Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. KAJIAN YURIDIS TENTANG SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) 1 Oleh : Brian Siahaan 2

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Saksi Sebagai Alat Bukti dan perlindungan Hukumnya

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KARYAWAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PERESMIAN AKTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan sampai

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini bertujuan akan memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

Transkripsi:

PERANAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PROSES PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh : Tiovany A. Kawengian 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menegetahui bagaimana kedudukan saksi dalam perkara pidana dan bagaimana peranan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam proses pidana menurut KUHAP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan: 1. Bahwa kedudukan saksi dalam perkara pidana merupakan sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkap dan membongkar kejahatan. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, bahkan dalam praktek, kedudukan saksi sangatlah penting, sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan keterangan saksi yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapatlah dipastikan suatu kasus akan menjadi peristiwa yang kabur, karena dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah pernyataan atau keterangan yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. 2. Bahwa peranan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam proses perkara pidana akan dapat mengungkap tindak pidana yang terjadi. Sebab keterangan saksi dari sifatnya sebagai alat bukti yang utama maka keterangan saksi akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa disangkal oleh terdakwa. Kata kunci: Keterangan saksi, alat bukti, proses pidana PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan, alat bukti yang utama adalah keterangan saksi, itulah sebabnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama sebagai alat bukti, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Menjadi saksi adalah merupakan kewajiban hukum bila seseorang dipanggil untuk hadir di sidang pengadilan untuk menjadi saksi, sehingga apabila seorang saksi tidak mau memenuhi panggilan yang sah, maka hakim dengan kewenangan yang ada padanya dapat memerintahkan Jaksa penuntut Umum untuk menghadirkan saksi secara paksa di sidang pengadilan untuk memberikan keterangannya. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menentukan: Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadirkan ke persidangan. 3 Sebenarnya saksi merupakan bagian masyarakat yang sesungguhnya tidak bermasalah dalam arti tidak melakukan perbuatan yang memiliki pertanggungjawaban hukum, bahkan saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum pidana. Peranan saksi pelapor yang demikian penting menjdikan landasan pentingnya saksi pelapor, sehingga dijadikan alat bukti pada urutan pertama sistem peradilan pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pandangan sistem peradilan pidana terhadap saksi bahwa ia sebagai bagian dari alat bukti, merupakan pandangan sejak lahirnya KUHP 4, yang kemudian diatur dalam HIR sebagai bagian dari hukum acara pada saat itu, hingga pada KUHAP. Pandangan tersebut tidak banyak berubah sampai lahirnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dirobah dengan UU No. 31 Tahun 2014. Saksi dilindungi tidak karena status dan kedudukannya sebagai subyek hukum yang mengemban hak dan kewajibannya sendiri, 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Frans Maramis, SH, MH; Christine Tooy, SH, MH; Fritje Rumimpunu, SH. MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 100711155 3 KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 262. 4 Nurul Ghufron, Kedudukan Saksi Dalam Menciptakan Peradilan Pidana Yang Bebas Korupsi, Jurnal Anti Korupsi, Vol. 2 No. 2, 2012, PUKAT FHUJ, hlm. 43 30

melainkan hanya sekedar karena kepentingannya sistem peradilan pidana kepada saksi untuk memberikan keterangan. Saksi memang alat bukti, tetapi saksi juga adalah manusia, tidak bisa disamakan dengan jenis alat bukti yang lain yang berupa barang dan sebagainya. Saksi sebagai subyek hukum tidak saja memiliki hak dan kewajiban tetapi juga pemangku kepentingan. Itulah sebabnya dalam banyak perkara pidana kesediaan untuk menjadi saksi dinilai orang mencari masalah. Karena saksi sering mendapat ancaman atau intimidasi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya, apakah itu berupa ancaman fisik, psikis bahkan serangan balik secara hukum. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan saksi dalam perkara pidana? 2. Bagaimana peranan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam proses pidana menurut KUHAP? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian jenis penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 5 yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahanbahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. PEMBAHASAN A. Kedudukan Saksi Dalam Perkara Pidana Saksi adalah orang yang melihat secara langsung suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi ataupun orang yang secara langsung mendengar bahwa telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana. Dalam KUHAP Pasal 1 butir 26 kita dapat membaca apa yang dimaksudkan dengan saksi. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan sendiri. Selain apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 26 5 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, 2001. hlm. 13-14. KUHAP di atas tentang pengertian saksi, ada beberapa perundang-undangan yang juga memberikan pengertian tentang saksi, walaupun tidak ada perbedaan secara mendasar dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP. Pada dasarnya pengertian tentang saksi, baik yang diberikan oleh undangundang maupun para ahli sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda, karena pada prinsipnya saksi itu adalah orang yang benar-benar melihat dan mendengar secara langsung. Saksi adalah: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasaan dari pihak manapun. Demikian disebutkan oleh PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Pasal 1 butir 3. Dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Pelanggaran HAM Yang Berat, ada perluasan pengertian dimana meliputi juga orang yang memberikan keterangan untuk kepentingan penyelidikan, di samping penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. PP No. 2 Tahun 2002 ini yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, maka terlihat bahwa pengertian saksi dipersempit yaitu hanya saksi yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 butir 26 KUHAP. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menggantikan UU No. 13 Tahun 2006, sebagai produk hukum yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban memberikan pengertian tentang saksi yang terdapat dalam Pasal 1 butir 1 sebagai berikut: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu eprkara pidana yang 31

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. 6 Definisi atau pengertian saksi dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengikuti definisi yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ini merupakan undang-undang yang bersifat umum karena mengatur tentang perlindungan yang harus diberikan kepada saksi dan korban untuk semua tindak pidana. Dalam konteks sistem peradilan pidana, secara yuridis, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Secara sosiologis, pengertian saksi sering dipahami meliputi juga ahli, sehingga populer istilah saksi ahli. 7 Namun secara yuridis, antara saksi dan saksi ahli; adalah berbeda, itu sebabnya dalam Pasal 184 KUHAP dibedakan antara keterangan saksi dan keterangan ahli sebagai dua alat bukti yang berbeda. Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan dalam Pasal 1 butir 28 disebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti pada urutan pertama untuk menunjukkan peran saksi sangat penting. Keterangan beberapa orang saksi bisa meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi seperti dakwaan jaksa, atau sebaliknya menguatkan alibi terdakwa. Keterangan saksi 6 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Op-Cit, hlm. 1 7 Gumilar, Op-Cit. dalam posisi sebagai alat bukti, dikeluarkan atau setidaknya didaur ulang atas ingatan seseorang sebagai subyek hukum. Sebagai seorang (manusia) penyandang hak dan kewajiban, saksi juga tidak lepas dari kepentingan. Seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seolah-olah hal yang benar, akan tetapi sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus menceritakan hal yang sudah lampau dan tergantung dari daya ingat dari orang perorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya, demikian disebutkan dan dijelaskan oleh Wirjono Prodjodikoro. 8 Dalam praktek peradilan pidana, pada kenyataannya saksi belum dapat secara penuh memberikan keterangannya guna mengungkap kebenaran materiil secara aman, tidak tertekan dan terlindungi dari serangan balik hukum. Lebih dari itu saksi juga tidak memiliki hak untuk menyampaikan keterangan dengan tidak berposisi, baik berposisi sebagai a charge ataupun a de charge. Saksi hanya dimungkinkan menyampaikan keterangan dengan berposisi pada kedua kepentingan tersebut. Agar di dalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin obyektif, dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, KUHAP membagi dalam tiga kelompok pengecualian, yaitu: 9 1. Golongan saksi yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP), yaitu: a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga atau yang bersama-sama sebagai terdakwa b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; 8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di indonesia, PT Sumur, Bandung, 1970, hlm. 7. 9 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.24. 32

c. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebgai terdakwa. 2. Golongan saksi yang dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan (Pasal 170 KUHAP), yaitu: a. mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundangundangan. b. jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Berkaitan dengan Pasal 170 ayat (1) KUHAP tentang mereka yang karena pekerjaan atau harkat martabatnya atau jabatannya, diwajibkan menyimpan rahasia, maka orang-orang tersebut adalah: a. orang yang harus menyimpan rahasia jabatan, misalnya: dokter, apoteker dan notaris. b. orang yang karena harkat dan martabatnya, misalnya: pastor. c. orang yang karena jabatannya, misalnya: bankir terhadap keuangan nasabahnya. 3. Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah (Pasal 171 KUHAP), yaitu: a. anak yang umurnya belum lima belas tahun atau belum pernah kawin. b. orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. 10 Dalam penjelasan pasal dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Agar keterangan saksi mempunyai nilai kesaksian serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus memenuhi syarat sebagai berikut: 11 1. Saksi harus hadir dalam persidangan; 2. Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji; 3. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami dengan menyebut dasar pengetahuannya; 4. Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, bahkan dalam praktek, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan keterangan saksi yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berikut ini contoh kasus bagaimana pentingnya kedudukan saksi dalam suatu perkara pidana, disebut sebagai saksi mahkota. Tokoh yang tergolong dalam saksi mahkota (whistleblower) adalah Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. Susno Duadji merupakan orang yang pertama kali membeberkan adanya praktik mafia hukum yang menyeret Gayus Tambunan dan kawan-kawan kepada publik. Gayus Tambunan adalah pegawai Direktorat Keberatan dan Banding pada Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat kasus pencucian uang dan korupsi puluhan miliaran rupiah. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapatlah dipastikan suatu kasus akan menjadi peristiwa yang kabur, karena dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah pernyataan atau 10 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 262. 11 Hari Sasangka dan Lily Rosita,Op-Cit, hlm. 46. 33

keterangan yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. B. Peranan Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Proses Pidana Menurut KUHAP Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting, karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi, selalu mendapat perhatian yang sangat besar, baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum. Oleh karena itu, saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana, saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materil. 12 Dalam suatu proses peradilan pidana, saksi (korban) memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materil. Menegaskan hal tersebut sehingga dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Pada saat saksi akan memberikan keterangan, tentunya harus diberi jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benarbenar murni bukan hasil rekayasa atau tekanan dari pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian dari saksi itu sendiri yang terdapat dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dari pengertian tersebut di dapat suatu kesimpulan bahwa setiap orang dapat menjadi saksi dan memberikan kesaksian tanpa memperdulikan status orang tersebut, termasuk tersangka atau terdakwa. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang 12 Muhadar, Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, CV Putra Media Nusantara, Surabay, 2009, hlm. 1. paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi, di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain. Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi tidak selamanya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, ada dua syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut: 13 1. Syarat formil; Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakans ebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya. 2. Syarat materiel; Bahwa keterangan seorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan. Untuk dapatnya suatu keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan, maka keterangan saksi haruslah memenuhi beberapa persyaratan tertentu sehingga mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian. Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli agar keterangan saksi mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian. Oleh Yahya Harahap dikatakan bahwa agar keterangan saksi itu mempunyai nilai dan kekuatan pembuktin maka perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, sebagai berikut: 14 1. Saksi mengucapkan sumpah atau janji. Menurut Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberikan keterangan: wajib 13 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 239. 14 Yahya Harahap, Pembahasan Permaslahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 265. 34

mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji dilakukan menurut cara agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenarbenarnya dan tiada lain dripada yang sebenarnya. 2. Keterangan saksi bernilai sebagai bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP; yang saksi lihat sendiri, yang saksi dengar sendiri, yang saksi alami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Pasal 185 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukanlah alat bukti, tidak dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah... Apa yang ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP ini adalah mengenai prinsip minimum pembuktian. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa haruslah dipenuhi paling sedikit atau sekurangkurangnya dengan dua alat bukti. Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nulus testis. Dengan demikian, jika alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan dengan keterangan saksi lainnya atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hari Sasangka dan Lily Rosita mengatakan bahwa keterangan saksi adalah sebagai alat bukti apabila: 15 1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). 2. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP maka yang harus diterangkan dalam sidang adalah apa yang saksi lihat sendiri, apa yang saksi dengar sendiri dan apa yang saksi alami sendiri, dengan menyebut alasan mengapa saksi dapat melihat, mendengar dan mengalami hal itu. 3. Keterangan saksi di depan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan merupakan alat bukti. Keterangan saksi di depan penyidik hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang. Apabila berbeda antara keterangan yang diberikan di muka sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh dan dicatat (Pasal 163 KUHAP). Mhd. Takdir mengatakan bahwa dalam KUHAP disebutkan agar keterangan saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti, ada beberapa syarat sebagai berikut: 16 1. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (Pasal 185 KUHAP). 2. Sebelum memeberikan keterangan, saksi harus mengucapkan sumpah menurut tata cara agama yang dianutnya untuk memberikan keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). 3. Keterangan saksi harus mengenai hal yang dilihat, didengar dan atau dialami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP). 4. Keterangan saksi di hadapan penyidik tidak mempunyai nilai pembuktian sebagai keterangan saksi, dan hanya dapat diguankan sebagai petunjuk untuk membantu menemukan bukti yang sesungguhnya di persidangan (Pasal 189 ayat (2) KUHAP). 15 Hari Sasngka dan Lily Rosita, Op-Cit, hlm. 39. 16 Mhd. Takdir, Peran Saksi Dan Korban Dalam Perkara Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 10 Maret 2016 dari www.boyyendratamin.com. 35

5. Disamping berfungsi sebagai alat bukti secara langsung, keterangan saksi-saksi juga dapat berfungsi sebagai alat bukti tidak langsung, yaitu sebagai dasar dari alat bukti petunjuk, karena alat bukti petunjuk adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan, salah satunya adalah keterangan saksi tersebut (Pasal 188 ayat (2) KUHAP). Dari beberapa pendapat tentang nilai dan kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti, haruslah: 17 1. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa. Keterangan saksi haruslah murni berdasarkan kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang dan sumber pengetahuannya sendiri. 2. Keterangan yang diberikannya haruslah yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri, dimana pendengaran, penglihatan dan pengalaman itu memang benar saksi sendiri yang alami dan haruslah didukung suatu alasan penegtahuan yang masuk akal dan logis. 3. Jumlah saksi yang memberikan keterangan saksi harus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 182 ayat (2) KUHAP yang menentukan: satu saksi bukanlah saksi, dengan demikian harus sekurang-kurangnya dua saksi. Selanjutnya hakim sebagai pihak yang akan memutuskan suatu perkara harus menilai dengan sungguh-sungguh kebenaran keterangan yang diberikan oleh seorang saksi, disini jelas terlihat dibutuhkan kewaspadaan yang sungguh-sungguh dari hakim. Pasal 185 ayat (6) KUHAP menentukan, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : 1. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain; 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti sah lainnya; 17 Muhammad Yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi (Tulisan Pakar), diakses pada tanggal 10 Maret 2016, dari http://parlemen net.31/08/2005, hlm. 1. 3. Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Dari ketentuan-ketentuan yang sudah disebutkan di atas tentang nilai dan kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan, maka jelas sekali bagaimana peranan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana, walaupun keterangan saksi bukanlah satu-satunya alat bukti dalam perkara pidana. Tetapi dari sifatnya sebagai alat bukti yang utama maka keterangan saksi akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa disangkal oleh terdakwa. Sejalan dengan peran saksi dalam memberikan kesaksian atau keterangan atas suatu tindak pidana di dalam proses persidangan, maka saksi harus mendapatkan perlindungan baru yaitu: 1. memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat (1); 2. saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa kedudukan saksi dalam perkara pidana merupakan sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkap dan membongkar kejahatan. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, bahkan dalam praktek, kedudukan saksi sangatlah penting, sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan keterangan saksi yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapatlah dipastikan 36

suatu kasus akan menjadi peristiwa yang kabur, karena dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah pernyataan atau keterangan yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. 2. Bahwa peranan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam proses perkara pidana akan dapat mengungkap tindak pidana yang terjadi. Sebab keterangan saksi dari sifatnya sebagai alat bukti yang utama maka keterangan saksi akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa disangkal oleh terdakwa. B. Saran 1. Kedudukan saksi dalam perkara pidana benar-benar harus diperhatikan dalam peraturan perundangan dan diberikan perlindungan, karena tanpa saksi maka suatu perkara pidana tidak akan dapat terungkap 2. Bahwa karena nilai dan kekuatan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti utama mempunyai peranan dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana, maka keterangan saksi tidak dapat diabaikan dan penegak hukum harus menghadirkan saksi baik itu saksi yang meringankan maupun saksi yang memberatkan untuk didengarkan keterangannya di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Hudoyo, Sapto, Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana, diakses tanggal 10 Maret 2016, dari http://eprints.undip.ac.id/18621/saptohudoy O.pdf Muhadar, Perlindungan Saki dan Korban Dalam Sistem peradilan Pidana, CV Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009. Prinst, Darwan., Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989. Prodjodikoro, Wirjono., Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1962. Sasangka, Hari dan Lily Rosita., Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003. Soekanto, Soerjono., Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Politea, Bogor, 2001. Samosir, Djisman., Segenggam Tentang hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013. Takdir, Mhd., Peran Saksi dan Korban Dalam Perkara Pidana Korupsi, diakses tanggal 10 Maret 2016 Yusuf, Muh., Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi (Tulisan Pakar), diakses tanggal 10 maret 2016. SUMBER LAIN: KUHAP DAN KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003. DAFTAR PUSTAKA Ghufron, Nurul., Kedudukan Saksi Dalam Menciptakan Peradilan Pidana Yang Bebas Korupsi, Jurnal Anti Korupsi, Vol. 2 No. 2, PUKAT,FHUJ, 2012. Gumilar., Pengertian Dan Ruang Lingkup Saksi, diakses tanggal 10 Maret 2016 dari gumilar69.blogspot.co.id. Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012 Harahap, Yahya., Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. 37