Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

dokumen-dokumen yang mirip
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri serta turut aktif dalam membina kemitraan dengan Usaha Kecil dan

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi,

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengusaha untuk mengembangkan usahanya. kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

A. Pengertian Perjanjian. C. Unsur-unsur Perjanjian. B. Dasar Hukum Perjanjian 26/03/2017

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak krisis melanda Indonesia, perekonomian Indonesia mengalami

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI. (Studi Terhadap Profil Perjanjian Jasa Laundry Di Surakarta)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis hukum terhadap perjanjian kredit yang dibakukan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dengan banyaknya industri rokok tersebut, membuat para produsen

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015

Transkripsi:

PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu membuat, mengadakan maupun melaksanakan perjanjian. Hampir setiap aspek dari kehidupan manusia tidak dapat luput dari perjanjian. Perjanjian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Walau demikian ternyata tidak semua orang mengerti makna dan pengaruh dari dibuatnya suatu perjanjian bagi harta kekayaannya. Sampai seberapa jauh seseorang dapat membuat perjanjian yang akan mengikat dirinya ataupun suatu pihak lain dalam kapasitas tertentu. Membuat suatu perjanjian harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dan asasasas yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menentukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya : 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1 (satu) dari Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : 1 Atikel 2 Dosen pada Fakultas Hukum Unsrat Manado suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setipa orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Jika kita perhatikan Kitab Undang-undang Hukum Perdata menunjuk pada pengertian sebab atau causa yang halal. Secara prinsip dapat kita katakan bahwa apa yang dinamakan dengan sebab atau causa yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab atau causa yang dipergunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, yang menunjuk pada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum, atau dilakukan atau dilaksanakannya suatu perbuatan hukum tertentu. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah keberlakuan asas kebebasan berkontrak dapat dilaksanakan dalam praktek? 2. Apakah kendala-kendala terhadap keberlakuan asas kebebasan berkontrak yang timbul bila ditinjau dari segi yuridis? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Adapun tujuan daripada penelitian ini adalah : 1. Untuk mengkaji keterkaitan antara persoalan-persoalan yang timbul di dalam kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Hukum Kontrak dalam pelaksanaannya dalam praktek. 2. Untuk menganalisis kendala-kendala terhadap keberlakuan asas kebebasan berkontrak yang timbul dari segi yuridis.

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini ialah : 1. Memberikan pemahaman tentang kendalakendala tentang kebebasan berkontrak jika dikaitkan dengan hukum kontrak di Indonesia. 2. Memberikan pemahaman tentang kendalakendala terhadap keberlakuan asas kebebasan berkontrak ditinjau dari segi yuridis normatif. PEMBAHASAN A. PELAKSANAAN KEBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PRAKTEK Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) menentukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya : 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1 (satu) dari Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setipa orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Jika kita perhatikan Kitab Undang-undang Hukum Perdata menunjuk pada pengertian sebab atau causa yang halal. Secara prinsip dapat kita katakan bahwa apa yang dinamakan dengan sebab atau causa yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab atau causa yang dipergunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, yang menunjuk pada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum, atau dilakukan atau dilaksanakannya suatu perbuatan hukum tertentu. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Untuk ini dapat diberikan contoh sebagai berikut : 1. Bank W memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan perjanjian bahwa A akan mengembalikan seluruh pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak penarikan dana oleh A. Aelain kewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman, maka A juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh bank W sebelumnya. 2. Bank X memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan ketentuan bahwa pinjaman hanya akan dipergunakan sebagai modal kerja untuk membeli bahan baku untuk melancarkan produksi pabrik milik A. A berjanji akan mengembalikan seluruh pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak penarikan dana oleh A dan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh bank X sebelumnya. 3. Bank Y memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan perjanjian bahwa A akan mengembalikan seluruh pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak pengembalian dana oleh A. Selain

kewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman, maka A juga diwajibkan untuk mengembalikan pokok pinjaman, maka A juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh Bank Y, meskipun tidak diberitahukan oleh A, mengetahui bahwa uang pinjaman tersebut akan dipergunakan oleh A untuk melakukan transaksi spekulatif perdagangan valuta asing itu, tidak pernah dibicarakan antara Bank Y dan A, maka hal tersebut (transaksi spektakulatif perdagangan valuta asing) tidak dinyatakan dalam perjanjian yang dibuat antara Bank Y dan A. 4. Bank Z memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan perjanjian bahwa A akan mengembalikan seluruh pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak pengambilan dana oleh A. Selain kewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman, maka A juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh Bank Z. Dalam perjanjian pemberian pinjaman tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa uang pinjaman tersebut akan dipergunakan oleh A untuk melakukan transaksi spektakulatif perdagangan valuta asing. Didalam perjanjian yang pertama, Bank W tidak mempersoalkan penggunaan fasilitas pinjaman oleh A. Dalam hal yang demikian, maka prestasi masing-masing pihak adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam perjanjian, yaitu Bank W untuk memberikan atau mencairkan pinjaman kepada A dan A untuk membayar bunga pinjaman dan mengembalikan pokok pinjaman sebagaimana telah ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian yang demikian tidaklah melanggar ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Apabila A mempergunakannya untuk membiayai transaksi spekulatif perdagangan valuta asing, maka hal tersebut tidaklah berkaitan dengan perjanjian pemberian pinjaman oleh Bank W kepada A, meskipun alasan atau penyebab A memerlukan pinjaman dari Bank W adalah untuk transaksi spektakulatif perdagangan valuta asing. Didalam perjanjian yang kedua, secara jelas disebutkan bahwa pinjaman yang diberikan hanya boleh dipergunakan untuk keperluan pembelian bahan baku. Dalam hal terjadi penyimpangan oleh A dalam mempergunakan fasilitas pinjaman, maka A telah dianggap melakukan wanprestasi, dengan segala akibat hukumnya. Apabila A mempergunakannya untuk membiayai transaksi spekulatif perdagangan valuta asing, maka hal tersebut tidaklah berkaitan dengan perjanjian pemberian pinjaman oleh Bank kepada A. Hal transaksi spekulatif perdagangan valuta asing menjadi tanggung jawab dari A semata-mata, perjanjian tidak menjadi tidak sah dan batal karena kegiatan penggunaan fasilitas pinjaman oleh A untuk transaksi spekulatif perdagangan valuta asing. Pengakhiran perjanjian yang dipercepat dapat dilakukan oleh Bank, karena A telah melanggar prestasi yang wajib dilakukan olehnya, yaitu mempergunakan fasilitas di luar untuk keperluan pembelian bahan baku (melanggar kesepakatan yang telah dicapai). Didalam perjanjian yang ketiga, meskipun Bank Y mengetahui bahwa A semata-mata akan mempergunakan pinjaman yang diberikan untuk transaksi spekulatif perdagangan valuta asing, namun oleh karena hal tersebut tidak dinyatakan dalam perjanjian dan hukum tidak berkewajiban untuk mengetahui latar belakang terbentuknya suatu perjanjian, yang dalam pandangan awam merupakan causa atau sebab atau alasan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku bagi Bank Y dan A. Kebebasan untuk membuat perjanjian ada pada Bank Y dan A. Prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, Bank Y dan A serupa dengan konstruksi dalam perjanjian antara Bank W dan A. Agak berbeda dari konstruksi perjanjian ketiga, dalam perjanjian keempat ini, secara jelas dinyatakan dalam perjanjian bahwa tujuan penggunaan dana adalah untuk transaksi spekulatif perdagangan vakuta asing. Transaksi spekulatif perdagangan valuta asing yang dinyatakan dalam perjanjian adalah suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh A. Oleh karena pemberian pinjaman oleh Bank untuk melakukan transaksi spekulatif perdagangan valuta asing adalah sesuatu yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini perhatikan SK Direksi BI No. 28/119/KEP/DIR, yang dalam rumusan

Pasal 6 ayat (2)nya menyatakan bahwa : Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) untuk keperluan transaksi derivatif kepada nasabah, maka sesuai ketentuan Pasal 1320 jo, Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian tersebut tidak mengikat para pihak, dalam pengertian bahwa segala ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan berlakunya. Bahwa undang-undang memperlakukan setiap causa atau sebab atau alasan sebagai halal, kecuali dapat terbukti atau dibuktikan dari isi perjanjian, yang merupakan pokok dalam perjanjian yang tanpanya perjanjian tidak akan pernah dibuat, prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian dapat kita temukan dasarnya pada ketentuan Pasal 1336 Kitab Undangundang Hukum Dagang, yang berbunyi : jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, ataupun jika ada sebab lain daripada yang dinyatakan itu, perjanjiannya, namun demikian adalah sah. Dalam hal demikian berarti sebab atau causa atau alasan tersebut haruslah sesuatu yang diketahui oleh kedua belah pihak secara bersama-sama, yang pada dasarnya merupakan kehendak para pihak, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk prestasi yang harus dipenuhi. B. KENDALA-KENDALA PELAKSANAAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK Sehubungan dengan asas kebebasan berkontrak ini dapat penulis kemukakan ketentuan yang diatur dalam ketentuam Pasal 18, Bab V Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, yang secara lengkapnya menyatakan : Pasal 18 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibayarkan oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur kembali pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada konsumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentantang dengan undangundang ini. Menarik adalah ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, yang menyatakan bahwa setiap klausula baku yang membuat hal-hal yang disebut dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. Klausula baku menurut ketentuan Pasal

1 angka 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah : klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jika kita baca ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat kita lihat bahwa pada dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku tidak membatalkan (demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausula baku tersebut, melainkan hanya membatalkan (demi hukum) klausula baku tersebut. Jika kita perhatikan ketentuan mengenai klausula baku yang diatur dan dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut jelas merupakan bersifat membatasi atau mengurangi prestasi yang harus dilakukan oleh pelaku penawaran terhadap barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Didalam pandangan penulis, ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan lege generalinya. Dengan demikian berarti semua perjanjian yang mengandung causa atau sebab yang terlarang yang terwujud dalam bentuk prestasi yang tidak diperkenankan untuk dilakukan menurut hukum, kesusilaan dan ketertiban umum, meskipun ia memuat atau tidak memuat klausula baku seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Perlindungan Konsumen akan tetap batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki daya ikat dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada debitur melalui mekanisme hukum yang berlaku. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Buku Seri Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya dan pada uraian sebelumnya bahwa apa yang dinamakan dengan sebab atau causa yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab atau causa yang dipergunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, yang menunjuk pada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum, atau dilakukan atau dilaksanakannya suatu perbuatan hukum tertentu. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang kesusilaan dan ketertiban umum. Didalam pandangan tersebut perlu diperhatikan dua pendapat sehubungan dengan terdapatnya isi perjanjian yang kesusilaan dan ketertiban umum : 1. Sebagaimana diajarkan oleh banyak ahli hukum, bahwa ketiadapemenuhan syarat obyektif ini, yaitu tidak adanya causa yang halal, mengakibatkan batalnya perjanjian, sehingga dengan demikian tidak pernah ada Schuld dan Haftung sama sekali. Terhadap pandangan yang demikian, dalam hemat penulis ada dua hal yang perlu disampaikan : a. Pernyataan batal demi hukum tersebut hanya tepat jika memang obyek kebendaan dari prestasi yang hendak dilakukan tersebut adalah obyek dari suatu prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian, yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum. Dalam halnya terdapat ketentuan lain, di mana yang dilanggar adalah suatu ketentuan yang bukan obyek yang merupakan prestasi yang menjadi unsur esensialia dari perjanjian sebagai satu kesatuan dalam perjanjian tersebut, maka perjanjian tidak batal demi hukum, melainkan hanya batal terhadap ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum tersebut. Untuk ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagaimana telah dijabarkan di atas. b. Mengenai Schuld dan Haftung yang dikatakan tidak ada sejak awal, oleh karena perjanjian tersebut dianggap tidak sah, dalam pandangan penulis, hal tersebut juga tidak sepenuhnya benar. Jika kita ingat kembali ketentuan mengenai perjanjian untung-untungan yang lahir dari perjudian, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1788 dan Pasal 1791 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang keduanya berbunyi sebagai berikut : Pasal 1788 Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan. Pasal 1791 Seorang yang secara sukarela telah membayar kekalahannya, sekali-kali tidak diperbolehkan menuntutnya kembali, kecuali apabila dari pihaknya pemenang telah dilakukan kecurangan atau penipuan. Dapat kita ketahui bahwa berlakunya suatu causa yang halal tidak demi hukum meniadakan Schuld dan Haftung yang lahir dari perjanjian tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, keadaan tersebut hanya meniadakan Haftung pada sisi kreditur, yang tidak memberikan hak kepadanya untuk menyita dan menjualnya guna memenuhi perikatan debitur tersebut, sebagaimaa dimungkinkan menurut ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Seorang debitur yang tetap ingin memenuhi kewajibannyapun tetap diperbolehkan, oleh karena ia sejak awal telah memiliki Schuld dan karenanya pembayaran yang dilakukan olehnya tersebut tidak dianggap sebagai pembayaran yang diatur dalam Pasal 1359 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan bebas (natuurlijke verbintenis), yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali. Rumusan Pasal 1359 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut di atas memperlihatkan kepada kita semua bahwa yang dilindungi oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah pembayaran yang tidak diwajibkan, yang semula tidak diketahui bahwa pembayaran yang dilakukan tersebut adalah memang tidak diwajibkan. Dalam hal pihak yang melakukan pembayaran sudah sejak awal mengetahui bahwa pembayaran yang tidak diwajibkan tersebut, yang telah dilakukan berlaku sah demi hukum dan karenanya tidak dapat dituntut kembali oleh pihak yang melakukan pembayaran. Jadi unsur ketidaktahuan bahwa pembayaran tersebut tidak wajib dilakukan merupakan unsur yang paling menentukan dapat tidaknya pembayaran yang telah dilakukan tersebut dituntut kembali. 2. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh penulis sehubungan dengan dua alasan yang disebutkan di atas. Dalam pendapat ini menurut hemat penulis, berlakunya causa yang tidak halal harus diperhatikan dalam rangkaian obyek perjanjian yang merupakan suatu kebendaan yang terikat dengan prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam hal ini maka selama dan sepanjang causa yang tidak halal tidak berkaitan langsung dengan obyek perjanjian yang merupakan suatu kebendaan yang terikat dengan prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka perjanjian tidak batal demi hukum, melainkan hanya batal terhadap klausula yang memuat ketentuan yang bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum tersebut. Selain ketentuan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, ketentuan Pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Dagang mengenai wesel juga telah mengaturnya, dengan memberikan rumusan : penarik suatu surat wesel harus menanggung akseptasi dan pembayarannya. Ia boleh mengecualikan diri dari kewajibannya menanggung akseptasi, namun tiap-tiap klausula untuk mengecualikan diri dari kewajibannya menanggung pembayaran harus dianggap tidak tertulis. Dengan ketentuan yang demikian jelaslah bahwa suatu causa yang tidak halal, yang dalam rumusan tersebut di atas bertentangan dengan ketentuan undang-undang (Kitab Undangundang Hukum Dagang), oleh karena tidak berkaitan langsung dengan obyek perjanjian yang berhubungan langsung dengan prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian, maka hanya dinyatakan tidak berlaku atau batal sebatas pada klausula tersebut.

Dengan demikian maka sesungguhnya Schuld tetap ada dalam perjanjian tersebut, oleh karena para pihak telah secara sadar mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut, hanya saja pihak kreditur tidak dapat mempergunakan haknya yang diberikan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk meminta pemenuhan perikatannya. Jadi dalam hal ini yang tidak ada hanyalah Haftung. Dengan demikian berarti tidak dipenuhinya ketentuan mengenai klausula yang halal hanya mengakibatkan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian tersebut menjadi perikatan alamiah. PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Keberlakuan asas kebebasan berkontrak dapat dilaksanakan dalam praktek dasar eksistensinya terdapat pada rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. 2. Kendala-kendala terhadap keberlakuan asas kebebasan berkontrak yang timbul bila ditinjau dari segi yuridis adalah bahwa undang-undang memperlakukan setiap causa atau sebab atau alasan sebagai halal, kecuali dapat terbukti atau dibuktikan dari isi perjanjian, yang merupakan pokok dalam perjanjian yang tanpanya perjanjian tidak akan pernah dibuat, prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian dapat kita temukan dasarnya pada ketentuan Pasal 1336 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. B. SARAN 1. Sebaiknya para pihak berhati-hati dalam melaksanakan kontrak yang telah dibuat, disamping perlu adanya I tikad baik dari para pembuat kontrak dan pelaksanaan kontrak tersebut karena secara yuridis, hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang kesusilaan dan ketertiban umum. 2. Terhadap pelaksanaan kontrak yang tidak sesuai terutama terhadap berlakunya causa yang tidak halal harus diperhatikan dalam rangkaian obyek perjanjian yang merupakan suatu kebendaan yang terikat dengan prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak, karena selama dan sepanjang causa yang tidak halal tidak berkaitan langsung dengan obyek perjanjian yang merupakan suatu kebendaan yang terikat dengan prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka perjanjian tidak batal demi hukum, melainkan hanya batal terhadap klausula yang memuat ketentuan yang kesusilaan dan ketertiban umum tersebut. KEPUSTAKAAN Badrulzaman Darus Mariam, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1983 Harahap Yahya M, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982. Ichsan Achmad, Hukum Perdata IB, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1969. Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. Muljadi Kartini, Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. Prodjodikoro Wirjono R, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1985. Satrio J, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999. Setiawan R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977. Subekti R, Hukum Perjanjian, Cet. X, PT. Intermasa, Jakarta, 1985. Subekti R, R. Tjitrosudibio, Kitab Undangundang Hukum Perdata Dan Undangundang Kepailitan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.