BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. yang menyediakan pendidikan anak usia 4-6 tahun sampai memasuki

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bangsa yang mampu bertahan dan mampu memenangkan persaingan yang semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII SMPLB DI SLB-B PRIMA BHAKTI MULIA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya. hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

2015 PENERAPAN PELATIHAN CETAK SABLON DIGITAL DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SISWA TUNARUNGU KELAS XII SMALBDI SLB BC YATIRA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lahir ke dunia akan mengalami pertumbuhan dan. perkembangan. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan akan terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. menyadari akan penting nya mencerdaskan rakyat nya, Cita cita mulia itu pun

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki anak sehat, sempurna lahir dan batin adalah harapan semua

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

2015 METODE SOSIODRAMA UNTUK MENINGKATKAN INTERKASI SOSIAL ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLBN-A CITEUREUP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

2015 PENGAJARAN TOILETTRAINING PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN DI SPLB-C YPLB CIPAGANTI

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang harus dialami oleh setiap manusia, mulai dari Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau pun potensi yang dimilikinya. masalah yang cukup besar bagi kemajuan negara ini.

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2014 EFEKTIVITAS KONSELING TEMAN SEBAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KISI UJI KOMPETENSI 2014 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. anak. Usia dini juga sering disebut sebagai masa keemasan (golden age), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak lepas dari rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimiliki oleh

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

merupakan unit terkecil dari ruang lingkup masyarakat. Kesejahteraan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas kemampuan seorang anak, tetapi juga menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia (Kumar, 2007). Menurut pasal 15 dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, pendidikan terdiri dari beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/ memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (UUD 1945). Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah sekolah khusus bagi anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus (Supriadi, 2003). Menurut Petunjuk Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1993, Lembaga Pendidikan SLB adalah Lembaga Pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/ mental perilaku dan sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan 1

2 lanjutan. Satuan SLB disebut juga sistem segregasi yaitu sekolah yang dikelola berdasarkan jenis ketentuan namun terdiri dari beberapa jenjang. Masa remaja adalah masa peralihan yang sering menimbulkan gejolak. Menurut Hurlock (1994), remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya. Menurut Hurlock (1994) pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Pada masa ini remaja banyak memiliki keinginan dan cita cita yang ingin mereka capai. Banyak kegembiraan dan kesedihan yang terjadi pada masa ini. Saat remaja memiliki cita cita, remaja selalu berusaha mewujudkan cita cita itu untuk menjadi nyata. Remaja juga selalu ingin tampil baik di setiap acara dan selalu ingin diperhatikan. Sikap baik sebagai seorang remaja ditunjukkan pada semua orang yang kenal, agar semua orang dapat menilai perbuatan seorang remaja dengan positif. Namun, jika pada masa ini remaja menghadapi masalah atau cobaan yang dapat membuat hidupnya berubah dari kondisi awal kehidupan sebelumnya, seperti kecelakaan atau faktor eksternal lainnya yang dapat membuat kondisi fisik yang kurang sempurna, kemudian menjadikannya sebab membuat hidup dan juga cita citanya hilang atau berubah karena kondisi yang dialaminya.

3 Misalnya, karena faktor eksternal tersebut membuat indra penglihatannya menjadi tidak berfungsi lagi (tunanetra). Dalam studi mengenai remaja, istilah autonomy sering disejajarartikan secara silih berganti dengan kata independence, walaupun seseungguhnya ada perbedaan sangat tipis diantara keduannya. Independence dalam arti kemerdekaan atau kebebasan, secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk berjalan/menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol dengan orang lain. Sedangkan istilah autonomy atau swantantra adalah berarti kemampuan untuk memerintah diri sendiri, mengurus sendirim atau mengatur kepentingan sendiri (Gendon Barus, 1999) Proses pencarian identitas diri pada remaja diperlukan suatu kemandirian baik secara fisik maupun emosi. Penyataan tersebut sesuai pendapat Steinberg (2002) yang manyatakan bahwa kemandirian penting bagi remaja sebagai bagian dalam pembentukan jati diri. Kemandirian menurut Mu tadzin (2002) merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana indivisu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Steinberg (2002) mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian meliputi : kemandirian emosi (Emotional Autonomy), kemandirian bertindak (Behavioral Autonomy), kemandirian nilai (Value Autonomy).

4 Mengembangkan kemandirian, merupakan salah satu usaha mempersiapkan remaja dalam menghadapi masa depan (Asrori & Ali, 2008). Remaja tunanetra mengembangkan kemandirian selain digunakan dalam proses pencarian identitas diri juga digunakan sebagai salah satu cara mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Kemandirian sebagai unsur yang penting agar remaja memiliki kepribadian matang yang matang dan terlatih dalam menghadapi masalah, mengembangkan kesadaran bahwa dirinya cakap dan mampu, dapat menguasai diri, tidak takut dan malu terhadap dirinya sendiri serta berkecil hati atas kesalahan yang diperbuatnya. Menurut Soemantri (2007) pengertian tunanetra tidak hanya untuk mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari hari, terutama dalam belajar. Dengan kondisi tidak dapat melihat lagi, akan membuatnya mengubur cita cita bahkan cita citanya dapat berubah dan menganggap dirinya lemah serta membuatnya merubah konsep yang ada pada dirinya. Sewaktu dia bisa melihat, dia menganggap dan menilai dirinya dengan positif namun karena musibah yang membuat kondisinya berubah dengan fisik yang berbeda seperti diawal hidupnya, kepercayaan dirinya dapat berubah. Hal ini didukung dengan pernyataan Bapak Achmadi yakni Penyandang tunanetra tidak bisa dipandang sebelah mata, individu tersebut memiliki kemampuan istimewa dibanding individu yang awas. Penyandang tunanetra lebih memiliki prestasi dalam hal akademik, olah raga, serta ketrampilan. Sebagian masyarakat selalu berifikir

5 negatif terhadap penyandang tunanetra, sehingga membuat penyandang tunanetra memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain. Alhamdulillah saya bisa bersekolah S1 dan ilmu yang saya dapatkan di jenjang perkuliahan akhirnya saya bisa mengajar di SLB Kuncup Mas ini. Soemantri (2006) mengungkapkan tunanetra merupakan suatu ketidakberfungsian indera penglihatan. Individu memperoleh ketunanetraan sejak lahir disebabkan oleh faktor gen, kodisi psikis ibu saat hamil, keracunan obat yang diminum ibu saat hamil, ibu hamil kekurangan gizi, serta maltunasi (kekurangan gizi pada tahap embrional antara 3 8 minggu usia kehamilan) individu juga mendapat ketunanetraan setelah dilahirkan atau bukan sejak lahir disebabkan kurang vitamin A, terkena penyakit mata, pengaruh alat medis saat dilahirkan, kecelakaan, serta terkena virus mauoun racun. Perkembangan kognitif penyandang tunanetra yaitu tunanetra setelah lahir ditandai oleh pemahaman ruang dianggap sebagai dasar dari ingatan visual. Hasil penelitian tetang Kemandirian Remaja Tunanetra di SLB Yaketunis menunjukkan bahwa peran SLB A Yaketunis dalam embentuk kemandirian siswa dalam aktivitas sehari-hari seperti Orientasi Mobilitas (mengenal gambaran konsep tubuh, keterampilan motorik, konsep dasar orientasi dan mobilitas, keterampillan teknik pra tongkat, keterampilan teknik tongkat). Sedangkan penelitian terhadap kemampuan siswa terhadap kemampan dalam membentuk kemandirian siswa tersebut bahwa siswa mampu untuk hidup mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan bisa

6 dilihat dengan tinggal di asrama dan pulang pergi sendiri tanpa bantuan orang lain (Januari, 2014) Hasil penelitian tentang kemandirian pada penyandang Low Vision yaitu, kemandirian kedua subjek membawa mereka menjadi individu dengan diri kreatif. Diri kreatif adalah diri yang mengetahui dengan pasti tujuan yang akan dicapainya, mengetahui potensi yang ada dalam dirinya, mengetahui cara untuk mengembangkan potensi tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Muharani). Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan kepada salah satu Guru kelas Bapak Achmadi pada tanggal 26 November 2015 yang juga beliau penyandang tunanetra yaitu ketika remaja tunanetra yang dimasukan ke sekolah khususnya di SLB ini banyak sekali permasalahan yang muncul terutama pada kemandirian remaja tunanetra. Remaja tunanetra tersebut cenderung diam dikelas, tidak melakukan aktivitas, tidak bisa berangkat kesekolah sendiri, tidak bisa memakai baju sendiri, tidak bisa memakai sepatu sendiri, tidak bisa mandiri untuk ke kamar mandi, dan tak jarang untuk meminta guru pendamping untuk menemani remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini untuk mengikuti proses pembelajaran di kelas. Dibutuhkan waktu yang lama agar dapat membentuk kemandirian remaja tunanetra agar dapat berinteraksi dengan siswa lainnya, karena di SLB Kuncup Mas ini ketika jam istirahat semua anak bebas bermain dan bersosialisasi dengan siswa lainnya seperti contoh anak

7 tunagrahita, anak tunarungu, tunadaksa, dan anak-anak lain yang bersekolah disini. Ada beberapa cara atau orientasi agar remaja tunanetra ini memiliki kemandirian yang tinggi yaitu dengan memberikan orientasi dan mobilitas untuk remaja tunanetra yaitu meliputi pelatihan kemandirian, karena ketika remaja tunanetra ini bersekolah mereka masih malu untuk masuk ke dalam kelas sehingga harus diantar oleh orang tuanya sampai ke dalam kelas, atau ketika ingin buang air harus ditemani oleh guru pendamping. Orientasi ini meliputi kegiatan yang memicu kemampuan siswa untuk belajar untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah yang ada dilingkungannya, hal ini penting dalam membentuk kemandirian, mental dan kepercayaan diri remaja tunanetra. Mobilitas merupakan kegiatan yang berkaitan dengan orientasi, disini siswa dituntut untuk banyak bergerak dan berpikir untuk menyelesaikan masalah, hal ini bertujuan agar remaja tunanetra terbiasa dan dapat bergabung dengan siswa normal lainnya di lingkungan sosial, selain itu tentunya untuk meningkatkan kemandirian remaja tunanetra. Remaja tunanetra yang bersekolah disini ada 5 remaja tunanetra yang belum bisa mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan oleh remaja normal atau remaja tunanetra yang sudah terampil dan mandiri dalam melakukan berbagai aktivitas dalam hidupnya misalnya makan dan minum sendiri, berpergian sendiri, tentunya bisa berangkat kesekolah sendiri sehingga remaja tunanetra ini dapat menyikapi dan bertingkahlaku secara mandiri.

8 Wawancara selanjutnya dilakukan dengan salah satu remaja tunanetra berinisial A yang duduk dibangku kelas 6. Menurut penututan subjek, remaja tunanetra yang lain dengan jumlah 4 remaja tunanetra yang besekola di SLB Kuncup Mas ini belum mampu untuk melakukan aktivitas kesehariannya sendiri terbukti subjek mengatakan bahwa guru pembimbing kelas sering mengajari remaja tunanetra lain agar bisa mandiri. Subjek mengatakan bahwa subjek sudah mampu untuk pergi ke WC sendiri, ketika bel istirahat berbunyi subjek tak ragu untuk keluar kelas dan duduk didepan kelas bersama siswa lain yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas. Subjek juga mengaku sudah bisa memakai sepatu dan kaos kaki sendiri meskipun kaos kakinya harus di balik terlebih dahulu oleh orang tuanya agar memakai kaos kaki tersebut tidak terbalik.subjek menggunakan tongkat untuk membantu aktivitasnya sehari-hari termasuk berangkat ke sekolah walaupun seringkali subjek mengaku bahwa masih sering diantarkan oleh kedua orangtuanya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SLB Kuncup Mas Banyumas pada tangga l8 Oktober 2015 diperoleh data keseluruhan anak tunanetra ada 5 anak dengan umur berkisar 8-15 tahun ( Menurut data sekolah SLB Kuncup Mas Banyumas ). Menurut penuturan Bapak Meidi selaku TU SLB Kuncup Mas, anak dengan ketunaan tunanetra biasanya ketika pertama masuk sekolah anak itu tidak bisa masuk ke ruangan kelasnya, tidak bisa memakai sepatu sendiri ketika setalah sepatunya dilepas, tidak bisa mandiri untuk pergi ke WC untuk buang air kecil dan kegiatan yang dilakukan sehari-hari dalam hidupnya seperti makan dan lain-lain.

9 Di lingkungan tempat anak tunanetra tinggal biasanya tidak banyak atau bahkan tidak ada anak dengan ketunaan yang sama sehingga anak tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini sangat senang untuk bersekolah karena disekolah mereka dapat berbagi cerita, bersosialisasi dengan percaya diri dengan anak dengan ketunaan yang sama di sekolahnya. Remaja Tunanetra yang belum memiliki kemandirian yang baik biasanya diberikan pembekalan tentang orientasi dan mobilitas untuk remaja tunanetra diharapkan agar remaja tunanetra tersebut agar lebih bisa mandiri dalam melakukan aktivitasnya sehar-hari menurut Douvan (dalam Yusuf, 2000). Salah satu potensi untuk menghadapi kehidupan sekitarnya pada remaja tunanetra adalah membentuk kemandirian itu sendiri. Mandiri adalah dambaan setiap orang. Berbagai cara dilakukan untuk memperoleh kemandirian pada setiap manusia tak terkecuali remaja tunanetraagar dapat menyelesaikan permasalahan dengan orang lain. Kemandirian tidak tumbuh dengan sendirinya akan tetapi diperlukan usaha-usaha dari masing-masing individu. Disamping itu diperlukan pula adanya bimbingan dan pengarahan yang baik dari berbagai pihak, baik orang tua, guru maupun lingkungan sekitar pada remaja tunanetra. Tanpa adanya bimbingan dan perhatian remaja tunanetra akan mendapatkan kesulitan dalam mencapai kemandirian hidupnya (Januari, 2014). Di SLB Kuncup Mas Banyumas selain para siswa dibekali dengan berbagai macam pengetahuan melalui proses pembelajaran, juga dierikan berbagai macam kegiatan dan pelatihan yaitu Orientasi dan Mobilitas yang

10 bermanfaat bagi pengembangan kemandirian remaja tunanetra agar remaja tunanetra tidak selalu bergantung pada orang lain karena kekurangan yang mereka miliki. Orientasi dan Mobilitas yang diberikan kepada remaja tunanetra yang bersekolah di SLB Kuncup Mas Banyumas ini tidak lepas dari tujuan utama Pendidikan Luar Biasa Khususnya remaja tunanetra agar memiliki kemampuan untuk mengurus diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari serta dapat mengurangi ketergantungan dari orang lain dan dijadikan bekal bagi remaja tunanetra untuk melanjutkan kehidupan mereka nanti. Berdasar fenomena di atas maka penelitian ini penting dilakukan dengan judul Studi Deskriptif Kualitatif Kemandirian pada Remaja Tunanetra di SLB Kuncup Mas Banyumas B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana kemandirian remaja tunanetra di SLB Kuncup Mas Banyumas? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujan untuk mendeskripsikan bagaimana kemandirian yang meliputi kemandirian emosi, kemandirian berperilaku, dan kemandirian dalam nilai remaja tunanetra di SLB Kuncup Mas Banyumas.

11 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi pendidikan terutama mengenai kemandirian remaja tunanetra. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru Dapat menjadi informasi tentang kondisi anak tunanetra agar dapat memberikan dukungan psikologis yang sangat berarti agar anak tunanetra yang belum mandiri dalam melakukan aktivitas kesehariannya dengan keadaan fisik yang dialaminya sehingga remaja tunanetra dapat berkembang dengan baik meskipun dengan keterbatasan yang dialaminya. b. Bagi siswa Sebagai bahan informasi dan masukan untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki pada remaja tunanetra agar dapat menjadi pribadi yang mandiri yaitu dengan memberikan pelatihan kemandirian bagi remaja tunanetra. c. Bagi orang tua Sebagai bahan masukan mengenai kemandirian remaja tunanetra yang baik, sehingga dapat membimbing remaja tunanetra agar menjadi pribadi yang lebih mandiri