ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

dokumen-dokumen yang mirip
ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

GRAFIK KECENDERUNGAN CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET TAMBAH DARAH (Fe3) DI INDONESIA TAHUN

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

SAMBUTAN BUPATI MALINAU PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) RABU, 27 JULI 2016

Masalah Gizi di Indonesia dan Posisinya secara Global

GIZI KURANG PENYEBAB STUNTING

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

Dinas Kesehatan Aceh 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. besar. Masalah perbaikan gizi masuk dalam salah satu tujuan MDGs tersebut.

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan

SITUASI UPAYA KESEHATAN JAKARTA PUSAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI di Indoensia mencapai 359 per jumlah

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Masyarakat (IPM). IPM terdiri dari tiga aspek yaitu pendidikan,

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memfokuskan percepatan pencapaian target MDGs (Millenium

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

Pendahuluan Landasan Hukum Hak-Hak Anak Batasan Usia Anak

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

RPJMN KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan

PENANGANAN STUNTING TERPADU TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya asupan zat gizi yang akan menyebabkan gizi buruk, kurang energi

BAB I PENDAHULUAN. membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

Jl. H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9 Jakarta. p f

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kontribusi penting dalam Millenium Development Goals (MDGs)

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam lima tahun pertama kehidupannya (Hadi, 2005).

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

IKAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN GIZI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia, oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi semua

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara. berkembang termasuk di Indonesia, masalah yang timbul akibat asupan gizi

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

Food 1000 HPK. for Kids. Warisan untuk Anak Cucu. Asal... Luar Biasa! 1000 HPK. Kehamilan Usia 1 Tahun Usia 2 Tahun. GEN CERDAS Bisa Diturunkan,

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

EVIDENCE KAMPANYE GIZI SEIMBANG MEMASUKI 1000 HPK ( SDT- SKMI 2014)

Transkripsi:

ISSN 2442-7659 InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI 13 12 11 10 9 8 7 Hari Anak-Anak Balita 8 April 6 5 4 3 SITUASI 2 BALITA PENDEK

BALITA PENDEK Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28 (RPJMN, 2015 2019). Oleh karenanya Infodatin yang disusun dalam rangka Hari Anakanak Balita tanggal 8 April ini mengangkat data yang terkait dengan upaya penurunan prevalensi balita pendek. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Oleh karenanya upaya perbaikan harus meliputi upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi 30, sedangkan 70 nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya. 1 Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari

selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. Upaya intervensi tersebut meliputi: 1. Pada ibu hamil Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit 2. Pada saat bayi lahir 5. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif) 3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar lengkap. 4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan. Walaupun remaja putri secara eksplisit tidak disebutkan dalam 1.000 HPK, namun status gizi remaja putri atau pra nikah memiliki kontribusi besar pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran, apabila remaja putri menjadi ibu. PERSENTASE BALITA PENDEK Diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek pada tahun 2012, jika tren berlanjut tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun 2025. Sebanyak 56 anak pendek hidup di Asia dan 36 di Afrika (www.who.int). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengenai prevalensi balita pendek di Indonesia adalah seperti pada Gambar 1 berikut. 2

Gambar 1 Persentase Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007, 2010 dan 2013 Sumber: Riskesdas 2007, 2010,2013, Kemenkes RI Gambar di atas memperlihatkan persentase status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) di Indonesia Tahun 2013 adalah 37,2, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6) dan tahun 2007 (36,8) tidak menunjukkan penurunan/ perbaikan yang signifikan. Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7), Sulawesi Barat (48,0) dan Nusa Tenggara Barat (45,3) sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3), DI Yogyakarta (27,2) dan DKI Jakarta (27,5). Pada tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang mempunyai balita di Indonesia. Hasil mengenai persentase balita pendek adalah sebagai berikut. Gambar 2 Persentase Balita Pendek di Indonesia Tahun 2015 Sumber: PSG 2015, Kemenkes RI Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29 balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. 3 Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20 atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35), Vietnam (23), Malaysia (17), Thailand

(16) dan Singapura (4)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita. SITUASI IBU/CALON IBU Gizi janin bergantung sepenuhnya kepada ibu. Oleh karena itu kecukupan gizi ibu sangat mempengaruhi janin yang dikandungnya. Wanita Usia Subur dengan LILA < 23,5 cm Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Wanita hamil berisiko mengalami KEK jika memiliki Lingkar Lengan Atas (LILA) <23,5cm. Ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang jika tidak segera ditangani dengan baik akan berisiko mengalami stunting. Proporsi Wanita Usia Subur (WUS) 15-49 tahun yang sedang hamil maupun tidak hamil, dengan LILA<23,5cm di Indonesia adalah sebagai berikut. Gambar 3 Proporsi WUS 15-49 Tahun dengan LILA<23,5cm Menurut Provinsi Tahun 2013 Sumber: Riskesdas 2013, Kemenkes RI Dari grafik di atas proporsi WUS dengan risiko KEK masih tinggi yaitu 24,2 pada wanita hamil dan 20,8 pada wanita tidak hamil. Proporsi tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 45,5 pada wanita hamil dan 46,5 pada wanita tidak hamil. Proporsi terendah di Provinsi Bali yaitu sebesar 10,1 pada wanita hamil dan 14 pada wanita tidak hamil. Kecukupan Energi Ibu Hamil Kecukupan energi ibu hamil di Indonesia berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) hasil Studi Diet Total (SDT) Tahun 2014 adalah sebagai berikut. 4

Gambar 4 Proporsi Tingkat Kecukupan Energi Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2014 =100 AKE 14,0 =100 AKE 14,0 =70 AKE 51,5 =70 AKE 51,5 =70 AKE 33,1 =70 AKE 52,9 Sumber: SDT 2014, Kemenkes RI Perkotaan Perdesaan Hasil SDT 2014 mendapatkan bahwa ternyata lebih dari 50 ibu hamil baik di perkotaan maupun di perdesaan, asupan energinya 70 AKE (sangat kurang). Anemia pada Ibu Hamil Kondisi lain yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah anemia, terutama anemia defisiensi besi. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya. Diperkirakan 41,8 ibu hamil di seluruh dunia mengalami anemia. Paling tidak setengahnya disebabkan kekurangan zat besi. Ibu hamil dinyatakan anemia jika hemoglobin kurang dari 11mg/L. Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1 ibu hamil di Indonesia, 36,4 ibu hamil di perkotaan dan 37,8 ibu hamil di perdesaan. Gambar 5 Proporsi Anemia pada Ibu Hamil Menurut Tempat Tinggal Tahun 2013 Dari beberapa kondisi di samping terlihat bahwa kondisi gizi ibu hamil di Indonesia perlu diperbaiki, proporsi yang tinggi dari W U S dengan LILA<23,5cm, proporsi ibu hamil dengan anemia dan proporsi ibu hamil dengan asupan energi 70 AKE (sangat kurang). Sumber: Riskesdas 2013, Kemenkes RI SITUASI BALITA Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 5 BBLR, yaitu berat bayi lahir kurang dari 2.500 gram akan membawa risiko kematian, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk dapat berisiko menjadi pendek jika tidak tertangani dengan baik.

Gambar 6 Persentase Anak Usia 0-59 Bulan dengan Berat Lahir Kurang dari 2.500 Gram (BBLR) menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 dan 2013 Sumber: Riskesdas 2010,2013, Kemenkes RI Persentase anak usia 0-59 bulan dengan berat lahir kurang dari 2.500 Gram (BBLR) di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 11,1 dan terjadi sedikit penurunan di tahun 2013 menjadi sebesar 10,2. Persentase BBLR tertinggi pada tahun 2013 terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah (16,9), Papua (15,5) dan Nusa Tenggara Timur (15,4). ASI Eksklusif Pada bayi, ASI sangat berperan dalam pemenuhan nutrisinya. Konsumsi ASI juga meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga menurunkan risiko penyakit infeksi. Sampai usia 6 bulan, bayi direkomendasikan hanya mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral). Setelah usia 6 bulan, di samping ASI diberikan makanan tambahan. Gambar 7 Cakupan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi 0-6 Bulan Tahun 2015 Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI 6

Cakupan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi 0-6 Bulan tahun 2015 di Indonesia hanya sebesar 41,9. Tiga provinsi dengan capaian tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (78,9), Jawa Timur (65) dan Lampung (57,3) sedangkan tiga provinsi terendah adalah Kalimantan Tengah (15,8), Sumatera Utara (20,3) dan DKI Jakarta (20,3), sedangkan Papua data belum tersedia. Pelayanan Kesehatan Balita Pelayanan kesehatan yang baik pada balita akan meningkatkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan balita, baik pelayanan kesehatan ketika sehat maupun saat dalam kondisi sakit. Dalam program kesehatan anak, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan pada bayi minimal 4 kali yaitu satu kali pada umur 29 hari-2 bulan, 1 kali pada umur 3-5 bulan, 1 kali pada umur 6-8 bulan, dan 1 kali pada umur 9-11 bulan. Pelayanan Kesehatan tersebut meliputi pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/HB1-3, Polio 1-4, Campak), pemantauan pertumbuhan, Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), pemberian vitamin A pada bayi umur 6-11 bulan, penyuluhan pemberian ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MP ASI). Sedangkan pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan bagi anak umur 12-59 bulan yang memperoleh pelayanan sesuai standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun, pemantauan perkembangan minimal 2 kali setahun, pemberian vitamin A 2 kali setahun. Gambaran cakupan pelayanan kesehatan pada balita di Indonesia adalah sebagai berikut. Gambar 8 Cakupan Pelayanan Kesehatan pada Balita di Indonesia Tahun 2010-2015 7 Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA/Kesehatan Masyarakat, Ditjen PP dan PL/P2P, Kemenkes RI Cakupan kunjungan neonatus (KN) lengkap dan pelayanan kesehatan bayi secara nasional telah mencapai target, sedangkan cakupan imunisasi dasar lengkap, balita ditimbang, pemberian vitamin A, dan pelayanan kesehatan balita belum mencapai target nasional. Dari hasil tersebut tampak kecenderungan penurunan cakupan pelayanan setelah usia 1 tahun/bayi, sehingga masih dibutuhkan upaya peningkatan pelayanan kesehatan Balita dalam rangka penguatan 1000 HPK.

KONDISI SANITASI DAN AKSES AIR MINUM Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan. Berdasarkan konsep dan definisi MDGs, rumah tangga memiliki akses sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan antara lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank) /Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL), yang digunakan sendiri atau bersama. Survei Sosial Ekonomi Nasionan (Susenas) Tahun 2014, mendapatkan data persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum layak dan sanitasi layak sebagai berikut. Gambar 9 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses terhadap Air Minum Layak Tahun 2014 Sumber: Susenas 2014, Badan Pusat Statistik Secara nasional persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum layak sebesar 68,11 dan sudah melebihi target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2014 yaitu sebesar 67, namun masih terdapat 19 provinsi yang belum mencapai 67. Provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak tertinggi yaitu Bali sebesar 93,22, diikuti oleh DKI Jakarta dengan persentase sebesar 91,23 dan Kepulauan Riau dengan persentase sebesar 83,27. Sedangkan provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak terendah yaitu Bengkulu sebesar 35,17, diikuti Papua sebesar 49,42 dan Sulawesi Barat sebesar 50,88. Gambar 10 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses terhadap Sanitasi Layak Tahun 2014 Sumber: Susenas 2014, Badan Pusat Statistik 8

Secara nasional persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak sebesar 61,06, belum mencapai target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2014 yaitu 75. Provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak terendah yaitu Nusa Tenggara Timur sebesar 12,77, Kalimantan Selatan 19,36 dan Papua 24,78. Gambar 11 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Tempat Pembuangan Akhir Tinja menurut Provinsi, Indonesia 2013 Sumber: Riskesdas 2013, Kemenkes RI Mengenai tempat pembuangan akhir tinja rumah tangga di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, menunjukkan bahwa pembuangan tinja sebagian besar menggunakan tangki septik (66,0) namun masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Lima provinsi dengan proporsi pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik tertinggi adalah Papua (65,4), Nusa Tenggara Timur (65,3), Nusa Tenggara Barat (49,7), Sumatera barat (46,1), Kalimantan tengah (44,9), dan Sulawesi Barat (44,1). 9

To Improve maternal, infant Pengkerdilan Sasaran pada tahun 2025, mengurangi 40 jumlah balita pendek KENAPA PENTING Stunting adalah hasil sebagian besar nutrisi yang tidak memadai dan serangan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan anak. stunting memiliki efek jangka panjang, termasuk: berkurang kognitif dan perkembangan fisik, mengurangi kapasitas kesehatan yang buruk anak terhambat memiliki peningkatan Kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari REKOMENDASI SKALA PENCEGAHAN APA? BAGAIMANA? APA? BAGAIMANA? APA? BAGAIMANA? Meningkatkan cakupan kegiatan pencegahan stunting Meningkatkan identifikasi, pengukuran dan pemahaman mengenai GIZI IBU Meningkatkan gizi pada wanita usia reproduksi Menetapkan kebijakan dan/atau memperkuat intervensi untuk meningkatkan gizi dan kesehatan ibu, dimulai dari gadis remaja. DUKUNGAN MENYUSUI mendukung praktek pemberian ASI optimal menerapkan intervensi untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan praktik pemberian makanan tambahan DUKUNGAN MASYARAKAT mengurangi hasil kehadiran sekolah dalam kapasitas produktif berkurang: rata-rata kehilangan 22 dari pendapatan tahunan di masa dewasa APA? BAGAIMANA? Memberikan strategi berbasis masyarakat untuk mencegah infeksi terkait penyebab stunting memperkuat intervensi berbasis masyarakat, termasuk memperbaiki air, sanitasi dan kebersihan Di seluruh dunia, sekitar 162 juta balita terkena stunting RUANG LINGKUP MASALAH 3 dari 4 anak stunting di dunia berada di Sub-Sahara Afrika dan Asia 40 persen balita terkena stunting 40 39 39 persen balita terkena stunting Sub-sahara Afrika Asia Selatan and young child nutri on

Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9 Lantai 6 Blok C Jakarta Selatan 2016 ISSN 2442-7659