BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sikap serta tingkah laku. Di dalam pendidikan terdapat proses belajar,

BAB I PENDAHULUAN. bantu memecahkan masalah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Nendi Rohaendi,2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Atik Sukmawati, 2013

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. Atas studi pendahuluan yang dilaksanakan bersamaan Program Latihan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB

BAB I PENDAHULUAN. dan ilmu atau pengetahuan. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. muncul karena ia membutuhkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Motivasi

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. setelah mengalami pengalaman belajar. Dalam Sudjana (2008:22), hasil belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan berhitung merupakan aspek yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maulana Malik Ibrohim, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 pasal 3. (2005:56) tentang

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang

PENGGUNAAN MODEL KONTEKSTUAL DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA TENTANG PECAHAN PADA SISWA KELAS III SD NEGERI ORI TAHUN AJARAN 2012/2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PEDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Selain itu, pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi siswa agar menjadi

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MENINGKATKAN KREATIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR MELALUI METODE KONTEKSTUAL

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu pilar upaya

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan guru dalam mengembangkan kemampuan siswa SD khususnya. bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dwi Widi Andriyana,2013

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTEKTUAL PADA MATERI PEMBELAJARAN ATURAN SINUS DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI MAN TASIKMALAYA

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN MEDIA KONKRET DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN BANGUN RUANG PADA SISWA KELAS V SDN GUMILIR 04 TAHUN AJARAN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu media untuk mendapatkan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Motivasi belajar matematika berkurang. Minat belajar merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat

UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING SISWA KELAS VIIIC

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi pelajaran

pengalaman belajar kepada para siswanya. Salah satu metode yang dapat 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sri Hani Widiyanty, 2013

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan melalui ceramah akan sulit diterima oleh siswa dan

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PRESTASI MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUALSISWA KELAS IV SDI RAI TAHUN PELAJARAN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS DESKRIPSI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 1 BOYOLALI TAHUN AJARAN 2013/2014

PENINGKATAN BERFIKIR KREATIF MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA PEMBELAJARAN IPS KELAS IV SDN GRABAGAN TULANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Prestasi Indonesia terutama dalam mata pelajaran matematika, masih rendah. Banyak data yang menukung opini ini, seperti:

BAB I PENDAHULUAN. saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh kalangan, keberadaannya yang multifungsional menjadikan pendidikan. merupakan tolak ukur yang utama dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang sedang dihadapi. Dalam proses pembelajaran, guru maupun siswa juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengupayakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara terarah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA IMPLEMENTASI KTSP DALAM PEMBELAJARAN

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

Oleh: Sulistyowati SD Negeri 02 Karangrejo Tulungagung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelajaran matematika dimata siswa kelas I MI Ittihadil Ikhwan

LEMMA VOL I NO. 2, MEI 2015

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2014 PENGGUNAAN ALAT PERAGA PAPAN BERPAKU UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA PADA MATERI KELILING PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang RI Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3. disebutkan tujuan pendidikan nasional berbunyi :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

YUNICA ANGGRAENI A

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan diperuntukkan bagi semua warga negara, hal ini sesuai dengan UU RI nomor 20 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 1 mennyatakan bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Depdiknas, 2003: 12). Hal ini menunjukkan bahwa negara memberi kesempatan yang sama pada warganya untuk memperoleh pendidikan sesuai kemampuan warganya. Kesempatan memperoleh pendidikan bermutu diupayakan juga untuk warga yang memiliki kelainan. Hal ini sesuai dengan UU RI nomor 20 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yang berbunyi Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus (Depdiknas, 2003:12), termasuk anak tunarungu. Pengertian tunarungu menurut Hallahan dan Kauffman dalam Somad dan Hernawati (1998: 26) yang menyatakan bahwa: Tunarungu (hearing impairment) adalah istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang dengar. Orang tuli (deaf) adalah seseorang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan orang yang kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa mendengarnya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Dampak dari ketunarunguan tersebut anak tunarungu terhambat komunikasi verbalnya, baik secara reseptif (memahami pembicaraan orang lain) maupun ekspresif (berbicara), sehingga sulit berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar. yang biasanya menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. 1

2 Hambatan dalam berkomunikasi pada siswa tunarungu, berakibat pula pada hambatan dalam proses pendidikan dan pembelajarannya. Namun demikian siswa tunarungu memiliki potensi untuk belajar berbicara dan berbahasa. Oleh karena itu siswa tunarungu memerlukan layanan khusus untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara, sehingga dapat meminimalisasi dampak dari ketunarunguan yang dialaminya Perkembangan bahasa pada siswa tunarungu merupakan modal dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah untuk mempelajari mata pelajaran lainnya, salah satunya mata pelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam bidang pendidikan yang selalu berusaha menggiatkan kemampuan dasar siswa melalui program kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung), terutama pada siswa kelas awal. Kemampuan ini merupakan modal utama untuk belajar berbagai pengetahuan yang lebih luas bagi siswa selanjutnya. Kemampuan calistung bisa dicapai dengan dua mata pelajaran yang utama, yaitu untuk kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia dan kemampuan berhitung dalam matematika. Pembelajaran matematika bagi siswa tunarungu diberikan mulai anak duduk di tingkat dasar kelas satu. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika sangatlah penting bagi siswa tunarungu, hal ini nampak dari jumlah jam pelajaran matematika di setiap kelas lebih banyak dibanding pelajaran lainnnya. Ruang lingkup mata pelajaran matematika cukup luas, salah satu ruang lingkup matematika yaitu bilangan. Materi pecahan termasuk bagian dari ruang lingkup bilangan, yang mulai diajarkan sejak siswa duduk di kelas 3 semester 2 dan terus berlanjut sampai kelas tinggi. Ini menunjukkan betapa pentingnya materi pecahan bagi siswa SDLB Tunarungu, sehingga materi pecahan harus benar-benar dikuasai oleh siswa sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pecahan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) tunarungu meliputi: konsep nilai pecahan, perbandingan pecahan, pecahan senilai, 2

3 penjumlahan pecahan, pengurangan pecahan, perkalian pecahan dan pembagian pecahan. Materi penjumlahan pecahan bagi siswa tunarungu tingkat dasar, merupakan langkah awal dalam memahami operasi hitung pecahan, dalam pembelajarannya diharapkan menggunakan hal-hal yang sifatnya konkrit, karena mereka berada pada usia 7 12 tahun. Hal tersebut diungkapkan oleh Piaget dalam Makmun, A.S. (1995), bahwa usia 7 12 tahun termasuk fase operasional konkrit. Fase operasional konkrit, yaitu kemampuan anak dalam melakukan proses berfikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika masih terikat dalam obyek yang sifatnya konkrit, maka dalam proses pembelajaran pada anak usia ini, diperlukan suatu pendekatan atau model yang dapat mengaitkan materi pelajaran dengan benda nyata serta dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari supaya lebih cepat dimengerti siswa. Keterkaitan mata pelajaran matematika khususnya penjumlahan pecahan dengan kehidupan sehari-hari ini sejalan dengan salah satu Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika SDLB tunarungu dalam kurikulum 2006, yaitu Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari- hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan tersebut, Pemerintah mengharapkan agar gurunya memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai guru. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Kualifikasi guru yang diharapkan memiliki pendidikan minimal S1 atau D IV kependidikan. Sedangkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru ada empat kompetensi, yaitu 1) kompetensi pedagogik 2) kompetensi personal 3) kompetensi profesional, serta 4) kompetensi sosial. Dari empat kompetensi tersebut terdapat indicator yang harus dimiliki oleh seorang guru SLB atau sekolah khusus, diantaranya guru harus memahami karakteristik siswa berkebutuhan khusus, mengidentifikasi kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus dalam setiap bidang pengembangan bersikap inklusif 3

4 tidak diskriminatif, menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, memilih strategi/pendekatan/model pembelajaran. Model pembelajaran yang dipilih oleh guru hendaknya dapat menciptakan keaktifan siswa, mendorong siswa untuk bertanya, membimbing siswa untuk menemukan konsep, menggunakan multi media sehingga terjadi suasana belajar sambil bekerja, sesuai dengan konteks materi serta menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari dimana anak tersebut tinggal. Model pembelajaran kontekstual merupakan salah satu model yang merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002). Model pembelajaran kontekstual dapat dilaksanakan di SDLB tunarungu pada kelas dan mata pelajaran apapun yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Termasuk mata pelajaran matematika. Belajar matematika dikatakan berhasil jika siswa dapat menempuh nilai berdasarkan Kriteria ketuntasan Minimal (KKM) yang sudah ditetapkan. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dihitung berdasarkan tiga Indikator, yaitu 1) kompleksitas, yaitu kerumitan topic yang akan diajarkan, 2) Daya dukung, yaitu dukungan dari guru dan sarana yang ada, dan 3) intake siswa yaitu kemampuan siswa(standar isi: 2006). Untuk anak tunarungu selain menggunakan tiga indicator, juga dipengaruhi oleh hasil assessment yang dilakukan oleh guru, meliputi kemampuan berbahasa dan tingkat kehilangan pendengaran. Hasil pembelajaran yang berhasil apabila nilai yang di peroleh siswa sama atau lebih besar dari KKM yang telah ditentukan oleh guru. Sebaliknya apabila hasil belajar yang diperoleh oleh siswa di bawah KKM yang telah ditentukan guru, hal ini menunjukkan kegiatan pembelajaran belum berhasil. Hasil belajar siswa SDLB Tunarungu di kelas V pada mata pelajaran matematika topic pecahan, menunjukkan nilai siswa di bawah KKM. Ini 4

5 menunjukkan bahwa hasil pembelajaran topic pecahan mengalami kegagalan. KKM yang ditentukan untuk lima siswa pada materi penjumlahan pecahan ini berbeda yaitu satu orang 60, tiga orang 65, dan satu orang 70. Pembelajaran matematika yang paling sulit bagi Peneliti dalam menyajikan kegiatan pembelajaran matematika adalah pecahan hal ini terlihat pada hasil belajar sering memperoleh kegagalan khususnya pada penjumlahan pecahan. Permasalahan lain yang dihadapi Peneliti dalam materi penjumlahan pecahan adalah kemampuan menghubungkan antara materi pembelajaran yang akan diajarkan dengan kehidupan siswa sehari-hari sebagai tuntutan SKL matematika, sehingga hal ini berakibat mata pelajaran matematika seolah-olah asing bagi kehidupan siswa sehari-hari. Selain itu guru dalam pembelajaran sering menggunakan metode ceramah, guru kurang menggunakan media, siswa tidak tergiring untuk bertanya, siswa kurang terlibat dalam pembelajaran, sehingga siswa merasa bosan dan tidak menyenangkan. Setelah ditemukan analisis terhadap temuan hasil observasi dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru, terungkap bahwa sekarang ini hal yang mendesak yang harus dilakukan guru dan peneliti di SLB Kabupaten Bandung adalah mencari alternative model pembelajaran yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran matematika khususnya materi penjumlahan pecahan. Untuk itu guru harus paham betul berbagai model pembelajaran yang mengarah kepada kehidupan nyata, serta dalam pembelajaran harus melibatkan siswa sehingga siswa menemukan serta mengkontruksi pengetahuan itu melalui proses bertanya, diskusi kelompok dan memecahkan masalah kehidupan seharihari dimana siswa tersebut tinggal. Model pembelajaran kontekstual pada hakekatnya merupakan suatu model pembelajaran yang berusaha mengaitkan materi pembelajaran yang akan disampaikan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari, di mana siswa sering berinteraksi lingkungan rumah, sekolah ataupun dengan masyarakat yang lebih luas 5

6 B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Apakah Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dapat meningkatkan kemampuan siswa tunarungu pada pelajaran Matematika materi penjumlahan pecahan di kelas V SLB X Kabupaten Bandung? Sedangkan pertanyaan penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana Perencanaan yang dilakukan guru dalam pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual pada siswa tunarungu? 2. Bagaimana pelaksanaan pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual pada siswa tunarungu? 3. Bagaimana hasil belajar siswa tunarungu dalam pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual? C. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh gambaran tentang perencanaan guru dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual dalam pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan pada siswa tunarungu kelas V di SLB BC X Kabupaten Bandung 2. Mengungkap pelaksanaan pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan model Pembelajaran kontekstual 3. Mengetahui hasil belajar siswa tunarungu SLB BC X di Kabupaten Bandung dalam pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual D. Manfaat Penelitian 1. Praktis 6

7 Untuk Guru SLB, dapat memperluas wawasan pengetahuan model pembelajaran dan guna memperbaiki pelaksanaan pembelajaran serta meningkatkan pembelajaran matematika yang berkualitas. 2. Teoritis Bagi pengelola pelatihan guru, sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan program pelatihan dalam rangka peningkatan mutu pendidik terutama di lingkungan pendidikan luar biasa E. Hipotesis Tindakan Dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual, diduga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan. F. Definisi Operasional Definisi Operasional Variabel 1. Model Pembelajaran kontekstual Menurut Ditjen Dikdasmen (2002) menyatakan: Model Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Model Pembelajaran Kontekstual dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang melibatkan tujuh komponen utama yang yaitu: konstruktivisme (Constructivisme), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), permodelan (Modeling) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment). 7

8 2. Kemampuan Siswa dalam Pelajaran Matematika Materi Penjumlahan Pecahan Kemampuan berasal dari kata mampu yang menurut kamus bahasa Indonesia mampu adalah sanggup. Jadi kemampuan adalah sebagai keterampilan (skiil) yang dimiliki seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu Kemampuan siswa adalah kesanggupan yang harus dimiliki seseorang untuk menyelesaikan sesuatu. Menurut Depdikbud (2002: 1) matematika adalah ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyatan dalam matematika bersifat konsisten. Menurut Heruman (2007: 2) menyatakan bahwa konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Pengertian pecahan menurut Heruman, (2007: 43) dinyatakan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan, biasanya ditandai dengan bagian arsiran. Bagian inilah yang disebut pembilang. Adapun bagian yang itu adalah bagian yang dianggap sebagai satuan dan dinamakan penyebut. Materi penjumlahan pecahan dalam penelitian ini adalah pejumlahan pecahan berpenyebut sama dan tidak sama di kelas V SDLB tunarungu. Penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama yang dimaksud adalah, penyebut dari salah satu pecahan merupakan kelipatan dari penyebut pecahan yang satunya lagi. Kemampuan siswa tunarungu pada pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan dalam penelitian ini adalah kesanggupan siswa tunarungu menyelasaikan soal yang berkaitan dengan penjumlahan pecahan berpenyebut sama dan tidak sama di kelas V SLB BC X Kabupaten Bandung. 8

9 G. Struktur Penulisan Struktur penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan, yang didalamnya membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis tindakan, definisi operasional serta struktur penulisan, Bab II : Kajian Pustaka, di dalamnya membahas tentang model pembelajaran kontekstual meliputi pengertian, karakteristik, penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran, Ketunarunguan meliputi pengertian,klasifikasi, dampak, Pembelajaran matematika bagi siswa tunarungu, penelitian yang relevan, kerangka berfikir, Bab III Metodologi Penelitian, didalamnya membahas tentang jenis penelitian, prinsip penelitian tindakan kelas, tempat dan waktu, subyek penelitian, rancangan penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, dan jadwal penelitian Bab IV Pemaparan dan Pembahasan Data, didalamnya memaparkan data yang diperoleh dari tiap siklus hasil instrument yang digunakan, serta membahas data masing-masing siklus, analisis kegiatan guru, analisis kegiatan siswa tunarungu dan hasil belajar. BAB V kesimpulan dan rekomendasi menyajikan tentang kesimpulan hasil penelitian tindakan kelas dan rekomendasi terhadap guru, kepala sekolah dan Dinas Pendidikan. 9