BABI. PENDAillJLUAN. Masa perkembangan individu dibagi dalam beberapa fase, yang salah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BABI. PENDAillJLUAN. Seorang anak selalu membutuhkan peran orangtua. Sejak dulu sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. adat ( kebiasaan ), tujuan gaya hidup dan semacamnya.

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BABI PENDAHULUAN. Persahabatan merupakan hal yang bersifat universal yang dapat dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

PENDAHULUAN Latar Belakang

SUSI RACHMAWATI F

Bab 5 PENUTUP. Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan tentang komunikasi. bersama, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BABI. PtNDAHULUAN. Manusia tidak pernah statis, sejak pembuahan hingga ajal, selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

ABSTRAK. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. suami-istri yang menjalani hubungan jarak jauh. Pengertian hubungan jarak jauh atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

63 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan sangat berpengaruh pada minat konsumen untuk memilih dan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BABI PENDAHULUAN. menjelang saat-saat kematian, rasa cemas kerap kali singgah dalam diri manusia.

BABI PENDAHULUAN. Pada dasamya manusia merupakan individu yang beikembang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BABI PENDAHULUAN. Sepanjang rentang kehidupan, setiap individu melewati beberapa fase

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

Transkripsi:

BABI PENDAillJLUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa perkembangan individu dibagi dalam beberapa fase, yang salah satunya adalah fase dewasa awal. Pada fase dewasa awal ini, menurut Becker (dalam Mappiare, 1983: 20) merupakan suatu masa penyesuaian individu terhadap pola kehidupan, dan harapan sosial yang barn. Hurlock (1999: 252) mengemukakan bahwa terdapat tugas-tugas perkembangan pada fase tersebut, yaitu telah mulai bekerja, memilih pasangan, membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan, lebih jauh Hurlock juga menjelaskan bahwa seseorang yang dikatakan dewasa diharapkan mampu menyesuaikan dirinya secara pribadi dan sosial. Sedangkan menurut Levinson (dalam Pranoto, 2000: 1), pada tahap dewasa seseorang telah memiliki tujuan untuk menyusun suatu struktur kehidupan yang terikat pada suatu karir dan perkawinan. Pada tahap inilah seseorang mulai mapan serta dapat menciptakan suatu pola hidup tetap yang teratur dan stabil, dengan tujuan agar terbentuk suatu keluarga yang bahagia dan sukses. Pada kenyataannya, kehidupan berumah tangga tidak mungkin terlepas dari suatu permasalahan. Permasalahan tersebut dapat terjadi antara pasangan suami dengan istri, suami atau istri dengan orang tua masing-masing, dan suami atau istri dengan mertua laki-laki atau perempuan (Aryani & Setiawan, 2007: 77). 1

2 Menurut Sahli (1985: 25), dalam membina rumah tangga yang harmonis tidaklah cukup dengan hanya cinta sebagai dasar landasannya, namun ada beberapa aspek yang harus terpenuhi, yaitu kematangan emosional, kesehatan fisik dan kesiapan keuangan. Pada umumnya pasangan suami istri yang telah menikah akan berpisah dengan keluarganya masing-masing untuk memulai kehidupan yang barn. Meskipun demikian, masih banyak pasangan muda yang didesak oleh orangtuanya untuk tinggal bersama dengan orangtua saja. Hal tersebut bertujuan agar sang anak dapat tetap berbakti kepada orangtua dan menemani orangtua di masa tuanya. Adapun alasan lainnya adalah karena adanya desakan ekonomi, sehingga lebih baik dana yang terbatas dialokasikan untuk kepentingankepentingan lain yang lebih penting. Menurut Haqani (2004: 21), pada mulanya pasangan baru biasanya tidak berniat untuk terus hidup bersama mertua, akan tetapi karena banyak hal yang harus dipikirkan dalam rumah tangga, akhirnya niat untuk membangun rumah yang terpisah dari mertua tidaklah tercapai. N aluri ibu yang selalu dekat dengan anaknya juga membuat ibu cenderung in gin tinggal bersama dengan anaknya yang sudah menikah. Alasan-alasan yang mendasari perilaku tersebut ialah adanya sifat posesif ibu sejak anaknya masa kecil, sang ibu merasa lebih bertanggung jawab atas putranya, adanya pemikiran dari sang ibu bahwa ia lebih tahu keperluan anaknya, merasa lebih mengasihinya, dan ingin terns memberikan perlindungan. Sementara istripun memiliki pemikiran bahwa ia adalah istri dari sang suami dan merasa berhak mengatur segala hal dalam rumah tangganya sendiri dan tidak mengharapkan ada seorang pun yang ikut campur dalam urusan rumah tangganya

3 ini. Dalam hal ini tidak jarang mertuanya dianggap sebagai pihak ketiga yang sering ikut campur dalam kehidupan rumah tangganya. Di tengah situasi ini, mertua wanita merasa disingkirkan. Situasi konflik tersebut sering kali memicu munculnya salah paham, pertengkaran kecil, serta dapat berkembang menjadi sengketa dalam keluarga (Nadeak, 2005, Membina Hubungan Mertua-Menantu, para 1-2). Hal tersebut didukung pula oleh pendapat masyarakat pada umumnya yang menyatakan bahwa sering kali tetj adi percekcokan antara mertua perempuan dengan menantu perempuan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya keluhan yang dikatakan oleh menantu perempuan yang menyatakan bahwa mertua perempuannya terlalu cerewet, selalu mau ikut campur, dan sebagainya (Nn, 2005, Kenali Karakter Mertua, para: 1). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Duvall (dalam Pranoto 2000: 74) juga ditemukan bahwa penyebab utama konflik pada 1800 pasangan adalah perilaku ibu mertua yang sering ikut campur. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara peneliti pada tanggal 8 November 2008 di kota Jember, yang dilakukan pada seorang subjek H, 31 tahun seorang menantu perempuan yang tinggal bersama dengan ibu mertuanya. Dalam wawancara tersebut didapatkan informasi bahwa subjek tersebut mengalami konflik dengan mertua perempuannya akibat adanya perbedaan pendapat, dan mertua yang dianggap "terlalu cere wet".

4 Berikut ini kutipan dari hasil wawancara penulis dengan subjek: " Aku bek mama mertuaku tu ga piro deket kok, soale aku lek ngomongngomong ga piro cocok bek mama, mama itu ngomonge pedes wong kapan hari pernah aku salah apa gitu dibilang goblok gitu Ian, jadi ya aku rodok males ya seng mau ngomong akeh-akeh, aku dibilang gitu ya mangkel kok rasae aku cek' soroe padahal salahku kapan hari itu loh cuma masalahe aku marie ngambil nasi pas tempat nasie lupa gak ditutup, gitu langsung diomong kayak gitu, kayak cek'gobloke'ae aku". " Ya aku lek mangkel bek mama biasa'e cerita bek SS, mo bek sapa lagi Ian, tapi yo gitu SS tu kadang yo mangkelno sisan kok, seringane lak bela mama'e tok, sampe lek cek'mangkel'e males t'sopo, wong SS tu orange ya keras, ga mo ngalah itu". Pernyataan terse but diperkuat oleh hasil penelitian Dobson ( dalam Kuntaraf, 1999: 215), bahwa ibu-ibu di Amerika Serikat menyebutkan sumber depresi yang dialami di dalam pernikahan mereka adalah masalah dengan mertua atau ipar. Keadaan di Indonesia pada umumnya bahkan memiliki masalah yang lebih pelik lagi, karena secara tradisi orang timur mengharapkan dapat tinggal bersama dengan kerabat sebagai satu keluarga besar, dan walaupun mereka yang tidak tinggal bersama di bawah satu atap persoalan keluarga masih saja dapat timbul oleh berbagai sebab keadaan yang ada karena adanya ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Hubungan yang buruk antara menantu dengan pihak mertua dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga, terlebih lagi karena kehidupan wanita lebih berorientasi pada keluarga dibandingkan pria, sehingga ketegangan yang timbul lebih parah daripada ketegangan yang ditimbulkan oleh hubungan yang tidak baik antara suami dengan pihak mertuanya. Hal ini membuat penyesuaian bagi wanita lebih sulit dibandingkan dengan pria (Hurlock, 1999: 306).

5 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dimengerti bahwa masalah menantu-mertua kebanyakan tetjadi di antara kaum perempuan. Permasalahan yang terj adi seringk:ali cukup sulit diatasi, bahkan bagi mereka yang terlalu larut di dalam masalah ini, hubungannya dengan suami bisa menj adi rusak dan tidak harmonis lagi. Apalagi jika suami tidak dapat menjadi penengah karena merasa tetjepit pada posisi di tengah-tengah istri dan orangtuanya. Secara umum dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan suatu penyesuaian diri yang baik. Bilamana individu gagal menyelesaikan konfliknya maka tidak dapat disangk:al lagi individu akan merasakan ketidakpuasan, kegelisahan, perasaan sedih serta perasaan yang tidak menyenangk:an lainnya. Sebaliknya, bila individu dapat memiliki penyesuaian diri yang baik, maka ia akan dapat mampu mempersepsi suatu kenyataan dengan tepat, mengatasi stress dan kecemasan, memiliki self image yang positif, dapat mengekspresikan emosinya dengan tepat, dan mampu untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik (Haber & Runyon, 1984: 10-19). Berdasarkan dari hasil wawancara peneliti dengan subjek H yang telah dijelaskan sebelumnya, serta didukung oleh pendapat Haber & Runyon (1984: 10-19) tersebut mengenai aspek-aspek penyesuaian diri, dapat diartikan bahwa subjek tersebut tidak dapat melakukan penyesuaian diri yang baik terhadap ibu mertuanya, yang ditunjukkan dari tidak mampunya subjek mengekspresikan emosinya dengan tepat, yang ditunjukkan oleh pernyataan subjek yang menyatakan bahwa ia jengk:el dengan ibu mertuanya sehingga membuat ia malas untuk mengaj ak ibu mertuanya berbicara, dan ia juga tidak mampu untuk menj alin

6 hubungan interpersonal yang baik yang dapat terlihat dari hubungannya yang yang tidak dekat dengan ibu mertuanya. Menurut Patton (2000: 92), seorang individu akan memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan baik apabila ia dapat mengendalikan emosinya. Seseorang yang dapat mengendalikan emosinya berarti memiliki suatu kecerdasan emosional di dalam dirinya. Hubungan tersebut didukung oleh hasil penelitian Wahyuningsih (2005: 336) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian perkawinan, yaitu makin tinggi kecerdasan emosional, maka makin tinggi pula penyesuaian perkawinan. Menurut Goleman (1997: 58-59), kecerdasan emosional merupakan suatu kecakapan emosional yang meliputi kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain atau berempati, dan mampu membina ketrampilan sosial dengan baik. Individu yang memiliki kecerdasan emosional juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain, mudah mengenali emosi orang lain dan penuh perhatian. Patton (1997: 1), berpendapat bahwa melalui kecerdasan emosional seseorang dibekali kompetensi untuk menghadapi suatu kemalangan dan mempertahankan semangat dalam hidup. Kecerdasan emosional akan dapat mempengaruhi cara seseorang memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian yang tetj adi di dalam kehidupannya. Penelitian Goleman (1997: 61) menunjukkan bahwa kaum wanita yang tinggi kecerdasan emosionalnya cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan

7 perasaannya secara langsung dan memandang dirinya secara positif, memandang kehidupan sebagai sesuatu yang bermakna, mudah bergaul, dan ramah, serta mengungkapkan perasaannya dengan takaran yang wajar, mampu menyesuaikan diri dengan beban stress yang tetjadi. Kemampuan bergaul yang dimiliki membuatnya mudah menerima orang-orang barn dan ia pun cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga selalu ceria, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman sensual. Dengan demikian, bila seorang menantu perempuan memiliki kecerdasan emosional tinggi, maka ia mampu mengenali emosi dirinya, dapat mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain atau berempati, dan mampu membina ketrampilan sosialnya dengan baik, sehingga ia dapat memiliki penyesuaian diri yang baik khususnya dengan ibu mertuanya. Pendapat peneliti tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryani & Setiawan (2007: 79-89) seputar pola relasi dan konflik interpersonal antara menantu perempuan dan ibu mertua yang dilakukan pada dua orang subjek menantu perempuan, didapatk:an hasil data yang berbeda dari dua subjek menantu perempuan tersebut. Perbedaan tersebut adalah pada subjek pertama dapat dikatakan ia dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik sehingga dapat tetjalin relasi yang harmonis dengan ibu mertuanya, hal tersebut dapat terwujud karena subjek tersebut adalah menantu yang penurut dan tidak suka membantah teguran mertuanya, serta memiliki kemampuan menunjukkan empatinya kepada ibu mertuanya. Hal ini dibuktikan dari pernyataan subjek yang menyatakan bahwa ia seringkali dapat menerima keadaan bahwa ia sebagai

8 menantu haruslah menyayangi, merawat, dan memberikan perhatian kepada ibu mertuanya seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Sedangkan pada subjek kedua, ia tidak dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan ibu mertuanya. Hal terse but tetj adi karena kurangnya empati dalam diri subjek, ia seringkali merasa kesal dan tidak suka terhadap ibu mertuanya apabila ia dinasehati oleh ibu mertuanya. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik melanjutkan penelitian seputar mertua perempuan dan menantu perempuan ditinj au dari segi kecerdasan emosional dan penyesuaian diri. Peneliti ingin mengungkap sej auhmana hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri menantu perempuan terhadap ibu mertua. 1.2 Batasan Masalah Batasan masalah dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan mempetjelas arti permasalahan yang akan diteliti dan dibahas sesuai dengan fokus masalahnya, yaitu kecerdasan emosional menantu perempuan yang diperkirakan terkait dengan penyesuaian diri menantu perempuan terhadap ibu mertua. Dalam rangka mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional menantu perempuan dengan penyesuaian menantu perempuan terhadap ibu mertuanya, maka dilakukan penelitian korelasional, yaitu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua variabel tersebut. Agar subjek penelitian menj adi lebih jelas, maka yang dij adikan subjek di dalam penelitian ini adalah para istri atau menantu perempuan yang tinggal

9 serumah dengan ibu mertuanya, dan masih dalam tahap dewasa awal, yaitu berusia sekitar 18 sampai 40 tahun, sebab Hurlock (1999: 246), mengemukakan bahwa masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial barn. Selain itu, rentang usia pernikahan subjek yaitu 0-10 tahun, dengan alasan bahwa usia pernikahan dibawah 10 tahun yaitu merupakan periode awal dalam suatu perkawinan, yang merupakan masa penyesuaian diri (Clinebell& Clinebell dalam Anjani& Suryanto, 2006: 200-201). 1.3 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri menantu perempuan terhadap ibu mertua? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri menantu perempuan terhadap ibu mertua. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik - Bagi ilmu psikologi perkembangan khususnya psikologi keluarga, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik

10 mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri istri terhadap ibu mertua. 2. Manfaat Praktis a. Bagi para menantu perempuan Dapat memberikan masukan informasi mengenai keterkaitan antara kecerdasan emosional terhadap penyesuaian diri menantu perempuan dengan ibu mertuanya agar dapat tercipta hubungan yang baik dengan ibu mertuanya. b. Bagi ibu mertua Dapat memberikan pemahaman mengenai usaha penyesuaian diri menantu perempuannya, sehingga tetj adi hal yang positif di dalam membina keluarga yang harmonis. c. Bagi peneliti lain Penelitian ini diharapkan dapat memacu munculnya ide yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah penelitian yang lebih baik dan mempunyai manfaat yang lebih luas.