATA PELAJARAN : MADRASAH ALIYAH ASSHIDDIQIYAH FIQIH. Kelas : XI (Sebelas), Semster : Ganjil Tahun Pelajaran : 2012/2013

BAB II PENGAMPUNAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk tindak pidana pencurina uang negara,

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan kemaslahatan

BAB II KONSEP HUKUMAN PASCA PERDAMAIAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Hukuman dalam bahasa Arab disebut uqubah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF MENGENAI SANKSI PROSTITUSI ONLINE. A. Persamaan Sanksi Prostitusi Online Menurut Hukum Positif dan

BAB II PENGAMPUNAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang atau biasa disebut human trafficking 1 merupakan

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

KAIDAH FIQH PENGGABUNGAN HUKUMAN DAN KAFFAROH. Publication 1437 H_2016 M. Kaidah Fiqh Penggabungan HUKUMAN dan KAFFAROH

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.

BAB IV. Islam juga berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk da>r alsala>m

BAB IV ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PEMERIKSAAN TERSANGKA PENGIDAP GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

BAB V PENUTUP. sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat

Dalam memeriksa putusan pengadilan paling tidak harus berisikan. tentang isi dan sistematika putusan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu:

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG NO. 469 / PID.B / 2010 / PN. SMG. TENTANG PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB II KETENTUAN TENTANG JARIMAH DAN MALPRAKTEK MEDIS. Jarimah (tindak pidana) berasal dari kata ( م ) yang berarti

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa

BAB IV STUDI KOMPARATIF HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP MALPRAKTEK MEDIS

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

BAB III HUKUM PIDANA QISHASH. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jarimah

BAB II KETENTUAN TENTANG PENGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam

BAB IV. A. Penerapan Perda Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PADA JANIN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TENTANG PERJUDIAN TOGEL MELALUI MEDIA INTERNET

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 286

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB II KEALPAAN DAN KESENGAJAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM. 1. Pengertian Kealpaan Menurut Hukum Pidana Islam

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan

BAB II GABUNGAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

BAB II TURUT SERTA TINDAK PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM (AL-ISTIRAK FI AL-JARI>MAH)

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PN DEMAK No. 62/Pid.Sus/2014/PN Dmk DALAM KASUS TABRAKAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT MELALUI LAYANAN M-ZAKAT DI PKPU (POS KEADILAN PEDULI UMAT) SURABAYA

HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI HUTANG PUPUK DENGAN GABAH DI DESA PUCUK KECAMATAN DAWARBLANDONG KABUPATEN MOJOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

PEMBUNUHAN KARENA KELIRU (TIDAK DISENGAJA)

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DIBAWAH UMUR

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PEMBUNUHAN TERHADAP ANAK CACAT MENTAL OLEH AYAH KANDUNG DALAM PUTUSAN NOMOR 223/PID.B/2016/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HUTANG PIUTANG PETANI TAMBAK KEPADA TENGKULAK DI DUSUN PUTAT DESA WEDUNI KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB III ANALISIS. hukum positif dan hukum Islam, dalam bab ini akan dianalisis pandangan dari kedua

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB II PERBARENGAN TINDAK PIDANA ( CONCURSUS ) DALAM PERSPEKTIF FIKIH JINAYAH. A. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana ( Concursus )

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MALANG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN PENGANCAMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat ialah tentang kejahatan. Kejahatan adalah suatu

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB IV ANALISIS SADD AH TERHADAP JUAL BELI KREDIT BAJU PADA PEDAGANG PERORANGAN DI DESA PATOMAN ROGOJAMPI BANYUWANGI

BAB II TINDAK PIDANA PERCOBAAN PEMBUNUHAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA- MENYEWA TANAH FASUM DI PERUMAHAN TNI AL DESA SUGIHWARAS CANDI SIDOARJO

Transkripsi:

BAB II KONSEP PENAMBAHAN HUKUMAN MENURUT FIQH JINAYAH A. Sistem Hukuman dalam Fiqh Jinayah 1. Pengertian Hukuman Hukuman dalam bahasa Arab disebut uqūbāh. Lafaz uqūbāh ), خ ل ف ه و جا ء ب ع ق ب ه ( sinonimnya: ) yang ع ق ب ( kata: menurut bahasa berasal dari artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang hampir mirip dan mendekati pengertian istilah, lafaz ( خ ل ف ه و جا ء ب ع ق ب ه ), bisa diambil dari lafaz: ( ع ق ب ) yang sinonimnya: ( ج ز اه س و اء ب م ا ف ع ل ), artinya: membalasnya sesuatu dengan apa yang dilakukannya. 1 Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya. 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang- 1 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 136. 2 Ibid. 21

22 undang, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim dan hasil atau akibat yang mengakibatkan dia dihukum. 3 Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: ا ل ع ق و ب ة ه ى ال ج ز اء ال م ق ر ر ل م ص ل ح ة ال ج م اع ة ع ل ى ع ص ي ان أ م ر الش ار ع Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara. 4 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam pengertian lain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara. 5 Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia. Hukuman ditetapkan untuk memperbaiki individu, mayarakat dan menjaga ketertiban sosial. Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik Al-Qur an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta zīr. Selain itu hukuman harus bersifat pribadi, artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa: seseorang tidak 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 411. 4 Abdul Qadir Audah, AL-Tasyri Al-Jina iy Al-Islamiy, Juz 1, (Kairo: Maktabah Dar al-turas, 2005), 524. 5 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam: Fiqih Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 59.

23 menanggung dosanya orang lain. Hukuman juga harus bersifat umum, yaitu berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama dihadapan hukum. 6 2. Tujuan Hukuman Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukum dalam syariat Islam adalah sebagai berikut: 7 a. Pencegahan Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarīmah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarīmahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarīmah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarīmah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Sehingga kegunaan pencegahan adalah menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarīmah. Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan. Dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan yang pertama itu efeknya adalah untuk 6 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 25-26. 7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum, 137-139.

24 kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari perbuatan jarīmah maka masyarakat akan tenang, aman, tentram dan damai. Meskipun demikian, tujuan yang pertama juga terdapat efek terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarīmah maka pelaku akan selamat dan ia terhindar dari penderitaan akibat dari hukuman itu. b. Perbaikan dan Pendidikan Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarīmah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarīmah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian merupakan alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarīmah, karena seseorang sebelum melakukan suatu jarīmah, ia akan berpikir bahwa Tuhan pasti mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik perbuatannya itu diketahui oleh orang lain maupun tidak. Di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan kewajibannya. Hukuman atas diri pelaku adalah salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan pelaku yang telah melanggar

25 kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati korban. Dengan demikian akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. 8 3. Syarat-Syarat Hukuman Hukuman dapat diakui keberadaannya dengan tiga syarat. Syaratsyarat tersebut adalah sebagai berikut: 9 a. Hukuman harus ada dasarnya dari syara Hukum dianggap mempunyai dasar apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara, seperti Al-Qur an, al-sunnah, ijma, atau Undang- Undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang uli al-amri seperti dalam hukuman ta zīr. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh uli al-amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal. Dengan adanya persyaratan tersebut, maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan. Syariat Islam membagi hukuman menjadi tiga bagian, yaitu ḥudūd, qiṣāṣ, diyāt dan ta zīr. ḥudūd dan qiṣāṣ-diyāt merupakan hukumanhukuman yang telah ditentukan oleh syara dan tidak ada peluang bagi hakim untuk menguranginya, menambahnya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Misalnya pencurian, hukumannya adalah potong 8 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 257. 9 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana, 141-142.

26 tangan. Apabila tindak pidana telah dapat dibuktikan maka hakim tidak berwenang menghukum pencuri dengan hukuman lain selain hukuman potong tangan, kecuali ada alasan-alasan yang sah yang dapat menghalangi dan menggugurkannya, seperti pencurian oleh ayah terhadap harta anaknya. Adapun dalam hukuman ta zīr, kewenangan hakim sangat luas, tetapi tidak berarti boleh bertindak sewenang-wenang. Hal ini oleh karena syara menetapkan hukuman ta zīr dengan cara menetapkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang paling ringan seperti peringatan sampai dengan yang sangat berat seperti hukuman mati. b. Hukuman harus bersifat pribadi (Perorangan) Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Hal ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam. c. Hukuman harus berlaku umum Hukuman harus berlaku umum berarti harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, dari pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Di depan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat jelata. Di dalam hukum pidana islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarīmah dan hukuman ḥad atau qiṣāṣ-diyāt. Karena keduanya merupakan hukuman

27 yang telah ditentukan oleh syara. Setiap orang yang melakukan jarīmah ḥudūd seperti zina, pencurian dan sebagainya akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarīmah yang dilakukannya. Adapun dalam hukuman ta zīr, persamaan dalam jenis dan kadar hukuman tidak diperlukan karena persamaan yang dituntut dari hukuman ta zīr itu adalah persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik dan memperbaikinya. Sebagian terdapat pelaku yang cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati. 4. Macam-Macam Hukuman Hukuman dalam fiqh jinayah dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya. Dalam hal ini ada lima penggolongan yaitu sebagai berikut: a. Macam Hukuman Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan Lainnya 10 1) Hukuman Pokok (Al- Uqūbāh Al-Aṣliyyah) Hukuman pokok yaitu hukuman utama yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana sebagai hukuman asli, seperti hukuman qiṣāṣ bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi tindak pidana zina dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian. 10 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007), 39-40.

28 2) Hukuman Pengganti (Al- Uqūbāh Al-Badaliyyah) Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syari (sah), seperti hukuman diyāt sebagai pengganti hukuman qiṣāṣ dan hukuman ta zīr sebagai pengganti hukuman ḥudūd dan qiṣāṣ. Pada dasarnya, hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini dianggap sebagai pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa dilaksanakan. Diyāt adalah hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan semi sengaja, tetapi ia dianggap sebagai hukuman pengganti pada tindak pidana qiṣāṣ apabila keluarga korban memaafkan perbuatan pelaku. Ta zīr juga adalah hukuman pokok untuk tindak pidana ta zir, tetapi menjadi hukuman pengganti pada tindak pidana ḥudūd dan qiṣāṣ apabila hukuman keduanya tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syari. 3) Hukuman Tambahan (Al- Uqūbāh Al-Tab iyyah) Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya, larangan menerima warisan bagi orang yang membunuh orang yang akan diwarisnya. Larangan menerima warisan ini adalah konsekuensi atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh. Contoh lainnya, dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qadhaf. Hukuman ini

29 tidak harus dikeluarkan melalui putusan hukuman, tetapi cukup dengan adanya putusan penjatuhan hukuman qadhaf. Di samping itu hukuman pokoknya yaitu jilid (dera) delapan puluh kali. 4) Hukuman Pelengkap (Al- Uqūbāh Al-Takmīliyyah) Hukuman pelengkap adalah hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim. Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut. b. Macam Hukuman Berdasarkan Tempat Dilakukannya Hukuman 11 1) Hukuman Badan (Uqūbāh Badaniyyah) Hukuman badan yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan si pelaku, seperti hukuman mati, jilid (dera) dan penjara. 2) Hukuman Jiwa (Uqūbāh Nafsiyyah) Hukuman jiwa yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku, bukan pada badannya. Contohnya, hukuman teguran, celaan dan ancaman. 11 Ibid., 41.

30 3) Hukuman Harta (Uqūbāh Māliyyah) Hukuman harta yaitu hukuman yang ditempatkan pada harta pelaku, seperti hukuman diyāt, denda dan perampasan harta. c. Macam Hukuman Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan 1) Hukuman ḥudūd Hukuman ḥudūd yaitu sanksi hukum yang ditetapkan untuk tindak pidana ḥudūd, seperti jarīmah zina, jarīmah qadhaf (menuduh orang lain berbuat zina), jarīmah syurb al-khamr (minum minuman keras), jarīmah pencurian, jarīmah hirabah (perampokan), jarīmah riddah (murtad) dan jarīmah al-baghyu (jarīmah pemberontakan). 12 2) Hukuman Qiṣāṣ-Diyāt Hukuman qiṣāṣ dan diyāt yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana qiṣāṣ dan diyāt, seperti pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Hukuman qiṣāṣ didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi: 12 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana, 145.

31 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qiṣāṣ berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyāt) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qiṣāṣ itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah: 178-179) 13 Hukuman qiṣāṣ merupakan hukuman yang paling baik, karena hukuman tersebut mencerminkan rasa keadilan, dimana orang yang melakukan perbuatan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Di samping itu juga qiṣāṣ dapat lebih menjamin terwujudnya keamanan bagi individu dan ketertiban masyarakat. Hukuman qiṣāṣ berlaku untuk jarīmah pembunuhan disengaja dan penganiayaan sengaja. Baik dalam pembunuhan maupun penganiayaan korban atau walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku. Apabila ada pengampunan maka hukuman qiṣāṣ menjadi gugur dan diganti dengan hukuman diyāt. 14 Hukuman diyāt adalah hukuman pokok untuk tindak 13 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya, Juz 1-10, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan, 1971), 43-44. 14 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana, 155.

32 pidana pembunuhan dan penganiayaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Surat Al-Nisa ayat 92 yang berbunyi: Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyāt yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyāt yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah SWT. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 15 Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacat atau melukai anggota badan dikenakan diyāt sebagai berikut : 16 - Diyāt 100 ekor unta (seharga 1000 dinar) yaitu bagi anggota badan yang berpasangan. - Diyāt 50 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan jika salah satunya terpotong. 15 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan, 135. 16 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, 131.

33 - Diyāt 33 ekor unta yaitu bagi luka kepala sampai otak,luka badan sampai perut. - Diyāt 15 ekor unta (seharga 150 dinar), jika melukai kulit diatas tulang. - Diyāt 10 ekor unta (seharga 100 dinar), jika melukai sampai mematahkan tulang. - Diyāt 5 ekor unta (seharga 50 dinar), jika melukai mata atau kepala sampai menampakkan tulang. Dalam hal ini, harga 1 ekor unta adalah senilai dengan Rp. 50.000.000,00, maka diyāt seratus ekor unta senilai dengan Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3) Hukuman Kafarat Hukuman kafarat yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian tindak pidana qiṣāṣ, diyāt dan ta zīr. Hukuman kafarat dijatuhkan atas pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan semi sengaja. Adapun jenis hukumannya adalah membebaskan seorang hamba yang mukmin. Apabila hamba tidak ada maka hukumannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. 17 4) Hukuman Ta zīr Hukuman ta zīr yaitu hukuman yang ditetapkan untuk segala tindak pidana ta zīr. Jarīmah ta zīr sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh 17 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana, 156.

34 syara dan diserahkan kepada uli al-amri untuk mengaturnya. Hukuman ta zīr mulai dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara termasuk jarīmah ta zīr, hakim diberi wewenang untuk memilih di antara kedua hukuman tersebut, dimana yang paling sesuai dengan jarīmah yang dilakukan oleh pelaku. Jenis-jenis hukuman ta zīr meliputi hukuman mati, hukuman dera, hukuman penjara, hukuman pengasingan, hukuman penyaliban, hukuman pengucilan, hukuman peringatan dan ancaman, hukuman denda dan hukuman-hukuman lainnya. 18 B. Gabungan Hukuman dalam Konsep Fiqh Jinayah 1. Pengertian Gabungan Hukuman Gabungan hukuman dapat terjadi ketika terdapat gabungan jarīmah. Gabungan hukuman terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarīmah, dimana masing-masing jarīmah tersebut belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan hukuman bisa terjadi dalam lahir saja (concursus idealis) dan bisa juga benar-benar nyata (concursus realis). Gabungan hukuman dalam lahir terdapat apabila melakukan suatu jarīmah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan. Contohnya seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus tersebut pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas. Sedangkan gabungan hukuman nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarīmah dari pelaku, sehingga masing-masing jarīmah bisa 18 Ibid., 158.

35 dianggap sebagai jarīmah yang berdiri sendiri. Contohnya seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan. Letak perbedaan antara gabungan hukuman dengan pengulangan hukuman adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarīmah yang pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Jika belum berarti termasuk gabungan hukuman. 19 Secara logika, seharusnya seorang pelaku pada gabungan hukuman tidak dijatuhi hukuman atas semua perbuatan yang dilakukannya meskipun gabungan hukuman tersebut menunjukkan kecenderungan jiwa kejahatannya. Sebab ketika ia mengulangi jarīmah tersebut, ia belum mendapatkan hukuman dan pengajaran dari jarīmah yang sebelumnya. 2. Macam-Macam Teori Gabungan a. Teori Saling Melengkapi (Naẓariyyah Al-Tadākhul) Pengertian saling melengkapi adalah ketika terjadi gabungan perbuatan (jarīmah), yang hukum-hukumnya saling melengkapi sehingga karena kondisi tersebut, semua perbuatan dijatuhi satu hukuman. Seperti halnya melakukan satu jarīmah. Di dalam kaidah fiqh terdapat kaidah yang berkaitan dengan naẓariyyah al-tadākhul. Kaidah tersebut adalah kaidah kesembilan, yang berbunyi: إيذا اج ت م ع أ م ر ا ين ي من ي جن س و ا ي حد و ل ي ت ل ي ف م ق ص و د ه ا د خ ل ا ح د ه ا ي ف ا ل خ ير غ ال ي ب ا 19 Ibid., 166-167.

36 Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak berlawanan, maka secara umum salah satunya akan masuk pada yang lain. 20 Dalam hal ini, naẓariyyah al-tadākhul didasarkan atas dua prinsip yaitu sebagai berikut: 1) Hukuman yang berhubungan dengan hak Allah SWT. Jika terjadi hukuman dalam hak Allah SWT yang berasal dari satu jenis, maka bisa masuk dalam naẓariyyah al-tadākhul. 21 Meskipun perbuatan jarīmah itu berganda, tetapi jenis semua jarīmahnya masing-masing satu macam, seperti pencurian yang dilakukan berulang-ulang, perzinaan yang berulang-ulang, atau fitnahan yang berulang-ulang. Sehingga hukuman atas jarīmah tersebut saling melengkapi. Artinya, hanya dikenai satu macam hukuman selama belum ada keputusan hakim karena jika pelaku melakukan jarīmah yang sama setelah ada keputusan hakim, pelaku tetap harus dijatuhkan hukuman yang lain. Jika perbuatan yang dilakukan terdiri dari berbagai jenis, maka jumlah hukuman yang dikenakan sesuai dengan berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan. Agar hukuman yang dikenakan dapat terlaksana secara keseluruhan, maka teknis pelaksanaan hukumanhukuman itu, adalah dengan cara mendahulukan hukuman yang lebih ringan, kemudian lebih berat dan seterusnya. Dalam hal ini, jarīmah yang dilakukan seperti orang mencuri dan berzina dalam keadaan masih 20 Adib Bisri, Tarjamah Al-Fara idul Bahiyyah, (Kudus: Menara Kudus, 1977), 44. 21 Abdul Haq, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2006), 110.

37 perawan atau perjaka dengan minum minuman keras sekaligus murtad sehingga mengakibatkan dihukum mati. Sehingga hukuman yang didahulukan adalah hukuman untuk jarīmah minum minuman keras yaitu hukuman cambuk empat puluh sampai delapan puluh kali. Kemudian dia diberi waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya akibat cambukan tersebut. Setelah itu, dia dihadapkan pada hukuman zina yaitu dera seratus kali dan diasingkan satu tahun dihitung dengan masa waktu penyembuhannya. Kemudian dipotong tangannya, dan dihukum mati. 22 Dalam hal ini, bukan penjatuhan hukuman yang dipertimbangkan, melainkan pelaksanaan hukuman tersebut. Karena itu, setiap jarīmah yang terjadi sebelum pelaksanaan hukuman maka hukuman-hukumannya saling melengkapi pada jarīmah yang hukumannya belum dilaksanakan. 2) Hukuman yang berhubungan dengan hak-hak manusia. Dalam hal ini, terdapat perbuatan yang membahayakan dan merampas hak hidup manusia. Jarīmah tersebut seperti pembunuhan dan mencelakakan anggota tubuh manusia. Dalam jarīmah ini, perbuatan mencelakakan anggota tubuh sekaligus membunuh hukumannya adalah saling melengkapi. Sehingga diyāt pencelakaan anggota tubuh dan panca indra 22 Ibid., 111.

38 yang mengakibatkan kematian, maka hukuman diyāt yang berlaku adalah diyāt pembunuhan. 23 Mazhab Maliki berpendapat bahwa hukuman meminum minuman keras dan qadhaf (menuduh orang lain berbuat zina) saling melengkapi. Artinya, mazhab ini menggunakan teori penyerapan karena si pelaku harus dijatuhi satu hukuman. Mazhab-mazhab yang lain tidak sependapat dengan mazhab Maliki. Mereka berpendapat bahwa hukuman qadhaf bertujuan untuk melindungi korban, sedangkan hukuman meminum khamar bertujuan untuk melindungi akal pikiran. Sehingga kedua hukuman tersebut berbeda tujuannya. Sebagian ulama yang menganut mazhab Maliki berpendapat bahwa letak saling melengkapinya hukuman meminum minuman keras dan hukuman qadhaf ialah pada persamaan besarnya hukuman, bukan pada persamaan tujuan. Bila hukuman-hukuman dari jarīmah-jarīmah yang bermacam-macam tersebut tidak mempunyai kesatuan hukumannya, seperti bila seorang melakukan pencurian kemudian berzina dan melakukan qadhaf, hukuman-hukuman bagi masing-masing jarīmah tersebut tidak saling melengkapi, tetapi dijatuhkan semuanya dengan masing-masing hukuman jarīmah. 24 b. Teori Penyerapan (Naẓariyyah Al-Jabb) Pengertian penyerapan adalah menjatuhkan suatu hukuman yang mengakibatkan hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. 23 Ibid., 112. 24 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum, 144.

39 Dalam hal ini, hukuman tersebut adalah hukuman mati, yang pelaksanaan hukuman tersebut dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. 25 Di kalangan fukaha, belum ada kesepakatan tentang penerapan teori penyerapan. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbali menetapkan keberadaan teori tersebut. Sedangkan Imam Al-Syafi i tidak menetapkan teori tersebut. Mereka yang menetapkan juga berbeda pendapat tentang sampai di mana daerah berlakunya teori penyerapan. Imam Malik berpendapat bahwa setiap hukuman ḥudūd yang bercampur dengan hukuman mati sebagai hak Allah (seperti jarīmah murtad) atau dengan hukuman qiṣāṣ sebagai hak seseorang maka hukuman hudud tersebut tidak dapat dilaksanakan. Karena hukuman mati telah menyerap hukuman ḥudūd tersebut kecuali pada jarīmah qadhaf yang hukumannya tetap dilaksanakan dan kemudian dibunuh. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat apabila berkumpul dua jarīmah ḥudūd sebagai hak Allah dan di dalamnya ada hukuman mati, seperti mencuri dan berzina muḥṣan, meminum minuman keras dan membunuh ketika melakukan perampokan (hirabah), maka hukuman mati yang dilaksanakan sedangkan hukuman lain gugur. Bila hukuman ḥudūd berkumpul dengan hak-hak manusia, hak-hak manusia tersebut harus dilaksanakan terlebih dulu. Sedangkan hak-hak Allah diserap oleh hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut sebagai hukuman ḥudūd maupun qiṣāṣ. Jadi, apabila seseorang memotong jari orang lain dengan sengaja kemudian dia 25 Ibid.

40 menuduhnya berzina (qadhaf), mencuri, berzina, serta membunuh orang lain, maka hukumannya adalah dipotong jarinya sebagai hukuman qiṣāṣ kemudian dijatuhi hukuman ḥad jarīmah qadhaf yaitu delapan puluh kali cambuk kemudian dibunuh. Adapun selain hukuman-hukuman tersebut maka menjadi gugur. Menurut Imam Abu Hanifah, apabila terdapat gabungan hak manusia dengan hak Allah, hak manusialah yang didahulukan karena manusia membutuhkan haknya. Bila hak tersebut sudah terlaksana, maka hak Allah tidak dapat dilaksanakan lagi. Hak Allah terhapus karena kondisi darurat. Jika hak Allah masih bisa dilaksanakan dan hak Allah ini lebih dari satu, maka satu hak (hukuman) saja yang dijatuhkan, yaitu hak yang dapat menggugurkan hak hukuman yang lain. Jika seorang membunuh lalu berzina gair muḥṣan, kemudian meminum minuman keras, dia hanya dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman qiṣāṣ, sedangkan hukuman zina dan meminum minuman keras menjadi gugur. Apabila seorang berzina muḥṣan, menuduh orang lain berzina (qadhaf), mencuri dan meminum minuman keras, hukuman yang pertama dijatuhkan adalah hukuman qadhaf karena hukuman ini berkaitan dengan hak manusia, kemudian dirajam. Sedangkan hukuman-hukuman lainnya menjadi gugur. Pendapat Abu Hanifah sejalan dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. 26 26 Ibid., 145.

41 Imam Al-Syafi i tidak mengakui adanya teori penyerapan. Menurut pendapatnya, semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi. Caranya dengan mendahulukan hak manusia yang bukan hukuman mati kemudian hak Allah yang bukan hukuman mati. Setelah itu hukuman mati dilaksanakan. Contohnya, apabila pada diri seorang laki-laki melakukan beberapa hukuman seperti ḥad zina ghairu muḥṣan, ḥad qadhaf, ḥad pencurian, ḥad gangguan keamanan dengan membunuh, serta hukuman qiṣāṣ karena membunuh. Urutan penjatuhan hukuman-hukuman tersebut adalah ḥad qadhaf dengan hukuman delapan puluh dera, kemudian ditahan sampai sembuh untuk kemudian dijatuhi ḥad zina (seratus dera), kemudian ditahan lagi sampai sembuh untuk kemudian dipotong tangannya karena pencurian dan terakhir dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman atas gangguan keamanan. 27 27 Ibid., 146.