BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

RENCANA STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

Tantangan Implementasi Peraturan Presiden No. 13/2012 tentang. RTR Pulau Sumatera dalam Upaya Penyelamatan Ekosistem Sumatera

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Disampaikan Pada Acara :

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

SMP NEGERI 3 MENGGALA

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

Azhar. Aceh Wildlife

IV APLIKASI PERMASALAHAN

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera dalam Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB 2 DATA DAN ANALISA

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Profil Wilayah Heart Of Borneo

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

Overlay. Scoring. Classification

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penambat (sequester) karbon. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

PENDAHULUAN Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RESTORASI EKOSISTEM

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Hutan dan Harimau Sumatera Indonesia sebagai negara berkembang sedang sangat giat melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berbagai proyek pembangunan dilaksanakan pada berbagai bidang, mulai dari bidang industri hingga bidang pertanian dan perkebunan. Sayangnya dampak yang dirasakan dari proses pembangunan ini tidak hanya dampak positif saja, tapi juga dampak negatif yang salah satu diantaranya adalah berkurangnya lahan hutan sebagai akibat kebutuhan sumberdaya untuk menunjang proses pembangunan tersebut. Kondisi hutan alam di Indonesia yang sedang dalam tekanan sangat kuat memberi pengaruh signifikan terhadap kondisi ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Pulau-pulau besar mulai dari Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan terutama Jawa tidak lepas dari permasalahan ini. Isu utama yang terjadi adalah konversi hutan menjadi peruntukkan lain, seperti pertanian, permukiman, hingga perkebunan dan pertambangan. Pulau Sumatera merupakan rumah bagi jutaan spesies baik flora maupun fauna, dengan tingkat kekayaan keanekaragaman hayati tinggi sekaligus kawasan dengan ancaman sangat tinggi pula. Terdapat 210 spesies mamalia di Sumatera, dengan 16 spesies diantaranya merupakan mamalia endemis pulau ini. Sumatera juga merupakan rumah bagi 582 spesies burung, yang mana 465 diantaranya bersifat menetap dan 14 spesies merupakan endemis. Kondisi ini menjadikan Sumatera sebagai kawasan biogeografis terkaya kedua dalam hal burung setelah pulau Papua (CEPF, 2001). Keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera terancam oleh tingkat deforestasi yang sangat tinggi, yang mengakibatkan berkurangnya habitat flora dan fauna, sehingga terjadi degradasi dalam 25 tahun terakhir yang ditunjukkan dengan hilangnya lebih dari dua per tiga luasan hutan, terutama di dataran rendah di pulau ini. Analisis 1

Juta Hektar tutupan hutan alam 1985 2008 1 menunjukkan bahwa laju deforestasi di Sumatera mencapai 500 ribu hektar per tahun, seperti yang disajikan pada Grafik 1. Deforestasi Sumatera 1985-2008 30 25 20 15 10 5-1985 1990 2000 2008 Grafik 1. Deforestasi di Sumatera 1985-2008/9. Sumber: Uryu, 2010 Dari total deforestasi yang terjadi sejak 1985 hingga 2008/2009, 81% berlokasi di dataran rendah dengan elevasi di bawah 150 meter (Uryu, et al, 2010). Hal ini disebabkan oleh mudahnya menjangkau lokasi-lokasi ini dibandingkan perbukitan atau pegunungan. Potensi seperti tingginya penyimpanan karbon, terutama di daerah gambut serta tingginya tingkat keanekaragaman hayati di lokasi ini menjadi rusak akibat deforestasi ini Kerusakan yang ada tidak hanya berdampak pada kondisi fisik bentang lahan, ketersediaan air, serta perubahan iklim saja, tapi juga berdampak pada eksistensi spesies-spesies yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan alam, di antaranya satwa-satwa liar. Ketika sumber makanan dan tempat berlindung sudah mulai terbatas, maka mereka akan mencari lokasi alternatif dengan mendatangi permukimanpermukiman yang pada akhirnya konflik antara satwa manusia dengan satwa liar terjadi dan akan selalu terjadi hingga satwa tersebut mencapai titik kepunahan, karena ketika terjadi konflik, biasanya selalu berakhir dengan kematian satwa liar. 1 http://gis.wwf.or.id/wwf/index.php/identifikasi-deforestasi-hutan-alam-sumatra-1985-2008/ 2

Harimau dengan nama latinnya Panthera tigris (Gambar 1) merupakan satwa liar yang sangat adaptif, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, mulai dari hutan tropis, rawa, hutan bakau, hingga padang rumput di kaki bukit Himalaya (Sanderson et al, 2006). Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan sub spesies dari harimau yang sedang diperjuangkan agar tidak punah. Sub-spesies ini adalah bagian dari enam sub-spesies lain yang masih ditemukan di bumi. Satwa besar yang sering dijadikan sebagai lambang dan dianalogikan dengan kekuatan ini ternyata tidak berkutik melawan tekanan terhadap hutan alam yang merupakan rumahnya. Di Indonesia, hanya Harimau Sumatera yang masih dapat ditemukan, setelah punahnya Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) pada sekitar tahun 1930-an dan 1970-an (Krech, McNeill, dan Merchant, 2004). Gambar 1. Harimau Sumatera. Sumber: worldwildlife.org/species/tiger Di Pulau Sumatera, harimau dapat ditemukan mulai dari ujung utara di Aceh hingga ke ujung selatan di Lampung. Namun setidaknya sejak tahun 1985 dan mulai maraknya kegiatan alih fungsi hutan menjadi peruntukkan lain seperti perkebunan dan hutan tanaman industri, menyebabkan penyempitan luasan hutan alam secara signifikan (Uryu, 2010) dan terfragmentasi sehingga sangat mempengaruhi habitat harimau, dan juga spesies-spesies lainnya, terutama yang berukuran besar seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii). 3

Gambar 2. Distribusi Harimau Sumatera. Sumber: Peta Jalan Menuju Penyelamatan Ekosistem Sumatera Visi Sumatera 2020, 2010 Karakter Harimau Sumatera merupakan jenis dengan ukuran tubuh terkecil dibandingkan sub-spesies yang lain, dengan panjang mencapai 2,5 meter dan berat 140 kilogram. Sifat yang soliter membuat satwa ini cenderung hidup menyendiri terutama jantan, dengan pengecualian betina yang sedang mengasuh anak-anaknya. Dalam satu luasan habitat, biasanya hanya ditemukan satu individu jantan, sementara harimau betina cenderung lebih toleran sehingga dapat ditemukan satu habitat dihuni oleh lebih dari seekor harimau betina. Dengan kemampuan mobilitas yang tinggi, menyebabkan Harimau Sumatera memiliki daerah jelajah (home range) yang luas (Wibisono dan Pusparini, 2010) seperti yang ditunjukan pada Gambar 2. 4

Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), Harimau Sumatera merupakan sub-spesies dalam kategori Critically Endangered, yang artinya berada dalam ambang kepunahan. Sejak hampir 30 tahun terakhir ini memang habitat Harimau Sumatera berada dalam tekanan sangat tinggi seiring dengan semakin tingginya tekanan terhadap kondisi hutan alam di pulau Sumatera. 1.1.2. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah Setelah proses pengembangan konsep tata ruang pulau Sumatera yang cukup panjang, yaitu sejak tahun 2008 dan terbitnya Peraturan Pemerintah no.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, akhirnya rencana penataan ruang pulau Sumatera selesai disusun yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden no. 13 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera. Dengan terbitnya Peraturan Presiden ini, maka rencana bagaimana alokasi penggunaan lahan di pulau Sumatera telah ditentukan. Tata ruang merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk keperluan pencegahan kerusakan lingkungan hidup, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini menjadikan instrumen tata ruang sebagai produk regulasi yang sangat strategis karena dijadikan acuan oleh semua sektor dalam melakukan pengelolaan kawasan, sehingga tata ruang yang harus dibangun adalah tata ruang yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Ada beberapa Informasi penting dari Peraturan Presiden ini yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah perlindungan minimal kawasan hutan bernilai lindung sebesar 40% dari total luas pulau Sumatera, ini berarti sekitar 17,2 juta lahan di pulau Sumatera seharusnya dialokasikan sebagai kawasan lindung. Untuk mengakomodasi amanat tersebut, maka diperlukan strategi pengelolaan berbasis lingkungan yang optimal, yaitu salah satunya dengan pembangunan koridor ekosistem. Koridor ekosistem yang dibangun ini pada dasarnya adalah menghubungkan berbagai kawasan konservasi yang telah ada di pulau Sumatera dalam bentuk koridor sehingga diharapkan tercipta konektivitas dari kawasan-kawasan konservasi tersebut. 5

Terdapat lima koridor yang diamanatkan oleh peraturan presiden ini untuk dibangun, yaitu: a. Koridor Aceh-Sumatera Utara yang menghubungkan Taman Nasional Gunung Leuser-Taman Hutan Raya Bukit Barisan sebagai koridor satwa badak, gajah, orang utan, harimau, dan burung; b. Koridor RIMBA (Riau-Jambi-Sumatera Barat) yang menghubungkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Cagar Alam Batang Pangean I-Cagar Alam Batang Pangean II, Taman Nasional Kerinci Seblat, Suaka Margasatwa Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Berbak, Cagar Alam Maninjau Utara, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Cagar Alam Cempaka, Taman Wisata Alam Sungai Bengkal, dan Taman Hutan Raya Thaha Saifuddin sebagai koridor satwa gajah, harimau, dan burung; c. Koridor Jambi-Bengkulu-Sumatera Selatan yang menghubungkan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Cagar Alam Bukit Kaba sebagai koridor satwa burung, gajah, dan harimau; d. Koridor Jambi-Sumatera Selatan yang menghubungkan Taman Nasional Berbak- Taman Nasional Sembilang sebagai koridor satwa burung dan harimau; dan e. Koridor Bengkulu-Sumatera Selatan-Lampung yang menghubungkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan- Suaka Margasatwa Gunung Raya sebagai koridor satwa harimau, badak, dan burung. Peraturan Presiden No. 13 tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera merupakan penguatan bagi upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera, dan telah mengakomodasi kesepakatan sepuluh gubernur se-sumatera dalam Penyelamatan Ekosistem Sumatera yang dikemas dalam Visi Sumatera 2020 dan didokumentasikan dalam Dokumen Peta Jalan Menuju Penyelamatan Ekosistem Sumatera Visi Sumatera 2020 (Rosita et al, 2010). Amanat pembangunan lima koridor ekosistem adalah salah satu indikasi penguatan dari upaya konservasi, mengingat Sumatera adalah pulau dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi tetapi memiliki tingkat ancama tertinggi pula (CEPF, 2001). Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera selanjutnya didorong untuk menjadi acuan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten dalam menyusun rencana tata 6

ruangnya, merujuk pada pasal 3 huruf g dari PP 26 tahun 2008 yang bertujuan menciptakan sinkronisasi dari rencana tata ruang tingkat pulau dengan rencana tata ruang di tingkat provinsi dan kabupaten. Kebijakan tata ruang di tiap provinsi dan kabupaten tersebut didorong untuk menerapkan konsep tata ruang di tingkat pulau, yang salah satunya adalah pengembangan koridor ekosistem untuk menghubungkan berbagai kawasan konservasi yang ada. Salah satu koridor ekosistem yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden no.13 tahun 2012 adalah koridor RIMBA yang merupakan singkatan dari Riau, Jambi, dan Sumatera Barat (Gambar 3). Nama resmi dari koridor ini adalah Kawasan Ekosistem Rimba Terpadu 2, dan merupakan kawasan koridor yang secara resmi telah didukung oleh pemerintah provinsi termasuk pemerintah di tingkat kabupaten di kawasan koridor tersebut. Koridor RIMBA mencakup 19 kabupaten dengan perincian: 4 kabupaten di provinsi Riau, 8 kabupaten di provinsi Jambi, dan 7 kabupaten di provinsi Sumatera Barat. Gambar 3. Kawasan Ekosistem RIMBA Terpadu. Sumber: WWF Indonesia 2 http://www.wwf.or.id/?19180/pemerintah-pusat-dan-gubernur-se-sumatera-luncurkan-peta- Jalan-Penyelamatan-Ekosistem-Sumatera 7

Pemerintah pusat telah mengembangkan lima program utama terkait implementasi konsep tata ruang berbasis ekosistem di koridor RIMBA ini, antara lain: 1. Restorasi kawasan lindung 2. Pengembangan Jasa Air 3. Pengelolaan Hutan Lestari 4. Pengelolaan Perkebunan Lestari 5. Pengembangan Jasa Karbon Kebijakan lain dari pemerintah terkait dengan pengelolaan lahan adalah Master Plan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berdasarkan inisiatif ini, Pulau Sumatera ditetapkan menjadi Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional. Ada 6 kegiatan ekonomi utama yang akan didorong, yaitu: Pengembangan komoditas kelapa sawit (Elaeis guineensis dan Elais oleifera), karet (Hevea braziliensis), batu bara, perkapalan, besi baja, dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda. Untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas dalam menjalankan fungsi yang telah diamanatkan tersebut, maka pembangunan infrastruktur di pulau ini perlu ditingkatkan, agar kegiatan ekonomi menjadi lebih optimal dengan adanya jaringan jalan yang dapat menghubungkan berbagai daerah. Hal ini penting bagi pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di Sumatera, karena selama ini kendala utama dalam kegiatan ekonomi adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang ada sehingga kegiatan ekonomi menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi. Dengan implementasi MP3EI ini diharapkan kendala tersebut akan tertanggulangi. Namun demikian, dampak negatif dari perkembangan jalan juga berpotensi memperkuat tekanan terhadap kelestarian lingkungan yaitu kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dengan berkembangnya akses jalan, diyakini akan menyuburkan praktik-praktik perambahan (encroachment) di kawasan hutan sehingga penebangan liar (illegal logging) dan perburuan liar menjadi semakin marak, demikian juga konversi lahan di kawasan lindung menjadi perkebunan yang semakin tinggi seiring dengan semakin mudahnya mengangkut hasil-hasil bumi untuk dijual. Gambar 8

4 menyajikan lokasi koridor RIMBA dengan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas penerapan MP3EI. Gambar 4. Koridor RIMBA terhadap MP3EI. Sumber: Hasil analisis 1.2. Perumusan Masalah Dari paparan di atas, dapat dipastikan bahwa Pulau Sumatera tengah menghadapi tekanan yang sangat besar pada kawasan hutan alamnya. Tekanan tersebut baik secara legal seperti kebijakan konversi hutan untuk peruntukkan lain, maupun ilegal seperti pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang dilindungi. Dengan kondisi hutan alam yang semakin menyempit yang berakibat pada Hariamu Sumatera yang diambang kepunahan, maka semua pihak perlu bekerja sama untuk mencari solusi dalam menghadapi permasalahan ini mengingat komitmen Pemerintah 9

Indonesia terhadap dunia internasional untuk menurunkan emisi dengan mempertahankan kelestarian hutan alam. Kelestarian hutan alam yang terganggu dan terpecah-pecah menyebabkan harimau di pulau ini tidak dapat bertahan hidup dan mengalami penuruan populasi. Beberapa penelitian terkait jumlah spesies Harimau Sumatera antara lain: Borner, 1978 menyatakan bahwa populasi Harimau Sumatera masih di atas 1000 individu, lalu Santiapillai, 1987 menyatakan perkiraan populasi pada 1987 adalah sekitar 800 individu, berlanjut di tahun 1992 tersisa sekitar 400 500 individu berdasarkan Analisis viabilitas populasi dan habitat yang dilakukan oleh pemerintah (Tilson et al., 1994) dan kondisi pada 2010 diperkirakan bahwa populasi Harimau Sumatera berjumlah sekitar 325 (GTRP 2010). Tata Ruang dan MP3EI merupakan produk pemerintah yang berfungsi untuk memastikan pembangunan dan peningkatan ekonomi di Indonesia termasuk di Sumatera dapat berjalan dengan optimal. Namun tanpa upaya implementasi dan pengawasan yang jelas, maka kedua regulasi tersebut malah akan menambah tekanan terhadap kelestarian lingkungan. Masa perencanaan sudah selesai, yang dihadapi sekarang adalah tantangan bagaimana implementasi di lapangan dan pengawasan dari apa yang sudah direncanakan. Berkaitan dengan paparan di atas, maka dapat dirumuskan permasalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi ekosistem bentanglahan yang terkait dengan habitat Harimau Sumatera dan seperti apa dinamikanya sejak tahun 2002 hingga tahun 2013? 2. Bagaimana kondisi habitat Harimau Sumatera di area tersebut sejak tahun 2002 hingga tahun 2013? 3. Daerah mana yang sesuai untuk dikembangkan menjadi koridor habitat yang merupakan bagian dari strategi pengelolaan lingkungan untuk menjembatani kepentingan antara kelestarian keanekaragaman hayati dan aktivitas manusia? Untuk mencari jawaban dari permasalahan di atas, maka penting untuk dilakukan penelitian tentang Analisis Potensi Habitat dan Koridor Harimau 10

Sumatera, di Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh, Kabupaten Kuantan Singingi di Provinsi Riau. Secara spesifik, penelitian ini akan dilaksanakan di bagian selatan Kabupaten Kuantan Singingi dan bagian utara dari Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya. Kawasan ini merupakan Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh, namun tengah mengalami tekanan yang luar biasa akibat deforestasi. 1.3. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi dan pembanding dalam menunjukkan keaslian penelitian, antara lain: a. Yumiko Uryu et al (2008) melakukan kajian mengenai faktor utama deforestasi dan degradasi yang terjadi di Provinsi Riau. b. Parakkasi dan Sunarto (2010) melakukan kajian penilaian awal (baseline assessment) kondisi habitat Harimau Sumatera dan mangsanya di kawasan koridor yang menghubungkan Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. c. Wibisono dan Pusparini (2010) melakukan kajian tentang indikasi sebaran harimau di Pulau Sumatera dengan informasi dasar berupa tutupan hutan tahun 2000 dikombinasikan dengan survey pada 2010. d. Yumiko Uryu et al (2010) melakukan kajian deforestasi di Pulau Sumatera antara tahun 1985 hingga 2009 dengan fokus pada identifikasi jenis-jenis hutan berdasarkan tipe ekofloristik, penurunan luasan tutupan hutan, dimana lokasinya dan mengapa terjadi demikian. e. Sunarto et al (2011) melakukan kajian perkiraan habitat Harimau Sumatera di Provinsi Riau dan sebagian kecil Provinsi Sumatera Barat dan Jambi dengan metode yang digunakan adalah Metode Occupancy Modelling dengan data dasar penggunaan lahan tahun 2007 dari Kementerian Kehutanan. f. Nirmal Bhagabati et al (2014) melakukan kajian hubungan antara potensi jasa ekosistem dengan kualitas habitat Harimau Sumatera di koridor ekosistem pada 11

bagian tengah Pulau Sumatera, yang dikenal dengan nama Kawasan Ekosistem Terpadu Rimba. Tabel 1. Berbagai penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian hutan dan perlindungan Harimau Sumatera No Nama Peneliti dan Tahun 1 Yumiko Uryu et al 2008 2 Parakkasi dan Sunarto 2010 Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emissions in Riau, Sumatra, Indonesia Baseline Assessment on Tigers and Their Prey in Rimbang Baling Bukit Tigapuluh Corridor, Southern Riau 1. Mengkaji bagaimana pulp dan kelapa sawit menjadi faktor utama dalam deforestasi dan degradasi di kawasan gambut Riau 1. Investigasi keberadaan Harimau Sumatera 2. Investigasi keberadaan mangsa Harimau Sumatera 3. Mendata aktivitas manusia di kawasan ini termasuk mengkaji tekanan yang sedang terjadi terhadap kawasan ini 4. Menilai dan mengkaji kemungkinan dalam mengembangkan koridor ini sebagai upaya mitigasi dalam penanggulangan isolasi habitat Harimau Sumatera yang terjadi di kawasan ini 5. Menggunakan hasil kajian sebagai rekomendasi dalam Pemodelan SIG berdasarkan skenario pengelolaan lahan business as usual dan skenario implementasi utuh dari rencana tata ruang tingkat provinsi Riau Pemodelan dengan berdasarkan survey transek cluster dan camera trap Hasil/Temuan Penelitian 1. Selama 25 tahun sejak 1982 hingga 2007, Riau telah kehilangan 4 juta hektar hutan alam (65% dari total luas hutan alam di Riau) 2. Dari deforestasi selama 25 tahun tersebut, 29% beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, 24% beralih fungsi menjadi hutan tanaman akasia 3. Perkiraan populasi Harimau Sumatera berkurang sebesar 70% dari 640 ekor pada 1982 menjadi 192 pada 2007 yang disebabkan fragmentasi hutan. Sangat penting untuk mengembangkan koridor antara hutan yang ada untuk mempertahankan habitat spesies tersebut 1. Bukti keberadaan Harimau Sumatera di koridor Rimbang Baling Bukit Tigapuluh 2. Terdapat 93 foto harimau yang terekam dengan 10 individu yang berbeda, termasuk 2 ekor anak harimau 3. Keberadaan mangsa yang melimpah, yang terdiri dari rusa dan babi hutan 4. Ancaman yang nyata terdapat di kawasan ini adalah aktivitas manusia, yang berupa illegal logging, perambahan, hingga pembakaran lahan 12

No Nama Peneliti dan Tahun 3 Wibisono dan Pusparini 2010 4 Sunarto et al 2010 Tigers Need Cover: Multi-Scale Occupancy Study of The Big Cat in Sumatran Forest and Plantation Landscapes 5 Yumiko Uryu et al 2010 Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian mempromosikan kegunaan koridor habitat sebagai bagian dari konservasi habitat Harimau Sumatera Sumatran Tiger 6. Mengkaji dan Menggunakan (Panthera tigris mengulas kondisi data tutupan sumatrae): A habitat Harimau hutan alam 2000 Review of Sumatera di tingkat dan kawasan Conservation pulau konservasi Status sebagai batas indikasi habitat Harimau, dan diintegrasikan dengan hasil wawancara dengan berbagai kalangan Sumatra s Forest, their Wildlife and the Climate Windows: 1985, 1990, 2000 and 2009 7. Mengkaji potensi habitat Harimau Sumatera di Provinsi Riau pada area hutan alam dan perkebunan 8. Mengkaji tingkat deforestasi antara tahun 1985-2009 serta penyebarannya di delapan provinsi di Pulau Sumatera 9. Mengkaji tingkat kehilangan potensi cadangan karbon pada hutan alam dan lahan gambut Pemodelan dengan menggunakan Occupancy Modelling dengan data dasar penggunaan lahan 2007 dari Kementerian Kehutanan. Metode analisis dengan penginderaan jauh dari citra satelit landsat dan data-data sekunder SIG Hasil/Temuan Penelitian 1. Dari 38 potensi area habitat yang masuk kriteria, keberadaan harimau terkonfirmasi di 33 area 2. Total luas area yang merupakan indikasi habitat harimau adalah seluas 144.160 km 2 3. Hanya 29% saja dari total luas area indikasi habitat harimau yang masuk dalam kawasan konservasi 1. Harimau Sumatera sangat tergantung pada keberadaan blok-blok hutan alam yang luas, dan dengan beberapa penyesuaian pada pengelolaan perkebunan, satwa ini dapat menggunakan sebagian wilayah dari perkebunan tersebut sebagai daerah jelajah, hutan riparian sebagai daerah penghubung habitat (corridors), termasuk blok-blok hutan dengan luasan sempit sebagai batu loncatan (stepping stones) 2. Area lain seperti perkebunan juga digunakan sebagai tempat beraktivitas tetapi tidak seintensif di hutan, dengan urutan dari baik ke buruk: akasia, kelapa sawit, karet, kebun campur, dan kelapa 1. Selama tahun 1985 hingga 2008/9, Sumatera telah kehilangan 12,5 juta hektar tutupan hutan alam, sehingga rata-rata deforestasi yang terjadi selama 23 tahun adalah 542 13

No Nama Peneliti dan Tahun 6 Nirmal K. Bhagabati et al 2014 Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian 10. Dampak deforestasi pada keragaman ekofloristik hutan dan keragaman spesies A Green Vision for Sumatra, Using ecosystem services information to make recommendations for sustainable land use planning at the province and district level 1. Mengkaji potensi jasa ekosistem dan habitat Harimau Sumatera yang dapat dikembangkan di tiga provinsi di bagian tengah pulau Sumatera. 2. Mengkaji hubungan antara potensi jasa ekosistem dengan kualitas habitat Harimau Sumatera Pemodelan menggunakan teknologi SIG berdasarkan dua skenarion penggunaan lahan yang dibangun, yaitu Konsep Visi Sumatera 2020 dengan Tata Ruang, dengan baseline penutupan lahan 2008 Hasil/Temuan Penelitian ribu hektar per tahun. 2. Riau merupakan provinsi dengan tingkat deforestasi paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Sumatera 3. Luas hutan alam yang sebesar 12,8 juta hektar pada 2008/9 di Sumatera diperkirakan menyimpan 2,1 gigaton karbon mengacu pada kriteria IPCC 1. Bagian tengah Sumatera berpotensi menyerap 60 juta ton karbon selama 50 tahun sejak 2008 jika implementasi Visi Sumatera dilakukan, namun akan kehilangan 100 juta ton karbon dalam 50 tahun ke depan apabila rencana tata ruang yang diterapkan 2. Penerapan konsep pengelolaan lestari bagi perkebunan dan hutan prioduksi sangat diperlukan untuk menjamin kelestarian habitat spesies langka dan potensi jasa lingkungan yang ada di wilayah ini Dari berbagai kegiatan penelitian pada Tabel 1 yang telah diidentifikasi, tema yang menjadi persamaan dengan kegiatan penelitian ini adalah kajian tentang harimau dan tutupan lahan yang berlokasi di Pulau Sumatera dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan SIG, sehingga salah satu hasilnya merupakan peta hasil kajian, sedangkan yang menjadi pembeda dari penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian-penelitian pada Tabel 1 adalah kajian identifikasi potensi area yang cocok menjadi koridor, selain dari identifikasi kesesuaian habitat dengan menggunakan penutup lahan dan bentuklahan sebagai salah satu kriterianya. 14

1.4. Tujuan Penelitian Terkait dengan kondisi pulau Sumatera seperti yang digambar di atas, khususnya di lokasi rencana penelitian yang merupakan bagian dari koridor RIMBA, maka tujuan dari penelitian yang akan dilakukan meliputi: 1. Mengkaji ekosistem bentanglahan yang terkait dengan habitat Harimau Sumatera dan mengkaji dinamika penutup lahan pada bentanglahan tersebut 2. Mengestimasi potensi habitat Harimau Sumatera dan mengkaji tekanan yang dialaminya berdasarkan parameter-parameter yang mempengaruhi habitat spesies tersebut. 3. Membuat rekomendasi lokasi yang paling sesuai untuk pembangunan koridor habitat sebagai bagian dari strategi pengelolaan di kawasan yang merupakan habitat Harimau Sumatera sekaligus kawasan tempat aktivitas manusia. 1.5. Manfaat Penelitian Sasaran utama dari penelitian ini adalah untuk menilai kualitas habitat Harimau Sumatera dengan kajian bentanglahan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan SIG, sehingga manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Menambah pustaka terkait penelitian yang mengangkat tema Harimau Sumatera yang menggunakan teknologi SIG dan Penginderaan Jauh. 2. Merekonstruksi kembali area-area yang merupakan indikasi habitat Harimau Sumatera sebagai tindak lanjut dari kajian-kajian tentang identifikai habitat spesies ini yang pernah dilaksanakan pada waktu lampau, untuk mengetahui sejauh mana kondisi habitat saat ini dan menentukan strategi yang dapat diterapkan untuk perlindungan kawasan-kawasan yang semakin menyempit ini. 3. Harimau Sumatera merupakan salah satu spesies payung (umbrella species) selain Gajah Sumatera yang ada di bagian tengah pulau Sumatera, karena itu dengan teridentifikasinya habitat spesies ini dan dijadikan target kawasan untuk dilindungi, maka otomatis spesies-spesies yang ada di bawahnya akan ikut terlindungi juga. 4. Menyediakan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam melakukan pengambilan keputusan terkait pengelolaan kawasan, terutama bagaimana 15

menentukan strategi pengelolaan terhadap area-area yang memiliki nilai penting terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, khususnya habitat Harimau Sumatera. 16