BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perilaku Mencontek Pada Siswa MTS/SMP. sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak.

BAB 2 LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. Problem kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

Pengaruh kepramukaan dan bimbingan orang tua terhadap kepribadian siswa kelas I SMK Negeri 3 Surakarta tahun ajaran 2005/2006. Oleh : Rini Rahmawati

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh siswa di Madrasah Aliyah (MA) Almaarif Singosari-Malang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dampak globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berkembangnya ini mengakibatkan ilmu pengetahuan memiliki. dampak positif dan negatif. Agar dapat mengikuti dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

2015 PERSEPSI GURU TENTANG PENILAIAN SIKAP PESERTA DIDIK DALAM KURIKULUM 2013 DI SMA NEGERI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan sebagai upaya dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 pasal 4. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut, perlu

BAB I PENDAHULUAN. sekarang merupakan persoalan yang penting. Krisis moral ini bukan lagi

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gejolak dalam dirinya untuk dapat menentukan tindakanya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUHAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang harus dikembangkan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyeluruh baik fisik maupun mental spiritual membutuhkan SDM yang terdidik.

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena belajar merupakan kunci untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. didik, sehingga menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. warganya belajar dengan potensi untuk menjadi insan insan yang beradab, dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas, sehingga dapat memfungsikan diri sesuai dengan kebutuhan

(PTK Pada Siswa Kelas VIII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. yang diperkirakan akan semakin kompleks. 1

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang tuanya tentang moral-moral dalam kehidupan diri anak misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang harus. dikembangkan sejak dini agar dapat berkembang secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah

BAB I PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini pada

BAB I PENDAHULUAN. dan karakter yang akan ditunjukkan oleh anak-anaknya. Orang tua yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

I. PENDAHULUAN. mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum.

BAB I PENDAHULUAN. Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu wahana yang efektif dalam pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. kompleks sehingga sulit dipelajari dengan tuntas. Oleh sebab itu masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai salah satu tolak ukur dan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup dan masa depan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. tetap diatasi supaya tidak tertinggal oleh negara-negara lain. pemerintah telah merancang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda agar melanjutkan kehidupan dan cara hidup mereka dalam konteks

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang UPI Kampus Serang Iis Jamilah, 2016

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang lebih tinggi. Salah satu peran sekolah untuk membantu mencapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. jalur pendidikan formal, nonformal dan informal, karena dapat dijadikan satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keunggulan suatu bangsa tidak lagi tertumpu pada kekayaan alam,

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat dapat membawa perubahan kearah yang lebih maju. Untuk itu perlu

BAB I PENDAHULUAN. sekitarnya. Berkaitan dengan Pendidikan, Musaheri (2007 : 48) mengungkapkan,

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap individu, baik berupa pendidikan formal ataupun nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dan Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (UU Republik Indonesia, 2003). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkahlaku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (Hasan A, Hans L, Dendy S, Harimurti K, Sri Sukesi A, Sri Timur S, Dameria N &. 2008) Dengan adanya pendidikan setiap manusia atau individu akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan pembelajaran yang didapatkan. Pemerintah telah mengatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalamnya dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memgembangkan potensi yang dimiliki oleh seluruh siswa yang melahirkan siswa yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, sehat jasmani dan rohani, kreatif, mandiri, cakap, berbudi pekerti 1

2 luhur, bertanggung jawab, serta dapat menjadi warga negara yang mematuhi segala aturan pemerintah yang berlaku. Peserta didik merupakan salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral. Dalam perspektif undang-undang system pendidikan nasional no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 4, peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (Desmita, 2012) Proses pendidikan diawali dengan bimbingan anak sejak lahir sampai usia enam (6) tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang RI no 20 tahun 2003 bahwa jenjang pendidikan dimulai dari anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan dilanjutkan pada jenjang pendidikan tinggi. Karakteristik perkembangan peserta didik anak usia sekolah dasar (SD) adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Anak-anak usia ini memiliki usia yang muda ia sangat senang bermain, senang bergerak, senang bekerja, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Sedangkan anak usia SMP berada pada tahap perkembangan pubertas berkisar umur 10-14 tahun. Masa remaja 12-21 tahun disebut juga masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa keidupan orang dewasa. Karakteristik usia SMP/SMA sering dikenal dengan pencarian jati diri (ego identity) (Desmita, 2012). Berdasarkan karakteristik usia peserta didik yang berbeda sesuai dengan jenjang pendidikannya, subjek dalam penelitian ini berfokus pada peserta

3 didik (siswa) SMP (MTS). Karakteristik usia siswa SMP berkisar umur 12-21 tahun, yang mana usia tersebut termasuk dalam konteks perkembangan masa remaja. Masa remaja adalah masa tanjakan atau masa transisi dari masa kanakkanak yang mana masih belum bisa dikatakan untuk dewasa. Masa remaja sering disebut Adolesensi artinya menjadi dewasa. Meskipun tidak begitu jelas adanya perbedaan antara masa kanak-kanak, namun Nampak adanya gejala yang menunjukkan permulaan remaja. Yaitu timbulnya seksualitas atau pertumbuhan genital (Monks. Dkk, 2006). Perkembangan masa remaja berbeda dengan perkembangan pada masa kanak-kanak. Menurut Piaget dalam psikologi belajar Muhibin (2006), bahwa remaja sudah dianggap cukup representative pada usia selanjutnya. Dalam perkembangan kognitif seorang remaja telah memiliki kemampuan mengoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: pertama kapasitas menggunakan hipotesis; kedua kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan adanya lingkungan pendidikan di sekolah para siswa mendapatkan tempat untuk mengasah atau memelihara bakat yang dimilikinya. Dalam dunia pendidikan banyak mengajarkan tentang pengetahuan yang akan menambah potensi dalam diri siswa yang menyangkut moral, intelektual, emosional,dan sosial. Dengan tujuan pendidikan tersebut akan mendidik siswa menjadi siswa yang bertaqwa, cerdas, kreatif, mandiri, dan

4 bertanggung jawab, serta menjadi warga Negara yang baik dan mematuhi norma-norma sosial yang ada. Dalam pendidikan terdapat penilaian yang bertujuan mengetahui kualitas, pencapaian, dan prestasi peserta didik (siswa) dalam prores pembelajaran. Penilaian tersebut seringkali berupa ujian atau tugas-tugas harian. Menurut Muhibin (2013) penilaian disebut evaluasi atau assessment yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Petty (2004) (dalam Syah.M, 2013) assessment adalah mengukur keluasan atau kedalaman belajar, sedangkan evaluasi berarti mengungkapakan dan pengukuran hasil belajar yang pada dasarnya merupakan proses penyususnan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung bersifat kuantitatif, lantaran penggunaan symbol angka untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa. Dengan adanya penilaian tersebut membuat para siswa lantaran berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai yang sempurna dan nilai yang tertinggi diantara teman-teman sebayanya. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik (siswa) diajarkan untuk menerapkan perbuatan yang jujur, begitu pula dalam pelaksanaan ujian atau evaluasi. Namun selaian siswa yang jujur pada kenyataannya terdapat pula beberapa siswa yang tidak jujur atau curang dalam mengerjakan evaluasi.

5 Menurut Hendricks (2004) dalam jurnal Wicaksono & Andriani (2015) kecurangan akademik didefinisikan sebagai berbagai bentuk perilaku yang mendatangkan keuntungan bagi siswa secara tidak jujur termasuk di dalamnya mencontek, plagiarisme, mencuri dan memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademis, mendapatkan jawaban sebelum ujian dilaksanakan, melihat buku pada saat ujian dan lain sebagainya. Kecurangan akademik akan semakin berkembang bila tidak segera ditangani, karena pemikiran seseorang akan selalu mencari jalan keluar dari suatu permasalahan yang mendesak baginya (Hendricks, 2004). Perilaku mencontek merupakan karakter yang tidak baik dan tidak jujur yang di tampilkan oleh siswa. Lambert, Hogan dan Barton (2003) dalam penelitian yang dilakukannya menyebut kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah academic dishonesty. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa (83% siswa) menyatakan bahwa mereka pernah mencontek, dan melakukan hal tersebut lebih dari satu kali. Kebiasaan mencontek ini dapat memupuk kepribadian dan karakter yang tidak jujur baik dalam lingkungan sehari-hari maupun dunia pendidikan sendiri. Dengan timbulnya kebiasaan mencontek membuat para siswa malas belajar, mudah menyerah, dan tidak yakin dan percaya dengan jawabannya sendiri, sehingga setiap kali ia mengikuti ujian ia akan lebih memilih mencontek jawaban siswa lain dari pada menggunakan jawabannya sendiri. McCabe and Trevino (dalam Anderman dan Murdock, 2007) juga

6 menambahkan bahwa 70.8% siswa mencontek karena melihat siswa lain mencontek juga (Octarina, 2013). Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di MTS x Probolinggo selama 1 minggu (4-9 April 2016). Dari 24 siswa dikelas terdapat 20 siswa yang melakukan perbuatan tidak jujur atau curang dalam proses pengerjaan soal ujian. Perilaku tersebut mereka lakukan karena menginginkan nilai yang baik dan sempurna sehingga tidak memikirkan dampak setelah melakukan perbuatan curang tersebut. Selain observasi peneliti juga melakukan wawancara kepada 20 siswa di kelas. Dari wawacara tersebut peneliti mendapatkan pengakuan bahwa 10 dari 20 siswa mengaku bahwa ia mencontek kerena ingin mendapat nilai yang sempurna sehingga ia mendapatkan pujian dan diakui kepintarannya oleh teman dan keluarganya. Namun 15 siswa dari 20 siswa mengaku bahwa mereka memiliki keberanian mencontek karena mengikuti temannya yang juga melakukan perlaku mencontek. Dari observasi tersebut dapat ditegaskan bahwa mengikuti teman sekelas merupakan faktor yang memicu terjadinya perilaku mencontek siswa. Perilaku yang muncul karena menampilkan atau meniru tingkah orang lain disebut konformitas. Menurut Sears (1985) konformitas bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena ada orang lain yang menampilkan perilaku tersebut. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2005) adalah sebuah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut norma yang terdapat pada

7 kelompok acuan, menerima ide, maupun aturan-aturan bagaimana cara remaja berpeilaku. Menurut Hendrick, 2004. Menyebutkan Faktor-faktor yang menyebabkan siswa berbuat curang yaitu pertama, faktor individual yang meliputi usia, jenis kelamin, prestasi akademis, pendidikan orangtua, dan aktivitas ekstrakurikuler. Kedua, faktor kepribadian siswa yang meliputi moralitas, variabel yang berkaitan dengan pencapaian akademis, dan impulsivitas, afektivitas dan variabel kepribadian lainnya. Ketiga, faktor kontekstual yang meliputi keanggotaan perkumpulan siswa, perilaku teman sebaya, dan penolakan teman sebaya terhadap perilaku kecurangan akademik. Keempat, faktor situasional yang meliputi belajar terlalu banyak, kompetisi dan ukuran kelas serta lingkungan ujian. (Wicasksono & Andriani, 2015). faktor yang menyebabkan mencontek adalah faktor individual, faktor kepribadian, faktor kontekstual, dan fakor situasional. Dari beberapa faktor tersebut diangkat dengan tema yang lebih aktif menunjukkan faktor yang paling berpengaruh yaitu faktor kontekstual yang meliputi pengaruh teman sebaya, dan dengan penggabungan dengan faktor individual yang mengacu pada jenis kelamin. Karena kedua faktor tersebut merupakan faktor yang berperan penting terhadap perilaku mencontek pada siswa. Berdasarkan beberapa uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku mencontek pada siswa apakah terdapat hubungan dengan konformitas teman sebaya. Dan juga peneliti tertarik dengan hubungan tingkat mencontek antara siswa laki-laki dan perempuan. Dengan demikian

8 penelitian yang akan dilakukan ini berjudul Hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek pada siswa MTS x di Probolinggo. B. Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek? C. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek. D. Manfaat penelitian Berdasarkan tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka manfaat penelitian ini, yaitu : a. Manfaat secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran, dalam rangka mengembangkan ilmu, khususnya Psikologi Pendidikan. b. Manfaat secara praktis 1. Penelititan ini juga menjadi masukan untuk para guru agar mencegah faktor terjadinya perilaku mencontek siswa. 2. Bagi orang tua diharapkan untuk memberikan dukungan terhadap siswa agar berusaha dan jujur dalam memperoleh prestasi.

9 E. Keaslian penelitian Dikaji dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dan jenis kelamin dengan perilaku mencontek pada siswa. Hal ini didukung dari beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang akan dilakukan. Berikut penelitian pendukung tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Octarina (2013) dengan judul Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku Mencontek Pada Siswa SMA di Pekanbaru. Hasil penelitian ini berdasarkan hasil korelasi spearman terdapat hubungan hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek. Selain itu dalam penelitian Wicaksono. Dhimas dan Andriani (2015) dengan judul Pengaruh Konformitas Terhadap Intensi Perilaku mencontek pada Siswa SMAN 12 Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat konformitas akat meningkatkan tingkat intense perilaku mencontek seseorang. Dalam penelitian Rohana (2015) dengan judul Hubungan Self Efficacy dan Konformitas Teman Sebaya Terhadap Perilaku Mencontek Siswa SMP Bhakti Loa Janan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konformitas teman sebaya maka semakin tinggi pula perilaku mencontek yang dilakukan oleh siswa, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini juga

10 terdapat uji beda jenis kelamin rata-rata yang melakukan perilaku mencontek adalah siswa laki-laki.