BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Staphylococcus intermedius. Staphylococcus dapat menyebabkan banyak jenis infeksi seperti infeksi kulit yang superfisial maupun infeksi yang lebih serius seperti furunkulosis, abses, osteomyelitis dan endokarditis, dan toxic shock syndrome. Bakteri komensal ini biasanya dapat ditemukan di dalam lubang hidung, lipat paha, lipat ketiak, dan permukaan pusar. Infeksi S. aureus juga sering terjadi pada luka terbuka (Foster, 1996). Kolonisasi S. aureus bisa didapat dari komunitas maupun rumah sakit (nosokomial). Seseorang yang memiliki kolonisasi ini disebut karier S. aureus. Karier dapat menularkan S. aureus ke orang lain. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko infeksi nosokomial (Thompson, 2004). 1
2 Resistensi S. aureus, terutama resistensi terhadap penisilin dan metisilin, sudah menjadi topik yang mendunia sejak beberapa dekade yang lalu. Strain S. aureus yang dimaksud adalah Methicillin Resistant S. auerus (MRSA). Strain ini merupakan strain yang resisten terhadap lebih dari 1 jenis antibiotik. Kepekaan MRSA terhadap metisilin, oksasilin, dan cefoksitin menghilang. Resistensi MRSA terhadap antibiotik tersebut merupakan gambaran resistensi terhadap seluruh jenis beta-laktam lainnya. Hal inilah yang menyebabkan MRSA digolongkan sebagai multi drug resistant organism (Magiorakos et al., 2011). Menurut European Antimicrobial Resistance Surveillance System (2013), dari Januari 1999 hingga Desember 2002, insidensi MRSA meningkat signifikan di banyak negara termasuk Belgia, Jerman, Irlandia, dan Inggris. Amerika Serikat, Taiwan, Korea, dan Australia. Prevalensi isolat MRSA di Taiwan meningkat dari 26% menjadi 77% selama 1986 hingga 2001. Hal serupa terjadi di Korea. Prevalensi isolat MRSA di Korea meningkat menjadi 64%. Oleh karena itu, MRSA merupakan masalah yang terdapat di banyak negara. Meningkatnya insidensi MRSA secara signifikan ini mengindikasikan perlunya
3 prosedur pengendalian infeksi yang lebih baik (Appelbaum, 2006). Resistensi MRSA terjadi akibat penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah antar pasien melalui alat medis yang kurang steril, properti ruangan, dan udara (Nurkusuma, 2009). Strain resisten ini lebih berbahaya daripada Methicillin Sensitive S. aureus (MSSA). Jika dampaknya dibandingkan, maka pasien dengan infeksi MRSA lebih mudah mengalami endokarditis dan sepsis. Pasien dengan bakteremia akibat MRSA dapat mengalami gagal ginjal yang lebih akut, ketidakstabilan hemodinamik dan ketergantungan terhadap ventilator yang lebih parah, serta waktu rawat inap yang lebih lama. Kemungkinan pasien meninggal di rumah sakit selama 30 hari meningkat secara signifikan (p<0,05). Rekurensi terjadi pada 9,4% infeksi S. aureus yang sudah diterapi dengan antibiotik (Chang et al., 2003). Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu, pengendalian infeksi diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyebaran MRSA, misalnya dengan kebijakan eradikasi kolonisasi.
4 Eradikasi kolonisasi perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi pasien dan dampak yang ditimbulkannya. Pasien usia lanjut, kondisi lemah, paska operasi, atau memiliki penyakit berat mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti rifampisin dan asam fusidik pada kasus kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal dapat juga menimbulkan iritasi di kulit. Selain itu, risiko eksaserbasi masih ada pada kasus yang sudah diterapi eradikasi (Coia et al., 2006). Faktor risiko terjadinya kolonisasi secara umum adalah usia, jenis kelamin, riwayat tindakan invasif (hemodialisis, pemasangan tabung nasogastrik dan ventilator, kateterisasi pembuluh darah, jantung, dan kandung kemih, serta pembedahan), status gizi abnormal, riwayat terapi (terapi steroid jangka panjang, penggunaan antibiotik, dan kemoterapi), riwayat penyakit kronis (diabetes mellitus, tuberkulosis, gagal ginjal, penyakit autoimun, keganasan, dan HIV/AIDS), riwayat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) (Hidron et al., 2005). Publikasi karya tulis mengenai profil pasien yang memiliki kolonisasi MRSA di Indonesia, khususnya di Unit Rawat Jantung Intensif (URJI) RSUP Dr. Sardjito
5 belum ada. Padahal di URJI terdapat variasi populasi transmisi MRSA yang berisiko tinggi (populasi dengan kasus kardiothoraks dan vaskuler), risiko sedang (populasi pasca operasi), dan risiko rendah (populasi perawatan akut pada usia lanjut) (Royal College of Nursing, 2005). Selain itu, populasi tersebut memiliki faktor risiko lain yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA pada pasien URJI RSUP Dr. Sardjito sehingga dapat dijadikan perhatian dalam pencegahan terjadinya infeksi akibat MRSA dan acuan penelitian selanjutnya. 2. Rumusan Permasalahan S. aureus dan MRSA merupakan salah satu perhatian utama pada rumah sakit. Berdasarkan latar belakang tadi, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Berapa besar prevalensi kolonisasi S. aureus dan MRSA pada pasien URJI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode April-Juli 2014? 2. Bagaimana profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito?
6 3. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan informasi tentang prevalensi kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito sehingga dapat menjadi indikator keselamatan pasien. 2. Mendapatkan informasi tentang profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito sehingga dapat menjadi perhatian dalam pengendalian infeksi di rumah sakit. 4. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagaai berikut: 1. Mengevaluasi prevalensi kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.. 2. Mengevaluasi profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. 5. Keaslian Penelitian Beberapa tahun terakhir, berbagai karya tulis mengenai S. aureus dan MRSA telah dipublikasikan. Penelitian yang dilakukan oleh Joseph Lau Kah Fu (2011)
7 membahas profil pasien dengan isolat MRSA positif di RSUP Dr. Sardito pada tahun 2011. Pada tahun 2008, penelitian Mastura mengenai prevalensi karier MRSA pada pasien rawat jalan di bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito dipublikasikan. Selain itu, Abikara (2010) melakukan penelitian tentang hubungan antara karier MRSA dan karier penyedia layanan kesehatan dan karier keluarga pada pasien infeksi MRSA pasca operasi orthopaedi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Menurut studi tersebut, tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara status karier keluarga dan status karier penyedia layanan kesehatan dengan status karier MRSA pada pasien. Pada tahun yang sama, penelitian oleh Hartlan berupa analisis multivarian tentang pengaruh faktor demografi (jenis kelamin, usia, dan etnis) terhadap kolonisasi dan pola resistensi S. aureus pada siswa SD di Kota Semarang dipublikasikan. Menurut studi tersebut, usia memiliki pengaruh pada kolonisasi dan pola resistensi, sedangkan jenis kelamin dan etnis tidak memiliki pengaruh yang bermakna pada kolonisasi dan pola resistensi S. aureus.
8 Hingga saat ini, terdapat beragam penelitian lain yang membahas prevalensi kolonisasi S. aureus dan MRSA di unit rawat intensif. Namun, belum ditemukan penelitian yang membahas tentang prevalensi dan profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di URJI RSUP Dr. Sardjito.