BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

dokumen-dokumen yang mirip
saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. membangun banyak ditentukan oleh kemajuan pendidikan. secara alamiah melalui pemaknaan individu terhadap pengalaman-pengalamannya

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

BAB I PENDAHUHUAN. solusinya untuk menghindari ketertinggalan dari negara-negara maju maupun

I. PENDAHULUAN. Media dalam pendidikan digunakan untuk membantu dalam menyampaikan

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berkembang dengan jumlah penduduk besar, wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Bab 2 pasal 3 UU Sisdiknas berisi pernyataan sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian remaja. Sekolah yang telah mencapai standar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan. demokratis serta bertanggung jawab.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk menciptakan sumber daya manusia

PEMBELAJARAN MENULIS KARYA ILMIAH BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

PENDIDIKAN KARAKTER CERDAS FORMAT KELOMPOK (PKC - KO) DALAM MEMBENTUK KARAKTER PENERUS BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB 1 PENDAHULUAN. murid, siswa, mahasiswa, pakar pendidikan, juga intektual lainnya.ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Menurut Djamarah (2000: 22) Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk kemajuan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Undang No.20 tahun 2003). Pendidikan memegang peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pendidikan nasional ditujukan untuk mewujudkan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan

PEMBENTUKAN WATAK BANGSA INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA ABAD 21

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh

No Profil Lulusan Deskripsi Profil

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pendidikan di Sekolah atau lembaga pendidikan formal. Pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BIMBINGAN DAN KONSELING DAN PENELUSURAN MINAT DI SMP DALAM KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan satu dari sekian banyak hal yang tidak dapat

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN BAB IV

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sosial budaya dimana individu tersebut hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. secara terus-menerus. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sistematis, rasional, dan kritis terhadap permasalahan yang dihadapi.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

I. PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun

PEMBELAJAR YANG MENDIDIK DAN BERKARAKTER

BAB I PENDAHULUAN. didik. Tujuan yang diharapkan dalam pendidikan tertuang dalam Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri serta bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal, dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui. pasal 4 tentang sistem pendidikan nasional bahwa:

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. Sosiologi pada dasarnya mempunyai dua pengertian dasar yaitu sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring berkembangnya zaman memberikan dampak yang besar bagi

INOVASI PENDIDIKAN Bunga Rampai Kajian Pendidikan Karakter, Literasi, dan Kompetensi Pendidik dalam Menghadapi Abad 21

BAB I PENDAHULUAN. Bab satu memaparkan latar belakang masalah pembahasan masalah,

BAB 1 PENDAHULUAN. sebelumnya. UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa fungsi

BAB I PENDAHULUAN. terus diupayakan melalui pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sasaran Pendidikan adalah manusia. Pendidikan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa maju pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha dari setiap bangsa dan negara untuk

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan model konseling kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Secara uji statistik Model Konseling Kelompok (MKK) dapat meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP pada level sedang. 2. Perilaku altruistik siswa SMPN Jakarta Selatan pada tahun ajaran 2010/2011 berada pada kriteria tinggi dan sedang cenderung rendah. 3. MKK dapat meningkatkan aspek empati, aspek tanggung jawab, ataupun selfefficacy siswa SMP pada level sedang. 4. Layanan konseling kelompok disekolah dirasakan manfaatnya oleh siswa dalam pengembangan diri, pencegahan terhadap pengaruh negatif. Siswa mengharapkan diadakannya peningkatan layanan konseling kelompok untuk membantu dirinya dalam mengembangkan pribadi, meningkatkan perilaku altruistik namun belum dapat terpenuhi sesuai harapan. Dari segi efesiensi, konselor merasakan kemanfaatannya, karena banyaknya siswa yang perlu mendapatkan bantuan layanan segera. Pihak sekolah memberikan dukungan untuk mewujudkan pelaksanaan konseling dengan disediakannya jam masuk kelas bagi guru bimbingan dan konseling. Konseling kelompok belum merupakan teknik utama 218

219 bagi konselor untuk membantu siswa dalam upaya pengembangan pribadi, pencegahan, pengentasan masalah, karena masih mengutamakan layanan individual. 5. Faktor pola asuh orang tua memberikan pengaruh sebesar 74,01%, kemudian lingkungan teman sebaya memberikan pengaruh sebesar 68,44%, dan lingkungan sekolah dan media memberi pengaruh sebesar 65,31% terhadap peningkatan perilaku altruistik siswa SMP di Jakarta. 6. Model hipotetik konseling yang dikembangkan dan menjadi dasar dalam proses konseling terdiri dari dua komponen model yaitu: a) panduan model meliputi rumusan rasional model, tujuan, asumsi, komponen model, kompetensi konselor, struktur dan isi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan konseling kelompok. 7. Hasil validasi pakar konseling kelompok terhadap model hipotetik konseling kelompok dinilai layak untuk dikembangkan sebagai salah satu model intervensi untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. 8. Hasil analisis terhadap efektif model konseling kelompok membuktikan adanya peningkatan dari ketiga aspek yang dikembangkan yaitu empati, tanggung jawab, dan self-efficacy altruistik siswa. 9. Berdasarkan hasil pertimbangan teoritik dan empirik, model konseling kelompok secara konseptual dapat dipertimbangkan sebagai kerangka acuan dalam layanan bimbingan dan konseling di SMP Jakarta Selatan.

220 Secara statistik (statistical significance), hasil penelitian ini memang menerima hipotesis nol. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menolak hipotesis kerja. Dari hasil pengujian diketahui bahwa rata-rata NGS kelompok eksperimen lebih besar (berada pada level sedang), sedangkan rata-rata NGS kelompok kontrol (berada pada level rendah). Namun dari hasil penugasan rumah, dalam hal ini dilakukan observasi oleh konselor sekolah terkait perilaku altruistik siswa dalam aktivitas di lingkungan sekolah setelah siswa mendapat intervensi rata-rata mengalami kecenderungan peningkatan perilaku yang altruistik. Beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab tidak efektif signifikannya MKK untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP adalah: (a) pemilihan sampel yang tidak representatif karena mengabaikan random assigment; (b) jumlah sampel yang dipilih untuk dijadikan kelompok eksperimen dan kontrol sangat sedikit, masing-masing kelompok hanya delapan orang siswa; (c) sejak studi pendahuluan memang sudah diketahui bahwa pada umumnya responden (siswa SMP) sudah memiliki perilaku altruistik pada kategori tinggi dan sedang sehingga walaupun terjadi perubahan tidak terlalu signifikan; (d) dalam proses penelitian, diyakini tidak dapat mengontrol secara ketat berbagai variabel yang dapat mengancam validitas internal; dan (e) perkembangan sosial siswa SMP yang banyak didorong oleh kebutuhan untuk melakukan konformitas terhadap kelompok teman sebaya dan masih dalam masa transisi perkembangan dari anak-anak ke remaja.

221 Hasil penelitian ini tidak berarti secara serta merta harus menyimpulkan bahwa MKK tidak berguna untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat pakar yang menyatakan bahwa pengujian hipotesis nol telah dikritik sejak gagasan tersebut dimunculkan oleh Fisher sekitar 85 tahun yang lalu (Hastjarjo dalam Furqon dan Emilia, 2009). Selain kritik yang bersifat substansial, sejumlah kritik diarahkan kepada informasi yang disajikan oleh para peneliti dan penulis karena mereka terpaku pada kesimpulan untuk menolak atau tidak menolak hipotesis nol. Merespons kritik-kritik tersebut, sejumlah pakar mengusulkan agar pengujian hipotesis nol diikuti oleh informasi tentang effect sizes dan interval keyakinan (confidence interval). Selain kedua usulan tersebut, muncul pula gagasan tentang dua macam signifikansi, yaitu statistical significance dan practical significance (Shavelson dalam Furqon dan Emilia, 2009). Peneliti diharapkan tidak berhenti sampai menolak atau tidak menolak hipotesis nol, melainkan harus melakukan analisis tentang kebermaknaan hasil penelitian bagi pemecahan masalah di lapangan. Fakta data menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis yang menghasilkan kesimpulan bahwa MKK tidak efektif (secara signifikansi statistik) untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. Namun, jika dianalisis dari signifikansi praktis (practical significance), MKK penting dimanfaatkan sebagai salah satu model upaya untuk membantu siswa meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. MKK penting dikembangkan dan dimanfaatkan karena perilaku altruistik sangat berguna

222 dan berpengaruh pada kesuksesan dalam membina hubungan sosial dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Landasan yuridis-formal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara nyata menganggap penting pengembangan perilaku altruistik siswa SMP. Pertama, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kedua, terkait dengan pendidikan karakter bangsa yang sedang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional seperti Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 yang berisi tentang butir-butir Standar Kompetensi Lulusan siswa SMP, Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar siswa SMP, Permendiknas Nomor 39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 17 Ayat 3. Semua peraturan tersebut secara nyata menyebutkan tentang pentingnya membangun dan mengembangkan karakter peserta didik (salah satunya siswa SMP) sebagai generasi penerus bangsa.

223 Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dinyatakan secara eksplisit tentang pentingnya pengembangan karakter positif siswa seperti: (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia dan berkepribadian luhur; (c) sehat, dan percaya diri; (d) toleran, peka sosial, demokratis dan bertanggung jawab; (d) jujur; (e) displin; (f) kerja keras; (g) percaya diri; (h) berjiwa wirausaha; (i) berpikir logis, kritis, dan inovatif; (j) mandiri; (k) ingin tahu; (l) cinta ilmu; (m) sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain; (n) patuh pada aturanaturan sosial; (o) menghargai karya dan prestasi orang lain; (p) santun; (q) nasionalis; dan (r) menghargai keragaman. Poin-poin karakter positif siswa (yang ditulis dengan huruf miring) yang hendak dikembangkan oleh pemerintah melalui pendidikan berkaitan dengan pengembangan perilaku altruistik siswa. Artinya, MKK sangat penting dikembangkan dan digunakan untuk meningkatkan perilaku altruistik siswa karena mendukung pencapaian tujuan pemerintah dalam mengembangkan karakter positif siswa melalui pendidikan, termasuk jenjang SMP. Ketiga, ditinjau dari kerangka teori perkembangan sosial, penyesuaian sosial, dan keterampilan sosial remaja. Perspektif psikologi perkembangan memandang masa remaja sebagai masa berkembangnya social cognition, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab

224 dengan teman sebayanya, baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan. Pada masa ini juga berkembang sikap conformity (Yusuf, 2000). Remaja yang sehat adalah remaja yang mencapai perkembangan dimensi sosial dengan baik, yakni memiliki penyesuaian sosial (social adjusment) yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar. Salah satu prasyarat penyesuaian sosial yang positif adalah memiliki perilaku altruistik. Penyesuaian sosial didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk bertindak secara efektif dan sehat terhadap situasi, realitas, dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Willis (1993: 43) mendefinisikan penyesuaian diri/penyesuaian sosial sebagai kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar dengan lingkungannya sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan lingkungannya. Menurut Hurlock (1980) penyesuaian sosial merupakan perbaikan perilaku yang telah dibangun oleh seseorang. Seseorang yang merasa kalau selama ini perilakunya menyebabkan dirinya sulit untuk menyatu dan diterima dalam kelompok, maka orang tersebut akan berusaha untuk memerbaiki perilakunya, sehingga dapat diterima oleh kelompok. Pendapat senada dikemukakan oleh Fahmy (1982: 24) bahwa yang dimaksud dengan penyesuaian sosial adalah suatu proses dinamis dan

225 terus-menerus yang bertujuan untuk mengubah perilakunya untuk mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara diri dan lingkungan. Berdasarkan berbagai pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan usaha individu untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungannya untuk memeroleh keamanan, kenyamanan dan terpenuhi kebutuhan hidup, baik fisik maupun psikologis. Fahmy (1982: 107) mengidentifikasi karakteristik penampilan penyesuaian sosial yang sehat dari seseorang, yaitu: (a) ketenangan jiwa; (b) kemampuan bekerja; (c) gejala jasmani; (d) memiliki konsep diri yang positif; (e) menerima diri dan orang lain; (f) membuat tujuan-tujuan hidup yang realistik; (g) memiliki kontrol diri dan tanggung jawab yang tinggi; (h) mampu membuat hubungan yang didasarkan atas saling memercayai; (i) kesanggupan berkorban dan memberikan pelayanan terhadap orang lain; dan (j) perasaan bahagia. Jika dianalisis, secara implisit seluruh karakteristik penyesuaian sosial positif individu tercermin dalam perilaku altruistik. Pada usia remaja awal anak menunjukkan sifat yang lebih hedonistik, pada pertengahan masa remaja anak menunjukkan tahap yang lebih tinggi, yaitu berorientasi empati. Individu menilai respon berdasarkan peran diri yang lebih perhatian pada perasaan orang lain, juga memunculkan rasa bersalah dan rasa senang yang berhubungan dengan konsekuensi perilaku, misalnya: saya merasa bersalah jika tidak membantu, dia akan kesulitan atau sakit hati. Tahap berikutnya, dimasa remaja akhir, menolong atau tidak, mencakup internalisasi nilai, norma,

226 kewajiban/tanggungjawab, atau mengacu pada kepentingan untuk melindungi hak dan martabat orang lain. Tahap yang lebih tinggi menunjukkan internalisasi yang lebih kuat. Keputusan untuk membantu atau tidak membantu berdasarkan nilai, norma atau tanggungjawab serta hasrat untuk memertahankan kewajiban sebagai individu dan sosial, ketika seseorang merasa bertanggung jawab pada orang lain yang membutuhkan, misal: saya merasa tidak enak bila tidak menolongnya karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang saya yakini. Pada tahap ini perilaku terwujud. Pada remaja dan orang dewasa keputusan untuk menolong atau tidak dipengaruhi juga oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi yang ada. Dapat dikatakan perilaku altruistik lebih mungkin terwujud pada tahap pikiran remaja yang sudah mampu berpikir berdasarkan sudut pandang orang lain dan memiliki keterampilan menolong yang salah satunya dapat terlibat pada remaja akhir yang terlibat dalam kegiatan relawan (Synder dalam Penner, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa pada masa remaja tingkat perilaku altruistik pada kriteria tinggi dan sedang telah sesuai dengan pencapaian tugas perkembangan remaja, mereka perlu mendapatkan pemantapan dan pengayaan. Secara bertahap seiring dengan pencapaian perkembangan yang penuh sehingga mencapai kematangan sebagai orang dewasa. Pada remaja dan orang dewasa keputusan untuk menolong atau tidak dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi yang ada. Pada remaja dan orang dewasa keputusan untuk menolong atau tidak dipengaruhi juga oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi yang ada.

227 Dapat dikatakan perilaku altruistik lebih mungkin terwujud pada tahap pikiran remaja yang sudah mampu berpikir berdasarkan sudut pandang orang lain dan memiliki keterampilan menolong yang salah satunya dapat terlibat pada remaja akhir yang terlibat dalam kegiatan relawan (Synder dalam Penner, 2005). Dapat dikatakan perilaku altruistik lebih mungkin terwujud pada tahap pikiran remaja yang sudah mampu berpikir berdasarkan sudut pandang orang lain dan memiliki keterampilan menolong yang salah satunya dapat terlibat pada remaja akhir yang terlibat dalam kegiatan relawan (Synder dalam Penner, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa pada masa remaja tingkat perilaku altruistik pada kriteria tinggi dan sedang telah sesuai dengan pencapaian tugas perkembangan remaja, mereka perlu mendapatkan pemantapan dan pengayaan. Secara bertahap seiring dengan pencapaian perkembangan yang penuh sehingga mencapai kematangan sebagai orang dewasa. Remaja yang mencapai perkembangan sosial secara optimal akan menjadi lebih percaya pada kemampuan dan lebih mampu untuk meningkatkan perilaku altruistik. Remaja yang memiliki kemampuan berperilaku altruistik akan berjiwa relawan dengan kemauan dan ketulusan untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi bahkan dirinya untuk membantu orang lain yang memang memerlukan bantuan. Remaja yang memiliki perilaku altruistik akan mampu menunjukkan empati, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain dan menunjukkan keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk membantu orang lain (Davis et al. dalam Penner et al., 2005).

228 Remaja memiliki perilaku altruistik akan memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik altruistik yaitu sifat sifat atau ciri ciri yang dapat memrediksi kecenderungan perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, terorganisasi secara dinamis dan berkaitan dengan pikiran dan perasaan yang diwujudkan dalam perilaku altruistik (Larsen &Buss, 2005). Perilaku altruistik ditunjukkan oleh adanya empati (empathy), tanggung jawab (responsibility) yang mendorong kesediaan untuk membantu orang lain, perpaduan (extensivity) antara empati, tanggung jawab, dan kepedulian kepada orang lain, dan efikasi diri (self-efficacy) (Schroender, 1995: 174-175). B. Rekomendasi Dengan landasan hasil penelitian ini direkomendasikan kepada pihak-pihak yang terkait antara lain adalah. 1. Pihak sekolah Untuk mengembangkan karakter siswa dengan mengembangkan perilaku altruistik. Sesuai UU. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter berakhlak mulia, mandiri, demokratis serta bertanggung jawab. Melatih remaja untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar, dengan berperilaku prososial yang altruistik.

229 Untuk melaksanakan layanan preventif kepada seluruh siswa SMP dengan menggunakan MKK, karena secara nyata perilaku altruistik penting dikembangkan untuk siswa SMP. Pertama usia remaja sangat berpotensi untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan bakat dan minatnya. Kedua remaja adalah dalam masa pencarian nilai-nilai hidup. 2. Pola asuh orang tua Idealnya para orang tua mampu, menjalin komunikasi yang lebih intensif. Menyediakan waktu untuk mendampingi anak dan memberikan pengarahan dalam menggunakan dan memilih media teknologi komunikasi, informasi, baik cetak atau elektronik yang positif. Menghormati hak anak dan memberikan kesempatan untuk berproses, melatih kemandirian, disiplin, norma-norma, agama, budaya. Memahami kebutuhan dan permasalahan anak, memberi fasilitas sesuai keperluan, memberi dukungan untuk berprestasi, memberi pujian dan hukuman secara tepat dan benar. Bersedia mendengarkan keluhan anak, dapat menjadi model/contoh anak dalam belajar berperilaku altruistik. 3. Penelitian Selanjutnya Kepada peneliti yang berminat mengkaji perilaku altruistik. Penelitian memiliki keterbatas kendatipun model konseling kelompok dapat meningkatkan perilaku altruistik siswa SMP. Namun demikian belum diketahui seberapa lama peningkatan perilaku tersebut mampu bertahan. Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan meneliti dampak intervensi konseling kelompok untuk meningkatkan perilaku

230 altruistik siswa antara lain dapat dengan, tingkat kelas yang berbeda, faktor keluarga, budaya, agama, media pendidikan yang lebih variatif.