3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1990). Penginderaan jauh mampu memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan sarana lain, mempermudah pekerjaan lapangan dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah ( Jaya 2010). Proses utama yang terkait dengan penginderaan jauh adalah pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand and Kiefer (1990) proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi pancaran dan pantulan energi elektromagnetik oleh kenampakan di muka bumi. Proses analisis data meliputi pengujian data menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, dan/atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik. Proses ini memerlukan adanya data rujukan yang dapat membantu, dengan bantuan data rujukan analis mengambil informasi tentang jenis, bentangan, lokasi dan kondisi berbagai sumberdaya yang dikumpulkan oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan (Lillesand and Kiefer 1990). 2.2 Sistem Informasi Geografis Menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2009), Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG mempunyai 4 kemampuan untuk menangani data bereferensi geografi, yaitu: (a) pemasukan data (data input), (b) manajemen data (penyimpanan/store dan pemanggilan/retrieve), (c) analisis dan manipulasi, serta (d) menghasilkan data (data output).
4 Istilah sistem informasi geografis merupakan gabungan dari tiga unsur pokok : sistem, informasi dan geografis. SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur informasi geografis. Istilah Geografis merupakan bagian dari spasial (keruangan), penggunaaan kata Geografis mengandung pengertian suatu persoalan atau hal mengenai (wilayah di permukaan) bumi: baik permukaan dua dimensi atau tiga dimensi. Istilah informansi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, atau informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) objek penting yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta 2009). Menurut Chrisman (1997) dalam Prahasta (2009) SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, manusia (brainware), organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis dan menyebarkan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. Sistem Informasi Geografis dapat memvisualisasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data spasial. SIG juga dapat menghubungkan database dengan suatu peta. Cara kerja GIS adalah dengan menghubungkan beberapa informasi dari berbagai sumber (penggunaan lahan, topografi, penutupan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dll), merekam data, integrasi data, proyeksi dan registrasi, struktur data, dan pemodelan data. Menurut Prahasta (2009) dari beberapa definisi mengenai sistem informasi geografis, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa sub-sistem, antara lain adalah: a. Data Input: sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai sumber. b. Data Output: sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain sebagainya. c. Data Management: sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa
5 hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve (di-load ke memory), diupdate dan di-edit. d. Data Manipulation dan Analisis: sub-sistem ini menentukan informasiinformasi yang dapat dihasilkan oleh SIG, selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Menurut Jaya (2002) SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta, tetapi merupakan alat analitik (analitical tool) yang mampu memecahkan masalah sosial secara otomatis, cepat dan teliti. SIG pada bidang kehutanan sangat diperlukan guna mendukung pengambil keputusan untuk memecahkan permasalahan keruangan, mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (poligon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). 2.3 Basis Data Sistem Informasi Geografis Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2010) basis data SIG merupakan data geografis permukaan bumi, yang strukturnya meliputi posisi dan hubungan tipologis, baik berupa data spasial maupun non-spasial. Keunikan SIG dibanding dengan sistem pengelolaan basis data lainnya adalah kemampuan untuk menyajikan informasi spasial dan non-spasial secara bersama-sama. Sumber data SIG berasal dari peta, citra, data statistik, dan sumber data lapangan harus berupa data digital. Semua data digital untuk masukan SIG harus sudah bereferensi dalam format geografis. Penyusunan basis data, merupakan pengorganisasian data yang telah dikumpulkan, dimasukkan dan dilakukan konversi data. Pemasukkan data disesuaikan dengan tujuan pembangunan basis data yang akan disusun berdasarkan point coverage (misalnya kota, pelabuhan), line coverage (misalnya jalan, sungai), dan poligon coverage (unit penggunaan lahan) (Purwadhi & Sanjoto 2010). Pemisahan informasi dengan konsep lapis-lapis (layer/coverage) obyek mempunyai arti besar dalam pengelolaan basis data, yaitu (Purwadhi & Sanjoto 2010) :
6 1. Membantu dalam mengorganisasi kenampakan obyek mengelompok. 2. Meminimalkan jumlah atribut berkaitan dengan setiap kenampakan obyek. 3. Memudahkan perbaikan dan pemeliharaan peta, karena biasanya tersedia sumber data yang berbeda untuk setiap lapis obyek (layer). 4. Menyederhanakan tampilan peta, karena kenampakan obyek (feature) yang berelasi mudah digambarkan, dan diberi label (ID) serta di-simbol-kan. 5. Mempermudah proses analisis spasial. 2.4 Citra Landsat Landsat merupakan salah satu produk dari sistem penginderaan jauh yang menggunakan data satelit sistem pasif. Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kalinya tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Konfigurasi dasar satelit landsat berupa sistem berbentuk kupu-kupu yang tingginya kurang lebih 3 m dan bergaris tengah 1,5 dengan panel matahari yang melintang kurang lebih 4 m. Berat satelit ini kurang lebih 815 kg dan diluncurkan ke orbit lingkarnya pada ketinggian nominal 900 km ( ketinggian bervariasi antara 880 km dan 940 km). Orbit landsat melalui 9º kutub utara dan kutub selatan. Satelit mengelilingi bumi satu kali dalam 103 menit sehingga menghasilkan 14 kali orbit dalam sehari. Kecepatan jalur medan satelit sekitar 6,46 km/detik (Lillesand and Kiefer 1990). Sensor landsat meliputi lebar rekaman 185 km. Landsat 1 dan 2 membawa dua sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon) dan MMS (Multispektral scanner). Landsat 3 terdapat dua perubahan besar pada rancang bangunnya, yaitu tambahan saluran termal (10,4-12,6) mm pada sensor MMS dan resolusi spasial sistem RBV ditingkatkan dengan menggunakan sistem dua kamera lebar (bukan multispektral). Landsat 4 dan 5 menrupakan pengembangan sensor pada sistem landsat 1, 2 dan 3 dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrik, laju pengiriman datanya lebih cepat, dan fokus pengindaraan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Landsat 4, 5 dan 6 menggunakan sistem pengiriman data lintas TDRSS
7 (Tracking Data Realay Satellite System) yang menggunakan dua satelit komunikasi untuk pengiriman data dari landsat ke beberapa stasiun bumi di seluruh dunia. Interval waktu pemotretan daerah yang sama 16 hari (Purwadhi 2001). Resolusi efektif citra landsat (kenampakan medan terkecil yang berdekatan yang dapat dibedakan satu terhadap yang lain) berukuran sekitar 79 m pada citra MMS dan sekitar 30 m pada citra RBV landsat 3. Kenampakan lurus memanjang dengan lebar beberapa meter yang mempunyai pantulan sangat kontras terhadap lingkungannya dapat dilihat pada citra landsat (misalnya jalan dua jalur, jembatan yang melintas tubuh air, dll), sebaliknya obyek melintang yang jauh lebih besar dari 79 m mungkin tidak tampak kalau beda pantulannya sangat kecil bila dibandingkan terhadap lingkungannya, dan suatu kenampakan yang dapat dideteksi pada suatu saluran dapat pula tidak tampak pada saluran yang lain (Lillesand and Kiefer 1990). 2.5 Koreksi Geometrik Data asli hasil rekaman sensor pada satelit maupun pesawat terbang merupakan representasi dari bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Data tersebut meskipun kelihatannya merupakan daerah yang datar, tetapi area yang direkam sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri (Jaya 2010). Kualitas citra pengindaraan jauh digital ditentukan oleh dua kelompok parameter yang spesifik, yaitu derajat resolusi spasial yang berhubungan dengan kemampuan sensor dan distorsi geometrik, serta resolusi radiometrik yang berhubungan dengan kekuatan sinyal, kondisi atmosfer (hamburan, serapan, dan tutupan awan) dan saluran spektral yang digunakan. Penggunaan citra pengindaraan jauh digital sangat dipengaruhi oleh kualitas citra atau kemampuan koreksi (koreksi radiometrik dan koreksi geometrik) atau merestorasi datanya, sehingga informasi yang diperoleh cukup akurat dan dapat diandalkan (Purwadhi 2001). Koresi geometrik (rektifikasi) adalah suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Koreksi
8 geometrik merupakan proses yang mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan atau ditumpangsusunkan dengan peta-peta atau citra lainnya yang mempunyai sistem proyeksi peta. Ada beberapa alasan yang perlu untuk melakukan rektifikasi, antara lain adalah untuk (Jaya 2010): 1. Membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu. 2. Membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial. 3. Meletakkan lokasi-lokasi pengambilan training area sebelum melakukan klasifikasi. 4. Membuat peta dengan skala yang teliti. 5. Melakukan overlay (tumpang susun) citra dengan data-data spasial lainnya 6. Membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang berbeda. 7. Membuat mozaik citra. 8. Melakukan analisis yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat. Pada umumnya koreksi geometrik citra dilakukan dengan menggunakan koordinat 2 dimensi (x,y) dimana koreksi geometrik semacam ini memerlukan persamaan polynomial yang sesuai dengan data titik kontrol. Guna memperoleh hasil yang lebih baik, koreksi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan koordinat 3 dimensi (x, y, z). Ketelitian koreksi geometrik dapat diketahui dari harga Root Mean Square Error (RMSe). Nilai RMSe harus kurang dari sama dengan 1. Nilai RMSe semakin mendekati nilai nol maka koreksi geometriknya semakin baik (Dewi et al. 2012). 2.5.1 Koreksi Geometrik Dua Dimensi Koreksi geometrik dua dimensi atau koreksi planimetri merupakan koreksi yang dilakukan pada peta yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian dan hanya memiliki dua sisitem koordinat, yaitu x dan y atau yang dikenal dengan absis dan ordinat. Koreksi planimetri terdiri dari beberapa model koreksi seperti affine, polynomial, camera dan sebagainya, yang masing-masing menggunakan persamaan matematis untuk mengkoreksi distorsi yang terjadi. Model polynomial digunakan untuk koreksi geometrik data citra yang mengalami pergeseran linear,
9 ukuran piksel sama dalam satu set citra, untuk data resolusi spasial tinggi maupun rendah (Purwadhi & Sanjoto 2010). 2.5.2 Koreksi Geometrik Tiga Dimensi Menurut Kustiyo (2010) kondisi riil data citra satelit tidak memungkinkan adanya pencitraan secara tegak pada setiap piksel citra, sehingga diperlukan transformasi koordinat atau koreksi geometri dari perekaman non-ortho menjadi ortho. Pergeseran koordinat dari transformasi ortho selain dipengaruhi oleh sudut pengambilan obyek juga dipengaruhi oleh tinggi obyek yang ada di permukaan bumi. Pengaruh ketinggian obyek terhadap pergeseran geometri citra disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Pergeseran geometri citra karena pengaruh ketinggian Titik A yang berada di atas datum mempunyai bayangan a pada bidang citra, padahal menurut posisi titik A pada bidang datum yang seharusnya, yaitu A bayangan yang ditangkap citra adalah a. Pergeseran a ke a merupakan pergeseran bayangan yang selalu mempunyai sifat menjauhi pusat proyeksi.
10 Begitu pula dengan titik B yang seharusnya mempunyai bayangan b pada citra, tapi karena titik B mempunyai tinggi di bawah datum maka bayangannya berada pada titik b. Pergeseran b ke b merupakan pergeseran bayangan yang selalu mempunyai sifat mendekati pusat proyeksi. Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2010) koreksi ortho digunakan selain untuk mengoreksi citra secara geometris, juga mengoreksi citra berdasarkan ketinggian geografisnya. Koreksi geometrik jika tidak menggunakan orthorectify, maka puncak gunung akan bergeser letaknya dari posisi semula, walaupun sudah dikoreksi geometris. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional telah memiliki data citra landsat dengan standar level 1T-ortho yang telah terkoresi ortho (LAPAN 2012). Data yang diperlukan untuk proses geometri ortho antara lain adalah raw data (data yang dikoreksi geometri) yang berupa citra landsat, data referensi yang berupa citra landsat 7 Global Land Survey (GLS)-2000 level 1T (ortho rectified), basis data GCP (Ground Control Point) dan data DEM (Digital Elevation Model), SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) 90 meter. Citra ortho dihasilkan melalui beberapa tahap yaitu, pengambilan 4 titik kontrol awal, proses pengambilan titik kontrol secara otomatis, pengecekan titik kontrol dan proses koreksi geometri ortho (Kustiyo 2010).