PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh : Aat Agustini ABSTRAK

Diah Nur Indah Sari, Ruhyandi, Susilowati

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Oleh : Tintin Purnamasari ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal FAKTOR RESIKO KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA POTUGU KECAMATAN MOMUNU KABUPATEN BUOL ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP BIDAN DENGAN PELAKSANAAN ASUHAN PERSALINAN NORMAL (APN) DI RSUD CIDERES KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2015.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan yang cepat dan sangat penting atau sering disebut masa kritis anak

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

HUBUNGAN PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEMON II KULON PROGO TAHUN 2012

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

SUMMARY ABSTRAK BAB 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Di dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG ISPA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang. menular serta dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

BAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1).

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang sering menyerang anak-anak. Salah satu penyakit saluran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008).

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang

Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut WHO upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kematian bayi (AKB) masih cukup tinggi, yaitu 25 kematian per 1000

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS PIYUNGAN BANTUL TAHUN 2010 NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

KARAKTERISTIK FAKTOR RESIKO ISPA PADA ANAK USIA BALITA DI PUSKESMAS PEMBANTU KRAKITAN, BAYAT, KLATEN. Suyami, Sunyoto 1

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batuk pilek merupakan gangguan saluran pernafasan atas yang paling

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK ORANG TUA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG KABUPATEN PURBALINGGA 2012

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS LAU KABUPATEN MAROS

SKRIPSI. Disusun untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S 1 Kesehatan Masyarakat. Oleh: TRI NUR IDDAYAT J

Transkripsi:

PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh : Eti Rohayati ABSTRAK Angka kejadian pneumonia yang tinggi maka diperlukan upaya-upaya kesehatan masyarakat dalam mencegah terjadinya pneumonia. Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya pneumonia, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul pada tahun 2013 masih menempati 10 besar dengan jumlah kasus sebanyak 298 kasus (8,37%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014. Penelitian ini menggunakan penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita pneumonia dan non pneumonia dengan jumlah sampelnya sebanyak 136 keluarga balita pneumonia dan 136 keluarga balita non pneumonia. Uji hipotesis yang digunakan yaitu uji T- Independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75% dan rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,05%. Ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001). Perlunya petugas kesehatan untuk lebih menjaga dan meningkatkan kegiatan penyuluhan pada masyarakat dan keluarga mengenai perilaku yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia melalui kegiatan pemberian informasi dan penyuluhan secara rutin.

I. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sektor pendidikan, ekonomi, sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif ( Kementerian Kesehatan RI, 2013). Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan dan kematian balita. World Health Organization (WHO) memperkirakan angka kematian balita setiap tahunnya di atas 40 per 1.000 kelahiran hidup dan 15%-20% pada golongan usia balita karena insiden penumonia. Pneumonia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah (WHO, 2011). Angka kematian balita di Indonesia telah berhasil diturunkan dari 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 40 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2014, sementara target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Insiden kejadian pneumonia selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu pneumonia juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Kejadian pneumonia pada balita di Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 312.014 kasus. Adapun angka kematian karena pneumonia pada balita sebanyak 251 kejadian (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Adapun penemuan pneumonia di Jawa Barat pada tahun 2014 sebesar 168.140 kasus dan angka ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Adapun kematian karena balita karena pneumonia di Jawa Barat sebanyak 23 kejadian (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2013). Usia balita merupakan kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernafasan. Penyakit pneumonia merupakan penyakit pernafasan yang terberat dan banyak menimbulkan kematian (Saydam, 2011). Proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan nafas cepat dan nafas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernafas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati (Misnadiarly, 2008). Angka kejadian pneumonia yang tinggi maka diperlukan upaya-upaya kesehatan masyarakat dalam mencegah terjadinya pneumonia. Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya pneumonia, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan pneumonia atau peran aktif keluarga dalam menangani penyakit pneumonia (Departemen Kesehatan RI, 2008). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku manusia merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus

yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif atau tanpa tindakan yaitu berpikir, berpendapat dan bersikap maupun bersifat aktif yaitu dengan tindakan (Maulana, 2009). Perilaku keluarga yang dapat meningkatkan risiko pneumonia diantaranya mempunyai kebiasaan merokok yang dilakukan didalam rumah, perilaku dalam hal membuang dahak saat batuk, perilaku dalam pengobatan secara medis misalnya membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit (Syahriyanti, 2010). Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk memasak. Beberapa keluarga juga mempunyai kebiasaan untuk menggunakan anti nyamuk bakar ketika akan tidur (Aditama, 2009). Berdasarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2014 balita yang mengalami infeksi saluran pernapasan sebanyak 37.392 balita, terdiri dari pneumonia sebanyak 4.053 balita (10,83%) dan non pneumonia sebanyak 33.339 balita (89,16%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2014). Adapun pada tahun 2013 jumlah balita yang mengalami infeksi pernapasan sebanyak 30.607 balita, terdiri dari pneumonia sebanyak 3.163 balita (10,33%) dan non pneumonia sebanyak 27.444 balita II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2010) pendekatan cross sectional yaitu untuk mempelajari (89,66%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013). Angka pneumonia di Kabupaten Majalengka tahun 2014-2013 sedikit mengalami penurunan. Meskipun demikian kejadian pneumonia pada balita perlu menjadi perhatian dan kerja keras dari semua pihak terutama oleh keluarga. Karena keluarga merupakan bagian terpenting dalam pencegahan dan penyebaran penyakit pneumonia pada balita seperti kebiasan merokok dalam rumah, membakar sampah di sekitar rumah, menggunakan obat nyamuk bakar, kebiasaan mencuci tangan dan menurup ketika batuk, kesadaran akan pemberian ASI secara eksklusif, imunisasi lengkap serta memperhatikan gizi pada makanan keluarga. Adapun Puskesmas di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 dengan kasus pneumonia pada balita paling tinggi terdapat di UPTD Puskesmas Munjul yaitu sebanyak 298 balita (8,37%) dari 3.562 balita. Apabila dibandingkan dengan Puskesmas terdekat seperti Puskesmas Majalengka hanya 124 balita (3,56%) dari 3.480 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013). Dengan adanya masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014. dinamika korelasi antara faktor-faktor dengan efek dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja.

III. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat 1) Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 Kejadian Pneumonia pada Balita f % Pneumonia 136 50,0 Non pneumonia 136 50,0 Jumlah 272 100 Penentuan besar sampel menggunakan perbandingan 1 : 1 sehingga didapatkan frekuensi kejadian besarnya menjadi 50%, namun sesungguhnya berdasarkan data didapatkan bahwa kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 sebesar 298 kasus (8,37%) dari jumlah 3.562 balita. Berdasarkan tabel 4.1 tersebut, maka setengahnya balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka mengalami kejadian pneumonia. 2) Gambaran Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.2 Distribusi Tendensi Sentral Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Variable Mean Median Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia Standar Deviasi Skor Minimal Skor Maksimal 64,75 63,60 13,424 27,30 90,90 Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75 dengan skor minimal sebesar 27,30% dan maksimal 90,90%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perilaku keluarga balita pnuemonia adalah kurang baik. Sementara hasil pengumpulan data diperoleh bahwa perilaku keluarga yang berisiko terhadap pneumonia yang masih ditemukan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3 Rekapitulasi Perilaku Keluarga Balita Pneumonia yang Berisiko terhadap Pneumonia pada Balita No Perilaku Keluarga Frekuensi n % 1 Kebiasaan merokok dalam rumah 42 31 2 Kebiasaan batuk tidak ditutup mulutnya 47 35 3 Adanya anggota keluarga membuang dahak 28 21 disembarang tempat 4 Tidak segera membawa anak ke dokter ketika 57 42 mengalami batuk 5 Masih menggunakan obat nyamuk bakar 26 19 6 Terbiasa mencuci tangan tanpa sabun 74 54 7 Masih membakar sampah di sekitar rumah 27 20 8 Masih menggunakan kayu bakar dalam memasak 8 5.9 9 Tidak memberikan ASI secara eksklusif 92 68 10 Pemberian imunisasi pada anak tidak lengkap 26 19 11 Tidak memperhatikan gizi seimbang 100 74 Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa tiga besar perilaku berisiko teradap pneumonia yang masih banyak ditemukan pada keluarga balita pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 yaitu tidak memperhatikan gizi yang seimbang pada menu makanan untuk balita (74,0%), pemberian ASI tidak eksklusif (68,0%) dan kebiasaan mencuci tangan tanpa menggunakan sabun (54%). Adapun perilaku lainnya dengan jumlah yang beragam masih berada di bawah angka 50%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat mengenai ASI eksklusif dan pemberian makanan dengan gizi seimbang masih rendah. 3) Gambaran Perilaku pada Keluarga Balita Non Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.4 Distribusi Tendensi Sentral Perilaku pada Keluarga Balita Non Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Variable Mean Median Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia Standar Deviasi Skor Minimal Skor Maksimal 79,05 81,90 12,683 36,40 100 Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,05 dengan skor minimal sebesar 36,40% dan maksimal 100%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perilaku keluarga pada balita non pneumonia lebih baik dibanding rata-rata keluarga balita pneumonia. Berdasarkan pengumpulan data diperoleh bahwa perilaku keluarga yang berisiko terhadap pneumonia yang masih ditemukan adalah sebagai berikut :

Tabel 4.4 Rekapitulasi Perilaku Keluarga Balita Non Pneumonia yang Berisiko terhadap Pneumonia pada Balita No Perilaku Keluarga Frekuensi n % 1 Kebiasaan merokok dalam rumah 60 44 2 Kebiasaan batuk tidak ditutup mulutnya 43 32 3 Adanya anggota keluarga membuang dahak 12 8,8 disembarang tempat 4 Tidak segera membawa anak ke dokter ketika 22 16 mengalami batuk 5 Masih menggunakan obat nyamuk bakar 20 15 6 Terbiasa mencuci tangan tanpa sabun 40 29 7 Masih membakar sampah di sekitar rumah 26 19 8 Masih menggunakan kayu bakar dalam memasak 3 2,2 9 Tidak memberikan ASI secara eksklusif 35 26 10 Pemberian imunisasi pada anak tidak lengkap 23 17 11 Tidak memperhatikan gizi seimbang 29 21 Berdasarkan table 4.5 menunjukkan bahwa secara keseluruhan perilaku berisiko teradap pneumonia yang masih banyak ditemukan pada keluarga balita pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 jumlahnya di bawah angka 50%. Namun, yang masih banyak ditemukan yaitu kebiasaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah (44%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam penggunaan kayu bakar, kebiasaan buang dahak sembarang serta segera membawa anaknya ke petugas kesehatan untuk diperiksa jika mengalami tanda-tanda pneumonia sudah baik. 1. Analisis Bivariat Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Non Pneumonia terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.6 Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Non Pneumonia terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Variabel Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia Perilaku pada Keluarga Non Balita Pneumonia Mean Standar Deviasi Standar Error value 64,75 13,425 1,151 136 0,0001 79,06 12,684 1,088 136 N Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75 dengan standar deviasinya sebesar 13,425, sementara pada rata-rata perilaku

pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,06 dengan standar deviasinya sebesar 12,684. Hal ini menunjukkan ada perbedaan ratarata sebesar 14,31. Hasil uji-t independent pada α = 0,05 diperoleh value = 0,0001 yang berarti value < IV. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001). Adanya hubungan dapat dikarenakan keluarga yang dapat mengurangi perilaku yang berisiko dapat mencegah kejadian pneumonia pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Departemen Kesehatan RI (2008), yaitu faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan pneumonia atau peran aktif keluarga dalam menangani penyakit pneumonia. Faktor perilaku keluarga tersebut diantaranya adalah kebiasaan merokok dalam rumah, batuk dan membuang dahak, membawa anak ke petugas kesehatan, penggunaan obat nyamuk bakar dan menggendong anak ketika memasak. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Suprajitno (2010) menyatakan bahwa fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena segala sesuatu tidak akan berarti jika mengalami masalah kesehatan, sehingga akan mempengaruhi secara sosial dan ekonomi keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. α sehingga ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Menurut Syahriyanti (2010), perilaku keluarga yang dapat meningkatkan risiko pneumonia diantaranya mempunyai kebiasaan merokok yang dilakukan didalam rumah, perilaku dalam hal membuang dahak saat batuk, perilaku dalam pengobatan secara medis misalnya membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit. Sementara menurut Aditama (2009), dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk memasak. Beberapa keluarga juga mempunyai kebiasaan untuk menggunakan anti nyamuk bakar ketika akan tidur. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hendarwan (2010) di Kabupaten Serang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pneumonia pada balita adalah perilaku keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Indriastuti (2010) menyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata perilaku keluarga pada balita penderita ISPA di Kota Banda Aceh Tahun 2010. Pada penelitian ini didapatkan menunjukkan ada perbedaan rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 sebesar 14,31. Hasil ini lebih rendah disbanding hasil penelitian Makhfudin (2009) menyatakan bahwa ada perbedaan rata-rata perilaku keluarga antara keluarga dengan balita terkena infeksi pernafasan dan balita

keluarga dengan balita tidak terkena infeksi pernafasan di Desa Pasar Banggi Rw 4 Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang sebesar 53,00%. Kejadian pneumonia pada balita dapat dikarenakan perilaku keluarga yang kurang baik dalam menjaga kondisi lingkungan atau adanya kebiasaan yang dapat beriksiko pada tingginya penyakit pneumonia. Maka dari itu, perlu adanya intervensi petugas kesehatan melalui pengawasan dan penyuluhan pada keluarga mengenai perilaku yang dapat mencegah kejadian pneumonia pada balita. V. KESIMPULAN 1. Kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 sebesar 298 kasus (8,37%) dari jumlah 3.562 balita. 2. Rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebesar 64,75%. 3. Rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebesar 79,05%. 4. Ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001). DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y. 2009. Polusi Udara dan Kesehatan. Jakarta: Arcan. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Betz, C. L. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC. Brashers, V. L. 2009. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen; Alih Bahasa H.Y Kuncara; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Devi Yulianti, Edisi 2. Jakarta: EGC. Crowin, E. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan RI, 2008. Pneumonia pada Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. 2013. Kejadian ISPA pada Balita di Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. 2013. Assessment GAVI-HSS. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Anak Provinsi Jawa Barat. Djojodibroto. 2009. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Bogor: Litbang Institut Pertanian Bogor. Erlien. 2008. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). www.idai.or.id/kesehatananak/art ikel, diakses tanggal 25 April 2014.

Ismawati, C. 2010. Posyandu & Desa Siaga Panduan Untuk Bidan dan Kader. Yogyakarta : Muha Medika. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Maulana. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik dan Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Muaris, H. 2006. Makanan Bergizi untuk Anak Balita. Jakarta: Gramedia. Mukty dan Alsagaf, H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Notoadmodjo. S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.. 2007. Promosi Kesehatan Teori dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhidayah, I. 2008. Upaya Keluarga dalam Pencegahan dan Perawatan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Rumah pada Balita di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD. Rudianto, 2010. Penyakit Pneumonia (Radang Paru). http://medicastore.com, diakses tanggal 12 Maret 2014. Said, A. 2010. Determinan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan, Volume 29 No I. Santoso, A. 2007. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Medika. Saydam, G. 2011. Memahami Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta. Somantri. 2010. Informasi tentang Penyakit Pneumonia. http://www.persify.com, diakses tanggal 20 Maret 2014. Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Syahriyanti, E. 2010. Stop Merokok. Yogyakarta: Dara Ilmu. WHO. 2011. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. WHO.