DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamb

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

2016, No Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintaha

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.21/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 05/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

2017, No Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.24/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN

2015, No DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib terhadap Barang da

2016, No Kehutanan tentang Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR P.18/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG

2016, No sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan saat ini; e. bahwa berdasarkan pertimbangan s

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 354/HK.130/C/05/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PRODUKSI BENIH BINA TANAMAN PANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.24/MEN/2008 TENTANG JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN

2017, No Pengeluaran Benih Hortikultura sudah tidak sesuai lagi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

2017, No Republik Indonesia Nomor 5492); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik In

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor: 166, Tambahan Le

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2008 TENTANG PERSYARATAN PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA BERUPA IKAN HIDUP

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 28/Menhut-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08/Permentan/SR.120/3/2015 TENTANG

2016, No Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 te

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG

2016, No tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.42/MenLHK- Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hu

=DITUNDA= PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 04/Pert/SR.130/2/2006 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

2017, No Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107/M-IND/ PER/11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian (Berita N

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 38/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENDAFTARAN VARIETAS TANAMAN HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Hidup dan Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan; Mengingat : 1.

2017, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.24/MEN/2008 TENTANG JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No d. bahwa Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai dengan

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.73/Menlhk-Setjen/2015

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 205/Kpts/OT.210/3/2003 TENTANG

2017, No b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengatur kembali penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

, No Undang-undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 N

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006 TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

2016, No d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta Pendidika

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Hasil Hutan Kayu. Penatausahaan. Perubahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Fungsional pada Lembaga Administrasi Negara tidak sesuai lagi

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG REKOGNISI PEMBELAJARAN LAMPAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Telur Ulat Sutera, serta menjamin mutu dan ketersediaan kokon sutera alam, perlu upaya pengembangan Persuteraan Alam nasional melalui percepatan pelayanan perizinan; b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2007 telah ditetapkan ketentuan tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera, yang dalam pelaksanaannya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990

-2- Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); 6. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Organisasi

-3- dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Persuteraan Alam adalah kegiatan agroindustri dengan hasil kokon atau benang sutera, yang terdiri dari kegiatan budi daya tanaman murbei, Pengadaan Telur Ulat Sutera, Budi Daya Ulat Sutera, pengolahan kokon, dan penenunan. 2. Ulat Sutera adalah serangga species Bombyx mori L. yang menghasilkan kokon sebagai bahan baku benang sutera. 3. Telur Ulat Sutera adalah telur yang meliputi Telur Induk (Parent Stock) dan telur hibrida F1 hasil persilangan antar galur murni. 4. Telur Induk adalah Telur Ulat Sutera galur murni dari hasil pemuliaan yang digunakan untuk mendapatkan turunan (hibrida) Telur Ulat Sutera yang unggul. 5. Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) adalah hasil persilangan antar galur murni untuk tujuan produksi kokon. 6. Budi Daya Ulat Sutera adalah kegiatan memelihara Ulat Sutera sampai dengan menghasilkan kokon. 7. Pemuliaan Ulat Sutera adalah kegiatan untuk mempertahankan kemurnian induk Ulat Sutera yang sudah ada atau menghasilkan hibrida baru yang lebih baik. 8. Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) adalah pengakuan pemerintah terhadap hibrida Ulat Sutera baru

-4- unggul hasil pemuliaan atau introduksi untuk disebarluaskan yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri. 9. Pengadaan Telur Ulat Sutera dalam Negeri adalah kegiatan produksi telur mulai dari pemeliharaan induk, persilangan, sampai dengan penanganan telur. 10. Pemasukan Telur Ulat Sutera dari Luar Negeri adalah kegiatan mendatangkan Telur Ulat Sutera dari luar negeri yang sudah disertifikasi dari negara asal dan harus melalui proses karantina. 11. Penanganan Telur Ulat Sutera adalah perlakuan khusus terhadap Telur Ulat Sutera yang bertujuan untuk mengatur waktu penetasan. 12. Pengada Telur Ulat Sutera adalah pelaku Pengadaan Telur Ulat Sutera. 13. Izin Pengada Telur Ulat Sutera adalah izin yang diberikan kepada badan usaha atau perorangan yang bergerak di bidang Persuteraan Alam untuk melakukan Pengadaan Telur Ulat Sutera baik melalui pengadaan dalam negeri maupun pemasukan dari luar negeri. 14. Peredaran Telur Ulat Sutera adalah kegiatan penyimpanan, pengemasan, pengangkutan, dan penyaluran Telur Ulat Sutera. 15. Pengedar Telur Ulat Sutera adalah pelaku pengedaran Telur Ulat Sutera. 16. Sertifikasi Telur Ulat Sutera adalah proses pengawasan produksi dan pemeriksaan Telur Ulat Sutera yang memberikan jaminan bahwa Telur Ulat Sutera yang disalurkan kepada konsumen atau petani, bebas dari penyakit Pebrine dan bermutu baik. 17. Izin Pengedar Telur Ulat Sutera adalah izin yang diberikan kepada badan usaha atau perorangan yang bergerak di bidang Persuteraan Alam untuk melakukan penyimpanan, pengemasan, pengangkutan, dan penyaluran Telur Ulat Sutera.

-5-18. Pebrine adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa Nozema Bombycis yang dapat menyerang Ulat Sutera dari stadia telur, ulat, pupa, maupun ngengat. 19. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan kebenaran Telur Ulat Sutera bebas Pebrine dan bermutu baik. 20. Label Telur Ulat Sutera adalah keterangan tertulis yang dicantumkan pada kemasan telur setelah dilakukan sertifikasi yang memuat antara lain nama hibrida F1, tempat asal Telur Ulat Sutera, perkiraan tanggal penetasan, dan bebas Pebrine. 21. Pengeluaran Telur Ulat Sutera adalah kegiatan mengeluarkan Telur Ulat Sutera dari wilayah Republik Indonesia oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, badan usaha, atau perorangan untuk keperluan pengembangan usaha Persuteraan Alam atau penelitian. 22. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 23. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan. 24. Kepala Badan adalah Kepala Badan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang penelitian dan pengembangan lingkungan hidup dan kehutanan. 25. Lembaga Penelitian adalah institusi baik Pemerintah, Swasta, maupun Perguruan Tinggi yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan Persuteraan Alam dan telah mendapat izin dari Direktur Jenderal serta telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). 26. Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan. 27. Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) atau Balai lain yang ditunjuk, selanjutnya disebut Balai adalah Balai yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Persuteraan Alam.

-6-28. Perorangan adalah orang perseorangan yang bergerak di bidang kegiatan Persuteraan Alam baik secara formal maupun informal. Pasal 2 Pengaturan pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera bertujuan: a. menjamin terpenuhinya kebutuhan Telur Ulat Sutera yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan berkesinambungan; b. menjamin kelestarian sumber daya genetik dan pemanfaatannya; dan c. mengendalikan perkembangan hama dan penyakit Ulat Sutera. Pasal 3 Ruang lingkup pengaturan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera meliputi : a. Pengadaan Telur Ulat Sutera; b. pemuliaan Telur Ulat Sutera; c. pelepasan Telur Ulat Sutera; d. Peredaran Telur Ulat Sutera; e. jangka waktu pemberian izin dan perpanjangan izin; f. kewajiban pemegang izin Pengadaan dan Peredaraan Telur Ulat Sutera; g. pembinaan, pengawasan, dan pengendalian; dan h. sanksi. BAB II PENGADAAN TELUR ULAT SUTERA Pasal 4 (1) Pengadaan Telur Ulat Sutera dilakukan melalui: a. pengadaan dalam negeri; dan b. pemasukan dari luar negeri ke dalam wilayah Republik Indonesia.

-7- (2) Pengadaan Telur Ulat Sutera yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan melalui proses sertifikasi. (3) Pemasukan Telur Ulat Sutera yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan melalui proses karantina. (4) Pengadaan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) yang berasal dari dalam negeri maupun pemasukan dari luar negeri harus merupakan Telur Ulat Sutera unggul yang sudah dilepas oleh Menteri. Bagian Kesatu Pengadaan dalam Negeri Pasal 5 (1) Izin Pengadaan Telur Ulat Sutera diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Balai. (2) Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugaskan kepada Kepala Balai dalam pelaksanaan pemberian izin. (3) Izin Pengadaan Telur Ulat Sutera dapat diajukan melalui permohonan oleh: a. badan usaha; atau b. perorangan yang bergerak di bidang Persuteraan Alam. (4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi persyaratan teknis dan administratif. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi keterangan: a. memiliki peralatan laboratorium minimum unit uji Pebrine; b. kepemilikan kebun murbei; c. kepemilikan gedung pemeliharaan ulat; d. kepemilikan fasilitas pembibitan; dan e. memiliki tenaga ahli yang kompeten.

-8- (6) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas : a. foto copy KTP untuk perorangan atau akte pendirian perusahaan beserta perubahannya untuk badan usaha; b. bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/ perkebunan; c. Surat Izin Usaha dari instansi yang berwenang (SIUP); d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku; dan e. surat keterangan domisili perusahaan. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Balai memeriksa kelengkapan persyaratan teknis dan administratif. (8) Dalam hal persyaratan teknis dan administratif telah terpenuhi, Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal menerbitkan izin Pengada Telur Ulat Sutera dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala UPTD Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan dan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat. Bagian Kedua Pemasukan dari Luar Negeri Pasal 6 (1) Pemasukan Telur Ulat Sutera dari luar negeri ke dalam wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, dapat berupa Telur Induk maupun telur hibrida (F1) komersial melalui proses karantina. (2) Pemasukan Telur Ulat Sutera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui permohonan izin oleh: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah Provinsi; c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

-9- d. Badan Usaha; dan e. Perorangan. (3) Permohonan Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diajukan untuk tujuan penelitian dan komersial. Pasal 7 (1) Permohonan Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), diajukan kepada Kepala Badan dengan tembusan Kepala Balai. (2) Permohonan izin untuk tujuan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan : a. sertifikat yang menerangkan asal-usul (certificate of origin); b. sertifikat kualitas (certificate of quality); c. sertifikat kesehatan (certificate of health) dari pemerintah negara asal. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Kepala Badan menerbitkan Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian. Pasal 8 (1) Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Balai. (2) Direktur Jenderal sebagaiman dimaksud pada ayat (1) menugaskan kepada Kepala Balai dalam pelaksanaan pemberian izin. (3) Permohonan izin untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dilengkapi juga dengan sertifikat uji adaptasi yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan atau Lembaga Penelitian. (4) Dalam hal Pemasukan Telur Ulat Sutera memiliki spesifikasi yang sama dan berasal dari hasil persilangan

-10- galur murni yang sama dari sumber yang sama, Telur Ulat Sutera tidak perlu dilakukan uji adaptasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan atau Lembaga Penelitian. (5) Dalam hal Pemasukan Telur Ulat Sutera memiliki spesifikasi yang tidak sama dan bukan berasal dari hasil persilangan galur murni yang sama dari sumber yang sama, maka Telur Ulat Sutera perlu dilakukan uji adaptasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan atau Lembaga Penelitian. (6) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal menerbitkan Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan dan Dinas Provinsi. BAB III PEMULIAAN TELUR ULAT SUTERA Pasal 9 (1) Pemuliaan Ulat Sutera dilakukan untuk mempertahankan galur murni dan menghasilkan hibrid baru yang lebih baik untuk meningkatkan produksi dan kualitas kokon. (2) Penyelenggaraan Pemuliaan Ulat Sutera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kaidahkaidah ilmu pemuliaan. (3) Penyelenggaraan Pemuliaan Ulat Sutera dilakukan oleh Pemerintah bersama Lembaga Penelitian yang memenuhi persyaratan dan telah mendapat izin dari Kepala Badan. (4) Lembaga penelitian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. memiliki tenaga ahli breeder bersertifikat yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan dan/atau Lembaga Penelitian; b. mempunyai laboratorium dan peralatan Pemuliaan Ulat Sutera; dan c. mempunyai kebun murbei.

-11- (5) Hasil Pemuliaan Ulat Sutera hibrida (F1) baru harus melalui uji adaptasi. (6) Uji adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan untuk mengkaji kesesuaian hibrida F1 terhadap lokasi Budi Daya Ulat Sutera. BAB IV PELEPASAN TELUR ULAT SUTERA Pasal 10 (1) Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) hasil pemuliaan dan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) hasil pemasukan dari luar negeri harus dilakukan pelepasan oleh Kepala Badan atas nama Menteri. (2) Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) yang akan dilepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bermutu baik dan adaptif terhadap lingkungan setempat. (3) Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) hasil pemuliaan yang telah dilepas oleh Kepala Badan atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diedarkan untuk menjadi Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) komersial wajib disertifikasi. (4) Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) komersial dilakukan atas permohonan Pemerintah dan Lembaga Penelitian yang melakukan pemuliaan. (5) Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan tahapan: a. pelaku pemuliaan mengajukan permohonan kepada Kepala Badan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Balai; b. Kepala Badan membentuk tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur Badan Penelitian dan Pengembangan dan Balai. c. Tim Penilai menyampaikan hasil penilaiannya kepada Kepala Badan atas nama Menteri;

-12- d. berdasarkan hasil penilaian, Kepala Badan atas nama Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1); e. dalam hal Kepala Badan atas nama Menteri menyetujui Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1), maka Kepala Badan menerbitkan Keputusan Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1); f. dalam hal Kepala Badan atas nama Menteri menolak Pelepasan Telur Ulat Sutera Hibrida (F1), maka Kepala Badan atas nama Menteri menyampaikan penolakan kepada pemohon. Pasal 11 (1) Sertifikasi Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dilakukan untuk: a. menjamin kualitas Telur Ulat Sutera bebas Pebrine; b. meningkatkan penggunaan Telur Ulat Sutera yang berkualitas; c. memberikan pengakuan kebenaran terhadap sumber Telur Ulat Sutera, mutu Telur Ulat Sutera, dan kesehatan Telur Ulat Sutera. (2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Balai atau Lembaga Sertifikasi yang sudah mendapat izin atau terakreditasi untuk melakukan test Pebrine. (3) Sertifikasi wajib dilakukan terhadap setiap Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) yang akan diedarkan dan diketahui asal-usulnya. (4) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diikuti dengan pemberian Label Telur Ulat Sutera Hibrida (F1) oleh Pengada Telur Ulat Sutera apabila akan diedarkan. (5) Telur Ulat Sutera yang tidak memiliki dokumen asalusul, tidak dapat dilakukan sertifikasi dan harus dimusnahkan.

-13- BAB V PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA Bagian Kesatu Pengedar Telur Ulat Sutera Pasal 12 (1) Permohonan menjadi Pengedar Telur Ulat Sutera F1 diajukan oleh badan usaha atau perorangan yang bergerak di bidang Persuteraan Alam kepada Kepala Balai dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi atau UPTD Dinas Provinsi yang dilampiri persyaratan administratif dan teknis. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Copy KTP untuk perorangan atau akte pendirian perusahaan beserta perubahannya untuk badan usaha; b. pernyataan bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan; c. Surat Izin Usaha dari yang berwenang (SIUP); d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku; dan e. surat keterangan domisili perusahaan atau perorangan. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. memiliki tempat penyimpanan dan pengamanan Telur Ulat Sutera. b. memiliki tempat penyimpanan dan alat pengemas Telur Ulat Sutera bebas Pebrine. c. memiliki tenaga yang kompeten menangani Ulat Sutera. (4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Balai menerbitkan izin Pengedar Telur Ulat Sutera F1.

-14- Bagian Kedua Pengeluaran Telur Ulat Sutera Pasal 13 (1) Telur Ulat Sutera yang dapat dikeluarkan dari wilayah Republik Indonesia, wajib memenuhi persyaratan: a. Telur Ulat Sutera bermutu yang berasal dari jenis ulat yang telah berkembang di Indonesia; dan b. tidak termasuk jenis langka atau hampir punah serta dilindungi oleh perundang-undangan. (2) Pengeluaran Telur Ulat Sutera ke luar wilayah Republik Indonesia dapat dilakukan oleh: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah Provinsi; c. badan usaha; dan d. perorangan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dapat mengajukan izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera dari wilayah Republik Indonesia untuk tujuan penelitian dan pemberian/souvenir. (4) Badan usaha dan perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dapat mengajukan izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera dari wilayah Republik Indonesia untuk tujuan pengembangan usaha Persuteraan Alam. (5) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, badan usaha, dan perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengajukan permohonan izin dengan mencantumkan tujuan, jenis, kuantitas, kualitas, dan negara tujuan kepada: a. Direktur Jenderal dalam hal izin pengeluaran untuk pengembangan usaha Persuteraan Alam; atau b. Kepala Badan dalam hal izin pengeluaran untuk penelitian dan pemberian/souvenir. (6) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan :

-15- a. Sertifikat asal-usul (certificate of origin). Sertifikat asal-usul F1 dan Sertifikat asal-usul Telur Induk dikeluarkan oleh Kepala Badan. b. Sertifikat kualitas (certificate of quality) dari Direktur Jenderal, dilengkapi dengan rekomendasi hasil sertifikasi dari Balai dan/atau Lembaga Sertifikasi, dan; c. Sertifikat kesehatan (certificate of health) dikeluarkan oleh Badan Karantina Pertanian. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Direktur Jenderal dan Kepala Badan sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera. BAB VI JANGKA WAKTU PEMBERIAN IZIN DAN PERPANJANGAN IZIN Bagian Kesatu Izin Pengadaan Telur Ulat Sutera Pasal 14 (1) Izin Pengadaaan Telur Ulat Sutera terdiri atas: a. Izin Pengada Telur Ulat Sutera; b. Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian; dan c. Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial. (2) Izin Pengada Telur Ulat Sutera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. (3) Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

-16- (4) Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Pasal 15 (1) Perpanjangan Izin Pengada Telur Ulat Sutera, Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian dan Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum izin berakhir. (2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dengan ketentuan: a. Izin Pengada Telur Ulat Sutera diberikan oleh Kepala Balai; b. Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian diberikan oleh Kepada Badan; dan c. Izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial diberikan oleh Kepala Balai. (3) Pengajuan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan persyaratan teknis dan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8. Bagian Kedua Izin Peredaran Telur Ulat Sutera Pasal 16 (1) Izin Peredaran Telur Ulat Sutera terdiri atas: a. Izin Pengedar Telur Ulat Sutera F1; b. Izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian dan pemberian/souvenir; dan c. Izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk tujuan pengembangan usaha. (2) Izin Pengedar Telur Ulat Sutera F1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan untuk jangka

-17- waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. (3) Izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian dan pemberian/souvenir dan Izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk tujuan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, diberikan untuk setiap kali Pengeluaran Telur Ulat Sutera. Pasal 17 (1) Perpanjangan Pengedar Telur Ulat Sutera F1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin berakhir. (2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan oleh Kepala Balai. (3) Pengajuan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan dalam Pasal 12. BAB VII KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN PENGADAAN DAN PEREDARAAN TELUR ULAT SUTERA Pasal 18 (1) Setiap pemegang izin Pengadaan Telur Ulat Sutera dan pemegang izin Peredaraan Telur Ulat Sutera wajib membuat laporan kepada pemberi izin. (2) Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pemegang izin Pengada Telur Ulat Sutera; b. pemegang izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian. c. pemegang izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial; d. pemegang izin Pengedar Telur Ulat Sutera F1; e. pemegang izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk penelitian dan pemberian/souvenir;

-18- f. pemegang izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk pengembangan usaha Persuteraan Alam. Pasal 19 Pemegang izin Pengada Telur Ulat Sutera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan laporan setiap 1 (satu) tahun sekali, dan disampaikan kepada Kepala Balai. Pasal 20 (1) Pemegang izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, wajib membuat laporan setiap 6 (enam) bulan sekali dan disampaikan kepada Kepala Badan. (2) Dalam hal pemegang izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendatangkan Telur Ulat Sutera, setiap kedatangan wajib membuat laporan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi tujuan dan Kepala Balai. Pasal 21 (1) Pemegang izin Pemasukan Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c, wajib membuat laporan setiap 6 (enam) bulan sekali dan disampaikan kepada Kepala Balai. (3) Dalam hal pemegang izin Telur Ulat Sutera untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendatangkan Telur Ulat Sutera, setiap kedatangan wajib membuat laporan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi tujuan dan Kepala Balai. Pasal 22 Pemegang izin Pengedar Telur Ulat Sutera F1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf d, wajib membuat laporan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan

-19- disampaikan kepada Kepala Balai dengan tembusan kepala Dinas Provinsi. Pasal 23 Pemegang izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk penelitian dan pemberian/souvenir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf e, wajib membuat laporan hasil pelaksanaan Pengeluaran Telur Ulat Sutera dan disampaikan kepada Kepala Badan. Pasal 24 Pemegang izin Pengeluaran Telur Ulat Sutera untuk pengembangan usaha Persuteraan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf f, wajib membuat laporan hasil pelaksanaan Pengeluaran Telur Ulat Sutera dan disampaikan kepada Direktur Jenderal. Pasal 25 Selain kewajiban membuat laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, setiap pemegang izin Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera wajib : a. menjaga mutu telur yang diproduksi dan diedarkan; dan b. memusnahkan Telur Ulat Sutera yang rusak. BAB VIII PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 26 Untuk menjamin tertibnya penyelenggaraan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera dilakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

-20- Bagian Kedua Pembinaan Pasal 27 (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 meliputi pemberian: a. bimbingan; b. pelatihan; c. arahan; dan d. supervisi. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi sesuai kewenangannya kepada penyelenggara Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. Pasal 28 (1) Bimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a diberikan dalam bentuk bimbingan teknis dan administrasi. (2) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia penyelenggara Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. (3) Arahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c meliputi kegiatan penyusunan rencana, program, Pengadaan, dan Peredaran Telur Ulat Sutera. (4) Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d dilakukan melalui penilaian kinerja. Bagian Ketiga Pengawasan Pasal 29 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan secara berjenjang dengan ketentuan:

-21- a. Menteri dapat melarang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera yang merugikan masyarakat dan merugikan budi daya Persuteraan Alam; b. Direktur Jenderal melakukan pengawasan atas pengadaan, peredaran, sertifikasi, dan tata usaha Telur Ulat Sutera; c. Kepala Badan melakukan pengawasan atas penelitian konservasi sumber daya genetik dan pemuliaan jenis Ulat Sutera; d. Kepala Dinas Provinsi sesuai kewenangannya melakukan pengawasan atas kegiatan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera di wilayahnya. Bagian Keempat Pengendalian Pasal 30 Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 meliputi kegiatan: a. monitoring; b. evaluasi; dan/atau c. tindak lanjut. Pasal 31 (1) Monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh data dan informasi tentang penyelenggaraan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. (2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemegang izin Pengadaan Telur Ulat Sutera dan pemegang izin Peredaraan Telur Ulat Sutera. (3) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali. (4) Hasil monitoring disusun dalam bentuk laporan dan disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya.

-22- Pasal 32 (1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemegang izin Pengadaan Telur Ulat Sutera dan pemegang izin Peredaraan Telur Ulat Sutera. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali selama masa izin. (4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dalam bentuk laporan dan disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kapala Badan atau Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya. (5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), digunakan sebagai bahan rekomendasi perpanjangan izin dan pengenaan sanksi. Pasal 33 (1) Tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, digunakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya, untuk penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. BAB IX SANKSI Pasal 34 (1) Dalam hal pemegang izin Pengadaan Telur Ulat Sutera dan izin Peredaran Telur Ulat Sutera melakukan pelanggaran dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:

-23- a. teguran tertulis; dan/atau b. pencabutan izin. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan oleh Direktur Jenderal, Kepala Badan atau Kepala Balai sesuai dengan kewenangannya. (4) Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang izin dalam hal: a. tidak memenuhi kewajibannya; b. mempertimbangkan hasil evaluasi; dan c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

-24- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Juni 2017 MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SITI NURBAYA Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2017 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 838 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM, ttd. KRISNA RYA