I. TINJAUAN PUSTAKA. dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella,

I. PENDAHULUAN. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi dan Karakterisasi Bacillus thuringensis. Penelitian Agus (2011) Bacillus thuringiensis adalah bakteri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

MATERI BIOTEKNOLOGI MODERN JAGUNG TRANSGENIK. Disusun Oleh : NURINSAN JUNIARTI ( ) RISKA AMELIA ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

A. Ulat Api Pada Tanaman Kelapa Sawit. Ulat api termasuk ke dalam famili Limacodidae, ordo Lepidoptera (bangsa

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Ulat Api Setothosea asigna Eecke (Lepidoptera: Limacodidae)

BAB I PENDAHULUAN. Vektor demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes Albopictus.

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

TINJAUAN PUSTAKA. thuringiensis, meminjam nama a propinsi Thuringia di Jerman (Ishawata, ata,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. acar, asinan, salad, dan lalap (Sumpena, 2008). Data produksi mentimun nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF?

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982), dalam Dirjen Perikanan

TINJAUAN PUSTAKA Bacillus thuringiensis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

BAB II TINJAUAN PUSAKA. Mahoni merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang menjadi vektor dari penyakit Demam Berdarah ini dikenal dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

BAB I PENDAHULUAN. dataran tinggi pada lahan basah dan lahan kering. Hasil produksi tomat di Indonesia dari tahun

I. PENDAHULUAN. Nyamuk Aedes Agypti merupakan vektor virus dengue penyebab penyakit

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

o Archaebacteria o Eubacteria

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti :

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. memburuk setelah dua hari pertama (Hendrawanto dkk., 2009). Penyebab demam

HAMA DAN PENYAKIT IKAN

FILUM ARTHROPODA NAMA KELOMPOK 13 : APRILIA WIDIATAMA ERNI ASLINDA RINA SUSANTI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi sekarang, pemanfaatan pestisida, herbisida dan pupuk kimia sangat umum digunakan dalam usaha

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

I. PENDAHULUAN. serangga yaitu Aedes spesies. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah. penyakit demam berdarah akut, terutama menyerang anak-anak dengan

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Bacillus thuringiensis

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MOJO (Aegle marmelos L.) TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di. Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung Januari hingga 14

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

Transkripsi:

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri Gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Bakteri tersebut mempunyai serangga inang yang spesifik, tidak berbahaya bagi musuh alami dan organisme bukan sasaran, serta dapat ditingkatkan patogenisitasnya dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat ia bersporulasi (James, 2000). Gambar 1. Bacillus thuringiensis (Bt) perbesaran 100 x 10 Keterangan: Yang dilingkari dengan warna adalah spora Bt (Sumber: Herlambang, 2007) 7

8 B. Taksonomi dan Deskripsi Bacillus thuringiensis (Bt) Menurut Holt dkk (1994), kedudukan taksonomi Bacillus thuringiensis adalah sebagai berikut: Kerajaan Filum Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Prokariota : Bakteria : Bacilli : Bacillales : Bacillaceae : Bacillus : Bacillus thuringiensis Linn Bacillus thuringiensis merupakan bakteri Gram positif dengan bentuk batang, membentuk spora dengan panjang 3-5 µm dan lebar 1-1,2 µm, bergerak aktif (motil) dengan flagella peritrich (di seluruh dinding sel), bersifat fakultatif aerob dan bisa didapatkan di seluruh benua dan kepulauan dari ketinggian 0 sampai 2000 meter di atas permukaan laut dan zona tropis hingga artik. Bakteri ini bisa didapatkan di habitat alam seperti pada tanah, pepohonan, debu penyimpanan biji-bijian serealia, pakan ternak, dan serangga yang mati. Termasuk bakteri mesofil dengan kisaran suhu pertumbuhan 15-45 o C, dengan suhu optimum antara 26-37 o C, dan kisaran ph pertumbuhan antara 5,5 sampai 8,5 dengan ph optimum antara 6,5 sampai 7,5. Spora berbentuk oval berwarna hijau kebiruan, berukuran 1,0-1,3 µm dengan posisi terminal, sedangkan protein kristal berukuran 0,6 sampai 2,0 µm bergantung dari tipenya masing-masing (Zeigler, 1999). Secara alami B. thuringiensis adalah bakteri entemopatogen dan sampai saat ini telah diidentifikasi sebanyak 70 subspesies atau varietas yang berbeda, yang di bedakan oleh serologi dari antigen flagella-nya, dan

9 menghasilkan lebih dari 300 protein Cry dari 1000 galur dan hanya beberapa galur yang telah di manfaatkan. Protein Cry merupakan bentuk protoksin yang disintesis oleh Bacillus thuringiensis bersamaan dengan pembentukan spora yang berada di dalam sel sampai sel mengalami lisis sesudah sporulasi sempurna. Spora pada bakteri tersebut merupakan suatu usaha perlindungan diri dari pengaruh lingkungan luar yang buruk, hal ini terjadi karena dinding bakteri yang bersifat impermeabel (Dini, 2005). Protein Cry yang dihasilkan merupakan bagian dari 25 % berat kering bakteri yang terdiri dari suatu molekul glikoprotein dengan massa molekular 30 sampai 240 kda, mengandung 3,9 % glukosa dan 1,8 % manosa. Protein Cry tidak larut dalam air ataupun pelarut organik, tetapi larut dalam larutan alkali dan terdenaturasi oleh panas, asam lambung dan enzim protease lambung sehingga terlarut dalam air dan membentuk toksin aktif yang akan tetap aktif meskipun dipanaskan hingga suhu 80 o C selama 20 menit (Dini, 2005). C. Sejarah dan Status Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus Thuringiensis telah dikenal sebagai biokontrol agen sejak tahun 50-an. Bakteri ini tersebar di berbagai tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di Jepang pada tahun 1901, yang membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan strain baru dari Bacillus thuringiensis pada larva yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan. Karena strain

10 berikutnya ditemukan di Propinsi Thuringen, maka bakteri ini di sebut Bacillus thuringiensis, yaitu nama yang diberikan pada famili bakteri yang memproduksi kristal protein yang bersifat insektisidal. Semula bakteri ini hanya diketahui menyerang larva dari serangga kelas Lepidoptera sampai kemudian ditemukan bahwa bakteri ini juga menyerang Diptera dan Koleoptera (Dent, 1993). D. Toksisitas Bacillus thuringiensis Pada Larva Insekta Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang paling banyak digunakan untuk produksi bioinsektisida dan paling penting secara ekonomi, sehingga bioinsektisida komersial Bt digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson dkk, 1992). Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada fase stasioner. Bt memiliki kristal protein yang mengandung gen tosik yang disebut dengan gen Cry. Berdasarkan hasil penelitian Rusmana dan Hadioetomo (1994), bentuk kristal protein ada empat macam yakni bipiramida, oval, tidak beraturan (amorf) dan bulat. Kristal protein memiliki daya bunuh untuk ordo Lepidoptera yaitu berbentuk bipiramida yang jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval dan amorf umumnya toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal

11 yang mempunyai daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih (Khaeruni dkk, 2012). Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek sehingga bersifat toksik. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley, 1989). E. Cara Kerja Kristal Protein Bacillus thuringiensis (Bt) Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (insektisida) sewaktu mengalami proses sporulasinya. Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut dengan endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisidal (Hofte dan Whiteley, 1989). Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolis (enzim protease memecah struktur kristal protein) dalam sistem pencernaan serangga dapat mengubah Bt protoksin menjadi

12 polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) di sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte dan Whiteley, 1989). F. Cacing Darah (Chironomus sp) Cacing darah (Chironomus sp), terdapat di lingkungan perairan danau atau sungai berarus tenang dan kaya bahan organik. Cacing darah dapat hidup pada kondisi oksigen 1-2 ppm. Makanannya berupa detritus dan bakteri (Nasution, 2000). Cacing darah merupakan larva dari nyamuk Chironomus. Larva berukuran 1-3cm ini merupakan salah satu pakan alami bergizi tinggi untuk benih ikan. Cacing darah adalah larva serangga golongan Chironomus. Oleh karena itu, meskipun disebut sebagai cacing, binatang ini sama sekali bukan golongan cacing tetapi serangga. Nyamuk Chironomus tidak menggigit dan kerap dijumpai di perairan bebas dengan dasar berlumpur atau berpasir sangat halus yang kaya akan bahan organik. Fase makan dari serangga ini terdapat pada fase larvanya, sedangkan bentuk dewasanya, sebagai nyamuk yang tidak menggigit, hanya berperan untuk kawin kemudian bertelur dan mati (Sutrisno, 2011).

13 G. Klasifikasi dan Deskripsi Cacing Darah (Chironomus sp) Menurut Sutrisno (2011), cacing darah yang dikenal juga bloodworm memiliki klasifikasi : Kerajaan Filum Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Animalia : Arthropoda : Insecta : Diptera : Chironomidae : Chironomus : Chironomus sp. Telur Chironomous sp terdiri dari kelompok yang berlendir dan transparan, berisi tersusun melingkar seperti spiral di permukaan air atau menempel pada substrat atau tumbuhan air. Sekelompok telur biasanya berisi 350-500 butir telur. Telur Chironomous sp yang sangat dipengaruhi oleh temperatur dan oksigen terlarut ini biasanya menetas pada umur antara 3-6 hari. Setelah menetas larva akan berenang ke dalam air dan membuat berumbung untuk tempat tinggalnya (Garno, 2000). Larva Chironomous sp mempunyai bentuk tubuh yang memanjang, silindris, dan terdiri dari kepala serta 12 segmen yang meliputi 3 segmen sebagai thorax dan 9 segmen abdomen. Di dalam berumbung larva Chironomous sp melakukan gerak yang undulated (bergelombang seperti ombak) sehingga air selalu mengalir kedalam berumbung dan keluar melalui ujung lainnya yang terbuka. Dengan cara ini larva tidak akan kekurangan oksigen dan karenanya larva Chironomus sp dapat tinggal dan banyak ditemukan dalam perairan yang mengandung oksigen terlarut sedikit (Garno, 2000).

14 Larva Chironomous sp memakan alga dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk, serta detritus yang ada. Didalam berumbung, setelah 24 hari larva berubah menjadi pupa dengan panjang 10-12 cm yang nampak akan mempunyai sayap dan kaki, dan sehari berikutnya menjadi imago. Larva Chironomous sp banyak ditemukan pada badan air tawar dan beberapa air laut serta payau yang tidak banyak bergerak seperti kolam, sawah paya dan genangan air, dan hidup didasar perairan yang berlumpur, berpasir atau berlendir. Larva Chironomous sp tahan terhadap kadar oksigen 1-2 ppm, variasi ph 9, dan tahan hidup pada perairan tercemar bahan organik (Garno, 2000). Dibawah ini adalah gambar daur hidup larva Chironomus sp Gambar 2. Daur Hidup Larva Chironomus sp (Sumber: Weltje dan Bruns, 2009)

15 H. Abate Abate (temephos) adalah larvasida yang paling banyak digunakan untuk membunuh larva Aedes aegypti (Ridha dan Nisa, 2011). Abate (temephos) yang biasa digunakan berbentuk butiran pasir (sand granules) dan ditaburkan di tempat yang biasa digunakan untuk menampung air. Dosis yang biasa digunakan adalah 1 gram untuk 10 liter air. Bahan kimia ini mempunyai kemampuan untuk membunuh larva selama 3 bulan dan tidak berbahaya (Nugroho, 2013). Abate (temephos) murni berbentuk kristal putih dengan titik lebur 30-35 o C, dan mudah terdegradasi apabila terkena sinar matahari sebab bersifat mengabsorbsi sinar ultraviolet (Suwasono, 1991 dalam Nugroho, 2013). Abate (temephos) mempunyai beberapa kelebihan antara lain: tidak berbahaya bagi manusia, burung, ikan dan binatang peliharaan lainnya, telah mendapatkan persetujuan dari WHO untuk digunakan pada air minum, dan abate juga tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau pada air yang diberi perlakuan. Namun dalam keadaan wabah yang memerlukan pemberantasan secara cepat, maka larvasida ini tidak bisa diharapkan sebagai pembunuh yang hebat (efektif) untuk bisa meurunkan kepadatan populasi secara cepat (Nugroho, 2013). I. Cara Kerja Abate Abate (temephos) merupakan salah satu pestisida golongan senyawa phosphat organik. Pestisida yang termasuk dalam golongan ini dapat masuk

16 melalui kulit, terhirup lewat pernapasan dan termakan lewat mulut (Suwasono, 1991 dalam Nugroho, 2013). Golongan pestisida ini mempunyai cara kerja menghambat enzim cholineterase, baik pada vertebrata maupun invertebrata, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena tertimbunnya acetylcholine pada ujung syaraf. Fungsi dari enzim cholineterase adalah menghidrolisis acetycholine menjadi cholin dan asam cuka, sehingga bila enzim tersebut dihambat maka hidrolisis acetycholine tidak terjadi sehingga otot akan tetap berkontraksi dalam waktu lama maka akan terjadi kekejangan (Suwasono, 1991 dalam Nugroho, 2013). Pada ujung saraf dari sistem saraf serangga akan dihasilkan acetycholine apabila saraf tersebut mendapatkan stimulasi atau rangsangan. Acetycholine ini berfungsi sebagai mediator atau perantara, antara saraf dan otot daging sehingga memungkinkan impuls listrik yang merangsang otot daging untuk berkontraksi. Setelah periode kontraksi selesai, maka acetycholine akan dihancurkan oleh enzim acetycholineterase menjadi choline, laktat dan air (Suwasono, 1991 dalam Nugroho, 2013). Bila acetycholine tidak segera dihancurkan maka otot akan tetap berkontraksi dalam waktu lama sehingga akan terjadi kekejangan atau konvulsi. Dengan menggunakan abate yang merupakan salah satu dari golongan pestisida organophosphat maka enzim cholineterase akan diikat atau dihancurkan sehingga terjadi kekejangan otot secara terus menerus, dan serangga akhirnya akan mati. Jadi seperti halnya senyawa organophosphat

17 lainnya abate juga bersifat anti cholineterase (Suwasono, 1991 dalam Nugroho, 2013). J. Hipotesis 1. Pemberian Bacillus thuringiensis dapat mempengaruhi tingkat mortalitas pada larva Chironomus sp 2. Ada perbedaan efektifitas penggunaan Bacillus thuringiensis dan abate dalam menanggulangi larva Chironomus sp