BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENGENAL PARAMETER PENILAIAN PERTUMBUHAN FISIK PADA ANAK Oleh: dr. Kartika Ratna Pertiwi, M. Biomed. Sc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (Wong, 2009). Usia pra sekolah disebut juga masa emas (golden age) karena pada

BAB II TINJAUAN TEORITIS

ABSTRAK. Kata kunci: anak balita, perkembangan, indeks antropometri, pertumbuhan, motorik kasar

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.

kekurangan energi kronik (pada remaja puteri)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck 2002 dalam Jafar

energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (tindakan yang nyata atau practise), sedangkan stimulus atau rangsangan di sini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENILAIAN STATUS GIZI BALITA (ANTROPOMETRI) Saptawati Bardosono

frekuensi kontak dengan media massa (Suhardjo, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANTROPOMETRI pada ANAK BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Disamping. dan produktivitas kerja (Almatsier, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

Batasan Ilmu gizi : pengetahuan yang mempelajari hubungan makanan dengan kesehatan tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Status Gizi. Keadaan Gizi TINDAK LANJUT HASIL PENDIDIKAN KESEHATAN. Malnutrisi. Kurang Energi Protein (KEP) 1/18/2010 OBSERVASI/PEMANTAUAN STATUS GIZI

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan suatu negara. Berdasarkan target Millenium Development Goals

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TATALAKSANA DAN ASUHAN GIZI PADA BALITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) Rifka Laily Mafaza

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mengalami proses perkembangan semasa hidupnya, mulai

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PEN DAHULUAN. prasarana pendidikan yang dirasakan masih kurang khususnya didaerah pedesaan.

Adapun fungsi zat gizi bagi tubuh adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

MALNUTRISI. Prepared by Rufina Pardosi UNICEF Meulaboh

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita 1. Pengertian Balita Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan. 2. Karakteristik Balita Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering

8 Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan tidak terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS, 1999). 3. Tumbuh Kembang Balita Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni: a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya. b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya. c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain. Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh: a. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.

9 b. Bertambahnya ukuran lingkar kepala. c. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham. d. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot. e. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya. Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan. Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan mengamati grafik pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Dengan bertambahnya usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan balita telah dibuatkan standarisasinya oleh Harvard University dan Wolanski. Penggunaan standar tersebut di Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak Indonesia. Perkembangan pada masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan personal dan kemampuan sosial. a. Kemampuan personal ditandai pendayagunaan segenap fungsi alatalat pengindraan dan sistem organ tubuh lain yang dimilikinya. Kemampuan fungsi pengindraan meliputi ; 1) Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain. 2) Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi, menyimak pembicaraan dan lain-lain. 3) Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu.

10 4) Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain. 5) Pengecap, misalnya menghisap ASI, mengetahui rasa makanan dan minuman. Pada sistem tubuh lainnya di antaranya meliputi : 1) Tangan, misalnya menggenggam, mengangkat, melempar, mencoret-coret, menulis dan lain-lain. 2) Kaki, misalnya menendang, berdiri, berjalan, berlari dan lain-lain. 3) Gigi, misalnya menggigit, mengunyah dan lain-lain. 4) Mulut, misalnya mengoceh, melafal, teriak, bicara,menyannyi dan lain-lain. 5) Emosi, misalnya menangis, senyum, tertawa, gembira, bahagia, percaya diri, empati, rasa iba dan lain-lain. 6) Kognisi, misalnya mengenal objek, mengingat, memahami, mengerti, membandingkan dan lain-lain. 7) Kreativitas, misalnya kemampuan imajinasi dalam membuat, merangkai, menciptakan objek dan lain-lain. b. Kemampuan sosial. Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya efek dari kemampuan personal yang makin meningkat. Dari situ lalu dihadapkan dengan beragam aspek lingkungan sekitar, yang membuatnya secara sadar berinterkasi dengan lingkungan itu. Sebagai contoh pada anak yang telah berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya, meskipun ia belum pandai dalam berbicara, ia akan merasa senang berkumpul dengan anakanak tersebut. Dari sinilah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal temantemanya itu. 4. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni ; a. Kebutuhan akan gizi

11 (asuh); b. Kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih); dan c. Kebutuhan stimulasi dini (asah) (PN.Evelin dan Djamaludin. N. 2010). a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh). Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak. Pada usia ini, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran social, emosional dan inteligensi anak berjalan sangat cepat. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita perlu diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung zatzat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit. b. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih). Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua mengekspresikan perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman dan nyaman kepada si anak. Orang tua perlu menghargai segala keunikan dan potensi yang ada pada anak. Pemenuhan yang tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam kemampuannya membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi anak-anaknya. Melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif, jauhi kebiasaan

12 memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat diarahkan melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang. c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah). Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhansentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian, kreativitas dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistic, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musical, kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis. B. Status Gizi 1. Definisi Status Gizi Menurut Soekirman (2000) status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia dan lingkungan hidup manusia. Selanjutnya, Suhardjo, (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Sedangkan menurut Supariasa, IDN. Bakri, B. & Fajar, I. (2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh yang berhubungan dengan gizi dalam bentuk variable tertentu. Jadi intinya terdapat suatu variable yang diukur (misalnya berat badan dan tinggi badan) yang dapat

13 digolongkan ke dalam kategori gizi tertentu (misalnya ; baik, kurang, dan buruk). Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (status gizi). Oleh karena itu pertumbuhan merupakan indikator yang baik dari perkembangan status gizi anak (Depkes RI, 2002). Status gizi menjadi indikator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang baik juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi nasional (Depkes RI, 2000), penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

14 b. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. 3. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Tujuan penilaian status gizi menurut Hammond (2004) antara lain: 1) Mengidentifikasi individu yang membutuhkan dukungan nutrisi cukup; 2) mempertahankan status gizi seseorang; 3) mengidentifikasi penatalaksanaan medis yang sesuai; 4) memonitor efektivitas intervensi yang telah dilakukan. Menurut Supariasa,et all (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. a. Penilaian secara langsung.

15 Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Adapun penilaian dari masing-masing adalah sebagai berikut (Supariasa, et all, 2002): 1) Antropometri Secara umum bermakna ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter yang diukur antara lain BB, TB, LLA, Lingkar kepala, Lingkar dada, Lemak subkutan. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur (Hartriyanti,Yayuk dan Triyanti, 2007). 2) Klinis Metode ini, didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal tersebut dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. 3) Biokimia Adalah suatu pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: urine, tinja, darah, beberapa jaringan tubuh lain seperti hati dan otot. 4) Biofisik Penentuan gizi secara biofisik adalah suatu metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi, khususnya jaringan, dan melihat perubahan struktur jaringan. b. Penilaian secara tidak langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi 3 yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi

16 (Supariasa, et all 2002). Adapun uraian dari ketiga hal tersebut adalah: 1) Survey konsumsi makanan Adalah suatu metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. 2) Statistik vital Adalah dengan cara menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. 3) Faktor ekologi Berdasarkan ungkapan dari Bengoa dikatakan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. 4. Jenis dan Parameter Status Gizi Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku (reference). Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization National Centre for Health Stastics (WHO- NCHS) sesuai rekomendasi pakar gizi dalam pertemuannya di Bogor tahun 2000. Selain itu juga dapat digunakan baku rujukan yang dibuat oleh Departeman Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI membuat baku rujukan penilaian status gizi anak balita yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Kriteria jenis kelamin inilah yang membedakan baku WHO-NCHS dengan baku Harvard. Baku rujukan penilaian status gizi menurut Depkes RI terlampir dalam lampiran. Parameter antropometri untuk penilaian status gizi berdasarkan parameter :

17 a. Umur. Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan ( Depkes, 2004). Rumus antropometri anak (Soetjiningsih. 1998) yang berhubungan dengan umur : 1) Berat Badan Umur 1 6 bulan = BBL (gr) + (usia x 600 gr) Usia 7 12 bulan = BBL (gr) + (usia x 500 gr) atau (usia / 2) +3 Umur 1-6 tahun = 2n + 8 2) Tinggi badan Umur 1 tahun = 1,5 x panjang badan lahir Umur 2 12 tahun = umur (tahun) x 6 + 77 Kriteria status gizi berdasarkan pengukuran tersebut dibandingkan dengan NCHS adalah : 1) Gizi baik, jika BB menurut umur > 80% standart WHO NCHS. 2) Gizi kurang, jika BB menurut umur 61% - 80% standart WHO NCHS. 3) Gizi buruk jika BB menurut umur 60% standart WHO - NCHS b. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan merupakan pengukuran yang terpenting pada bayi baru lahir. Dan

18 hal ini digunakan untuk menentukan apakah bayi termasuk normal atau tidak (Supariasa,et all, 2001). Berat badan merupakan hasil peningkatan / penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara tulang, otot, lemak, cairan tubuh. Parameter ini yang paling baik untuk melihat perubahan yang terjadi dalam waktu singkat karena konsumsi makanan dan kondisi kesehatan (Soetjiningsih 1998). Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain, (2) Mudah diperoleh dan relatif murah harganya, (3) Ketelitian penimbangan maksimum 0,1 kg, (4) Skalanya mudah dibaca, (5) Aman untuk menimbang balita. Sedangkan jenis timbangan sebaiknya yang memenuhi persyaratan tersebut, timbangan yang dianjurkan untuk anak balita adalah dacin dengan kapasitas minimum 20 kg dan maksimum 25 kg. jenis timbangan lain yang dapat digunakan adalah detecto, sedangkan timbangan injak (bath room scale) akurasinya kurang karena menggunakan per, sehingga hasilnya dapat berubah-ubah. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Djumadias Abunain, 1990) dalam Atmarita, Soendoro, T. Jahari, AB. Trihono dan Tilden, R. (2009). Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot, lemak, organ tubuh, dan cairan tubuh sehingga dapat

19 diketahui status keadaan gizi atau tumbuh kembang anak. Selain menilai berdasarkan status gizi dan tumbuh kembang anak, berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan. Interpretasi : 1) BB/U < dipetakan pada kurva berat badan : a) BB< sentil ke-10 : disebut defisit b) BB>sentil ke-90 : disebut kelebihan 2) BB/U dibandingkan acuan standar, dinyatakan dalam presentase: >120% : disebut gizi lebih 80-120% : disebut gizi baik 60-80%: - tanpa edema : gizi kurang - dengan edema : gizi buruk (kwashiorkor) < 60% : - tanpa edema : marasmus - dengan edema : marasmus- kwashiorkor Perubahan berat badan (berkurang atau bertambah) perlu mendapat perhatian karena merupakan petunjuk adanya masalah nutrisi akut. Kehilangan BB dihitung sebagai berikut (BB saat ini/bb semula)x 100%. 1) 85-95% : kehilangan BB ringan (5-15%) 2) 75-84% : kehilangan BB sedang (16-25% 3) <75% : kehilangan BB berat (>25% c. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang cukup penting. Keistemewaannya bahwa ukuran tinggi badan akan meningkat terus pada waktu pertumbuhan sampai mencapai tinggi yang optimal. Di samping itu tinggi badan dapat dihitung dengan dibandingkan berat badan dan dapat mengesampingkan umur. Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan

20 sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun ( Depkes RI, 2004). Pengukuran tinggi badan untuk anak yang sudah bisa berdiri dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang memiliki ketelitian 0,1 cm. sedangkan pada anak yang belum bisa berdiri digunakan alat pengukur panjang badan dengan posisi anak berbaring di tempat datar. Pengukuran tinggi badan maupun panjang badan dapat dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Cara mengukur panjang badan usia 0-24 bulan yaitu: (1) alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat yang datar, (2) bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, (3) bagian bawah alat pengukur sebelah kaki digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat ukur dapat dibaca. Interpretasi : 1) TB/U pada kurva: < sentil 5 : defisit berat Sentil 5 : perlu evaluasi untuk membedakan apakah perawakan pendek akibat defisiensi nutrisi kronik atau konstitusional. 2) TB/U dibandingkan standar baku (%) : 90-110% : baik/normal 70-89% : tinggi kurang < 70% : tinggi sangat kurang 3) BB/TB

21 Rasio BB/TB bila dikombinasi dengan berat badan menurut umur dan tinggi badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antara wasting dan stunting atau perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak perempuan hanya sampai tinggi badan 138cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi badan 145cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena adanya percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak diperlukannya faktor umur, yang sering kali tidak diketahui secara tepat.bb/tb dinyatakan dalam persentasi dari BB standar yang sesuai dengan TB terukur individu tersebut. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut : BB/TB (%) = (BB terukur saat itu)/(bb standar sesuai untuk TB terukur) x 100% Interpretasi: a) Penilaian status gizi berdasarkan presentase TB/BB o > 120% : obesitas o 110-120% : overweight o 90-110% : normal o 70-90% : gizi kurang o < 70% : gizi buruk b) Nilai BB/TB di sekitar sentil ke-50 menunjukkan kesesuaian atau normal. Makin jauh deviasi, makin besar pula kelebihan atau kekurangan gizi pada individu tersebut. d. Lingkar Kepala Lingkar kepala dipakai untuk mengetahui volume intrakranial dan dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak. Apabila kepala tumbuh tidak normal maka kepala akan mengecil dan menunjukkan retardasi mental sebaliknya bila kepala membesar kemungkinan ada

22 penyumbatan aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus yang akan meningkatkan volume kepala. Alat yang sering digunakan dibuat dari serat kaca (fiberglass) dengan lebar kurang dari 1 cm, fleksibel dan tidak mudah patah pengukuran sebaiknya mendekati 1 desimal. Caranya dengan melingkarkan pita pada kepala. Interpretasi: 1) Lingkaran kepala < sentil ke-5 atau < -2 SB menunjukan adanya mikrosefali dan kemungkinan malnutrisi kronik pada masa intrauterin atau masa bayi/ anak dini. 2) Lingkaran kepala > sentil ke-95 atau >+2 SB menunjukan adanya makrosefali. e. Lingkar Lengan Atas (LILA) Pengukuran ini mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan berat badan Pada anak umur 1-5 tahun, LILA saja sudah dapat menunjukan status gizi. Alat yang digunakan adalah pita ukur yang terbuat dari fiberglass, atau jenis kertas tertentu berlapis plastik. Pengukuran dilakukan pada lengan yang tidak aktif pada pertengahan bahu dan siku. Pada orang normal (tidak kidal) dilakukan pada tangan kiri, sedangkan pada anak yang kidal dilakukan pengukuran pada lengan kanan. Interpretasi : 1) <12,5cm : gizi buruk 2) 12,5-13,5cm : gizi kurang 3) >13,5cm : gizi baik Bila dikaitkan dengan umur, nilai LILA dibanding dengan baku standar dan dinyatakan dalam persen. Nilai 100% adalah persentil ke-50 nilai baku.

23 Interpretasi : 1) 85-100% : gizi baik (normal) 2) 75-85% : gizi kurang 3) <75% : gizi buruk Bila umur tidak diketahui, status gizi dinilai dengan indeks LILA/TB. Interpretasi: 1) >85% : gizi baik (normal) 2) 80-85% : borderline/kurang kalori protein (KKP) I 3) 75-80% : gizi kurang/ KKP II 4) <75% : gizi buruk/ KKP III f. Lipatan Kulit Tebalnya lipatan kulit bagian triseps dan subskapular menggambarkan refleksi tubuh kembang jaringan lemak di bawah kulit, yang mencerminkan kecukupan energi (Soetjiningsih, 1998). Hampir 50% lemak tubuh berada di jaringan subkutis hingga dengan mengukur lapisan lemak dengan pemeriksaan TLK (total lemak kulit) dapat diperkirakan jumlah lemak total dalam tubuh. Hasilnya dibandingkan dengan standar dan dapat menunjukan status gizi dan komposisi tubuh, serta cadangan energi. Bila dikaitkan dengan indeks BB/TB, ia dapat menentukan malnutrisi kronik. LILA yang dikaitkan dengan nilai (TLK)- triseps, dapat dipakai menghitung massa otot. Alat yang digunakan adalah Skin-Fold Calipers dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan konstan 10 gram / mm², dan jangkauan jepitan 20-40 mm². Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers.

24 Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometri WHO-NCHS No Indeks Batas pengelompokan Status gizi 1 BB/U < -3 SD -3 s/d <-2 SD -2 s/d +2 SD > +2 SD Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih 2 TB/U < -3 SD -3 s/d < -2 SD -2 s/d +2 SD > +2 SD Sangat pendek Pendek Normal Tinggi 3 BB/TB < -3 SD -3 s/d < -2 SD -2 s/d +2 SD > +2 SD Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sumber : Depkes RI, (2004). Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB disajikan dalam dua versi, yakni persentil dan skor simpang baku (standar deviation score = z). Menurut Waterlow, et all, gizi anak-anak di Negara-negara yang populasinya relative baik, sebaiknya digunakan persentil, sedangkan di Negara untuk anak-anak yang populasinya relative kurang, lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSD) sebagai persen terhadap baku rujukan.

25 Table 2.2 interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks antropometri (BB/U, TB/U, BB/TB) standar baku antropometri WHO-NCHS No Indeks BB/U TB/U BB/TB Interpretasi Rendah Rendah Rendah Tinggi Normal Rendah Normal, dulu gizi kurang 1 Rendah Normal Rendah Sekarang kurang ++ Sekarang kurang + Normal Normal Normal Normal 2 Normal Tinggi Rendah Sekarang kurang Normal Rendah Tinggi Sekarang >, dulu kurang Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normal 3 Tinggi Rendah Tinggi Obese Tinggi Normal Tinggi Sekarang >, belum obese Keterangan : untuk ketiga indeks (BB/U, TB/U, BB/TB): Rendah : < -2 SD standar baku antropometri WHO-NCHS Normal : -2 s/d +2 SD standar baku antropometri WHO-NCHS Tinggi : > +2 SD standar baku antropometri WHO-NCHS Sumber : Depkes RI, (2004) 5. Masalah gizi balita Balita termasuk ke dalam kelompok usia berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi pada balita dapat memengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Gangguan gizi pada anak usia balita merupakan dampak kumulatif dari berbagai faktor baik yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap gizi anak.

26 Konperensi Internasional tentang At Risk Factors and The Health and Nutrition of Young Children di Kairo tahun 1975 mengelompokkan faktor-faktor itu menjadi tiga kelompok (Moehji. S. 2009), yaitu : a. At risk factors yang bersumber dari masyarakat yaitu: struktur politik, kebijakan pemerintah, ketersediaan pangan, prevalensi berbagai penyakit, pelayanan kesehatan, tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan iklim. b. At risk factors yang bersumber pada keluarga yaitu: tingkat pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, keadaan perumahan, besarnya keluarga dan karakteristik khusus setiap keluarga. c. At risk factors yang bersumber pada individu anak yaitu: usia ibu, jarak lahir terhadap kakaknya, berat lahir, laju pertumbuhan, pemanfaatan ASI, imunisasi dan penyakit infeksi. Ketiga kelompok faktor tersebut secara bersama-sama menciptakan suatu kondisi yang membawa dampak tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak akibat makanan yang tidak akurat. Oleh karena itu upaya pemeliharaan gizi anak haruslah paripurna (comprehensive care) yang mencakup berbagai aspek yang terdiri dari: a. Pemeliharaan gizi pada masa prenatal b. Pengawasan tumbuh kembang anak sejak lahir c. Pencegahan dan penanggulangan dini penyakit infeksi melalui imunisasi dan pemeliharaan sanitasi d. Pengaturan makanan yang tepat dan benar e. Pengaturan jarak kelahiran Kelima upaya tersebut harus merupakan suatu kesatuan sebagai strategi dasar pemeliharaan gizi anak.ada beberapa masalah gizi, (KD. Ayu Bulan Febry dan Marendra. Z, 2008) yang biasa diderita balita sebagai berikut:

27 a. KEP (Kurang Energi Protein) KEP adalah suatu keadaan dimana rendahnya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Ada tiga tipe KEP sebagai berikut: 1) Tipe Kwashiorkor Kwashiorkor terjadi akibat kekurangan protein. Penyakit gangguan gizi ini banyak ditemukan pada anak usia 1 3 tahun. Orangtua biasanya tidak menyadari bahwa anaknya sakit. Hal ini disebabkan kebutuhan energinya tercukupi sehingga berat badan menjadi normal. Apalagi ditambah dengan adanya edema pada badan anak karena kekurangan protein. Gejala pada kwashiorkor antara lain: a) Edema pada kaki dan muka (moon face) b) Rambut berwarna jagung dan tumbuh jarang c) Perubahan kejiwaan seperti apatis, cengeng, wajah memelas dan nafsu makan berkurang d) Muncul kelainan kulit mulai dari bintik-bintik merah yang kemudian berpadu menjadi bercak hitam 2) Tipe Marasmus Marasmus terjadi akibat kekurangan energy. Gangguan gizi ini biasanya terjadi pada usia tahun pertama yang tidak mendapat cukup ASI (Air Susu Ibu). Gejala pada marasmus antara lain: a) Berat badan sangat rendah b) Kemunduran pertumbuhan otot (atrophi) c) Wajah anak seperti orang tua (old face) d) Ukuran kepala tak sebanding dengan ukuran tubuh e) Cengeng dan apatis (kesadaran menurun) f) Mudah terkena penyakit infeksi g) Kulit kering dan berlipat-lipat karena tidak ada jaringan lemak di bawah kulit h) Sering diare

28 i) Rambut tipis dan mudah rontok 3) Tipe Kwashiorkor Marasmus Keadaan ini timbul jika makanan sehari-hari anak tidak cukup mengandung energy dan protein untuk pertumbuhan normal. b. Obesitas Anak akan mengalami berat badan berlebih (overweight) dan berlebihan lemak dalam tubuh (obesitas) apabila selalu makan dalam porsi besar dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang seimbang. Dampak obesitas pada anak dapat menyebabkan hiperlipidemia (tinggi kadar kolesterol dan lemak dalam darah), gangguan pernafasan, dan komplikasi ortopedik (tulang). Upaya agar anak terhindar dari obesitas yakni orangtua perlu melakukan pencegahan seperti mengendalikan pola makan anak agar tetap seimbang. Selain itu, memberikan camilan yang sehat seperti buah dan melibatkan anak pada aktivitas yang bias mengeluarkan energinya juga harus dilakukan. c. Kekurangan Vitamin A Penyakit mata yang diakibatkan oleh kurangnya vitamin A disebut xerophtalmia. Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan yang paling sering terjadi pada anak-anak usia 2 3 tahun. Hal ini karena setelah disapih, anak tidak diberi makanan yang memenuhi syarat gizi. Sementara anak belum bisa mengambil makanan sendiri. d. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) Kekurangan mineral iodium pada anak dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsi mental, dan perkembangan fisik. Zat iodium penting untuk kecerdasan anak. e. Anemia Zat Besi (Fe) Anemia adalah keadaan di mana kadar hemoglobin darah kurang dari normal. Hal ini disebabkan kurangnya mineral Fe sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit (sel darah merah).

29 Anemia pada anak disebabkan kebutuhan Fe yang meningkat akibat pertumbuhan anak yang pesat dan infeksi akut berulang. Gejala yang Nampak adalah, anak tampak lemas, mudah lelah, dan pucat. Selain itu, anak dengan defisiensi (kekurangan) zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah dibandingkan dengan anak yang cukup asupan zat besinya. 5. Penanggulangan Kekurangan Gizi Balita Program penanggulangan gizi dapat dibedakan antara program langsung yaitu pemberian makanan tambahan, vitamin dan mineral. Sedangkan program tidak langsung yaitu peningkatan pendapatan keluarga, pengendalian harga pangan, peningkatan program kesehatan. Kedua program ini harus dilaksanakan secara simultan apabila kita menginginkan berhasilnya usaha peningkatan status gizi (Suhardjo, 1996). Beberapa program intervensi gizi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kurang gizi secara langsung: a. Fortifikasi Fortifikasi adalah proses dimana zat gizi ditambahkan kedalam makanan untuk menjaga atau meningkatkan kualitas diet suatu kelompok, komunitas atau populasi, contohnya adalah fortifikasi yodium dalam garam, vitamin A dalam tepung dan mie. b. Makanan formula Makanan formula merupakan suatu proses untuk mengembangkan makanan yang bernilai gizi tinggi untuk golongan rawan (balita, bumil dan ibu menyusui) yang kekurangan gizi, contoh MP-ASI untuk balita. c. Makanan tambahan Makanan tambahan adalah salah satu bentuk intervensi langsung untuk menyediakan jenis makanan yang penting tetapi kurang dalam diet normal pada golongan rawan (balita, bumil dan ibu menyusui)

30 contohnya makanan tambahan pemulihan untuk balita gizi buruk dan gizi kurang (Setiarini, A. 2008). d. Suplementasi zat gizi mikro Kekurangan zat gizi mikro merupakan penyebab timbulnya masalah gizi dan kesehatan disebagian besar wilayah Indonesia. Prevalensi anemia pada ibu keluarga miskin masih tinggi yaitu 20-30%, disertai asupan vitamin A yang sangat rendah. Kekurangan vitamin A, yodium, Zn dan zat besi mengakibatkan angka kesakitan, angka kematian, hambatan pertumbuhan, kerusakan sel otak dan rendahnya tingkat intelegensia dan kinerja pada anak-anak maupun dewasa (Sutrisno, 2006). Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan suplemen zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral, contohnya pemberian kapsul vitamin A untuk balita, pemberian Fe untuk bumil, pemberian kapsul yodium untuk wanita usia subur (WUS), anak sekolah (Arisman, 2004). Sedangkan usaha secara tidak langsung untuk penanggulangan masalah gizi dapat dilakukan beberapa hal, yaitu: a. Peningkatan program kesehatan Salah satu program kesehatan adalah pendidikan gizi. Pendidikan gizi merupakan suatu usaha mengarahkan beberapa system komunikasi yang mengajari masyarakat untuk menggunakan sumber-sumber makanan yang lebih baik (Setiarini, A. 2008). b. Peningkatan pendapatan keluarga Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan dalam keluarga dan penganekaragaman sumber bahan makanan. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga adalah membuka kesempatan kerja yang bisa menghasilkan uang oleh pemerintah ataupun pihak swasta.

31 c. Pengendalian harga pangan Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan sangat dipengaruhi oleh harga bahan makanan di pasaran (Apriadji, 1986). Pada saat ini harga kebutuhan pokok terus bergejolak sehingga pemerintah harus melakukan intervensi pasar untuk menekan harga. Ini bisa dilakukan melalui pengendalian terarah dengan cara melakukan subsidi pangan yang harus ditingkatkan agar bahan pangan terjangkau oleh daya beli masyarakat sehingga rakyat miskin dan petani bisa memenuhi kebutuhan pokok. Beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Sihadi, Sudjasmin, Suhartato dan Latifah (2000), yang melakukan penelitian pada anak gizi buruk yang diberikan PMT selama 6 bulan di Klinik Gizi Bogor. Hasil yang didapatkan adalah sebanyak 33,1 % tetap menjadi status gizi buruk, 63,9 % berstatus gizi kurang dan 3 % menjadi gizi baik. Sedangkan Linda (2000) di dalam Sihadi dkk (2000), meneliti anak kurang energy protein (KEP) kurang dari 2 tahun yang diberikan PMT selama 90 hari di Puskesmas Samalanga, Aceh Utara, hasilnya 41 % anak KEP menjadi gizi baik. Penelitian lain seperti yang telah dilakukan oleh Mualim, K, (2001) di Temanggung terhadap balita KEP berat, setelah diberikan PMT- P terjadi peningkatan ke KEP sedang 59.5%, tepat KEP berat 13.5%, dan menjadi status gizi baik 27%. C. Evaluasi 1. Ruang Lingkup Evaluasi Evaluasi merupakan kegiatan lebih lanjut dari kegiatan pengukuran dan pengembangan indikator, oleh karena itu dalam melakukan evaluasi harus berpedoman pada ukuran-ukuran dan indikator yang telah disepakati dan telah ditetapkan. Evaluasi juga merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dimasa datang, sebagai suatu proses yang berkelanjutan,

32 evaluasi menyediakan informasi mengenai kinerja dalam hubungannya terhadap tujuan dan sasaran (Notoatmodjo, 2003). 2. Tujuan Evaluasi Menurut Mubarak dkk (2009), Evaluasi memiliki tujuan sebagai berikut : a. Membantu perencanaan dimasa yang akan datang. b. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. c. Menentukan kelemahan dan kekuatan program, baik dari segi teknis maupun administrative yang selanjutnya diadakan perbaikanperbaikan. d. Membantu menentukan strategi, artinya mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan dapat dilanjutkan atau perlu adanya perubahan. e. Mendapat dukungan dari sponsor berupa dukungan moral maupun material. f. Motivator, keberhasilan program akan memberikan kepuasan dan mendorong kinerja. 3. Dinamika Evaluasi Salah satu cirri evaluasi adalah sebagai suatu proses yang berkesinambungan, maka dengan sendirinya disamping mempunyai cirriciri yang khas juga mencerminkan sifat kedinamisan dengan cara membedakan : input, proses dan output. Pada sisi input, evaluasi pengembangan personil sangat penting untuk melihat kebutuhan sesuai dengan keterampilan yang diharapkan, sehingga dapat dikembangkan pengawasan yang mendukung pada organisasi logistik serta mekanisme pendukung lainnya. Sebagai suatu langkah awal yang penting dalam sisi input adalah evaluasi terhadap penetapan tujuan, dikaitkan dengan visi dan misi program atau organisasi, serta penetapan sasaran program itu sendiri (Azwar, A. 1996).

33 Pada sisi proses adalah untuk mengarahkan sumberdaya agar menghasilkan pelayanan yang diinginkan yang juga harus dievaluasi. Aspek proses evaluasi dapat diikutsertakan sebagai input sumberdaya, atau dipandang sebagai proses output, akan tetapi harus diidentifikasi secara terpisah untuk membedakan kapasitas tindakan dari penggunaan nyata dari kapasitas tersebut. Output merupakan hasil pelayanan yang memberi dampak yang berbeda-beda terhadap status kesehatan (Mubarak dkk. 2009). 4. Metode Evaluasi Berdasarkan waktunya menurut Mubarak dkk, (2009), evaluasi dapat dilakukan : a. Evaluasi rutin (Concurrent Evaluation). Evaluasi dilakukan sejak awal bersaman dengan pelaksanaan program itu sendiri, meliputi semua aspek program, termasuk reaksi masyarakat terhadap program tersebut. b. Evaluasi berkala (Periodical evaluation) yaitu evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir dari suatu bagian tertentu dari program, seperti setiap enem bulan, satu tahun dan lain-lain. c. Evaluasi akhir (Terminal evaluation) yaitu penilaian yang dilakukan pada akhir suatu program atau beberapa waktu setelah akhir suatu program. Jadi ini merupakan penilaian atau evaluasi terhadap pencapaian tujuan akhir. 5. Ukuran Evaluasi Kegiatan dalam evaluasi, dimensi pengukuran kinerjanya harus ditentukan dengan jelas, yaitu meliputi ketepatan dan kesesuaian, efektifitas dan efisiensi, serta pertimbangan keadilan. Ketepatan dan kesesuaian memandang kinerja dengan apakah tindakan-tindakan yang diambil sudah sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga tidak terjadi pemborosan sumber daya yang terbatas tersebut. Dengan menggunakan asumsikan ketepatan, maka program yang

34 dipertimbangkan ukurannya dan cakupannya cukup untuk membuat suatu perbedaan yang berarti. Ukuran-ukuran efektifitas dan efisiensi merupakan alat utama dasar evaluasi program. Efektifitas diartikan sebagai penyelesaian suatu program dalam kaitannya dengan kebutuhan atau perhatian. Sedangkan efisiensi dan efektifitas biaya adalah sering kali berhubungan dengan hasil terhadap input (rasio output terhadap input). Ukuran keadilan, akan merupakan tambahan kepentingan dalam evaluasi program kesehatan. Pendapat ini telah berkembang secara sejajar dengan ukuran efektifitas dan efisiensi. Secara operasional ukuran keadilan menciptakan pertimbangan dalam efisiensi biaya dengan demikian program kesehatan sedapat mungkin melakukan keadilan terhadap pelayanan bagi populasi yang mampu secara ekonomi dengan populasi yang kurang mampu secara ekonomi (Mubarak dkk, 2009). 6. Evaluasi status gizi Evaluasi status gizi, dilakukan setelah suatu program intervensi gizi secara langsung telah dilaksanakan. Evaluasi ini dapat dilaksanakan dengan cara penilaian status gizi secara langsung maupun secara tidak langsung seperti saat penilaian awal status gizi. Namun dalam hal penelitian ini, tidak semua metode penilaian status gizi dilaksanakan. Dalam penelitian ini, metode yang dilaksanakan adalah penilaian secara langsung dengan penimbangan berat badan, kemudian hasil penimbangan dibandingkan dengan standar baku Depkes dan KMS, yaitu berat badan berdasarkan umur (BB/U), kemudian diklasifikasikan dalam status gizi (gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih), juga hasil penimbangan diinterpretasikan dalam KMS yaitu bawah garis merah (BGM), garis kuning, garis hijau dan di atas garis hijau.

35 D. Kerangka Teori Gambar 2.1 Kerangka Teori Predisposisi At risk factors o Masyarakat o Keluarga o individu PMT- Pemulihan Sasaran : BB kurang dari 70% dari BB normal BB 3 x penimbangan tidak naik PMT- Penyuluhan Sasaran : Semua anak balita bukan penderita gizi buruk Status gizi Sumber : Modifikasi Moehji. S, (2009) Ilmu Gizi: Penanggulangan Gizi Buruk Gizi kurang Gizi buruk Gizi baik Gizi lebih Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Masalah gizi balita KEP (kurang energy protein) Obesitas Defisiensi Vitamin A GAKI (gangguan akibat kekurangan iodium) Anemia zat besi (Fe) Penanggulangan masalah gizi Langsung o Fortifikasi o Makanan formula o Makanan tambahan (PMT) o Suplementasi Tidak langsung o Peningkatan program kesehatan o Peningkatan pendapatan keluarga o Pengendalian harga pangan

36 E. Kerangka Konsep Dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan pengamatan terhadap semua faktor dan variable yang berhubungan dengan masalah status gizi. Yang dilakukan pengamatan oleh penulis dalam hal ini adalah evaluasi status gizi berdasarkan antropometri yaitu berat badan berdasarkan umur (BB/U), pada balita gizi kurang di wilayah Banjirkanal Timur, Kel. Pandeanlamper, Kec. Gayamsari, Semarang, setelah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) oleh Persatuan Istri PT PLN (Persero) wilayah Jawa-Bali. Gambar 2.2 Kerangka Konsep Karakteristik Balita status Gizi Kurang Umur Jenis kelamin Berat badan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) program Persatuan Istri PT PLN (Persero) Wilayah Jawa-Bali Status gizi: Berat badan berdasarkan umur(bb/u) F. Variabel Penelitian 1. Variable Dependen Status gizi: BB/U balita 2. Variable Independen Umur Jenis kelamin Berat badan