Standar Operasional Prosedur. Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan Yayasan Sanggar Suara Perempuan SoE

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI POLEWALI MANDAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PUSAT PELAYANAN TERPADU DAN RUMAH AMAN

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

BERITA DAERAH KOTA YOGYAKARTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI TENGAH PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Institute for Criminal Justice Reform

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 69 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 SERI E NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR: 2 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBENUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PENYEDIA LAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SALINAN BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 53 TAHUN No. 53, 2017 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM TERHADAP PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI PPT SERUNI KOTA SEMARANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

Transkripsi:

Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 1

2 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

P E N G A N T A R Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas penyertaan-nya dalam penyusunan dan penyelesaian Standar Operasional Prosedur (SOP) Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan, yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pendamping yang memberikan pelayanan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan secara komprehensif dan berkualitas. Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan SOP ini sehingga dapat mempermudah tugas pendamping dalam memberikan pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Penyusunan SOP ini merupakan langkah antisipatif yang tepat, karena kasus kekerasan di masyarakat khususnya kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kasus yang muncul ke permukaan yakni yang dilaporkan kepada lembaga pengada layanan masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah kasus yang sebenarnya. Melalui SOP ini, semakin banyak pendamping terlatih yang mampu memberikan pelayanan pendampingan dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan, sehingga semakin kecil kesenjangan antara jumlah kasus kekerasan yang dilayani/dilaporkan dengan Pengantar 3

jumlah kasus yang ada di masyarakat. Akhirnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi terhadap penyusunan SOP ini, khususnya kepada The Asia Foundation yang telah memberikan dukungan finansial, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya. SoE, Desember 2015. Direktris Yayasan Sanggar Suara Perempuan Ir. Rambu Atanau Mella 4 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

D A F T A R I S I Bagian 1. Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan... 4 I. Pengertian... 4 II. Tujuan... 4 III. Ruang Lingkup... 4 IV. Tahapan Pendampingan... 5 Bagian 2. Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan... 9 I. Pengertian... 9 II. Tujuan... 9 III. Prinsip... 9 IV. Ruang Lingkup... 10 V. Tahapan Rujukan... 10 Penutup... 15 Daftar Isi 5

6 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

B A G I A N 1 Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan I. P E N G E R T I A N. a. Standar Operasional Prosedur pendampingan dan rujukan perempuan korban kekerasan adalah serangkaian instruksi kerja tertulis yang dibakukan mengenai proses penyelenggaraan administarasi, konseling, pendampingan, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa. b. Pendampingan adalah upaya yang terus menerus (berkelanjutan) dan sistematis dalam menfasilitasi perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan layanan baik dari aspek psikologis, hukum, medis, spritual dalam rangka mengatasi permasalahan dan pemberdayaan menuju kemandirian korban. Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 7

c. Rujukan adalah proses pengalihan tanggung jawab secara timbal balik kepada pihak/jaringan kerja yang memiliki kompetensi, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dalam memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan korban kekerasan. d. Korban adalah perempuan yang mengalami berbagai bentuk tindakan kekerasan berbasis jender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. e. Pendamping adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam memberikan layanan, pendampingan litigasi dan non litigasi bagi perempuan korban kekerasan serta mendorong terbangunnya kesadaran kritis bagi korban dan komunitas. II. T U J U A N Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kepada perempuan korban kekerasan maka SOP ini memiliki tujuan sebagai berikut: a. Agar pendamping tetap menjaga konsistensi dan tingkat kinerja pendamping dalam melaksanakan tugas di lembaga. b. Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap pendamping dalam lembaga 8 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

c. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pendamping. d. Menghindari pendamping melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan kebijakan lembaga. III. P R I N S I P Prinsip bekerja dengan perempuan korban kekerasan antaralain: Perempuan korban kekerasan janganlah dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya Pelaku kekerasan adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab atas tindakan kekerasan yang dilakukannya Masyarakat dan berbagai institusi pemerintah dan non pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab secara tidak langsung atas masalah kekerasan terhadap perempuan. Solusi atas masalah kekerasan terletak pada kombinasi antara aksi pribadi dan sosial, serta didukung oleh sistim hukum yang memadai. Tujuan bekerja membantu perempuan korban kekerasan adalah membantu mereka untuk membuat keputusan sendiri, dan agar selanjutnya lebih mandiri. Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 9

IV. R U A N G L I N G K U P Ruang lingkup SOP ini meliputi: a. Jenis kekerasan terhadap perempuan yang didampingi yakni: 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2. Kekerasan di ruang publik 3. Kekerasan berbasis budaya dan agama b. Kriteria Pendamping Pendamping yang akan melakukan pendampingan adalah: 1. Memiliki pemahaman yang baik tentang gender, Kekerasan terhadap Perempuan, Hak Asasi Perempuan, peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan bagi perempuan. 2. Tidak sedang mengalami luka batin 3. Mendengar, menyimak dengan baik dan memiliki rasa empati 4. Tidak melakukan diskriminasi 5. Menjaga kerahasiaan 6. Menghargai korban 7. Memiliki etika yang baik dalam tutur kata, sikap dan tingkah laku. c. Kriteria rujukan Kasus yang akan dirujuk dan yang diterima oleh lembaga apabila: 1. Layanan yang dibutuhkan korban tidak tersedia dilembaga dan atau lembaga lain maupun individu. 10 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

2. Lokasi kejadian berada diluar kabupaten TTS dan atau diluar Propinsi NTT V. T A H A P A N P E N D A M P I N G A N a. Penerimaan korban 1. Korban diterima oleh staf SSP. 2. Korban wajib mengisi buku tamu khusus yang disiapkan oleh lembaga. 3. Staf mengantar korban ke ruang konseling dan menyerahkan kepada pendamping disertai buku tamu sebagai register awal. 4. Pendamping mencatat identitas korban ke dalam format biodata. Format tersebut meliputi: Nomor register, hari/ tanggal melapor, metode layanan, nama pendamping, jenis kasus, Identitas korban, Identitas pelaku, informasi kekerasan yang dialami, keterangan kasus, kronologis, problem pelaku, informasi penanganan kasus, perkembangan kasus dan penutup. b. Proses Pendampingan 1. Pendamping memberikan respon cepat kepada korban sesuai dengan kondisi fisik dan psikis yang dialami korban sampai korban siap diajak bercerita. 2. Pendamping mendengarkan penjelasan tentang peristiwa kekerasan yang dialaminya Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 11

3. Pendamping memberikan umpan balik terhadap peristiwa yang diceritakan dan memberikan alternatif opsi penyelesaian kasus dengan berbagai konsekuensi dari setiap opsi yang ditawarkan. 4. Pendamping dan korban menyepakati peran masingmasing baik pendamping maupun korban dalam proses penyelesaian kasus. 5. Pendamping mencatat kronologis kasus yang dialami korban sebagai data dan informasi, bahan analisa selama proses pendampingan untuk menemukan cara penyelesaian kasus yang tepat baik litigasi maupun non litigasi. 6. Jika dalam proses pendampingan, korban membutuhkan layanan hukum dari pengacara, polisi, jaksa dan hakim maka pendamping wajib mendampingi korban untuk mendapat layanan hukum tersebut. c. Pendampingan untuk mendapat layanan kesehatan 1. Bila korban membutuhkan layanan medis pendamping segera merujuk korban ke layanan kesehatan terdekat. 2. Pendamping wajib mendampingi korban ke layanan kesehatan dan memberi keterangan kepada petugas medis untuk kepentingan layanan medis yang cepat dan tepat. 3. Pendamping wajib meminta catatan penunjang medis korban dan mendapat penjelasan dalam semua proses layanan kesehatan. 12 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

4. Jika korban harus dirawat inap maka pendamping wajib meminta pengamanan dari pihak keamanan bila dibutuhkan. 5. Pendamping meminta keluarga untuk melengkapi semua persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan. d. Pendampingan Korban di kepolisian 1. Pendamping mendampingi korban melapor kasus ke Sentra Pelayanan Khusus Terpadu (SPKT) 2. Pendamping dapat mendampingi korban pada saat pemeriksaan medis untuk visum et repertum 3. Pendamping wajib meminta surat tanda penerimaan laporan (STPL) 4. Pendamping wajib meminta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) 5. Pendamping wajib mengingatkan korban untuk mengumpulkan barang bukti (pakaian yang digunakan saat kejadian, alat bantu yang digunakan saat pelaku melakukan kekerasan) dan saksi. 6. Pendamping mendampingi korban untuk pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 7. Pendamping dapat memberi data dan informasi kepada penyidik tentang temuan dalam konseling. 8. Pendamping wajib mengetahui penerapan pasal yang digunakan dalam penuntutan terhadap pelaku. 9. Pendamping dan korban wajib menandatangani BAP. 10. Pendamping berkoordinasi dengan penyidik untuk Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 13

merampungkan berkas kasus sampai pada tingkat penyelesaian. 11. Pendamping wajib menginformasikan perkembangan kasus kepada korban. 12. Bila korban memilih damai dikepolisian maka: Pendamping wajib meminta penyidik untuk memberi waktu kepada korban untuk berpikir sebelum mengambil keputusan tanpa tekanan. Pendamping wajib membaca isi perjanjian damai dari kedua belah pihak (Korban dan Pelaku). Pendamping dapat menyaksikan proses penandatanganan surat perjanjian perdamaian. e. Pendampingan di kejaksaan 1. Pendamping wajib memastikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus korban, 2. Pendamping wajib menginformasikan kepada korban JPU yang menangani kasus korban, 3. Pendamping wajib mengecek status penanganan kasus korban (P18, P19,P21), 4. Pendamping wajib mendampingi dan mempertemukan korban dengan JPU bila berkas kasus sudah dilimpahkan kekejaksaan atau pun ke pengadilan. f. Pendampingan di pengadilan 1. Pendamping wajib melakukan konseling pra sidang pengadilan, 14 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

2. Pendamping wajib melakukan pengenalan ruang persidangan kepada korban, 3. Pendamping wajib membuat surat ijin untuk melakukan pendampingan dalam ruang persidangan terutama pada persidangan tertutup, 4. Pendamping wajib mendapatkan jadwal sidang dari pengadilan, 5. Pendamping wajib menginformasikan agenda sidang (baca dakwaan, keterangan saksi, keterangan terdakwa, tuntutan, pembelaan, putusan, banding Peninjauan Kembali) kepada korban, 6. Pendamping dapat mengikuti sidang dipengadilan apabila dimungkinkan, 7. Pendamping wajib menginformasikan hasil putusan perkara kepada korban dan keluarga. g. Layanan Shelter (Rumah Aman) Syarat korban yang mendapat layanan shelter: 1. Korban tidak bersedia tinggal dirumah keluarga dan atau tidak memiliki keluarga terdekat dengan lembaga, 2. Bila korban terancam. Layanan yang di butuhkan dan masa tinggal di shelter: 1. Korban maksimal tinggal di shelter selam 14 hari namun dapat diperpanjang jika kondisi korban belum memungkinkan untuk dikembalikan kepada keluarga. 2. Korban wajib mengetahui dan mentaati tata tertib penggunaan shelter. Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 15

3. Pendamping wajib menginformasikan jadwal jaga shelter kepada korban. 4. Pendamping wajib membuat catatan perkembangan intervensi kepada pendamping yang menggantikan pendamping yang jaga. 5. Team pendamping harus saling sharing perkembangan kondisi korban dan proses hukum dll. 6. Pendamping memfasilitasi korban untuk mendapatkan layanan pastoral bila diperlukan. 7. Pendamping memastikan kondisi shelter dalam keadaan aman dan nyaman bagi korban. 8. Pendamping wajib berkoordinasi dengan pihak management lembaga dan meminta pengamanan dari pihak keamanan bila korban dalam keadaan terancam. 9. Pendamping wajib memberikan informasi kepada keluarga korban sebelum korban dipulangkan. 10. Pendamping perlu menginformasikan kepada keluarga korban tentang kondisi terkini korban. 11. Pendamping wajib meminta korban untuk menandatangani surat keterangan berakhirnya masa tinggal di shelter. 12. Pendamping menyerahkan korban kepada keluarga setelah selesai masa tinggal di shelter. 13. Keluarga wajib menandatangani surat penyerahan korban. 16 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

h. Rehabilitasi Sosial 1. Pendamping dapat melakukan konseling bagi keluarga korban. 2. Pendamping wajib menginformasikan kondisi korban yang di dampingi kepada keluarga korban. 3. Pendamping melakukan pendekatan kepada Tokoh agama, Tokoh masyarakat dan pemerintah desa, untuk melakukan fungsi kontrol agar korban tidak mendapat kekerasan berulang dari komunitas. 4. Bagi korban yang masih duduk di bangku pendidikan, pendamping melakukan pendekatan dengan lembaga pendidikan agar korban dapat diterima kembali untuk melanjutkan pendidikan. i. Reintegrasi 1. Pendamping dapat mengidentifikasi potensi yang ada pada korban. 2. Pendamping dapat memfasilitasi korban untuk mendapat layanan lain yang dibutuhkan oleh korban sesuai potensi (sekolah, ekonomi,,ketrampilan lain, dll). Standar Operasional Prosedur Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan 17

18 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

B A G I A N 2 Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan I. P E N G E R T I A N a. Sistem rujukan adalah sebuah mekanisme yang memberikan panduan dan prosedur yang jelas mengenai bagaimana mengarahkan seseorang (korban) atau suatu kasus ke sumber informasi dan lembaga layanan lainnya. b. Rujukan adalah proses pengalihan tanggung jawab secara timbal balik kepada pihak/jaringan kerja yang memiliki kompetensi, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dalam memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan korban kekerasan. c. Menerima rujukan adalah pengalihan tanggung jawab dari lembaga pengada layanan dan atau pihak lainnya untuk mendapat layanan sesuai dengan kebutuhan korban. d. Memberi rujukan adalah pengalihan tanggung jawab kepada lembaga pengada layanan yang berkompeten untuk proses penanganan kasus sesuai kebutuhan korban. Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 19

e. Pendamping adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam memberikan layanan, pendampingan litigasi dan non litigasi bagi perempuan korban kekerasan serta mendorong terbangunnya kesadaran kritis bagi korban dan komunitas. f. Korban adalah perempuan yang mengalami berbagai bentuk tindakan kekerasan berbasis jender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. II. T U J U A N Tujuan SOP Sistem Rujukan adalah sebagai panduan dalam penanganan agar korban mendapat layanan yang komperhensif dan berkualitas sesuai dengan kebutuhannya. III. P R I N S I P Prinsip pengembangan sistem rujukan 1. Non diskriminasi 2. Keterbukaan 3. Keterpaduan 4. Kesetaraan 5. Kerahasiaan 20 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

6. Penghargaan atas hak korban 7. Pemberdayaan IV. R U A N G L I N G K U P Ruang lingkup SOP ini meliputi: a. Jenis kekerasan terhadap perempuan yang didampingi yakni: 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2. Kekerasan di ruang publik 3. Kekerasan berbasis budaya dan agama b. Kriteria Pendamping Pendamping yang akan melakukan pendampingan adalah: 1. Memiliki pemahaman yang baik tentang gender, Kekerasan terhadap Perempuan, Hak Asasi Perempuan, peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan bagi perempuan. 2. Tidak sedang mengalami luka batin. 3. Mendengar, menyimak dengan baik dan memiliki rasa empati. 4. Tidak melakukan diskriminasi. 5. Menjaga kerahasiaan. 6. Menghargai korban. 7. Memiliki etika yang baik dalam tutur kata, sikap dan tingkah laku. Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 21

c. Kriteria rujukan Kasus yang akan dirujuk dan yang diterima oleh lembaga apabila: 1. Layanan yang dibutuhkan korban tidak tersedia dilembaga dan atau lembaga lain maupun individu. 2. Lokasi kejadian berada diluar kabupaten TTS dan atau diluar Propinsi NTT. d. Pihak-pihak yang terlibat dalam rujukan antaralain : 1. Penyintas (korban yang akan menggunakan layanan rujukan). 2. Lembaga bantuan pertama/individu pemberi rujukan. 3. Lembaga penerima rujukan. 4. Invidu/lembaga yang mengkoordinir berjalannya suatu rujukan (Focal point). 5. Pendamping. V. T A H A P A N R U J U K A N e. Penerimaan Korban Korban diterima oleh staf SSP. 1. Korban wajib mengisi buku tamu khusus yang disiapkan oleh lembaga. 2. Staf mengantar korban ke ruang konseling dan menyerahkan kepada pendamping disertai buku tamu sebagai register awal. 22 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

3. Pendamping mencatat identitas korban ke dalam format biodata. Format tersebut meliputi: Nomor register, hari/ tanggal melapor, metode layanan, nama pendamping, jenis kasus, Identitas korban, Identitas pelaku, informasi kekerasan yang dialami, keterangan kasus, kronologis, problem pelaku, informasi penanganan kasus, perkembangan kasus dan penutup. f. Tahap Merujuk Kasus Sebelum merujuk korban, pendamping perlu melakukan beberapa hal yakni : 1. Membahas kebutuhan korban. 2. Mencari informasi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan korban. 3. Memberikan informasi kepada korban tentang lembaga yang akan menerima korban. 4. Mengisi formulir rujukan. 5. Mendampingi korban secara langsung dan atau tidak langsung ke lembaga tujuan rujukan. 6. Bersama-sama melakukan pengawasan dan evaluasi perkembangan penanganan kasus dan kondisi korban. g. Tahap Menerima Rujukan Sebelum pendamping melakukan pendampingan maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni: 1. Mempelajari formulir rujukan dari lembaga perujuk 2. Membahas kebutuhan dan langkah penanganan yang dapat diberikan kepada korban Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 23

3. Memberikan layanan pendampingan sesuai kebutuhan korban yakni: Pendamping memberikan respon cepat kepada korban sesuai dengan kondisi fisik dan psikis yang dialami korban sampai korban siap diajak bercerita. Pendamping mendengarkan penjelasan tentang peristiwa kekerasan yang dialaminya Pendamping memberikan umpan balik terhadap peristiwa yang diceritakan dan memberikan alternatif opsi penyelesaian kasus dengan berbagai konsekuensi dari setiap opsi yang ditawarkan. Pendamping dan korban menyepakati peran masing-masing baik pendamping maupun korban dalam proses penyelesaian kasus. Pendamping mencatat kronologis kasus yang dialami korban sebagai data dan informasi, bahan analisa selama proses pendampingan untuk menemukan cara penyelesaian kasus yang tepat baik litigasi maupun non litigasi. Jika dalam proses pendampingan, korban membutuhkan layanan hukum dari pengacara, polisi, jaksa dan hakim maka pendamping wajib mendampingi korban untuk mendapat layanan hukum tersebut. 4. Memberikan catatan tambahan pada formulir yang berisi kondisi dan perkembangan korban 24 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

5. Menghubungi lembaga lain atau individu jika perlu dukungan lainnya 6. Mendampingi korban kelembaga bantuan berikutnya 7. Menginformasikan perkembangan dan rujukan lainnya kepada lembaga yang memberikan bantuan pertama h. Pendampingan untuk mendapat layanan kesehatan Bila korban membutuhkan layanan medis pendamping segera merujuk korban ke layanan kesehatan terdekat. 1. Pendamping wajib mendampingi korban ke layanan kesehatan dan memberi keterangan kepada petugas medis untuk kepentingan layanan medis yang cepat dan tepat. 2. Pendamping wajib meminta catatan penunjang medis korban dan mendapat penjelasan dalam semua proses layanan kesehatan. 3. Jika korban harus dirawat inap maka pendamping wajib meminta pengamanan dari pihak keamanan bila dibutuhkan. 4. Pendamping meminta keluarga untuk melengkapi semua persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan i. Pendampingan Korban dikepolisian 1. Pendamping mendampingi korban melapor kasus ke Sentra Pelayanan Khusus Terpadu (SPKT). 2. Pendamping dapat mendampingi korban pada saat pemeriksaan medis untuk visum et repertum. Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 25

3. Pendamping wajib meminta surat tanda penerimaan laporan (STPL). 4. Pendamping wajib meminta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP). 5. Pendamping wajib mengingatkan korban untuk mengumpulkan barang bukti (pakaian yang digunakan saat kejadian, alat bantu yang digunakan saat pelaku melakukan kekerasan) dan saksi. 6. Pendamping mendampingi korban untuk pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 7. Pendamping dapat memberi data dan informasi kepada penyidik tentang temuan dalam konseling. 8. Pendamping wajib mengetahui penerapan pasal yang digunakan dalam penuntutan terhadap pelaku. 9. Pendamping dan korban wajib menandatangani BAP. 10. Pendamping berkoordinasi dengan penyidik untuk merampungkan berkas kasus sampai pada tingkat penyelesaian. 11. Pendamping wajib menginformasikan perkembangan kasus kepada korban. 12. Bila korban memilih damai dikepolisian maka: Pendamping wajib meminta penyidik untuk memberi waktu kepada korban untuk berpikir sebelum mengambil keputusan tanpa tekanan. Pendamping wajib membaca isi perjanjian damai dari kedua belah pihak (Korban dan Pelaku). 26 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

Pendamping dapat menyaksikan proses penandatanganan surat perjanjian perdamaian. j. Pendampingan dikejaksaan 1. Pendamping wajib memastikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus korban. 2. Pendamping wajib menginformasikan kepada korban JPU yang menangani kasus korban. 3. Pendamping wajib mengecek status penanganan kasus korban (P18, P19,P21). 4. Pendamping wajib mendampingi dan mempertemukan korban dengan JPU bila berkas kasus sudah dilimpahkan kekejaksaan atau pun ke pengadilan. k. Pendampingan dipengadilan 1. Pendamping wajib melakukan konseling pra sidang pengadilan. 2. Pendamping wajib melakukan pengenalan ruang persidangan kepada korban. 3. Pendamping wajib membuat surat ijin untuk melakukan pendampingan dalam ruang persidangan terutama pada persidangan tertutup. 4. Pendamping wajib mendapatkan jadwal sidang dari pengadilan. 5. Pendamping wajib menginformasikan agenda sidang (baca dakwaan, keterangan saksi, keterangan terdakwa, tuntutan, pembelaan, putusan, banding Peninjauan Kembali) kepada korban. Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 27

6. Pendamping dapat mengikuti sidang dipengadilan apabila dimungkinkan. 7. Pendamping wajib menginformasikan hasil putusan perkara kepada korban dan keluarga. l. Layanan Shelter (Rumah Aman) Syarat korban yang mendapat layanan shelter: 1. Korban tidak bersedia tinggal dirumah keluarga dan atau tidak memiliki keluarga terdekat dengan lembaga. 2. Bila korban terancam. Layanan yang di butuhkan dan masa tinggal di shelter: 1. Korban maksimal tinggal di shelter selam 14 hari namun dapat diperpanjang jika kondisi korban belum memungkinkan untuk dikembalikan kepada keluarga. 2. Korban wajib mengetahui dan mentaati tata tertib penggunaan shelter. 3. Pendamping wajib menginformasikan jadwal jaga shelter kepada korban. 4. Pendamping wajib membuat catatan perkembangan intervensi kepada pendamping yang menggantikan pendamping yang jaga. 5. Team pendamping harus saling sharing perkembangan kondisi korban dan proses hukum dll. 6. Pendamping memfasilitasi korban untuk mendapatkan layanan pastoral bila diperlukan. 7. Pendamping memastikan kondisi shelter dalam keadaan aman dan nyaman bagi korban. 28 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

8. Pendamping wajib berkoordinasi dengan pihak management lembaga dan meminta pengamanan dari pihak keamanan bila korban dalam keadaan terancam. 9. Pendamping wajib memberikan informasi kepada keluarga korban sebelum korban dipulangkan. 10. Pendamping perlu menginformasikan kepada keluarga korban tentang kondisi terkini korban. 11. Pendamping wajib meminta korban untuk menandatangani surat keterangan berakhirnya masa tinggal di shelter. 12. Pendamping menyerahkan korban kepada keluarga setelah selesai masa tinggal di shelter. 13. Keluarga wajib menandatangani surat penyerahan korban. m. Rehabilitasi Sosial 1. Pendamping dapat melakukan konseling bagi keluarga korban 2. Pendamping wajib menginformasikan kondisi korban yang di dampingi kepada keluarga korban 3. Pendamping melakukan pendekatan kepada Tokoh agama, Tokoh masyarakat dan pemerintah desa, untuk melakukan fungsi kontrol agar korban tidak mendapat kekerasan berulang dari komunitas Sistem Rujukan Perempuan Korban Kekerasan 29

4. Bagi korban yang masih duduk dibangku pendidikan, pendamping melakukan pendekatan dengan lembaga pendidikan agar korban dapat diterima kembali untuk melanjutkan pendidikan. n. Reintegrasi 1. Pendamping dapat mengidentifikasi potensi yang ada pada korban. 2. Pendamping dapat memfasilitasi korban untuk mendapat layanan lain yang dibutuhkan oleh korban sesuai potensi (sekolah, ekonomi, ketrampilan lain, dll). 30 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan

P E N U T U P Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai peranan penting karena perempuanlah yang melahirkan generasi baru sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa. Di sisi lain perempuan menjadi kelompok yang rentan terhadap tindak kekerasan. Jika perempuan tidak dilindungi secara memadai, maka mereka akan mengalami berbagai tindak kekerasan dan sering menjadi korban kekerasan. Apabila kasus kekerasan terhadap perempuan tidak ditangani dengan baik, akan berakibat pada penurunan kualitas SDM di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upaya perlindungan dan pendampingan terhadap perempuan untuk mencegah mereka dari tindakan kekerasan. Melalui SOP pendampingan dan rujukan perempuan korban kekerasan ini diharapkan agar kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat tertangani secara tepat. Penutup 31

32 Standar Operasional Prosedur Pendampingan dan Rujukan Perempuan Korban Kekerasan