7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

dokumen-dokumen yang mirip
6 KINERJA HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM- GELOMBANG MIKRO PADA BAMBU BETUNG SETELAH PRA-PERLAKUAN GELOMBANG MIKRO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 PENGARUH PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO PADA PADA BAMBU BETUNG TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR LIGNIN DAN SELULOSA

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm.

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

ANALISIS KADAR GLUKOSA PADA BIOMASSA BONGGOL PISANG MELALUI PAPARAN RADIASI MATAHARI, GELOMBANG MIKRO, DAN HIDROLISIS ASAM

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

DAFTAR TABEL. 7. Tabel Rendemen etanol dari uulp pada berbagai kandungan lignin

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

ENZYMATIC AND MICROWAVE ASSISTED HYDROLYSIS OF BETUNG BAMBOO (Dendrocalamus asper (Schult.f.)) AFTER COMBINED BIOLOGICAL AND MICROWAVE PRETREATMENTS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian,

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya

BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada bulan Juli 2009 Oktober 2010.

Lampiran 1. Tatacara analisis kimia limbah tanaman jagung. Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1. Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

pembentukan vanilin. Sedangkan produksi glukosa tertinggi dihasilkan dengan penambahan pektinase komersial. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang dan Masalah. Kebutuhan energi makin lama makin meningkat. Peningkatan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

STUDI BAHAN BAKU BERLIGNOSELULOSA DARI LIMBAH PERTANIAN UNTUK PRODUKSI GULA XILOSA MURAH DIIKUTI PROSES FERMENTASI MENGHASILKAN ETANOL

I. PENDAHULUAN. Pada masa sekarang konsumsi bahan bakar minyak sangat tinggi,

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

PROSES HIDROLISIS SAMPAH ORGANIK MENJADI GULA DENGAN KATALIS ASAM

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

IV. Hasil dan Pembahasan

PROSES HIDROLISIS SAMPAH ORGANIK MENJADI GULA DENGAN KATALIS ASAM KLORIDA

Pengaruh Hidrolisa Asam pada Produksi Bioethanol dari Onggok (Limbah Padat Tepung Tapioka) Oleh :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LATAR BELAKANG. Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan. Indonesia

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014

1.3 TUJUAN PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang semakin meningkat serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

PENDAHULUAN. Latar belakang. digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%,

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Hasil dan Pembahasan

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium jurusan pendidikan biologi Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian

I. PENDAHULUAN. terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikannya diperkirakan

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1.Diagram alir penelitian proses produksi bioetanol dari hidrolisat fraksi selulosa pod kakao

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang mikro) pada proses konversi bambu menjadi monomer gula gula telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya (bab 5 dan 6). Pengaruh pra-perlakuan kombinasi ini adalah adanya perubahan struktur selulosa dan kehilangan lignin serta disorganisasi morfologi serat. Pra-perlakuan biologis dengan TV selama 30 hari memberikan selektifitas delignifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan inkubasi 15 dan 45 hari (bab 2). Selain itu pada praperlakuan gelombang mikro dalam medium air (bab 3), iradiasi selama 5, dan 12.5 menit () serta iradiasi selama 5 menit () memberikan kehilangan berat yang relatif lebih rendah dengan mempertimbangkan kehilangan hemiselulosa dibandingkan dengan kehilangan selulosa, sehingga untuk selanjutnya kondisi pra-perlakuan ini yang dipilih untuk digunakan dalam hidrolisis. Kombinasi pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro merupakan upaya alternatif dalam rangka meningkatkan efisiensi ketercernaan substrat pada proses hidrolisis. Hal ini terkait dengan terjadinya aktivitas delignifikasi polimer lignin oleh jamur pelapuk putih dan lebih efektifnya peningkatan luas permukaan dan porositas substrat pada iradiasi gelombang mikro. Rendemen gula per bambu awal tertinggi dari hidrolisis enzimatis pada pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro bambu betung dibawah 5% (Gambar 5.1 dan 6.1). Oleh karena itu pengembangan hidrolisis asam untuk mempercepat waktu hidrolisis dan menekan biaya proses perlu dilakukan. Efektifitas hidrolisis asam ini dapat diakselerasikan dengan iradiasi gelombang mikro. Waktu iradiasi gelombang mikro yang singkat dalam melingkupi seluruh substrat (bersifat volumetrik) mengindari adanya panas yang berlebihan bagian permukaan mendorong peningkatan rendemen gula pereduksinya. Terjadi peningkatan rendemen gula 6-7 kali dalam hidrolisis gelombang mikro dengan asam sulfat 1% dari pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro dibandingkan dengan kontrol. Meskipun demikian, dalam hidrolisis asam berpotensi menghasilkan produk degradasi sekunder seperti furfural dan 5- HMF. Oleh karena itu aplikasi karbon aktif sebagai absorber dalam proses hidrolisis asam-gelombang mikro yang diaplikasikan (bab 4 dan 5) berhasil menurunkan absorbansi senyawa coklat. Penambahan karbon aktif dalam hidrolisis onggok dalam medium air mampu meningkatkan rendemen glukosa, mencerahkan warna hidrolisat, dan menurunkan kadar HMF dengan suhu pemanasan yang lebih rendah (Hermiati et al. 2012a).

76 Sejauh ini belum ditemukan studi yang membahas pengaruh penggunaan kombinasi pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro pada bambu terhadap rendemen gula pereduksi dari hidrolisis enzimatik maupun hidrolisis asam- gelombang mikro. Peningkatan rendemen gula yang diperoleh setelah hidrolisis asam-gelombang mikro dibandingkan dengan hidrolisis enzimatik juga dibahas dalam penelitian ini dan dibandingkan dengan penggunaan metode yang sama pada bambu setelah pra-perlakuan biologis ataupun gelombang mikro. Pengaruh penambahan katalis karbon aktif dalam hidrolisis asam-gelombang mikro dihubungkan dengan sifat adsorbsinya juga didiskusikan. 7.2 Bahan dan Metode Serbuk bambu (40-60 mesh) hasil pra-perlakuan secara biologisgelombang mikro terpilih dijadikan substrat dalam penelitian ini. Inkubasi selama 30 hari dengan konsentrasi inokulum 5 dan % kemudian diiradiasi asam-gelombang mikro. Daya yang digunakan adalah dengan lama iradiasi 5,, 12.5 dan 5 menit (). Kondisi dan tahapan pra-perlakuan yang digunakan pada penelitian ini sama dengan penelitian pra-perlakuan tunggal yang telah dilakukan sebelumnya (bab 5 dan 6). Pulp (fraksi padat) hasil penyaringan dari pra-perlakuan gelombang mikro selanjutnya dihidrolisis dengan enzimatik dan asam-gelombang mikro. Hidrolisis enzimatis yang dilakukan mengikuti prosedur dari NREL (Selig et al. 2008) dengan konsentrasi enzim dan 20 FPU/g pada shaking inkubator selama 48 jam pada suhu 50 C pada kecepatan 150 rpm. Posisi vial dalam hidrolisis ditempatkan secara horizontal untuk memperluas kontak antara enzim dengan substrat. Sebanyak 0.1 g (BKO) sampel hasil pra-perlakuan juga dihidrolisis asam- gelombang mikro menggunakan larutan asam H 2 SO 4 1% hingga konsentrasi substrat 1%. Selanjutnya suspensi tersebut dihomogenkan dengan diaduk pada stirer plate selama 15 menit dan diiradiasi selama 7.5-12.5 menit (). Selain itu juga dilakukan hidrolisis asam-gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif sebesar 0.5 (g/g sampel). Ketika waktu tercapai, bahan didinginkan dalam air es selama 15 menit dan kemudian disaring untuk memisahkan hidrolisat dan pulp. Hidrolisat dianalisis rendemen gula pereduksi (metode Nelson- Somogyi) sedangkan penghitungan rendemen gula teoritis dilakukan untuk rendemen gula pereduksi tertinggi (persamaan 6.3). Karbon aktif yang sama digunakan sebelumnya pada bab 5 dan 6. Karbon aktif ini diperoleh dari Ajinomoto Fine-Techno Co., Inc., Japan dengan analisa karakteristik reaktivasi karbon aktif ini dilakukan berdasarkan metode SNI 06-4253-1996 (BSN 1996).

77 7.3 Hasil dan Pembahasan 7.3.1 Perbandingan Gula Pereduksi Hidrolisis Enzimatis dan Gelombang Mikro Gambar 7.1 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi enzim dua kali hanya sedikit meningkatkan rendemen gula pereduksi. Rendemen gula pereduksi dari hidrolisis enzimatis dengan konsentrasi enzim 20 FPU pada pra-perlakuan biologis dengan 5% inokulum dan diiradiasi selama 5 menit pada daya (1.49%) dan (1.69%) menunjukkan rendemen gula pereduksi per bambu awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pra-perlakuan lainnya. Pada konsentrasi inokulum %, rendemen gula yang tertinggi hanya ditemukan pada iradiasi 5 menit () sebesar 1.99%. Terjadi peningkatan rendemen gula pereduksi setelah pra-perlakuan dibandingkan dengan kontrol (1.63 kali) terhadap rendemen gula pereduksi yang tertinggi. Berdasarkan nisbah hidrolisisnya (Gambar 7.1), pada kondisi ini holoselulosa yang dapat dikonversi menjadi gula pereduksi hanya sebesar 2.79% atau 2.83% dari rendemen gula pereduksi teoritis bambu awal. Secara teoritis, konversi gula pereduksi dari bambu dengan nisbah hidrolisis 0% dapat memproduksi 71.45 g gula pereduksi/0 g bambu awal. Rendemen gula pereduksi dan nisbah hidrolisis (%) 4,0 3,0 2,0 1,0 Fpu fpu fpu fpu fpu fpu fpu fpu fpu 5 min min min 5 min 5 min min min Kontrol 5%,30 hari %,30 hari 5 min rendemen gula pereduksi terhadap bambu setelah praperlakuan Rendemen gula pereduksi terhadap bambu awal Nisbah hidrolisis Gambar 7.1 Rendemen gula pereduksi dan nisbah hidrolisis pada hidrolisis enzimatis Dibandingkan dengan rendemen gula pereduksi tertinggi hasil hidrolisis enzimatis pada pra-perlakuan biologis (2.53% per bambu awal) dan gelombang mikro (4.24% per bambu awal) (bab 5 dan 6), maka rendemen gula pereduksi pra-perlakuan kombinasi ini menurunkan rendemen gula pereduksi. Hal ini diduga terkait dengan terjadinya kehilangan berat yang lebih banyak pada perlakuan pendahuluan kombinasi dan lebih tingginya kadar lignin setelah kombinasi perlakuan pendahuluan

78 kombinasi ini (bab 4) dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan tunggal (bab 2 dan 3). Terdapat kecenderungan yaitu pengaruh perlakuan pendahuluan gelombang mikro lebih dominan pengaruhnya dalam meningkatkan rendemen gula pereduksi melalui perbaikan karakteristik substrat setelah perlakuan. Hidrolisis asam-gelombang mikro merupakan upaya untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi mengingat rendahnya rendemen gula pereduksi dari hidrolisis enzimatis. Asam sulfat merupakan katalis yang umum digunakan dalam hidrolisis (Aguilar et al. 2002). Berdasarkan hasil hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan gelombang mikro (simpulan bab 6), peningkatan konsentrasi asam sampai 5% hanya sedikit meningkatkan rendemen gulanya, dan justru terjadi penurunan rendemen gula pada hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan biologis (pembahasan bab 5). Hal ini menjadi dasar untuk menggunakan konsentrasi asam 1% pada hidrolisis asam-gelombang mikro pada penelitian ini. Perolehan rendemen gula pereduksi pada konsentrasi inokulum 5% cenderung lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi inokulum % (Gambar 7.2). Rendemen gula pereduksi ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil hidrolisis enzimatis. Kehilangan lignin (24.27%) dan hemiselulosa (.92%) yang lebih besar pada pra-perlakuan biologis dengan konsentrasi inokulum 5% ikut meningkatkan rendemen gula pereduksi (bab 2). Kecenderungan ini sejalan dengan hasil hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan tunggal biologis ataupun gelombang mikro (Gambar 5.3 dan 6.3). Struktur substrat setelah perlakuan pendahuluan yang lebih terbuka (peningkatan luas daerah permukaan dan perbesaran pori-pori) akibat terdepolimerisasi lignin setelah inokulasi jamur dan pemanasan gelombang mikro berkontribusi terhadap peningkatan rendemen gula pereduksi tersebut (Gambar 4.3). Pada konsentrasi inokulum 5%, praperlakuan gelombang mikro selama dan 12.5 menit menunjukkan rendemen gula hidrolisis asam-gelombang mikro yang rendah. Peningkatan waktu iradiasi pada hidrolisis asam cenderung meningkatkan rendemen gula pereduksi pada pra-perlakuan biologis dengan inokulum %. Rendemen gula pereduksi tertinggi (16.65% per bambu awal) diperoleh pada perlakuan pendahuluan biologis inokulum 5% yang diberikan pra-perlakuan gelombang mikro 5 menit () dan dihidrolisis asam selama 12.5 menit. Rendemen ini meningkat 13.7 dan 8.4 kali dibandingkan dengan kontrol dan rendemen gula tertinggi hasil hidrolisis enzimatis. Hal ini berarti praperlakuan biologis-gelombang mikro memberikan efek peningkatan rendemen gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan biologis (6.74 kali) ataupun gelombang mikro (6.20 kali). Pada kondisi rendemen gula pereduksi tertinggi ini, sebanyak 27.21% holoselulosa mampu dikonversi menjadi gula pereduksi atau 23.84% dari maksimum potensi gula yang bisa dihasilkan. Peningkatan rendemen gula pereduksi dari hidrolisis asam-gelombang mikro ini terhadap kontrol yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi daripada peningkatan rendemen gula pereduksi (2.3%) yang dilaporkan Husnil (2009) menggunakan jenis bambu yang sama setelah pra-perlakuan gelombang mikro dengan hidrolisis secara enzimatis. Namun rendemen gula

79 pereduksi tertinggi (16.65 g/0 g bambu awal) dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan rendemen gua pereduksi (66.5 g/0 g bagas tebu awal) dari hidrolisis enzimatis bagas tebu setelah pra-perlakuan gelombang mikro-alkali-asam (Binod et al. 2012). Hal ini diduga karena dalam penelitian ini, pra-perlakuan tidak menggunakan bahan kimia sehingga meskipun rendemen gula pereduksinya lebih rendah namun praperlakuan ini relatif lebih ramah lingkungan. Selain itu daya gelombang mikro yang digunakan dalam penelitian tersebut lebih tinggi (600 W). A Rendemen gula pereduksi (% bambu awal) 25,0 2 15,0,0 5,0 5 5 5 Inokulum 5% Inokulum % 5 min B Rendemen gula pereduksi (% bambu awal) 14,0 12,0,0 8,0 6,0 4,0 2,0 5 5 5 5 Inokulum 5% Inokulum % Pra-perlakuan secara biologis gelombang mikro min Gambar 7.2. Rendemen gula pereduksi per bambu awal dari hidrolisis asamgelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B) Penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis asam-gelombang mikro berpengaruh terhadap rendemen gula pereduksi yang diperoleh (Gambar 7.2B). Fenomena pengaruh penambahan karbon aktif ini juga sama dengan hasil hidrolisis asam-gelombang mikro setelah pra-perlakuan biologis ataupun gelombang mikro (Gambar 5.2B dan 6.3B) serta hidrolisis asam pada onggok (Hermiati 2012). Oligomer yang teradsorbsi di permukaan karbon aktif memungkinkannya tidak ikut terhidrolisis (Hermiati 2012) sehingga berpengaruh terhadap penurunan rendemen gula

80 pereduksinya. Lebih lanjut menurut Matsumoto et al. (2011) mengatakan bahwa kapasitas adsorbsi maltosa berbanding terbalik dengan daya sakarifikasinya. A Nisbah hidrolisis (%) 4 35,0 3 25,0 2 15,0,0 5,0 5 m, 5 m, 5 m, m, m, 5% inokulum % inokulum 5 m, min B Nisbah hidrolisis (%) 25,0 2 15,0,0 5,0 5 5 5 5% inokulum % inokulum 5 min Gambar 7.3 Nisbah hidrolisis per bambu awal dari hidrolisis asamgelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B) Terkait dengan karakteristik karbon aktif (Tabel 7.1) yang digunakan sebagai hasil reaktivasi karbon aktif yang telah digunakan pada hidrolisis asam pada sagu (Fajriutami et al. 2014) tampak bahwa terjadi perbedaan sifat adsorpsi dan ph setelah reaktivasi. Hal ini diduga berkaitan dengan penurunan peranan karbon aktif dalam membantu meningkatkan rendemen gula pereduksi. Daya adorpsi terhadap senyawa I 2 yang mewakili adsorbsi terhadap senyawa berukuran kecil atau berbobot molekul rendah mengalami sedikit penurunan setelah reaktivasi, tetapi adsorpsi terhadap senyawa biru metilena yang mewakili adsorbsi senyawa berukuran atau berbobot molekul besar mengalami penurunan yang nyata. Selain itu juga terjadi kecenderungan penurunan luas permukaan setelah reaktivasi, hal ini mengindikasikan bahwa sifat adsorbsi karbon aktif awal lebih baik daripada setelah reaktivasi. Reaktivasi karbon aktif menyebabkan ph lebih bersifat

81 basa, sehingga berpotensi terjadinya penurunan daya hidrolisis. Hal ini kemungkinan merupakan faktor penyebab penurunan rendemen gula pereduksi dalam hidrolisis asam-gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif. Tabel 7.1. Perbandingan sifat karbon aktif sebelum dan setelah reaktivasi Karakteristik Awal Reaktivasi Bentuk Granul 1,2 Granul Ukuran 8-20 mesh 1,2 8-20 mesh ph 6.2 1 8.91 Sifat adsorbsi Daya serap I 2 (mg/g) 1150 1 78 Daya serap biru metilena (mg/g) 200 1 120.9 Luas permukaan (m 2 /g) 981.72 2 443.4 Sumber : 1. Fajriutami et al.(2014) 2. Hermiati (2012) 7.3.2 Pengaruh Karbon Aktif Terhadap Senyawa Coklat dan ph Hidrolisat Pada proses hidrolisis asam dimungkinkan terbentuknya inhibitor yang mengganggu proses fermentasi melalui penghambatan pertumbuhan sel ragi dan produksi etanol (Larsson et al. 1999) seperti senyawa coklat (hasil degradasi sekunder gula berantai 5 dari hemiselulosa), asam asetat, furan ataupun phenol. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menurunkan kadar inhibitor tersebut diantaranya melalui penambahan karbon aktif. Terjadinya penurunan kadar turunan furan, asam asetat, phenolik dan senyawa coklat dalam hidrolisat setelah penambahan karbon aktif juga telah dilaporkan sebelumnya (Seo et al. 2009; Chandel et al. 2007). Pembentukan senyawa coklat dalam hidrolisat mengindikasikan reaksi pencoklatan non enzimatis seperti reaksi Maillard dan karamelisasi yaitu ketika sistem yang mengandung gula pereduksi dan asam amino dipanaskan (Chen et al. 2009b;Vilota dan Hawkes 2007). Jika dibandingkan dengan hidrolisis asam-gelombang mikro tanpa karbon aktif tampak bahwa penambahan karbon aktif berpengaruh positif terhadap penurunan senyawa coklat dalam hidrolisat (Gambar 7.4). Hal ini mengindikasikan bahwa karbon aktif meskipun menurunkan rendemen gula pereduksi pada proses hidrolisis asam-gelombang mikro, tetapi mampu menghambat produksi senyawa coklat. Hal ini karena terjadi adsorpsi oligomer pada permukaan karbon aktif menyebabkannya tidak ikut terhidrolisis sehingga rendemen gula pereduksinya menurun. Absorbansi senyawa coklat yang tertinggi terjadi pada pra-perlakuan biologis dengan inokulum 5% diiradiasi selama 12.5 menit (). Waktu iradiasi yang lama memungkinkan lebih intensifnya proses degradasi sekunder yang terjadi. Tingginya rendemen gula pereduksi pada pra-perlakuan secara biologis-gelombang mikro dengan inokulum 5% selama 5 menit ()

82 kemungkinan terkait dengan rendahnya senyawa coklat yang terbentuk (Gambar 7.4). Pengaruh positif hidrolisis asam-gelombang mikro yang dikatalisasi karbon aktif terhadap penurunan inhibitor ini juga telah dilaporkan sebelumnya menggunakan substrat hasil pra-perlakuan tunggal biologis-gelombang mikro (bab 5 dan 6). Absorbansi A 0,35 A 0,30 0,25 0,20 0,15 0, 5 0 5 5 5 5% Inokulum % Inokulum 5 min Absorbansi B 0,18 0,16 0,14 0,12 0, 8 6 4 2 0 5 5 5 5% Inokulum % Inokulum 5 min Gambar 7.4 Senyawa coklat yang terbentuk pada hidrolisis asam-gelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B) Perubahan nilai ph hidrolisat selama proses hidrolisat disajikan oleh Gambar 7.5. Terjadi fenomena peningkatan nilai ph pada pra-perlakuan biologis 5% dan pra-perlakuan gelombang mikro selama 5 dan menit () serta 5 menit () dan 12.5 menit (). Hal ini mengindikasikan bahwa pemanasan selektif gelombang mikro pada substrat bisa memberikan efek penghambatan terhadap kemungkinan terjadinya dekomposisi produk degradasi karbohidrat lanjutan menjadi asam organik. Namun penyebab fenomena ini belum diketahui pasti. Dibandingkan dengan ph hasil hidrolisis asam pada kontrol, maka pra-perlakuan kombinasi ini memiliki pengaruh lebih baik. Kecenderungan yang sama juga telah dilaporkan hidrolisis asam-gelombang mikro pada perlakuan pendahuluan

83 biologis dan gelombang mikro (bab 5 dan 6). Tingkat penurunan ph hidrolisat terhadap kontrol dari perlakuan pendahuluan tunggal (bab 5 dan 6) dan kombinasi secara biologis-gelombang mikro tidak berbeda signifikan. Penambahan karbon aktif tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan nilai ph (Gambar 7.5B). A ph 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 5 5 5 5% Inokulum % Inokulum 5 min B ph 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 5 5 5 5 min 5% inokulum % inokulum Gambar 7.5. Perubahan nilai ph pada hidrolisis asam-gelombang mikro tanpa karbon aktif (A) dan dengan karbon aktif (B) 7.4 Simpulan Hidrolisis asam-gelombang mikro dengan bantuan iradiasi gelombang mikro berhasil memperbaiki kinerja hidrolisis enzimatis pada bambu setelah pra-perlakuan kombinasi secara biologis-gelombang mikro. Rendemen gula pereduksi ini meningkat 8.4 kali dibandingkan dengan rendemen gula pereduksi tertinggi dari hidrolisis enzimatis (1.99%) dan terhadap kontrol (13.7 kali). Rendemen gula tertinggi sebesar 16.65% per bambu awal atau 18.92% per bambu setelah pra-perlakuan diperoleh pada pra-perlakuan biologis dengan inokulum 5% dilanjutkan pra-perlakuan gelombang mikro 5 menit () setelah hidrolisis asam-gelombang mikro selama 12.5 menit. Pada kondisi ini sebanyak 27.21% holoselulosa bambu mampu dikonversi

84 menjadi gula pereduksi atau 23.84% dari maksimum potensi gula yang bisa dihasilkan. Penambahan karbon aktif dalam hidrolisis asam mampu menurunkan senyawa coklat yang berpotensi sebagai inhibitor dalam proses fermentasi.