VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

X. ANALISIS KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

Oleh. Firmansyah Gusasi

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan


BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing stakeholders. Kedua tahap analisis yang telah dilakukan sebelumnya memberikan gambaran tentang existing condition pengelolaan ekosistem hutan mangrove di wilayah studi pada saat ini. AHP bertujuan untuk mendapatkan pilihan langkah operasional dari pandangan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem tersebut. Adapun faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan didasarkan pada hasil analisis nilai keberlanjutan, yang menunjukkan indikator-indikator sensitif dalam pengelolaan hutan mangrove di kabupaten Seram Bagian Barat. Dalam analisis AHP dilakukan penyederhanaan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam suatu hirarkhi yang digambarkan dalam bentuk grafis yang telah dikelompokkan dalam beberapa level fokus/tujuan, aktor, dimensi, faktor dan kebijakan. Indikator-indikator sensitif berdasarkan analisis nilai indeks keberlanjutan merupakan faktor pendukung dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Struktur hirarkhi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku dapat dilihat pada Gambar 22. 109

Fokus/Tujuan Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan (1,00) Aktor Pemerintah (0,542) Masyarakat (0,299) Peneliti (0,065) LSM (0,094) Dimensi Ekologi (0,234) Ekonomi (0,073) Sosial (0,694) Faktor Zonasi mangrove (0,077) Kerusakan SDH (0,366) Keterlibatan stakeholder (0,046) Akses masyarakat (0,210) Inventarisasi data (0,053) Perubahan habitat (0,189) Struktur relung komunitas (0,059) Kebijakan Konservasi (0,664) Wisata pantai (0,234) Budidaya perikanan (0,103) Gambar 22. Struktur Hirarkhi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan Berdasarkan perhitungan nilai pada tiap level AHP, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Peran Aktor/stakeholder Terdapat 4 stakeholders ( pemerintah, masyarakat, LSM, peneliti) yang berperan dalam pengambilan keputusan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Pentingnya peran stakeholders dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Peranan Stakeholders Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat No Stakeholders Nilai 1 2 3 4 Pemerintah Masyarakat Peneliti LSM 0,542 0,299 0,065 0,094 110

Berdasarkan Tabel 13, peranan pemerintah (0,542) dalam penentuan alternatif kebijakan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran pemerintah sangat diharapkan sebagai motivator dan fasilitator dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Pemerintah kabupaten dan instansi terkait diharapkan dapat menyelaraskan tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan keputusan perencanaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi yang bersifat komprehensif dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. 6. Hirarkhi dimensi menurut stakeholder Berdasarkan hasil analisis, masing-masing aktor memiliki perbedaan prioritas dalam penentuan dimensi. Hirarkhi dimensi menurut aktor disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, dimensi sosial merupakan prioritas utama dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Tabel 14. Hirarkhi Dimensi Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Dimensi Aktor 1 2 3 4 Ekologi 0,293 0,293 0,195 0,153 Sosial 0,641 0,641 0,717 0,777 Ekonomi 0,067 0,067 0,088 0,077 Keterangan : Aktor : 1 = pemerintah; 2= masyarakat; 3= peneliti; 4= LSM Hasil sintesis dari aktor menunjukkan bahwa hirarkhi dimensi dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku adalah : dimensi sosial (0,694), dimensi ekologi (0,234) dan dimensi ekonomi (0,073). Dimensi yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan adalah dimensi sosial. Hal ini sesuai dengan hasil analisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove yang menunjukkan bahwa status nilai dimensi sosial tidak berkelanjutan, sehingga perlu diperbaiki semua indikator yang turut memberikan kontribusinya terhadap dimensi tersebut. 111

7. Hirarkhi faktor berdasarkan dimensi Berdasarkan hasil analisis, masing-masing dimensi memiliki perbedaan prioritas dalam penentuan faktor pendukung. Hirarkhi faktor pendukung menurut stakeholders disajikan pada Tabel 15. Dari 7 faktor pendukung dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, diketahui hirarkhi faktor pendukung tersebut adalah : kerusakan sumberdaya hutan, akses masyarakat lokal, perubahan keragaman habitat; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; struktur relung komunitas; hasil inventarisasi pemanfataan mangrove dan keterlibatan stakeholder. Dari Tabel 15 diketahui, bahwa berdasarkan ketiga dimensi yang dianalisis, faktor kerusakan sumberdaya hutan (0,366) merupakan faktor pendukung utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Hasil sintesis dari dimensi menunjukkan bahwa prioritas faktor pendukung dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku adalah : kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat (0,366); akses masyarakat lokal (0,210), perubahan keragaman habitat (0,189), zonasi pemanfaatan lahan mangrove (0,077); struktur relung komunitas (0,059); hasil inventarisasi pemanfataan mangrove (0,053); dan keterlibatan stakeholder (0,046). Faktor kerusakan sumberdaya hutan sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Tingginya bobot yang diberikan oleh faktor kerusakan sumberdaya hutan memberikan pengertian bahwa kerusakan sumberdaya hutan perlu mendapat prioritas utama untuk diperhatikan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang menunjukkan besarnya tingkat penyusutan yang terjadi selama kurun waktu dua tahun sebanyak 7,4 % atau 174 ha di kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam upaya mempertahankan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan diperlukan upaya konkrit dari pemerintah dalam meminimalisir tingkat kerusakan tersebut. 112

Tabel 15. Hirarkhi Faktor Pendukung Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat 1 2 3 Faktor Pendukung Zonasi pemanfaatan lahan mangrove Kerusakan sumberdaya hutan Keterlibatan stakeholder Dimensi 1 2 3 0,074 0,094 0,064 0,373 0,333 0,391 0,062 0,041 0,036 4 5 6 7 Akses masyarakat lokal Hasil inventarisasi pemanfaatan mangrove Perubahan keragaman habitat Struktur relung komunitas 0,254 0,040 0,123 0,073 0,195 0,048 0,232 0,057 0,180 0,070 0,213 0,047 Keterangan : Dimensi : 1 = sosial; 2= ekonomi; 3 = ekologi 8. Hirarkhi alternatif kebijakan berdasarkan faktor pendukung Kebijakan sistem pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan sangat ditentukan oleh berbagai faktor pendukung dalam pengelolaannya. Oleh karena itu berdasarkan hasil AHP ditentukan tiga alternatif kebijakan sebagai berikut : 1. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi. Penetapan rencana kawasan konservasi yang didasarkan pada potensi ekosistem pesisir yang meliput i : Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Seram Barat pada Teluk Piru, Teluk Kotania dan Teluk Pelita Jaya dengan cakupan luasan sebesar 1427,2 Ha. Dengan cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini diperkirakan dapat menunjang kehidupan berbagai biota laut yang hidup berasosiasi dengan komunitas hutan bakau serta dapat memberikan kontribusi unsur hara yang sangat signifikan bagi keberadaan perairan sekitar. Kawasan hutan mangrove pada Kecamatan Huamual Belakang dengan luasan hutan mangrove 745,1 ha. 113

Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Kairatu dengan luasan mencapai 17 Ha. Dengan cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini diperkirakan dapat menunjang kehidupan berbagai organisme laut. 2. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan wisata pantai. Berdasarkan kondisi biofisik dan kehadiran habitat utama dengan disertai keanekaragaman sumberdaya hayati di dalamnya maka ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat layak dikembangkan menjadi daerah wisata pantai. Kondisi ekosistem hutan mangrove yang memiliki keindahan pesisir pantai, terumbu karang dan keragaman biota yang cukup tinggi, sehingga memberikan nuansa panorama pesisir dan bawah laut yang unik dan menarik. 3. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan. Secara keseluruhan kawasan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat khususnya Kecamatan Seram Barat dapat digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. Pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan lebih diprioritaskan pada Teluk Kotania yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil dan teluk-teluk yang terlindung. Penentuan hirarkhi alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan ditentukan berdasarkan faktor pendukung. Hirarkhi alternatif kebijakan berdasarkan faktor pendukung disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa alternatif kebijakan konservasi dianggap paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Hasil sintesis dari ketujuh faktor pendukung di atas, menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang dapat diaplikasikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku yaitu : konservasi 0,664 (66,4%); budidaya perikanan 0,234 (23,4%) dan wisata pantai 0,103 (10,3%) (Gambar 23). 114

Tabel 16. Hirarkhi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat No Alternatif kebijakan Faktor 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 Budidaya perikanan Konservasi Wisata pantai 0,327 0,260 0,413 0,171 0,750 0,078 0,199 0,733 0,068 0,297 0,645 0,058 0,236 0,682 0,082 0,297 0,645 0,058 0,123 0,707 0,170 Keterangan : 1= zonasi pemanfatan lahan mangrove ; 2= kerusakan sumberdaya hutan; 3= keterlibatan stakeholder; 4 = akses masyarakat lokal; 5 = hasil inventarisasi pemanfataan mangrove; 6 = perubahan keragaman habitat; 7= struktur relung komunitas Hasil analisis AHP yang menunjukkan prioritas kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku, dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Grafik Prioritas Kebijakan Pengelolaan Hutan mangrove 115

Kebijakan Konservasi Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan prioritas pertama dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Arahan kebijakan konservasi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah sebagai berikut : 1. Perlunya konservasi hutan mangrove sesuai dengan potensi dan keanekaragaman sumberdaya hutan yang cukup tinggi. 2. Konservasi hutan mangrove diarahkan pada program rehabilitasi mangrove pada lahan yang mengalami kerusakan fisik. Konservasi merupakan kebijakan utama yang diarahkan untuk pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dengan bobot 66,4%. Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem hutan mangrove ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pentingnya dilakukan upaya konservasi ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat mengingat potensi sumberdaya perikanan bernilai ekonomi tinggi yang dijumpai pada ekosistem mangrove pada setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Selain itu mangrove juga mempunyai fungsi fisik yaitu sebagai pelindung pantai dari kemungkinan erosi, abrasi dan tsunami. Guna kepentingan konservasi ekosistem mangrove di daerah ini dapat dihijaukan sesuai dengan jenis yang pernah ada atau jenis yang sesuai dengan kondisi substrat saat ini pada daerah yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Kehadiran hutan mangrove adalah penting untuk mencegah abrasi pantai dan melindungi sejumlah biota yang biasa hidup dan berasosiasi dengan tumbuhan mangrove. Mangrove yang tumbuh di perairan pantai harus mendapat perhatian untuk direhabilitasi kembali karena kondisinya saat ini sudah cenderung berkurang, terutama pada lokasi-lokasi yang pernah ditumbuhi mangrove. Sampai saat ini kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di beberapa lokasi penelitian khususnya di Kecamatan Seram Barat telah dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai motivator 116

yang bermitra dengan LSM dan masyarakat, sampai dengan tahun 2007 luas lahan mangrove yang sudah direboisasi seluas 23 Ha. Kebijakan Budidaya Perikanan Kebijakan budidaya perikanan (23,4 %) mendapat prioritas kedua dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan kapasitas SDM pesisir dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai budidaya perikanan. 2. Pembentukan kelompok budidaya perikanan dalam masyarakat. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pesisir diperlukan untuk menghasilkan nelayan budidaya yang trampil dalam mencapai produktivitas hasil budidaya perikanan. Disamping itu perlunya pembentukan kelompok budidaya perikanan, juga melakukan pembinaan dan pengawasan secara kontinyu. Melalui pembentukan kelompok diharapkan ada kesamaan persepsi dalam pengelolaan hutan mangrove. Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan diharapkan dapat mengubah pola hidup masyarakat sekitar yang sering melakukan kegiatan penebangan mangrove, selain itu dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatannya sebagai nelayan. Pengembangan kawasan tambak untuk kegiatan budidaya perikanan dapat dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya di kecamatan Seram Barat. Menurut Anwar (2009), guna mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kebijakan Wisata Pantai Kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang menempati urutan ketiga adalah wisata pantai (10,3%). Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk wisata pantai adalah sebagai berikut : 117

1. Pengembangan wisata pantai sesuai dengan potensi hutan mangrove dan wilayah pesisir. 2. Pertumbuhan UKM yang mendukung kegiatan wisata pantai dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai wisata pantai akan dapat melestarikan lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, disamping memberikan kontribusi bagi PAD di kabupaten tersebut. Pengembangan ekosistem untuk wisata pantai diharapkan dapat mengubah pola hidup masyakat yang sering melakukan kegiatan penebangan mangrove, selain itu dapat menciptakan peluang usaha bagi masyarakat. Kebijakan ini mempunyai implikasi ekonomi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pesisir di sekitar lokasi wisata secara khusus dan masyarakat umum lainnya. Selain itu, seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada kawasan ekowisata tersebut akan memberikan retribusi yang cukup memadai bagi Pemda Kabupaten Seram Bagian Barat melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait, sesuai tiap kegiatan yang berlangsung pada kawasan wisata dan sekitarnya. Adanya peluang pengembangan kawasan wisata pantai akan diikuti oleh sejumlah kegiatan sosial-ekonomi dan budaya yang cukup potensial bagi Kabupaten Seram Bagian Barat. Seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada kawasan ekowisata tersebut selain akan memberikan dampak cukup penting bagi kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. 8.2. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Kebijakan konservasi merupakan suatu 118

upaya yang dapat ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan potensi sumberdaya hutan mangrove, sehingga dapat menjamin pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Kebijakan konservasi hutan mangrove mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa mangrove merupakan bagian dari ekosistem hutan, oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berazaskan manfaat dan lestari; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya; Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, khususnya pasal 26 yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangnya berbagai biota laut. Kebijakan ini juga mengacu pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove seperti RAMSAR Convention, CITES dan sebagainya. Kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat masih cukup baik ditinjau dari aspek fisik, ekologi maupun ekonomi. Fungsi fisik hutan mangrove sebagai barrier dapat mengurangi gempuran gelombang laut, angin topan di musim barat dan genangan air pada saat pasang dan hujan, hal ini dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di sekitar hutan mangrove tersebut. Fungsi biologi hutan mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya nelayan tangkap, karena dengan keberadaan hutan mangrove hasil tangkapan mereka sampai saat ini cukup baik, dan keanekaragaman species yang tertangkap seperti: ikan baronang (Siganus spp), ikan selar (Selar spp.), ikan layang (Decapterus spp), ikan kembung (Rastrelliger spp.), ikan tongkol (Auxis thazard), udang putih (Paenid sp) dan kepiting bakau (Scylla serrata, S. tranguebarica dan S. oceanica). Potensi sumberdaya perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga dijumpai pada ekosistem mangrove pada setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat antara lain adalah; tiram (Crasosstrea spp), bia kodok (Polymesoda coaxans), kerang dara (Anadara granossa) dan bia pola (Telescopium telescopium). Selain itu daerah ini dipakai juga sebagai tempat asuhan bagi anakan dari beberapa jenis biota laut 119

seperti ikan samandar (Siganus spp.) dan udang (Penaeus). Anwar (2009), juga menyatakan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Fungsi ekosistem mangrove dari aspek ekonomi, mempunyai nilai kontribusi sebagai manfaat langsung yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebagai kawasan konservasi adalah sebagai berikut : (1). Penyusunan kebijakan tentang pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi; (2). Melakukan penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat tentang pentingnya konservasi hutan mangrove; (3). Meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove ; (4). Mengembangkan kegiatan ekonomi kerakyatan untuk dapat mengurangi ketergantungan dan tekanan terhadap hutan mangrove. Implementasi kebijakan ini dengan memperhatikan faktor utama kerusakan sumberdaya hutan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun telah terjadi penyusutan lahan mangrove sebesar 174 Ha atau sekitar 7,4 %. Hal ini disebabkan adanya eksploitasi mangrove oleh masyarakat lokal yang tidak terkendali, perluasan permukiman, perkebunan dan pembukaan tambak. Perkembangan penduduk yang bergerak cepat diikuti dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, menyebabkan aktifitas manusia memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga berdampak pada kerusakan hutan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008) yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar. Kerusakan sumberdaya hutan merupakan salah satu indikator sensitif yang berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi sosial. Dengan diterapkannya kebijakan konservasi, diperlukan adanya upaya-upaya perbaikan terhadap berbagai indikator 120

dalam dimensi sosial sehingga dapat memperbaiki status nilai indeks dimensi sosial dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan. Menurut LPP Mangrove (2001), berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove. Akibatnya masyarakat menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan, artinya aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan aspek sosial juga sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan yang ada dengan memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu pemerintah sebagai aktor utama sangat berperan penting dalam pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran pemerintah kabupaten khususnya dinas-dinas terkait sangat diharapkan dalam merumuskan kebijakan teknis operasional sesuai dengan lingkup tugasnya dalam pengelolaan hutan mangrove. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan hutan mangrove, maka pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat hendaknya dapat merumuskan suatu peraturan daerah tentang pengelolaan hutan mangrove, sebagai upaya menghindari terjadinya kerusakan mangrove dalam jumlah yang lebih besar. Sejalan dengan itu maka Harding (1998) menyatakan bahwa pemerintah daerah mempunyai posisi yang unik untuk melakukan integrasi berbagai sektor menuju ke pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah kabupaten dan dinas terkait diharapkan dapat menyelaraskan tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan keputusan perencanaan pengelolaan hutan mangrove. Koordinasi antar pemerintah dalam merumuskan kebijakan operasional pengelolaan hutan mangrove hendaknya dilakukan secara menyeluruh dengan memperhatikan pendekatan ekologi. 121