BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara dalam menyelenggarakan pemerintahannya mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat yang berbunyi. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial (Undang-Undang Dasar 1945). Dari uraian tersebut tampak bahwa karena kepentingan rakyat, Negara memerlukan dana. Karena itu, jelaslah bagi kita untuk membiayai seluruh kepentingan umum, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran serta aktif dari warganya untuk ikut memberikan iuran kepada negaranya dalam bentuk pajak, sehingga segala keperluan pembangunan dapat dibiayai (Rimsky K. Judisseno 2004:2). Di Indonesia penerimaan pajak memberikan konrtibusi yang cukup besar pada penerimaan negara yaitu dengan persentase rata-rata diatas 70%. Hal ini dapat dilihat pada data sebagai berikut : 1
2 Tabel 1.1 Kontibusi Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara Tahun 2010-2014 (Triliun Rupiah) Tahun Pendapatan Negara Penerimaan Pajak Persentase 2010 Rp 995,3 triliun Rp 723,3 triliun 72,67 % 2011 Rp 1.210,6 triliun Rp 873,9 triliun 72,18 % 2012 Rp 1.338,1 triliun Rp 980,5 triliun 73,27 % 2013 Rp 1.502,0 triliun Rp 1.148,4 triliun 76,45 % 2014 Rp 1.667,1 triliun Rp 1.280,4 triliun 76,80 % Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2014 (data diolah kembali) Walaupun peran penerimaan pajak terhadap APBN itu besar, tetapi pada kenyataanya realisasi penerimaan pajak tidak dapat memenuhi dari target yang semula direncanakan. Berikut target dan realisasi penerimaan pajak tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 dikutip dari data litbang okezone: Tabel 1.2 Realisasi Penerimaan Pajak Tahun Berjalan Tahun 2009 s.d 2014 (Triliun Rupiah) Tahun Target Realisasi % 2009 Rp 652 triliun Rp 620 triliun 95,10% 2010 Rp 743 triliun Rp 723 triliun 97,30% 2011 Rp 879 triliun Rp 874 triliun 99,40% 2012 Rp 1.016 triliun Rp 981 triliun 96,40% 2013 Rp 1.148 triliun Rp 1.077 triliun 93,80% 2014 Rp 1.246 triliun Rp 1.143 triliun 91,70 % Sumber: Data Litbang Okezone Apalagi pada saat ini, penerimaan pajak pada quartal 1 tahun 2015 tidak mencapai target. Faktor kepatuhan dinilai menjadi penyebab utama tak tercapainya target penerimaan pajak. Hal itu senada seperti yang dinyatakan oleh Bambang Brodjonegoro (2015) yang dikutip dari (http://www.republika.co.id)
3 bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak RI yang rendah menyebabkan penerimaan pajak meleset pada triwulan I 2015. Penerimaan pajak Januari-Maret 2015 hanya Rp 170 triliun (13 persen). Jumlah ini masih jauh dari target yang ditetapkan untuk Ditjen Pajak sebesar Rp 1.296 triliun. Tak tercapainya target penerimaan pajak masih disebabkan kepatuhan wajib pajak. Bahkan hingga bulan September 2015 atau triwulan 3 tahun 2015 kepatuhan wajib pajak masih rendah, baik itu wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan, seperti yang diberitakan oleh Adinda Ade Mustami (2015) yang dikutip dari (http://www.kontan.co.id/) bahwa kewajiban formal wajib pajak Indonesia tergolong rendah. Data Ditjen Pajak menunjukan, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi per 10 September 2015, baru 56,36%. Angka tersebut diperoleh dari jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak orang pribadi dibandingkan dengan jumlah orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tidak hanya itu, tingkat kepatuhan wajib pajak badan per 10 September 2015 baru sebanyak 49,74%. Puncaknya terjadi pada bulan Desember 2015, dimana Direktorat Jenderal Pajak Bapak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri dari jabatanya. Alasanya karena pencapaian target penerimaan pajak yang belum sesuai dengan harapan. Hal itu senada seperti yang dinyatakan oleh Bambang Brodjonegoro (2015) yang dikutip dari (http://www.kompas.com) bahwa Direktur Jenderal Pajak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya terhitung sejak menyampaikan surat pengunduran diri pada Selasa (1/12/2015) pagi. Salah satu alasan Sigit
4 menyatakan pengunduran dirinya adalah karena merasa tidak sanggup untuk memenuhi target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294 triliun. Menjelang akhir 2015, penerimaan pajak diproyeksikan hanya bisa mencapai 85 persen-87 persen sehingga Sigit mengundurkan diri lebih dini meskipun baru menjabat sekitar sembilan bulan. Untuk lebih memperjelas mengapa penerimaan pajak tidak mencapai target, Bambang Brodjonegoro (2015) menyatakan ada tiga alasan mengapa penerimaan pajak beberapa tahun terakhir tidak mencapai target seperti yang dikutip dari (http://www.liputan6.com) bahwa ada tiga penyebab buruknya pengumpulan pajak selama belasan tahun ini. Pertama, kepatuhan WP sangat rendah yaitu hanya sekitar 50 persen. Kedua, adanya kebocoran penerimaan pajak terutama dari restitusi atau pengembalian pajak, khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, basis WP yang kecil. Meski jumlah penduduk 250 juta orang, yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 28 juta orang atau sedikit di atas 10 persen. Yang menyampaikan SPT rutin hanya 10 juta WP dan yang membayar penuh sesuai ketentuan cuma 900 ribu orang. Itu WP Orang Pribadi. Masalah kepatuhan Wajib Pajak juga terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees merupakan salah satu unit instansi yang berada dibawah dan bertanggung jawab pada Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak Jawa Barat I. Hal itu dilihat dari surat pemberitahuan (SPT) yang dilaporakan, seperti data di bawah ini.
5 Tabel 1.3 Tingkat Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees 2012-2015 Tahun WP WP Wajib WP Lapor Tingkat No Pajak Terdaftar SPT Kepatuhan (%) 1 2012 95.277 70.177 36.159 51,52% 2 2013 99.907 51.772 37.748 72,91% 3 2014 110.838 63.264 36.063 57,00% 4 2015 118.233 59.559 38.826 65.19% Sumber: Pengolahan Data dan Informasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees Berdasarkan Tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahaun (SPT) ) pada tahun 2012 sebesar 51,52%, tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 72,91%, tahun 2014 menurun sebesar 57.00% dan tahun 2015 mengalami kenaikan kembali sebesar 65.19%. Angka tersebut diperoleh dari jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak orang pribadi dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang diwajibkan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan adanya fenomena di atas, tentunya hal tersebut merupakan fakta bahwa masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakanya yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan target penerimaan pajak tidak tercapai. Untuk mendongkrak peningkatan peneriamaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik. Artinya peningkatan penerimaan pajak Negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan wajib pajak (Diana Sari, 2013:7). Untuk mewujudkanya pajak maka Direktorat Jenderal Pajak melakukan peningkatan terhadap Good Governance dan pelayanan prima (Service
6 Excellent) dalam pengelolaan administrasi perpajakan. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah dengan melakukan Reformasi Perpajakan. Reformsi Perpajakan di Indonesia yang telah dilakukan pertama kali pada tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas pengelolaan perpajakan Indonesia dari Official Assesssment System ke Self Assessment System (Diana Sari, 2013:7). Isu kepatuhan dan hal-hal yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya meningkatkan kepatuhan menjadi salah satu angenda penting di negara-negara maju, apalagi di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya (Safri Nurmantu, 2005:148). Kepatuhan Wajib Pajak sangat berperan khususnya dalam perpajakan Indonesia yang menganut self assessment sytem. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) sendiri besarnya pajak yang terutang dan membayarnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku (Diana Sari, 2013:79). Self assessment system yang diterapkan saat ini memiliki tujuan untuk (Imam Wahyutomo, 1994:12) : a. Meningkatkan kesadaran pajak (tax-conciousness) dari Wajib Pajak guna mengetahui dan melaksanakan segala kewajiban-kewajiban pajaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
7 b. Adanya hasrat dan minat yang tinggi (tax mindedness) wajib pajak untuk membayar pajak tepat pada waktunya seperti yang telah ditetapkan peraturan yang berlaku. c. Adanya kepatuhan membayar pajak (tax compliance) dan adanya disiplin dalam melaksanakan pembayaran pajak tepat pada waktunya (tax dicipline). d. Adanya kejujuran Wajib Pajak (honesty), yaitu kejujuran Wajib Pajak dalam mengisi dan membayar angsuran pajak dan mengisi SPT Tahunan sesuai dengan keadaan. e. Terhindar dari timbulnya Wajib Pajak yang tidak taat membayar pajak yang terhutang. Selain dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, self assessment system memiliki kelemahan yang memungkinkan Wajib Pajak memperoleh kesempatan yang luas untuk melakukan penyelundupan, baik secara unilateral maupun secara bilateral. Disebut sebagai penyelundupan unilateral apabila wajib pajak memberikan informasi yang palsu atau menunda pembayaran, sedangkan penyelundupan bilateral dilakukana dengan cara kolusi dengan petugas penetapan, pemeriksa dan penagih pajak dari jajaran instansi pajak (Diana Sari, 2013:95). Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku. Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah
8 pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya (Diana Sari, 2013:269). Sanksi Perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti atau ditaati atau dipatuh. Atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan (Diana Sari, 2013:272). Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk membuat skripsi berjudul Pengaruh Self Assessment System dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi kasus pada KPP Pratama Bandung Karees). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan diatas, masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya kepatuhan Wajib Pajak, maka yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah Self Assessment System berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees. 2. Apakah Sanksi perpajakan berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees. 3. Apakah Self Assessment Seystem dan Sanksi Perpajakan berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees.
9 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan: 1. Pengaruh Self Assessment System terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees. 2. Pengaruh Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees. 3. Pengaruh Self Assessment System dan Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Bandung Karees. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai pengaruh Self Assessment System dan Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Karees.
10 2. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bermanfaat khususnya mengenai self assessment system, sanksi perpajakan dan kepatuhan wajib pajak. 3. Pihak Lain Dapat dijadikan sumber informasi dan referensi dalam penelitian di bidang yang sama. 1.5 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Objek penelitian yang akan diteliti adalah wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Karees, yang beralamat di jl. Ibrahim Adjie (Kiaracondong) No 372 Bandung, 40275 Telepon: 022-7333355 Dengan Kode Kantor: 424 dan Kode Kanwil: Kanwil DJP Jawa Barat I. Waktu penelitian dilakukan mulai tanggal 1 Desember 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.