BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1.

B A B II ATMOSFER DAN GPS

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY

BAB II GPS DAN ATMOSFER

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGGUNAAN TITIK IKAT GPS REGIONAL DALAM PENDEFINISIAN STASIUN AKTIF GMU1 YANG DIIKATKAN PADA ITRF Sri Rezki Artini ABSTRAK

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

Penentuan Posisi dengan GPS

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PENGARUH DATA METEOROLOGI TERHADAP NILAI KOORDINAT HASIL PENGAMATAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan

Analisa Pergeseran Titik Pengamatan GPS pada Gunung Merapi Periode Januari-Juli 2015

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

Analisa Pengolahan Data Stasiun GPS CORS Gunung Merapi Menggunakan Perangkat Lunak Ilmiah GAMIT/GLOBK 10.6

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Cuplikan data kegempaan wilayah Sumatera bagian utara tahun 2011 (BMKG, 2015)

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip April 2016

PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN KOMBINASI TITIK IKAT GPS GLOBAL DAN REGIONAL

PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN KOMBINASI TITIK IKAT GPS GLOBAL DAN REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GPS (Global Positioning Sistem)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN I-1

MENGENAL GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) SEJARAH, CARA KERJA DAN PERKEMBANGANNYA. Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

MODUL 3 GEODESI SATELIT

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

Temporal Variation Analysis From Troposphere Delay Using GPS (Study: Bandung, Indonesia)

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

STUDI KONDISI UDARA DI ATAS GUNUNGAPI BATUR DENGAN MENGGUNAKAN GPS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI

Pembuatan Program Pengolahan Data GPS Analisa Pseudorange Dan Koreksi Troposfer

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

Jurnal Geodesi Undip Juli 2014

STRATEGI PENGOLAHAN DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN TANAH : STUDI PEREDUKSIAN BIAS ATMOSFIR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada era yang semakin modern ini mengakibatkan pesatnya perkembangan teknologi. Salah satunya adalah teknologi untuk penentuan posisi, yaitu seperti Global Navigation Satellite System (GNSS). GNSS merupakan salah satu teknologi untuk menentukan posisi di bumi dengan memadukan beberapa sistem navigasi satelit Salah satu sistem yang pertama kali dikembangkan oleh negara Amerika adalah GPS (Sunantyo, 2003). Data GNSS pasti terdapat kesalahan dan bias. Salah satu sumber kesalahan berasal dari atmosfer. Atmosfer terdiri atas beberapa lapisan seperti troposfer, ionosfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan dissipasisfer. Lapisan yang menjadi penyebab terjadinya refraksi troposfer adalah troposfer. Refraksi troposfer dapat menyebabkan terjadinya perubahan arah dan kecepatan perambatan sinyal satelit. Dampaknya pada hasil ukuran jarak dari satelit ke receiver di permukaan bumi. Peristiwa refraksi troposfer ini berpengaruh terhadap ketelitian koordinat yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan GNSS. Refraksi troposfer ini dapat diminimalisir dengan melakukan koreksi. Ada beberapa model koreksi troposfer yaitu Saastamionen, Hopfield, Marini, dan Goad-Goodman (Wells dkk., 1985). Waduk Sermo terletak di Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI. Yogyakarta. Waduk ini diresmikan tanggal 20 November 1996 oleh Presiden Soeharto. Lokasi waduk Sermo meliputi wilayah sungai Progo dengan cakupan posisi 110 o 1 s/d 110 o 16 BT dan 7 o 38 s/d 7 o 59 LS (Sunantyo dkk., 2012). Waduk Sermo merupakan salah satu waduk yang kritis di Indonesia karena diduga mengalami deformasi akibat gempa (Azdan dan Sumekto, 2008). Oleh karena itu, waduk tersebut perlu dipantau pergerakannya. Pemantauan pergerakan tersebut dilakukan dengan pengamatan GNSS menggunakan dua stasiun GNSS (SRM1 dan SRM2) yang dipasang di sekitar lokasi waduk. Data pengamatan stasiun GNSS tersebut digunakan sebagai input koordinat pada 20 sensor Robotic Total Station

2 (RTS) yang juga dipasang di sekitaran waduk. Data input yang memiliki ketelitian tinggi diperlukan untuk meminimalisir terjadinya perambatan kesalahan terhadap 20 sensor RTS. Ketelitian tinggi pada strategi pengolahan salah satunya diperoleh dengan koreksi refraksi troposfer. Pada penelitian ini mengunakan dua model koreksi troposfer antara model troposfer Saastamoinen dengan model troposfer Hopfield. Penggunaan kedua model tersebut mempertimbangkan hasil yang diperoleh memiliki ketelitian lebih tinggi daripada model lain. Penelitian ini membahas tentang perbandingan ketelitian koordinat stasiun GPS Waduk Sermo dengan koreksi troposfer model Saastamoinen dan model Hopfield. I.2. Rumusan Masalah Tersedia data GNSS pemantauan Waduk Sermo sebanyak dua stasiun, yaitu SRM1 dan SRM2. Data pengamatan GNSS ini memiliki peranan penting sebagai koordinat awal terhadap stasiun-stasiun Robotic Total Station yang juga dipasang sekitar Waduk Sermo. Data GNSS tersebut masih terpengaruh oleh refraksi troposfer. Refraksi troposfer mengakibatkan data pengamatan tidak presisi. Model koreksi diperlukan untuk menghasilkan data koordinat yang lebih presisi. Pada penelitian evaluasi ketelitian data jaring GNSS Gunung Merapi tahun 2014 dengan model troposfer yang dilakukan oleh Darnila hanya menggunakan model koreksi Saastamoinen. Belum diketahuinya pengaruh penggunaan koreksi troposfer model Saastamoinen dan model koreksi Hopfield untuk data GNSS secara spesifik merupakan masalah dalam penelitian ini. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan pertanyaan penelitian yaitu: 1. Berapa nilai koordinat kartesi (X,Y,Z) beserta simpangan baku titik stasiun SRM1 dan SRM2 setelah dikoreksi troposfer model Saastamoinen dan model Hopfield? 2. Apakah perbedaan ketelitian dari simpangan baku hasil pengolahan setelah dikoreksi troposfer model Saastamoinen dan model Hopfield berbeda secara signifikan?

3 I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data pemantauan Waduk Sermo selama 24 jam pada tujuh doy yaitu 169, 170, 171, 180, 181, 182, dan 183 dari dua stasiun GNSS (SRM1 dan SRM2) pada tahun 2011. Pemilihan doy tersebut karena tersedianya data yang lengkap selama 24 jam. 2. Perhitungan simpangan baku dengan perangkat lunak GAMIT 10.4 dan dilakukan pengujian menggunakan uji Fisher. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Perhitungan nilai simpangan baku beserta koordinat kartesi stasiun GNSS (SRM1 dan SRM2) hasil pengolahan dengan koreksi troposfer model Saastamoinen dan model Hopfield. 2. Perhitungan ketelitian nilai signifikansi perbedaan simpangan baku kedua pengolahan tersebut setelah dilakukan uji Fisher. I.6. Manfaat Manfaat dari penelitian ini dapat diperoleh koordinat dan ketelitian dari dua stasiun GNSS Waduk Sermo (SRM1 dan SRM2) dengan koreksi troposfer model Saastamoinen dengan model Hopfield. Dengan mengetahui ketelitiannya dapat digunakan sebagai koordinat acuan pada stasiun Robotic Total Station untuk pemantauan Waduk Sermo. I.7. Tinjauan Pustaka Sunantyo dkk (2012) melakukan monitoring pemantauan Waduk Sermo menggunakan multi sensor yang dipasang secara permanen. Multi sensor berupa 3D Robotic Total Station (RTS), dua unit sensor GNSS CORS, sensor AWLR, serta CCTV. Sensor GNNS CORS diinstal dengan dua menara, yaitu stasiun SRM1 dan SRM2. Data mentah kedua stasiun GNSS tersebut telah dihitung menggunakan GAMIT dan GLOBK untuk menentukan base station. Perhitungan menghasilkan koordinat kartesi 3D dari stasiun SRM1 dan SRM2. Stasiun SRM1 dengan komponen koordinat X sebesar -2174538,94742 m, Y sebesar 5933406,28999 m, dan Z sebesar -862922,86462 m. Sedangkan untuk stasiun SRM2 dengan komponen

4 koordinat X sebesar -2173483,16108 m, Y sebesar 5933919,11690 m, serta Z sebesar -861850,60211 m. Purwanto (1999) melakukan analisis pengaruh refraksi troposfer terhadap ketelitian data pengamatan GPS single frequency. Analisis dilakukan dengan membandingan dua set data GPS di tujuh titik jaring Gunung Merapi. Data tersebut diolah dengan masukan meteorologi standar dan meteorologi hasil pengukuran. Pengolahan dilakukan dengan perangkat lunak GPSWin v2.0 dan GeoLab v2.4d. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa ketelitian lebih baik pada data meteorologi hasil pengukuran dengan simpangan baku 0,5 s/d 4,7 mm dibandingkan 1,0 s/d 18,2 mm pada data meteorologi standar. Muslim (2009) telah melakukan pemodelan TEC ionosfer di atas Sumatra dan sekitarnya dari data GPS NTUS. Pemodelan dilakukan menggunakan data pengamatan GPS mendekati real time yang beresolusi tinggi menggunakan perangkat lunak Matlab. Hasil pengolahan berupa perbandingan TEC model lokal P(3,2) dari stasiun GPS NTUS dengan TEC MSILRI. Perbandingan model TEC lokal P(3,2) dari data GPS NTUS dengan model TEC MSILRI menunjukkan bahwa model TEC tersebut memiliki pola kemiripan cukup tinggi terutama pada saat proses ionisasi ionosfer lebih dominan pada pagi setelah matahari terbit sampai siang hari. Darnila (2014) melakukan penelitian data jaring GNSS Gunung Merapi tahun 2000 dengan model troposfer yang digunakan adalah model koreksi Saastamoinen. Pengolahan dilakukan dengan perangkat lunak GAMIT 10.4. Setelah dilakukan penelitian tersebut diperoleh bahwa penggunaan koreksi troposfer menghasilkan nilai baseline yang presisi dibuktikan dengan perolehan simpangan baku lebih kecil, yaitu antara 2,74 mm s/d 4,68 mm dibandingkan 5,02 mm s/d 6,71 mm yang tanpa koreksi troposfer. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan data GNSS sebanyak tujuh doy pemantauan Waduk Sermo pada tahun 2011. Penelitian dilakukan dengan membandingkan ketelitian koordinat yang dihasilkan antara koreksi troposfer model Saastamoinen dan model Hopfield. Hal ini dikarenakan pada penelitian Darnila hanya menggunakan koreksi troposfer model Saastamoinen. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan data yang digunakan yaitu data GNSS pemantauan Waduk Sermo dan kombinasi model koreksi troposfer yang

5 digunakan secara bersamaan yaitu model koreksi Saastamoinen dan model koreksi Hopfield. I.8. Landasan Teori I.8.1. Global Navigation Satellite System (GNSS) Global Navigation Satellite System atau GNSS merupakan teknologi untuk menentukan posisi di bumi dengan memadukan beberapa sistem navigasi satelit. Salah satu sistem yang pertama kali dikembangkan oleh negara Amerika adalah GPS. Global Positioning System atau GPS merupakan sistem navigasi berbasis satelit untuk penentuan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi waktu secara kontinyu di bumi (Sunantyo, 2003). GPS memiliki spektrum ketelitian bervariasi dari orde meter hingga millimeter. Ketelitian tersebut bergantung pada metode penentuan posisi yang digunakan, geometri satelit, ketelitian data yang digunakan, dan metode pengolahan data yang ditetapkan (Sunantyo, 2003). I.8.2. Global Positioning System (GPS) GPS merupakan sistem navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. GPS dapat digunakan banyak orang sekaligus dalam berbagai cuaca. GPS didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti serta informasi waktu secara kontinyu di seluruh dunia (Abidin, 1995). Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertanahan Amerika yang juga digunakan untuk kepentingan militer maupun sipil. Sistem GPS yang nama aslinya NAVSTAR GPS mempunyai tiga segmen yaitu satelit, pengontrol, dan pengguna. Satelit GPS mengorbit bumi berjumlah 24 buah dimana 21 satelit aktif bekerja dan sisanya sebagai satelit cadangan (Maulana, 2014). Sinyal GPS dibagi dalam tiga komponen, yaitu penginformasi jarak (kode), penginformasi posisi satelit (navigation message), dan gelombang pembawa (carrier wave). Ada dua kode pseudo-random nosie (PRN) yang digunakan sebagai penginformasi jarak. Kode yang pertama adalah kode P (atau private) digunakan untuk kepentingan militer Amerika Serikat dan pihak berwenang lainnya. Kode ini didesain untuk precise positioning service (PPS) dengan panjang gelombang sekitar 30 m. Kode P terdapat pada gelombang pembawa L1, L2, dan L5. Kode yang kedua

6 adalah kode C/A (Coarse Acquisition atau Clear Access) yang tersedia untuk kepentingan sipil. Kode C/A didesain untuk standard positioning service (SPS) dengan panjang gelombang sekitar 300 m. Kode C/A hanya terdapat pada gelombang L1. Sinyal GPS juga membawa pesan navigasi yang berisi informasi tentang koefisien koreksi jam satelit, parameter orbit, almanak satelit, UTC, parameter koreksi ionosfer, informasi mengenai konstelasi dan kesehatan satelit, serta broadcast ephemeris (orbit satelit). Kode-kode dan pesan navigasi tersebut dibawa ke pengamat dari satelit oleh gelombang pembawa. Terdapat tiga gelombang pembawa yang digunakan oleh masyarakat sipil, yaitu L1 dengan frekuensi 1,57542 GHz, L2 dengan frekuensi 1227,60 MHz, dan yang terbaru adalah gelombang L5 dengan frekuensi 1,17645 GHz (Hofmann dan Wellenhof, 2008). Adanya pengukuran dual frekuensi dengan L1 dan L2 memiliki keuntungan untuk mengeliminasi bias ionosfer dan meningkatkan ambiguitas resolusi terutama untuk pengukuran dengan tingkat presisi tinggi. Gelombang L5 memiliki kemampuan ranging memiliki kode pengukuran yang lebih baik daripada kode L1 C/A (Kornhauser, 2006). I.8.3. Pengamatan Dasar GPS Pengamatan dasar pada GPS dalam penentuan jarak ke satelit terdapat tiga macam yaitu pseudorange, carrier phase dan integrasi doppler (Sunantyo, 2000). 1.8.3.1. Metode Pseudorange. Prinsip pengamatan pseudorange adalah pengurangan antara waktu pemancar sinyal dalam suatu skala waktu (t) dan waktu kedatangan sinyal dalam suatu skala waktu (T) yang dipancarkan oleh satelit. Pengukuran jarak metode ini didasarkan pada pengiriman sinyal dari satelit ke receiver. Sinyal tersebut berisi informasi mengenai waktu sementara pemancaran gelombang, posisi satelit, nomor satelit dan beberapa informasi lainnya yang diperlukan. Hasil pengamatan ini terkait dengan pengamatan dengan parameter lain dengan hubungan-hubungannya dapat diformulasikan sebagai persamaan (I.1) (Abidin, 1995) : ( ). (I.1)

7 Dalam hal ini, P i ρ dρ : pseudorange pada frekuensi f i (m), i=1,2 : jarak geometris antara satelit pengamat (x,y,z) dengan satelit (m) : kesalahan jarak karena efek ephemeris dtrop : bias karena efek refraksi troposfer (m) dion i : bias karena efek refraksi ionosfer (m) dt, dt : kesalahan dan offset antara jam receiver dan jam satelit (m) MP i ϑ Pi : efek dari multipath pada hasil pengamatan P i : noise pada hasil pengamatan Pi I.8.3.2. Metode carrier phase. Prinsip carrier phase diperoleh dengan pengurangan antara sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh receiver saat penerimaan sinyal berlangsung dengan sinyal pembawa yang dibangkitkan oleh pemancar sinyal satelit. Prinsip metode ini adalah perbedaan fase antara vektor posisi satelit ke titik pengamat yang merupakan fungsi perbedaan fase sinyal yang dipancarkan oleh satelit hingga diterima oleh receiver (Sunantyo, 2000). Penentuan jarak dengan carrier phase lebih teliti dibandingkan pseudorange. Jika jarak antara satelit telah diketahui, kemudian menggunakan suatu algoritma dapat dihitung posisi receiver. Data jarak jika dihitung dengan carrier phase dapat diformulasikan pada persamaan (I.2) (Abidin, 1995): ( ). (I.2) Dalam hal ini, L i ρ dρ : jarak fase (carrier range) pada frekuensi f i (m), i=1,2 : jarak geometris antara satelit pengamat (x,y,z) dengan satelit (m) : kesalahan jarak karena efek ephemeris dtrop : bias karena efek refraksi troposfer (m) dion i : bias karena efek refraksi ionosfer (m) λi. : panjang gelombang dari sinyal (m) dt, dt : kesalahan dan offset antara jam receiver dan jam satelit (m) MC i N i Ci : efek dari multipath pada hasil pengamatan L i : ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal L i : gangguan noise pada hasil pengamatan Ci

8 I.8.3.3. Metode integrasi doppler. Prinsip dasar pengamatan dengan integrasi doppler adalah melakukan pengamatan terhadap perubahan frekuensi yang diakibatkan oleh gerak satelit-satelit GPS terhadap receiver. Berdasarkan prinsip ini maka rumusan matematis menggunakan prinsip integrasi doppler terdapat pada persamaan (I.3) (Sunantyo, 2000): fr = fs (1-(dj/dt)/c)... (I.3) Dalam hal ini, fr : frekuensi yang diterima receiver fs : frekuensi sinyal dari satelit dj/dt : laju perubahan jarak terhadap perubahan waktu c : cepat rambat gelombang elektromagnetik dalam vakum I.8.4. Penentuan Posisi dengan GPS Penentuan posisi dengan GPS pada dasarnya menggunakan metode pemotongan ke belakang dengan jarak. Pengamatan dengan teknologi GPS menghasilkan koordinat dalam sistem koordinat geodetik (φ, λ, h), koordinat kartesi tiga dimensi (X,Y,Z) dan parameter waktu. Penentuan koordinat suatu titik di bumi, receiver membutuhkan minimal empat satelit yang dapat diterima dengan baik. Posisi suatu titik di permukaan bumi dapat ditentukan menggunakan receiver GNSS metode penentuan posisi absolut (point positioning), maupun terhadap titik lain yang diketahui koordinatnya dengan metode penentuan posisi relatif (differential positioning) yang minimal dua receiver GPS (Leick, 2004). I.8.4.1. Penentuan posisi absolut. Penentuan posisi koordinat di suatu titik dengan menggunakan satu receiver. Prinsip dasarnya adalah pengikatan ke belakang dengan jarak melalui pengamatan minimal empat satelit yang diketahui koordinatnya (Sunantyo, 2000). Koordinat yang diperoleh ditentukan terhadap suatu sistem koordinat yang telah terdefinisikan. Penentuan posisi absolut tidak terlepas dari kesalahan orbit, bias ionosfer dan troposfer, kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit, serta multipath pada hasil pengamatan.

9 I.8.4.2. Penentuan posisi relatif. Penentuan posisi relatif atau penentuan posisi secara diferensial adalah penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan, yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya dua receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik), dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai persamaan I.4 dan I.5 (Kornhauser, 2006) : ( ) ( ) ( ) ( ) ( ).(I.4) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )..(I.5) Dalam hal ini, ( ) : jarak pseudorange satelit (1) dan receiver (A) pada epok t 0 ( ) : jarak fase (carrier phase) satelit (1) dan receiver (A) pada epok t 0 ( ) : jarak geometris antara receiver (A) dengan satelit (1) pada epok t 0 ( ) : kesalahan jarak akibat kesalahan ephemeris (orbit) pada satelit (1) dan receiver (A) : ambiguitas fase dari pengamatan sinyal-sinyal L1 dan L2 dari satelit (1) dan receiver (A) c : kecepatan cahaya dalam ruang vakum (m/s) λ : panjang gelombang dari sinyal (m) φ : fase gelombang yang terukur TA : bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer pada receiver (A) IA : bias yang disebabkan oleh refraksi ionosfer pada receiver (A) ( ) : kesalahan dan offset dari jam satelit (1) pada epok t 0 ( ) : kesalahan dan offset dari jam receiver (A) pada epok t 0 ε : gangguan (noise) yang disebabkan oleh mutipath Penentuan posisi secara diferensial menghasilkan ketelitian posisi yang relatif tinggi dengan level sentimeter sampai dengan milimeter. Teknik yang digunakan pada penentuan posisi secara diferensial dengan mengurangkan data pengamatan GNSS untuk mengeliminasi dan mereduksi efek dari sebagian kesalahan dan bias yang terjadi pada saat pengamatan GNSS atau teknik differencing. Data pengamatan hasil

10 pengurangan tersebut menjadi relatif lebih teliti. Ada beberapa teknik pengolahan data pengamatan GNSS secara differencing, yaitu single difference, double difference dan triple difference (Kornhauser, 2006) I.8.5. Sumber Kesalahan dan Bias pada Pengukuran GNSS Dalam perjalanannya dari satelit ke pengamat di permukaan bumi, sinyal GPS harus melalui medium propagasi, yaitu ionosfer dan troposfer dimana sinyal GPS mengalami refraksi di dalamnya. Selain itu, sinyal GPS juga dapat dipantulkan oleh benda-benda di sekitar pengamat dan menyebabkan efek multipath. Kesalahan dan bias juga dapat disebabkan oleh kesalahan orbit satelit, jam satelit, kesalahan jam satelit dan receiver, kesalahan antena, ambiguitas fase, dan cycle slips (Abidin, 2007). I.8.5.1. Kesalahan orbit satelit. Kesalahan ini disebut juga dengan kesalahan ephemeris dimana orbit satelit yang terdapat dalam broadcast ephemeris tidak sama dengan orbit satelit yang sebenarnya. Posisi satelit yang dilaporkan tidak sama dengan posisi satelit sebenarnya sehingga dapat mempengaruhi ketelitian posisi titiktitik yang diamat. Kesalahan ini membuat ketelitian posisi pada titik yang ditentukan dapat menurun dikarenakan jarak yang diukur lebih panjang atau lebih pendek. Besarnya efek kesalahan orbit satelit dapat dihitung dengan persamaan I.6 (Abidin, 2007) :..(I.6) Dalam hal ini, db : besarnya efek kesalahan orbit pada panjang baseline dr : besarnya kesalahan orbit b : panjang baseline r : jarak rata-rata pengamat ke satelit I.8.5.2. Cycle slips. Cycle slips adalah fenomena terputusnya pengamatan sinyal satelit oleh receiver karena suatu hal. Beberapa penyebab cycle slips seperti mematikan dan menghidupkan receiver, obstruksi sinyal satelit, dinamika receiver yang tinggi, rendahnya rasio signal to noise, dan receiver failure (Abidin, 2007).

11 I.8.5.3. Bias troposfer. Troposfer merupakan lapisan dari atmosfer yang berbatasan dengan permukaan bumi dan mempunyai ketebalan setinggi 9 km s/d 18 km tergantung pada tempat dan waktu. Ketika melalui troposfer, sinyal GPS mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah dari sinyal GPS. Efek utama dari refraksi troposfer adalah kesalahan terhadap hasil ukuran jarak. Bias troposfer biasanya dipisahkan menjadi komponen kering dan komponen basah. Komponen kering dapat diestimasi berdasarkan nilai meteorologi. Sedangkan komponen basah tidak bisa diestimasi. (Abidin, 2007). I.8.5.4. Efek ionosfer. Lapisan ionosfer terdapat pada ketinggian 50 km sampai dengan 1000 km di atas permukaan bumi. Kesalahan ionosfer disebabkan oleh keberadaan elektron-elektron bebas yang beterbangan di lapisan ionosfer yang menyebabkan sinyal-sinyal GPS tidak berjalan dengan kecepatan cahaya sebagaimana di dalam ruang vakum pada saat melalui lapisan ini. Modulasi sinyalsinyal GPS dapat mengalami perlambatan (pseudo-range hasil konversi kode-kode C/A dan P lebih panjang dari semestinya) begitu melalui lapisan ini, sementara fasefase frekuensi radio gelombang pembawa carrier L1 dan L2 menjadi lebih pendek dari yang sebenarnya dengan besar yang sama (Abidin, 2007). I.8.5.5. Multipath. Multipath adalah fenomena dimana sinyal satelit GPS yang tiba di antena melalui dua atau lebih lintasan berbeda karena efek pantulan bendabenda di sekitar pengamat seperti bangunan, jalan, dan permukaan air (Sunantyo, 2003). Efek multipath ini tidak bisa dimodelkan dan kesalahannnya tidak bisa dieliminasi. I.8.5.6. Kesalahan jam satelit dan jam receiver. Sistem waktu pada satelit GPS didefinisikan menggunakan jam atom. Seiring dengan berjalannya waktu, jam-jam atom tersebut mengalami penyimpangan (offset, drift, dan drift-rate). Pada umumnya receiver GPS dilengkapi dengan jam kristal quartz yang relatif lebih kecil, lebih murah, dan relatif memerlukan daya yang relatif lebih kecil dibandingkan jam atom yang digunakan di satelit (Abidin, 2007). Ketidaksesuaian antara jam satelit dengan jam receiver dapat memberikan informasi mengenai waktu yang berbeda dan dapat menjadi sumber kesalahan.

12 I.8.5.7. Ambiguitas fase. Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS saat pengukuran. Semakin panjang baseline menyebabkan kesalahan ambiguitas fase besar. Penentuan harga ambiguitas fase dapat dilakukan dengan pengamatan double difference (Sunantyo, 2003). I.8.6. Troposfer Troposfer merupakan lapisan atmosfer bagian bawah dari atmosfer bumi. Ketebalan dimulai dari permukaan bumi sampai ketinggian 40 km. Lapisan ini merupakan presentase terbesar dari total masa atmosfer yaitu lebih dari 75%, sedangkan sisanya menyebar pada lapisan yang lain (Spiegel dan Grubber, 1983). Troposfer tersusun atas 78% nitrogen dan 21% oksigen serta sedikit konsentrasi gas lainnya. Tekanan udara di permukaan laut berkisar 1 atmosfer. Makin tinggi permukaan bumi maka tekanan udara makin turun dan suhu udara juga makin turun. Nilainya sekitar 17 C pada permukaan bumi sampai sekitar -52 C pada batas atas troposfer (Fahrurrazi, 2011). Secara umum karakteristik lapisan troposfer antara lain: 1. Lebih beragamnya penurunan suhu berdasarkan ketinggian 2. Meningkatnya kecepatan angina berdasarkan ketinggian merupakan lapisan dimana sebagian besar pertukaran panas antara bumi dan stmosfer terjadi (Spiegel dan Grubber, 1983). 3. Sangat berembun pada permukaan bawah. 4. Pergerakan udara vertikal yang cukup besar. 5. Secara umum fenomena atmosfer yang disebut cuaca terjadi pada lapisan ini. I.8.7. Koreksi Troposfer Bias troposfer biasanya dipisahkan menjadi komponen kering sebesar 90 % dari bias troposfer total dan sisanya merupakan komponen basah. Dengan menggunakan model troposfer (seperti model Hopfield, Saastamoinen, Marini dan lainnya) serta data ukuran meteorologi (seperti temperatur, tekanan, dan kelembaban) di permukaan bumi, magnitude komponen kering dari bias troposfer biasanya dapat diestimasi sampai dengan ketelitian 0,2 % (Wells dkk., 1985).

13 Pada arah zenith, bias troposfer yang mempengaruhi perambatan sinyal GPS dikenal dengan istilah Zenith Tropospheric Delay (ZTD). Sedangkan bias yang dihasilkan dari komponen kering dan basah pada arah zenit dikenal dengan Zenith Hydrostatic Delay (ZHD) dan Zenith Wet Delay (ZWD) (Borbas 1997). Model troposfer yang biasa digunakan untuk mereduksi kesalahan karena bias troposfer (Permana, 2002). I.8.7.1. Model Saastamoinen. Model ini salah satu model standar untuk mengoreksi bias troposfer (Permana, 2002). { ( ) }. (I.7) Model Modifield adalah faktor ketinggian lokasi titik pengamatan dan ketinggian serta sudut zenith satelit, dengan persamaan sebagai berikut: { ( ) } (I.8) Dalam hal ini, D trop P T B Z e : bias troposfer : tekanan : suhu : nilai faktor B pada model Saastamoinen (mbar) : sudut zenith : water vapor pressure : nilai faktor koreksi pada model Saastamoinen I.8.7.2. Model Hopfield. Zenith Tropospheric Delay (ZTD) merupakan bias troposfer pada arah zenith yang dipengaruhi perambatan (delay) sinyal GPS. Sedangkan bias yang dihasilkan dari komponen kering dan basah pada arah zenith adalah Zenith Hydrostatic Delay (ZHD) dan Zenith Wet Delay (ZWD) (Permana, 2002). Persamaan untuk menentukan besar koreksi model Hopfield dengan ZHD dan ZWD diuraikan sebagai persamaan berikut:... (I.9).. (I.10) ( ).... (I.11)

14 ( ).... (I.12) ( )... (I.13) [ ( )... (I.14) ].... (I.15) ( ).... (I.16) ( ) ( ) + ( ) ( ).... (I.17)..... (I.18) [ ( ).. (I.19) ] Dalam hal ini, : bias troposfer komponen kering : bias troposfer komponen basah P : tekanan atmosfer (mbar) e : tekanan parsial dari uap air (mbar) T : temperatur ( o K) E : sudut elevasi (derajat) mf : mapping function untuk komponen h : ketinggian lapisan komponen N : refraktivitas komponen di permukaan bumi I.8.8. Ketelitian Pengukuran Seorang pengamat harus menyadari bahwa setiap pengukuran tidak dapat memiliki hasil yang benar. Kebenaran hasil suatu pengukuran hanya dapat mencapai batas tertentu saja. Hal itu dikarenakan adanya ketidakpastian yang tidak dapat dihilangkan. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung pada metode pengukuran, instrumen yang digunakan dan kondisi alam sekitar tempat berlangsungnya pengukuran (Widjajanti, 2011). Salah satu instrumen yang digunakan adalah GPS. Ketelitian data GPS tergantung pada faktor jenis data (pseudorange atau fase), kualitas dari receiver GPS yang digunakan, dan level dari kesalahan serta bias yang mempengaruhi data pengamatan (Bakosurtanal, 2002).

15 Simpangan baku dipakai untuk menilai ketelitian pengamatan dalam ilmu ukur tanah (surveying). Ketelitian dari suatu pengukuran adalah dekatnya harga ukuran dengan harga sebenarnya. Harga sebenarnya dari besaran yang diukur dalam surveying tidak diketahui, sehingga kesalahan dan ketelitian dari pengukuran tidak diketahui. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian ketelitian. Karena ketelitian dalam praktek tidak ditentukan, maka harus menggunakan konsep-konsep lain untuk mendapatkan hasil pengukuran yang dapat dipercaya atau memilih dua pengukuran atau lebih yang terbaik. Ketepatan dari pengukuran memungkinkan seorang pengamat mengambil keputusan tersebut (Cooper, 1978). Ketelitian berhubungan dengan akurasi dan presisi. Akurasi adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran terhadap nilai yang sebenarnya. Apabila nilai-nilai ukuran semakin mendekati nilai sebenarnya maka penyimpangan atau kesalahannya semakin kecil sehingga semakin tinggi tinggi akurasinya. Demikian pula sebaliknya, pengamatan dikatakan akurat apabila rata-rata kesalahan yang dihitung dengan kuadrat terkecil mendekati nol atau sama dengan nol (0). Sedangkan presisi atau ketelitian adalah tingkat kedekatan dari suatu nilai ukuran terhadap nilai ukuran lainnya. Presisi dinyatakan dengan besarnya standar deviasi (simpangan baku) hasil pengukuran tersebut. Semakin kecil standar deviasi hasil pengukuran, maka semakin teliti proses pengukuran tersebut (Cooper, 1978). I.8.9. Sistem Koordinat Geodetik Sistem koordinat geodetik merupakan sistem koordinat terestris dengan model bumi elipsoid (Fahrurrazi, 2011). Sistem koordinat geodetik seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.1. Gambar I.1. Sistem koordinat geodetik (Fahrurrazi, 2011)

16 Pada Gambar I.1, origin O sistem koordinat geodetik didefiniskan berimpit dengan pusat massa bumi. Sembarang titik A yang terletak pada permukaan elipsoid acuan ataupun A di atas permukaan bumi dapat dinyatakan posisinya dalam koordinat kartesian 3D (X, Y, Z). Titik A juga dapat dinyatakan dalam sistem koordinat geodetik dengan komponen lintang geodetik (φ), bujur geodetik (λ), dan tinggi geodetik (h). I.8.10. International GNSS Service (IGS) IGS merupakan organisasi internasional yang bergerak dalam bidang stasiun GNSS. IGS mengumpulkan sumber data permanen dari stasiun GNSS dan juga melakukan pemeliharaan terhadap sistem tersebut. Tahun 1993 IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG). Tahun 1994, IGS beroperasi secara formal. Setiap negara berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun-stasiun IGS. IGS merupakan kolaborasi kontribusi organisasi sukarela lebih dari 200 stasiun di lebih dari 80 negara. IGS global melacak lebih dari 300 jaringan tetap, stasiun GPS yang beroperasi secara terus menerus memberikan berbagai data set untuk analisis IGS pusat, untuk merumuskan produk yang tepat seperti ephemeris satelit dan clock solutions. Data IGS secara global disediakan melalui situs http://igscb.jpl.nasa.gov yang dapat diunduh secara gratis (Kouba, 2009). I.8.11. Perangkat Lunak TEQC TEQC merupakan perangkat lunak yang dikeluarkan oleh UNAVCO yang digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam pre-processing data GNSS sebagai berikut (Estey dan Stuart, 2014): 1. Translation, membaca file GNSS data pengamatan asli dan digunakan untuk konversi ke dalam data format lain. 2. Editing, digunakan dalam editing pada data pengamatan seperti melakukan pemotongan dan koreksi dari file rinex hasil konversi. 3. Quality check, memeriksa kualitas data GPS dan/atau GLONASS data rinex pengamatan file dengan atau tanpa file navigasi dengan ephemeris. Pada pengecekan kualitas data dengan TEQC beberapa parameter hasil pengecekan data pengamatan memenuhi kriteria apabila (Lestari, 2006): 1. Pengaruh ionospheric delay pada perekaman data satelit di elevation mask tidak banyak.

17 2. Efek multipath MP1 dan MP2 kurang dari 0,5 m. 3. Pengaruh Ionosphere Delay Observable (IOD) slips dan Ionosphere Delay Observable or multipath (IOD or MP) slips kurang dari 100. IOD slips merupakan parameter yang menunjukkan nilai dari keterlambatan ionosfer yang diamati. Sedangkan IOD or MP slips merupakan hitungan dari jumlah keterlambatan ionosfer dan atau multipath slips, yang merupakan gabungan dari MP1 dan MP2 (Estey, 2014). 4. Data yang dibuang dari data keseluruhan relatif kecil. I.8.12. Perangkat Lunak GAMIT/ GLOBK GAMIT/GLOBK merupakan sebuah perangkat lunak untuk analisis data GPS yang dikembangkan oleh MIT, Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics (CfA) dan Scripps Institution of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK dapat mengestimasi koordinat dan kecepatan stasiun, representasi fungsional dan stokastik dari pasca kejadian deformasi, delay atmosfer, orbit satelit dan parameter orientasi bumi. Perangkat lunak ini didesain untuk running di sistem operasi berbasis UNIX dan melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di direktori /libraries, /gamit dan /kf. GPS Analysis of Massachusset Institute of Technology (GAMIT) adalah perangkat lunak ilmiah untuk pengolahan data GNSS. GAMIT dilengkapi fasilitas pengeditan pengaturan dalam pengolahan data, pemilihan penggunaan titik ikat global sebagai parameter dan perhitungan parameter lainnya seperti parameter atmosfer, orientasi bumi (EOP), pasang surut dan cuaca yang menjadikan hasil dari pengolahan data GNSS sangat teliti. Proses pengolahan pada perangkat lunak GAMIT membutuhkan delapan macam input (Herring dan Mc. Clusky, 2010). Global Kalman Filter VLBI and GPS Analysis Program (GLOBK) adalah satu paket program yang dapat mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei ekstra terestris. Kunci data input pada GLOBK adalah matriks varian kovarian dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring dkk., 2006). Sebagai file input digunakan h-file hasil pengolahan dengan GAMIT.

18 I.8.13. Perataan Jaring pada GAMIT/ GLOBK I.8.13.1. Perataan jaring pada GAMIT. Pada perangkat lunak GAMIT, perataan dilakukan untuk pengecekan konsistensi terhadap sesama data ukuran. GAMIT menggunakan hitungan kuadrat terkecil parameter berbobot dengan teknik double difference dari pengamatan data fase untuk melakukan estimasi posisi dan orbital dari titik pengamatan. Pengolahannya mengacu pada koordinat stasiun observasi, koordinat stasiun titik ikat, dan parameter orbit (King dan Bock, 2002). Persamaan berupa persamaan observasi dengan data fase. Sebagai contoh apabila ada dua receiver yang berada pada dua titik stasiun A dan B dengan vektor koordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (X A, Y A, Z A ) dan (X B, Y B, Z B ), maka titik A dapat ditentukan koordinatnya. Untuk persamaan double difference, pengamatan dilakukan terhadap dua satelit yaitu i dan j, sehingga besarnya ρ i A dan ρ j B adalah sebagai berikut: [ ( ) ] [ ( ) ] [ ( ) ]..... (I.20) [ ( ) ] [ ( ) ] [ ( ) ].... (I.21) Dengan koordinat pendekatan titik A adalah maka :..... (I.22) Selanjutnya dilakukan proses linearisasi persamaan I.20 dan persamaan I.21. Hasilnya seperti berikut : ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ). (I.23) Substitusi persamaan I.23 terhadap persamaan I.22, maka diperoleh persamaan I.24 sebagai berikut: ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ). (I.24) Selanjutnya diperoleh solusi dari double difference seperti yang ditunjukkan pada persamaan I.25.

19 ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ). (I.25) Dalam hal ini, ρ λ N i,j : merupakan jarak antara satelit ke titik pengamatan : merupakan panjang gelombang sinyal pembawa : ambiguitas fase : satelit yang teramat A, B : stasiun pengamatan X 0,Y 0,Z 0 : koordinat pendekatan titik I.8.13.2. Solusi ambiguitas fase. Terdapat dua macam solusi ambiguitas fase yaitu wide lane (WL) dan narrow lane (NL). Dimana nilai minimal untuk WL adalah 90 % dan untuk NL adalah 80 %. Apabila nilai WL lebih besar dari 90% menandakan tidak adanya noise pseudorange pada data pengamatan. Untuk nilai NL lebih besar dari 80% menandakan tidak ada kesalahan pada ukuran dan konfigurasi jaring, kualitas orbit, koordinat apriori, dan kondisi atmosfer (Herring dkk., 2010). I.8.13.3. Evaluasi hasil pengolahan GAMIT. Evaluasi hasil pengolahan GAMIT dapat dilakukan dengan menganalisis nilai fract dan postfit nrms sebagai output dari pengolahan GAMIT. Nilai postfit nrms dapat dihitung dengan persamaan I.26. Dalam hal ini, x 2 n-u o 2 θo 2 n u : chi-squared : degree of freedom ( ).... (I.26) : varian apriori untuk unit bobot : varian aposteriori untuk unit bobot : jumlah ukuran : ukuran minimum Postfit nrms merupakan perbandingan nilai varian aposteriori dan varian apriori untuk unit bobot. Standar kualitas postfit nrms adalah ± 0,25. Apabila nilai postfit nrms lebih besar dari 0,5 maka mengindikasikan masih terdapat efek cycle slip

20 yang belum dihilangkan berkaitan dengan parameter bias ekstra atau terdapat kesalahan dalam pemodelan. Nilai fract merupakan perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal. Nilai fract digunakan untuk menganalisis apakah terdapat nilai adjust yang janggal dan perlu dilakukan iterasi untuk mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek nonlinear. Nilai adjust menunjukkan besarnya perataan yang diberikan pada parameter hitungan. Sedangkan nilai formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil. Kontrol kualitas nilai fract adalah nilainya tidak boleh lebih dari 10 (Herring dkk., 2006)...... (I.27) I.8.13.4. Perataan jaring pada GLOBK. GLOBK merupakan proses Kalman Filter untuk mengkombinasikan solusi dari hasil pengolahan data primer hasil pengamatan terrestrial maupun ekstra terrestrial (space geodesy). Terdapat tiga program utama dalam GLOBK, yaitu GLRED, GLORG, dan GLOBK. GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT dan untuk mendapatkan estimasi posisi rata-rata titik pengamatan. GLORG melakukan pengikatan titik-titik pengamatan terhadap titik-titik referensi yang diberikan. Sedangkan GLRED melakukan perhitungan posisi pada masingmasing hari (Herring, 2006). I.8.13.5. Evaluasi hasil pengolahan GLOBK. Evaluasi hasil pengolahan GLOBK dapat dilihat pada log file dan plot time series. Log file menunjukkan konsistensi data harian secara internal dan plot time series digunakan untuk melihat data outliers. Log file berisi nilai stastistik termasuk simpangan baku untuk analisis nilai koordinat hasil olahan. Sedangkan plot time series menampilkan nilai weighted root mean square (wrms) dan normal root mean square (nrms). Nilai wrms yang baik di bawah 10 milimeter (Panuntun, 2012). I.8.14. Uji Signifikansi Dua Parameter Ketelitian hasil pengamatan GPS dapat dilihat dari nilai simpangan baku komponen koordinat (σ L ). Analisis dilakukan menggunakan uji statistik Fisher dengan

21 membandingkan antara dua varian dari hasil pengamatan dengan model koreksi troposfer Saastamoinen dan model koreksi Hopfield. Uji F dapat dilakukan dengan cara berikut : 1. Menentukan hipotesis. H 0 H a : σ 2 1 = σ 2 2.. (I.28) : σ 2 1 σ 2 2...... (I.29) Dalam hal ini, H 0 : hipotesis nol H a : hipotesis alternatif 2 σ 1 2 σ 2 : varian data pengolahan dengan koreksi troposfer model Saastamoinen : varian data pengolahan dengan koreksi troposfer model Hopfield 2. Menghitung nilai F 0 dengan persamaan I.30 (Widjajanti, 2010).... (I.30) 3. Menentukan nilai dari tabel Fisher berdasarkan tingkat kepercayaan dan derajat kebebasan. 4. Pengambilan keputusan menerima atau menolak H 0, jika F hitung > F tabel maka H 0 ditolak dan jika jika F hitung < F tabel maka H 0 diterima. 5. Penolakan H 0 berarti terdapat perbedaan signifikan pada kedua pengolahan data. I.9. Hipotesis Hasil dari penelitian menggunakan koreksi troposfer model Saastamoinen pada tahun 2014, diperoleh nilai simpangan baku baseline pengamatan antara 2,74 mm s/d 4,68 mm (Darnila, 2014). Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, hipotesis dalam penelitian ini adalah ketelitian koordinat kartesi tiga dimensi (X,Y,Z) stasiun GPS SRM1 dan SRM2 yang diolah dengan koreksi troposfer model Saastamoinen memiliki ketelitian yang sama apabila diolah dengan model Hopfield. Nilai simpangan baku pengolahan kedua model troposfer tersebut kurang dari 4,68 mm.

22