BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan suatu sindroma neurologis yang terjadi akibat penyakit kardiovaskular. Kelainan terjadi pada pembuluh darah di otak dan bersifat fokal. Stroke merupakan masalah kesehatan dengan perhatian yang besar di dunia, dengan kasus baru mencapai 15 juta orang setiap tahunnya dan 5 juta darinya mengalami kematian sementara 5 juta lagi mengalami kecacatan (WHO, 2004). Stroke juga kemungkinan besar adalah penyebab kecacatan terbesar di dunia, dengan 30-60% pasien mengalami ketergantungan untuk aktivitas sehari-hari(duncan et al., 1992). Stroke di Amerika Serikat menduduki nomor tiga dengan kematian terbanyak setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya terdapat 700ribu kasus dengan 600 ribu diantaranya merupakan stroke iskemik dan 100 ribu stroke perdarahan(aminoff et al., 2009).Negara berkembang menyumbang hampir dua pertiga penderita stroke, dengan usia rata-rata pasien 15 tahun lebih muda dibanding di negara maju (Lipska, 2007). Sejak tahun 1992, stroke 1
2 telah menduduki 4 besar penyebab kematian tertinggi. Prevalensi kejadiannya adalah 4,5 juta dan insidensinya sebesar 1,8 juta per tahun(sacco et al., 1997). Menurut data nasional stroke berdasarkan data dari Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas 2007), prevalensi stroke di Indonesia adalah sebesar 8,3/1000 penduduk dengan diagnosis oleh tenaga kesehatan sebesar 6/1000. Prevalensi stroke di daerah pedesaan adalah 170 per 100.000 penduduk sementara di daerah perkotaan adalah 220 per 100.000 penduduk (Kusuma et al., 2009). Tidak ada perbedaan yang signifikan untuk pola prevalensi antara laki-laki dan perempuan. Tingkat mortalitas stroke sebesar 15,4% untuk semua umur, sementara di Asia, terdapat kecenderungan peningkatan insidensi stroke. Angka mortalitas stroke bervariasi tergantung subtipe stroke, meski begitu estimasi kasar menunjukkan 3,5 juta dari 5,5 juta kematian di negara berkembang disebabkan oleh stroke(taqui & Kamal 2007). Secara finansial, stroke termasuk penyakit yang sangat membebani pasien. Dilaporkan bahwa Amerika Serikat pada tahun 2007 menggunakan dana sebesar 40 milyar dollar melalui pengeluaran langsung dan tidak langsung. Rata-
3 rata yang uang yang dikeluarkan oleh pasien adalah 7.657 dollar Amerika atau sekitar 90 juta rupiah. Diestimasikan pada rentang tahun 2005 hingga 2050, total dana yang akan dikeluarkan untuk penanganan stroke akan mencapai 1,52 triliun dolar Amerika untuk ras kulit putih non-hispanik, 313 miliar dolar Amerika untuk ras hispanik, dan 379 dollar Amerika untuk ras kulit hitam (Roger et al., 2012). Secara umum, stroke dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke perdarahan. Stroke perdarahanmencakup 10% dari semua kasus stroke, dengan kasus kematian dalam satu bulan mencapai 50%(van Beijnum et al., 2009). Berdasarkan data dari Framingham Heart Study, Atherosclerosis Risk in Communities Study, dan Cardiovascular Health Study, kasus kematian dalam satu tahun setelah stroke pertama pada dewasa berusia lebih dari 40 tahun adalah 21% pada lakilaki dan 24% pada perempuan (Rosamond et al., 2007). Suatu penelitian cohort berbasis komunitas di Taiwan menunjukkan prevalensi stroke perdarahansebesar 22%.Beban stroke bukan hanya kematian namun juga terdapat beban kecacatan. Stroke Association di Inggris menunjukkan bahwa pada serangan stroke akut, sepertiga meninggal
4 dalam satu bulan, sepertiga dapat pulih dalam satu bulan, sementara sepertiga lainnya menderita kecacatan dan harus direhabilitasi. Pada penderita stroke dalam satu tahun terdapat 80% kemungkinan untuk kembali ke rumah, 12% tinggal di rumah perawatan, 66% dapat kembali berjalan, 45-60% menjadi penyintas independen, sementara 5-9% menjadi tergantung untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Tyson, 1995). Umumnya faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko non-modifiable dan faktor risiko modifiable. Termasuk ke dalam faktor risiko non-modifiable atau tidak dapat diubah adalah usia tua (lebih dari 55 tahun), jenis kelamin laki-laki, riwayat stroke pada keluarga, ras kulit hitam, dan etnis Asia. Sementara untuk faktor risiko modifiable atau yang dapat diubah adalah faktor risiko yang bekaitan dengan gaya hidup sepeti inaktivitas fisik, stres emosional, dan konsumsi makan-makanan berlemak, merokok, dan konsumsi substansi seperti alkohol dan obat-obatan seperti kokain. Gaya hidup tersebut memiliki konsekuensi munculnya penyakit-penyakit terkait gaya hidup seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, dan penyakit kardiovaskular,
5 penyakit-penyakit tersebut juga termasuk sebagai faktor yang meningkatkan risiko insidensi dan risiko kematian akibat stroke(sacco et al., 1997). Hubungan faktor risiko terhadap kejadian stroke telah banyak diteliti dan dibuktikan. Disebutkan bahwa bertambahnya usia meningkatkan risiko kejadian stroke, dengan dua pertiga kasus stroke terjadi pada pasien dengan usia di atas 65 tahun(aminoff et al., 2009; Gilroy, 2000). Dari sisi risiko kematian akibat stroke, kelompok usia di atas 70 tahun adalah penyumbang angka kematian tertinggi, diikuti kelompok usia 51-70 tahun, kemudian kelompok usia 30-50 tahun. Selain akibat penurunan fungsi fisiologis, kurang pekanya pasien usia lanjut terhadap faktor risiko yang mereka miliki juga adalah faktor penyebab tingginya angka kejadian stroke di usia tua(pancioli et al., 1998). Hipertensi merupakan salah satu faktor risikomodifiable paling berpengaruh dalam peningkatan risiko stroke perdarahan. WHO menyebutkan bahwa hipertensi merupakan penyebab utama dari kematian prematur di dunia. Jumlah penderita hipertensi adalah 330 juta di negara maju, dan 640 juta di negara berkembang.
6 Faktor risiko untuk hipertensi adalah usia, gen, ras, hiperkolesterolemia, obesitas dan overweight, inaktivitas fisik, konsumsi alkohol, stres, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan. Studi di Sleman pada tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 7000 responden, 2000 memiliki hipertensi. Studi dari Framingham menyebutkan bahwa pada orang berusia 55 tahun, terdapat 90% kemungkinan untuk menderita hipertensi(vasan et al., 2001). Laki-laki cenderung menderita hipertensi mulai dari usia 35-50 tahun, sementara pada perempuan, hipertensi mulai muncul setelah menopause. Meski laki-laki memiliki insidensi hipertensi yang lebih tinggi, mortalitas akibat hipertensi lebih banyak ditemukan pada perempuan(klungelet al., 1999). Hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat diubah yang sangat berperan dalam prevensi dan minimalisasi dari strokeperdarahan. Suatu penelitian cohort di Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan risiko stroke perdarahanmeningkat setiap peningkatan tekanan darah sistolik. Sebaliknya penelitian SHEP menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sistolik secara spesifik menurunkan risiko stroke perdarahan. Penanganan
7 hipertensi merupakan satu-satunya usaha prevensi stroke perdarahan yang telah dibuktikan. Namun sampai saat ini masih terdapat standar terapi yang rendah terhadap penanganan hipertensi di Indonesia. Masalah utama termasuk tidak adanya standardisasi dari alat pengukur tekanan darah, tidak cukupnya riwayat faktor risiko pasien, kurangnya fokus pada komplikasi, terbatasnya terapi, rendahnya standar terapi, dan rendahnya kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan akan penanganan hipertensi (Lin et al., 1984). Selain hipertensi, diabetes melitus juga memegang peranan yang sangat besar sebagai faktor risiko modifiable. Diabetes melitus dapat dikategorikan menjadi dua kategori besar yaitu diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2. Dua tipe tersebut dibedakan menurut kebutuhan akan insulin. Diabetes tipe 1 membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula darah dalamtubuh, sementara diabetes melitus tipe 2 tidak membutuhkan insulin untuk mengatur kadar gula dalam tubuh (World Health Organization, 2006). Pada tahun 2000 didapatkan setidaknya 171 juta penduduk dunia yang menderita diabetes, angka ini diduga
8 akan meningkat hingga 366 juta pada tahun 2030. Diabetes diketahui dapat mengakibatkan kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular. Contoh kerusakan mikrovaskular akibat diabetes adalah retinopati, nefropati, dan neuropati. Sementara kerusakan makrovaskular akibat diabetes adalah penyakit kardiovaskular (iskemi pada jantung), kerusakan vaskular perifer, dan stroke(world Health Organization, 2006). Pasien diabetes melitus cenderung mudah mengalami aterosklerosis dan peningkatan faktor risiko penyakit atherogenik seperti hipertnsi, obesitas, dan abnormalitas lipid darah(sacco et al., 1997).Aterosklerosis merupakan faktor risiko utama dari stroke, terutama stroke iskemik. Pasien dengan diabetes melitus lebih cenderung terkena stroke iskemik dibanding stroke perdarahan(ariesen et al., 2003; Goldstein et al., 2001; Saccoet al., 1997).Selain itu didapatkan pada penelitian yang melibatkan 1135 pasien stroke akut, 20% memperlihatkan riwayat diabetes melitus(jørgensen et al., 1994). Faktor risiko modifiable lain terkait stroke perdarahan seperti riwayat merokok dan angka serum kolesterol masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, meskipun dari patofisiologi diasumsikan bahwa merokok dan angka serum
9 kolesterol mempengaruhi stroke melalui jalur vaskular (Sacco et al., 1997). Pemaparan di atas menunjukkan pentingnya kesadaran akan mengontrol faktor risiko stroke perdarahan. Melihat berbagai faktor risiko yang dapat diubah namun sangat mempengaruhi stroke, maka dipilih usia, status kontrol hipertensi, riwayat diabetes melitus, riwayat merokok, dan riwayat hiperkolesterolemia untuk diteliti. Faktor risiko yang dipilih merupakan faktor risiko yang selalu ditanyakan pada pasien stroke melalui rekam medis. Penelitian ini melihat dampak faktor risiko terhadap nilai total dari Glasgow Coma Scale (GCS). Serupa dengan faktor risiko yang selalu ditanyakan pada pasien stroke, GCS hampir selalu ditanyakan ketika menilai pasien dengan penurunan kesadaran. GCS saat ini merupakan alat utama untuk memprediksi outcome stroke. GCS menilai pasien berdasarkan tingkat kesadarannya, dan menurut Jennett dan Teasdale (1977) nilai kurang dari 8 pada GCS sesuai dengan nilai untuk definisi koma. Skor HCS memiliki akurasi 88% untuk memprediksi mortalitas pasien(weir et al., 2003).
10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, diajukan permasalahan seperti berikut: 1) Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular terkait gaya hidup dengan tingkat kecacatan dan tingkat kematian yang tinggi baik di Indonesia maupun di dunia. 2) Terdapat hubungan nyata antara stroke dengan faktor risiko baik non-modifiable danmodifiable. Termasuk ke dalam faktor risiko non-modifiable adalah usia dan jenis kelamin sementara termasuk faktor risiko modifiable adalah status kontrol hipertensi, riwayat diabetes melitus, riwayat merokok, dan riwayat hiperkolesterolemia. 3) Masih diamati kesadaran masyarakat dan tingkat efektivitas yang rendah untuk penanganan faktor risiko. 4) Faktor risiko tersebut meningkatkan risiko insidensi stroke dan risiko kematian akibat stroke. 5) Kontrol dari faktor risiko sangatlah berpengaruh terhadap outcome stroke. Salah satu alat untuk
11 mengukur outcome stroke adalah Glasgow Coma Scale (GCS) C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat pengaruh faktor risiko stroke perdarahan terhadap nilai total Glasgow Coma Scale pada pasien stroke perdarahan dengan hipertensi? D. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah ada faktor risiko yang mempengaruhi nilai total dari Glasgow Coma Scale yang diamati pada pasien stroke perdarahan dengan hiperteni. E. Keaslian Penelitian Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian yang mengukur GCS untuk melihat apakah ada dampak dari faktor risiko untuk stroke perdarahan. Meski begitu terdapat penelitian yang serupa yang mengukur faktor risiko terhadap outcome stroke yang dilihat dari nilai SSGM(Hanum, 2010). Tujuan penelitian Hanum (2010) adalah mengetahui apakah ada perbedaan outcome stroke yang dinilai menggunakan SSGM terhadapt pasien dengan hipertensi terkontrol dan tidak terkontrol. Metode yang digunakan
12 adalah cross sectional dengan mencari hubungan antara outcome stroke antara pasien stroke perdarahan dengan hipertensi terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP dr. Sardjito.Hasil penelitian tersebut adalah pasien dengan hipertensi tidak terkontrol memiliki peningkatan risiko outcome stroke yang buruk.persamaan penelitian ini dengan penelitian Hanum (2010) adalah: 1) Desain penelitian yaitu observational berupa cross sectional 2) Data diambil secara retrospekti 3) Sumber data berasal dari rekam medis RSUP dr. Sardjito 4) Subjek adalah pasien stroke perdarahan akut dengan hipertensi Sementara perbedaan penelitian ini dengan penelitian Hanum (2010) yaitu: 1) Data yang diambil pada penelitian Hanum (2010) adalah nilai SSGM masuk serta keluar, sementara pada penelitian ini hanya diambil data nilai GCS saat masuk. 2) Variabel bebas pada penelitian Hanum (2010) adalah status kontrol hipertensi, sementara pada penelitian ini diteliti juga faktor risiko lain yaitu usia,
13 riwayat merokok, riwayat diabetes melitus, dan riwayat hiperkolesterolemia. 3) Variabel terikat pada penelitian Hanum (2010) adalah perbaikan atau perburukan outcome. Perbaikan adalah nilai SSGM keluar yang lebih tinggi dibanding saat masuk, sementara perburukan adalah nilai SSGM keluar yang lebih rendah. Pada penelitian ini, hanya dinilai nilai GCS saat masuk sebagai variabel bebas. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan menilai apakah status kontrol hipertensi akan mempengaruhi nilai GCS. Mengetahui seberapa besar status kontrol hipertensi berdampak terhadap outcome akan sangat berguna untuk mencegah stroke secara awal dengan menjaga status hipertensi. Jika hipertensi terkontrol dengan baik, diharapkan jumlah pasien stroke perdarahan dapat secara signifikan dikontrol, dan outcome buruk dari mereka yang terkena dapat dicegah dari awal. Penelitian ini juga akan berguna untuk penelitian lain yang melihat hubungan antara hipertensi dan stroke perdarahan.