1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang. Tertularnya seseorang dengan HIV ini akan menyebabkan orang tersebut menderita Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Murtiastutik, 2008). Akibat menurunnya kekebalan tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menyebabkan orang tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal (Infodatin, Kemenkes RI, 2014). Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Keadaan ini telah menyebabkan berbagai krisis. Antaranya adalah krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis pendidikan maupun krisis pembangunan negara. Dengan kata lain, HIV/AIDS menyebabkan krisis multi dimensi (Sudoyo, dkk, 2009). Berdasarkan data United Nation Joint Program for HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2016 diketahui bahwa selama tahun 2015 sebanyak 1,1 juta penduduk di dunia meninggal karena AIDS dan diketahui bahwa sebanyak 35 juta penduduk dunia meninggal semenjak epidemi HIV/AIDS ditemukan hingga periode akhir tahun 2015. Hingga akhir tahun 2015 terdapat 36,7 juta penduduk di dunia mengidap penyakit HIV dan 2,1 juta dari jumlah tersebut merupakan kasus baru selama tahun 2015 (UNAIDS, 2016). Berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, dari pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan di Indonesia hingga akhir tahun 2016 diketahui bahwa jumlah penderita HIV di Indonesia sebanyak 232.323 orang dan AIDS sebanyak 86.780 orang (Kemenkes 2016). Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2014 jumlah kumulatif penderita HIV sebanyak 150.296 orang dan AIDS sebanyak 55.799 orang (Kemenkes 2016).
2 Di Sumatera Barat kasus HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2016, diketahui bahwa hingga triwulan 1 tahun 2016 sebanyak 1.515 penduduk Sumatera Barat menderita HIV dengan prevalensi sebesar 31,26 per 100.000 penduduk dan 1.192 penduduk menderita AIDS dengan prevalensi sebesar 24,59 per 100.000 penduduk. Tingginya kasus ini menjadikan Sumatera Barat sebagai peringkat ke 18 dari 34 provinsi di Indonesia untuk kasus AIDS (Kemenkes RI, 2016). Sumatera Barat terdiri dari 19 kabupaten/kota. Kota Padang merupakan kota dengan jumlah kasus AIDS tertinggi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS sampai tahun 2015 sebanyak 575 kasus dan diikuti kota Bukittinggi sebanyak 177 kasus (Dinkes Prop. Sumbar, 2016). Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang terinfeksi yakni meliputi masalah fisik, sosial dan emosional. Masalah fisik terjadi akibat dari penurunan daya tahan tubuh secara progresif yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai macam penyakit terutama penyakit infeksi (infeksi oportunistik) dan keganasan. Penyakit infeksi yang sering muncul pada penderita HIV/AIDS adalah tuberkulosis paru (TB paru), radang pada paru-paru (pneumonia), kelainan kulit berupa herpes simplex atau zoster, diare kronik dan infeksi pada hati (hepatitis). Penyakit ganas diantaranya adalah kanker lapisan pembuluh darah limfatik (sarcoma kaposi), kanker sistem kekebalan tubuh (limfoma) (Nursalam dan Kurniawati, 2011). Masalah sosial dan emosional pada ODHA muncul akibat stigma negatif dari masyarakat. Stigma tersebut akhirnya mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Stigma dan diskriminasi terjadi karena adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS selalu berujung pada kematian. Penyakit ini sering diasosiasikan dengan perilaku atau kebiasaan buruk yang dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan norma positif dalam masyarakat, persepsi masyarakat bahwa ODHA dengan sengaja menularkan penyakitnya, serta kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularannya (Kemenkes RI, 2012). Menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang komplek selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan
3 dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang diskriminatif. Hal ini yang menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA (Rachmawati, 2013). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, sikap diskriminatif terhadap anggota keluarga yang terinfeksi HIV/AIDS cukup tinggi. Sebanyak 21,7% masih merahasiakan apabila ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV/AIDS dan 7,1% penduduk yang bersifat mengucilkan ODHA (Kemenkes, 2010). Masalah sosial bisa membuat depresi penderita HIV/AIDS, sehingga dapat mempengaruhi motivasi untuk melakukan self care secara adekuat. Hal tersebut dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang menyebabkan seseorang malas beraktivitas, nafsu makan yang berkurang, ketidakinginan untuk berolahraga dan kesulitan tidur. Bahkan hal ini dapat berpengaruh pada kepatuhan pasien terhadap regimen terapi Antiretroviral (ARV) dan obat-obatan profilaksis lainnya yang diperlukan untuk menjaga kesehatannya agar kondisi fisik tidak menurun sehingga akan memperberat penyakit (Holmes, et al. 2007). Menurut WHO (2002), kualitas hidup adalah persepsi individu tentang harkat dan martabatnya di dalam konteks budaya dan sistem nilai yang berhubungan dengan tujuan dan harapan hidup. Kualitas hidup ODHA merupakan berfungsinya keadaan fisik, psikologis, sosial dan spiritual sehingga dapat hidup produktif seperti orang sehat dalam menjalankan kehidupannya (Basavaraj, et al. 2010). Sebuah penelitian di Makasar mengenai kualitas hidup ODHA, menyatakan bahwa dari 21 orang dengan HIV/AIDS, yang memiliki kualitas hidup buruk sebesar 52,4% dan yang berkualitas hidup baik sebesar 47,6%. (Hardiansyah, dkk, 2014). Penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan menyebutkan bahwa dari 17 responden ODHA, diperoleh 70,58% memiliki kualitas hidup rendah dan 29,41% memiliki kualitas hidup baik (Maisarah, 2012). Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup ODHA. Penelitan oleh Liping, et al. (2015) diketahui bahwa dari beberapa karakteristik demografi yang diteliti secara signifikan berhubungan dengan
4 kualitas hidup yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah CD4 dan tahap klinis penyakit. Penelitian lain oleh Pohan (2006), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS yaitu infeksi, terapi antiretroviral, dukungan sosial, jumlah CD4, kepatuhan pengobatan, pekerjaan, gender, gejala, depresi dan dukungan keluarga. Studi yang dilakukan Basavaraj, et al (2010) tentang kualitas hidup pada HIV/AIDS menunjukkan penyakit psikiatris termasuk depresi merupakan hal umum yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. Prevalensi depresi pada populasi klinik yang terinfeksi HIV mencapai 22% sampai dengan 38%. Pasien dengan HIV berusia diatas 35 tahun kemungkinan mengalami depresi, kecemasan, kebingungan dan keletihan. Insomnia, nyeri, emosi dan keterbatasan fisik juga dapat menyebabkan terjadinya depresi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abiodun, et al (2008) mengenai hubungan antara depresi dan kualitas hidup pada orang dengan infeksi HIV di Nigeria dengan infeksi HIV, ditemukan 27,8% pasien HIV mengalami depresi seluruhnya memiliki kualitas hidup yang buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara depresi dan kualitas hidup pada ODHA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hapsari (2011) di RSCM Jakarta juga menunjukkan bahwa sebanyak 86,3% ODHA yang mengalami depresi mempunyai kualitas hidup buruk. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara depresi dengan kualitas hidup ODHA. Berdasarkan pendekatan psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa keadaan stress atau depresi yang dialami pasien HIV/AIDS akan memodulasi sistem imun melalui jalur HPA (Hipothalamic-Pituarity-Adrenocortical) axis dan system limbic (yang mengatur emosi dan learning process). Kondisi stress tersebut akan menstimulasi hyphotalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stress. Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu sistem imunitas, yang menyebabkan pasien akan rentan terhadap infeksi oportunistik (Gunawan dan Sumadiono, 2007). Selain itu perasaan depresi
5 juga dapat menyebabkan pasien HIV/AIDS sungkan untuk mencari bantuan pengobatan, perawatan dan informasi tentang penanganan terhadap penyakitnya yang pada akhirnya dapat memperparah kondisi kesehatan dan berujung pada penurunan kualitas hidup pasien HIV/AIDS itu sendiri (Li, et al. 2009). RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah rumah sakit rujukan dari berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Barat untuk kasus HIV/AIDS. Rumah Sakit ini merupakan pusat layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Sumatera Barat. RSUP Dr. M. Djamil Padang juga merupakan Rumah Sakit Perawatan Dukungan Pengobatan HIV/AIDS yang ditunjuk oleh pemerintah. Jumlah kunjungan ODHA di RSUP Dr. M. Djamil Padang selalu meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan pelaporan dan pencatatan VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang, kunjungan pasien HIV/AIDS pada tahun 2014 yaitu sebanyak 1.819 orang, tahun 2015 meningkat menjadi 1.886 orang dan tahun 2016 meningkat menjadi 2.662 orang (Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2017). Berdasarkan penelitian tentang kejadian gangguan depresi pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang, menemukan ODHA yang mengalami depresi sebanyak 55,8% sedangkan yang tidak mengalami depresi sebanyak 44,2% (Yaunin, dkk, 2013). Kualitas hidup ODHA yang berkunjung di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan penelitian oleh Nengsih (2015), didapatkan bahwa 47,8% memiliki kualitas hidup buruk, 86,7% mengalami depresi dan 76,7% tidak mendapat dukungan keluarga (Nengsih, 2015). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar ODHA di RSUP Dr. M. Djamil Padang mengalami depresi dan tidak mendapat dukungan keluarga sehingga berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup. Berdasarkan wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada petugas di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang, diketahui bahwa sebagian besar pasien mengalami depresi terutama pada saat didiagnosis positif HIV. Hasil wawancara pendahuluan yang dilakukan kepada 4 orang ODHA yang menjalani pengobatan di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang juga menunjukkan bahwa setelah didiagnosis positif HIV, ODHA mengalami kecemasan yang berlebihan, takut menghadapi masa depan dan merasa semua yang dilakukan akan menjadi sia-sia. Hal ini menunjukkan bahwa ODHA
6 menjadi negatif dalam menilai dirinya. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian khusus agar ODHA dapat melakukan penanganan terhadap depresi yang dialaminya. Mengingat pentingnya pengaruh aspek psikososial khususnya depresi terhadap kualitas hidup ODHA, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017. Dengan hasil penelitian ini diharapkan ada usulan untuk pengembangan program kesehatan untuk penderita HIV/AIDS terkait dengan upaya peningkatan kualitas hidup khususnya yang menjalani perawatan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: a. Apakah ada hubungan antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017. b. Apakah ada hubungan usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, dukungan sosial, lama menderita penyakit, infeksi oportunistik (IO), jumlah CD4 dan kepemilikan askes dengan kualitas hidup penderita c. Apakah ada variabel yang memiliki interaksi dan menjadi konfounding antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP. Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kulitas hidup, depresi, usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan serta dukungan sosial,
7 lama menderita penyakit, infeksi oportunistik, jumlah CD4 dan kepemilikan askes penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. b. Untuk mengetahui hubungan depresi, usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, dukungan sosial, lama menderita penyakit, infeksi oportunistik, jumlah CD4 dan kepemilikan askes dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP. Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. c. Untuk mengetahui variabel yang memiliki interaksi terhadap hubungan depresi dengan kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. d. Untuk mengetahui variabel yang menjadi konfounding antara hubungan depresi dengan kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. e. Untuk mengetahui persamaan model multivariat hubungan depresi dengan kualitas hidup pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. D. Hipotesis Adapun hipotesis yang dapat dirumuskan pada penelitian ini yaitu: a. Ada hubungan depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di b. Ada hubungan usia dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di c. Ada hubungan jenis kelamin dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di d. Ada hubungan pendidikan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di e. Ada hubungan status pernikahan dengan kualitas hidup penderita f. Ada hubungan pekerjaan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
8 g. Ada hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita h. Ada hubungan lama menderita penyakit dengan kualitas hidup penderita i. Ada hubungan infeksi oportunistik dengan kualitas hidup penderita j. Ada hubungan jumlah CD4 dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di k. Ada hubungan kepemilikan askes dengan kualitas hidup penderita l. Ada variabel yang memiliki interaksi terhadap hubungan depresi dengan kualitas pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. m. Ada variabel yang menjadi konfounding antara hubungan depresi dengan kualitas pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Teoritis/Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang pentingnya aspek psikososial dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). 2. Praktis a. Bagi Instansi Kesehatan atau Lembaga Terkait Dapat dijadikan dasar dalam upaya pengembangan program promosi kesehatan terutama pada aspek psikososial dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS. Serta bisa sebagai acuan pembelajaran dalam pemberian pelayanan terkait sehingga semakin berkualitas dan profesional.
9 b. Bagi ODHA Dari hasil penelitian ini diharapkan ODHA dapat mengetahui pentingnya penanganan depresi terhadap kualitas hidup, sehingga mereka tidak pesimis akan menatap masa depan dengan kualitas hidup yang baik. c. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.