BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. dan perubahan lingkungan tidak menghambat perkembangan industri. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

et al., 2005). Menurut Wan Ngah et al (2005), sambung silang menggunakan glutaraldehida, epiklorohidrin, etilen glikol diglisidil eter, atau agen

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perindustrian. Penggunaan logam krombiasanya terdapat pada industri

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

PENDAHULUAN BAB I. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan logam berat di sistem perairan dan distribusinya, diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. tidak bermanfaat lagi (Sri Moertinah, 2010:104). Limbah dapat dihasilkan dari

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan industri tekstil dan industri lainnya di Indonesia menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. ekosistem di dalamnya. Perkembangan industri yang sangat pesat seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perbandingan nilai ekonomi kandungan logam pada PCB (Yu dkk., 2009)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perindustrian di Indonesia semakin berkembang. Seiring dengan perkembangan industri yang telah memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998). Menurut Sutrisno dkk. (1996), konsentrasi Cu 2,5 3,0 ppm dalam badan

BAB I PENDAHULUAN. Kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersial potensial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Selama dua dasawarsa terakhir, pembangunan ekonomi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

4 Hasil dan Pembahasan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. digunakan sebagai flokulan alami yang ramah lingkungan dalam pengolahan

telah melakukan pengujian untuk mengetahui konsentrasi bahan-bahan kimia yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia seperti industri kertas, tekstil, penyamakan kulit dan industri lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. dimasukkannya makluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

polutan. Pada dasarnya terdapat empat kelas bahan nano yang telah dievaluasi sebagai bahan fungsional untuk pemurnian air yaitu nanopartikel

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

I. PENDAHULUAN. Udang dan kepiting merupakan komoditas andal dan bernilai ekonomis

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar perairan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. serius, ini karena penggunaan logam berat yang semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. tubuh mengalami kerusakan dan terbuka sehingga menyebabkan sistem pembuluh

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya dalam arti (toksisitas) yang tinggi, biasanya senyawa kimia yang sangat

I. PENDAHULUAN. Nanoteknologi diyakini akan menjadi suatu konsep teknologi yang akan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian mengenai polimer

HASIL DAN PEMBAHASAN. Adsorpsi Zat Warna

BAB I PENDAHULUAN. Membran adalah sebuah penghalang selektif antara dua fasa. Membran

BAB I PENDAHULUAN. nanoparticle (Serpone, 2013), nanowire (Wang, 2003), nanotube (Monthioux, 2011), hingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ADSORPSI ZAT WARNA PROCION MERAH PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI SONGKET MENGGUNAKAN KITIN DAN KITOSAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gugus amino yang bersifat basa dan memiliki inti benzen. Rhodamin B termasuk

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian juga memiliki dampak meningkatkan pencemaran oleh limbah cair

BAB I PENDAHULUAN. industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN - :

2014 WAKTU OPTIMUM ISOLASI NANOKRISTALIN SELULOSA BAKTERIAL DARI LIMBAH KULIT NANAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ratna Agustiningsih, 2014

KOAGULAN PADA PENURUNAN TURBIDITAS LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL PT. LSI DAN PENURUNAN KADAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga. Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat dianalisis kadar kromium(vi)-nya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Limbah dari berbagai industri mengandung zat pewarna berbahaya, yang harus dihilangkan untuk menjaga kualitas lingkungan. Limbah zat warna, timbul sebagai akibat langsung dari produksi zat pewarna dan juga sebagai konsekuensi dari penggunaannya dalam tekstil dan industri lainnya. Pembuangan limbah zat warna merupakan masalah lingkungan yang menyebabkan efek buruk ekosistem. Limbah zat warna dapat dihasilkan dari pabrik kulit, pabrik penyepuhan logam, perusahan makanan, industri cat dan yang terutama industri tekstil. Sekitar 15% dari total produksi zat warna di dunia digunakan oleh industri tekstil dan limbahnya dibuang ke lingkungan (Houas dkk., 2001). Limbah zat warna ini merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun, cukup stabil berada di lingkungan dan akan mengganggu ekosistem hayati di sekitar, terutama lingkungan perairan. Pada proses pewarnaan hanya sebagian zat warna yang diserap oleh bahan tekstil dan sisanya berada dalam air limbah. Limbah cair yang dihasilkan dari industri tekstil akan berpotensi untuk mencemari air sungai yang akan menerimanya. Meskipun zat warna hanya memberi kontribusi yang kecil terhadap total muatan organik dalam air limbah, tetapi keberadaannya akan memberikan tingkat warna yang tinggi. Di samping itu, zat warna dapat menyebabkan kenaikan Biological Oxygen Demand (BOD) dan menularkan penyakit melalui air (Gupta dkk., 2005). Salah satu zat warna yang banyak digunakan karena relatif murah dan mudah didapatkan adalah biru metilen (C16H18N3SCI). Zat warna ini umumnya digunakan pada pewarnaan tekstil seperti kapas, sutra, akrilik, kain katun, wol dan pada beberapa penanganan medis (Caparkaya dan Cavas 2008). Biru metilen banyak digunakan karena biru metilen merupakan zat warna dasar dan mempunyai kelarutan yang baik. Dalam pewarnaan, biru metilen yang terikat hanya sekitar 5% sedangkan sisanya 95% terbuang sebagai limbah, sehingga kontribusi masuk ke lingkungan perairan sangat besar (Liang dkk., 2014). Limbah biru metilen yang mencemari lingkungan selain merusak ekosistem akuatik juga dapat mengganggu 1

2 kesehatan manusia seperti naiknya detak jantung, muntah, penyakit kuning, rusaknya jaringan tubuh, dan rusaknya jaringan sel pada manusia (Gurses dkk., 2014). Ambang batas biru metilen dalam limbah cair industri tekstil sesuai dengan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995 adalah 10 mg L -1. Oleh karena itu, pengurangan konsentrasi biru metilen di perairan tercemar menjadi salah satu perhatian yang penting dalam penanganan masalah lingkungan. Beberapa metode telah dikembangkan untuk penanganan dan pengolahan limbah zat warna seperti ekstraksi cair-cair, ozonisasi, pertukaran ion, adsorpsi, filtrasi dan elektrokimia. Dari semua metode tersebut, adsorpsi telah diakui sebagai metode yang paling menjanjikan karena mudah, murah dan efisiensi pengurangan yang tinggi (Wang dkk., 2011). Pengembangan bahan adsorben terus dilakukan, salah satu bahan adsorben yang sedang dikembangkan oleh para peneliti adalah biosorben. Biosorben yang dapat dimanfaatkan untuk adsorpsi zat warna biru metilen adalah kitosan. Kitosan merupakan polisakarida kationik yang dapat digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan logam berat dan zat warna karena adanya gugus amin dan hidroksil, yang dapat berfungsi sebagai situs aktifnya (Wu dkk., 2001). Namun kitosan kurang efektif jika digunakan secara langsung sebagai adsorben tidak hanya sifat mekanik dan kestabilannya yang kurang tetapi efisiensinya juga rendah, sehingga perlu dilakukan modifikasi fisik dan kimia untuk memperbaiki kekurangan dari kitosan tersebut (Vakili dkk., 2014). Tanasele dkk. (2012) telah memanfaatkan kitosan sebagai biosorben untuk mengadsorpsi zat warna biru metilen, kapasitas adsorpsi maksimum yang diperoleh sebesar 4,2 mg g -1. Selain kitosan, pektin juga dapat dimanfaatkan sebagai biosorben untuk mengadsorpsi zat warna biru metilen karena memiliki gugus karboksilat yang dapat berfungsi sebagai gugus aktifnya. Annadurai (2001) memanfaat pektin yang diisolasi dari kulit jeruk untuk mengadsorpsi biru metilen. Kapasitas adsorpsi maksimum biru metilen yang diperoleh sebesar 18,6 mg g -1. Pektin dapat dikompositkan dengan material lain untuk mengadsorpsi biru metilen seperti kitosan (Tuny, 2013; Silitonga 2014; Untailawan 2014).

3 Proses pembuatan biopolimer dengan electrospinning merupakan proses yang sulit karena terdapat berbagai parameter yang mempengaruhi hasil fabrikasinya (Zhang dkk., 2010). PVA bersifat tidak beracun, larut dalam air, biokompatibel dan dapat terurai sehingga PVA sering digunakan sebagai matriks bagi polimer lain yang sulit untuk dilakukan electrospinning. Ohkawa dkk. (2006) menggunakan PVA untuk dicampurkan pada kitosan karena PVA dapat berinteraksi secara kuat dengan kitosan melalui ikatan hidrogen pada molekulnya. Dunia teknologi berkembang tidak dapat terlepas dari ilmu pengetahuan. Teknologi sendiri merupakan penerapan ilmu pengetahuan untuk menyediakan barang maupun jasa yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Ilmu pengetahuan telah menghasilkan berbagai macam teknologi inovatif dan terbaru. Salah satu teknologi yang berkembang sejak pertengahan abad 20 adalah teknologi nano. Teknologi nano merupakan pembuatan dan penggunaan material pada ukuran sangat kecil. Material yang dihasilkan dan digunakan ini kemudian dikenal sebagai material nano. Material nano adalah suatu material yang memiliki ukuran 1x10-9 meter. Material nano dalam berbagai struktur telah menjadi tema dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti maupun pelaku industri pada beberapa tahun terakhir. Bahan-bahan material nano menjanjikan untuk dapat digunakan dalam berbagai aplikasi. Material nano memiliki banyak macam, diantaranya nanofiber, nanorod, nanobelt, nanotube, nanowire, dan lain lain (Xia dkk., 2003). Salah satu bidang nanoteknologi yang banyak menarik perhatian adalah nanofiber. Nanofiber mendapat perhatian khusus karena potensi pemanfaatannya yang begitu luas pada berbagai bidang (Setiawan, 2015). Nanofiber merupakan fiber yang mempunyai diameter ukuran sekitar 50 sampai dengan 500 nm ( Zhang dkk., 2007; Deng dkk., 2009). Salah satu cara untuk pembuatan nanofiber adalah dengan metode electrospinning. Metode electrospinning merupakan salah satu metode untuk mensintesis bahan berstruktur nano yang merupakan teknik sederhana, efektif dan serbaguna untuk fabrikasi nanofiber (Munir, 2013). Electrospinning adalah teknologi yang umumnya digunakan untuk pembentukan fiber secara elektrostatik yang memanfaatkan kekuatan listrik untuk menghasilkan

4 serat polimer dengan diameter berukuran nanometer menggunakan larutan polimer, baik polimer alami maupun sintetis. Nanofiber hasil electrospinning juga menawarkan beberapa keunggulan seperti, rasio permukaan volum yang tinggi, kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai ukuran dan bentuk serta kemampuan untuk mengendalikan komposisi serat Mengingat fleksibilitas electrospinning untuk menghasilkan nanofiber berpori terbuat dari bahan yang berbeda, maka telah ditemukan kemungkinan penggunaannya diberbagai bidang mulai dari kesehatan, bioteknologi, energi terbarukan, filtrasi, biomedis, farmasi, elektronik optik, dan lingkungan. Penelitian tentang nanofiber dengan menggunakan metode electrospinning telah banyak dilakukan. Namun masih banyak potensi dari polimer yang masih belum terungkap (Setiawan, 2015). Secara keseluruhan, teknik ini adalah teknik yang dapat diandalkan dan sederhana untuk menghasilkan nanofiber dari berbagai polimer. Salah satu manfaat pembuatan serat polimer berskala nano (polymer nanofibers) dengan metode electrospinning sebagai adsorben (Aliabadi dkk., 2014; Li dkk., 2013; Dai dkk., 2011; Wang dkk., 2011; Zhang dkk., 2010; Heidari dkk., 2013). Akan tetapi, penelitian terkait pembuatan nanofiber dari bahan polimer alam seperti kitosan dan pektin sebagai adsorben zat warna, khususnya biru metilen dengan metode electrospinning masih relatif sedikit yang dilaporkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan nanofiber komposit dari biopolimer kitosan-pektin yang dipadukan dengan PVA sebagai polimer pendukung dengan metode electrospinning dan aplikasinya sebagai adsorben pada zat warna biru metilen. Secara umum, dalam penelitian ini ada dua tahap eksperimen yang dilakukan. Tahap pertama adalah pembuatan nanofiber kitosan-pektin yang dipadukan dengan PVA dengan metode electrospinning. Tahap kedua adalah penggunaan nanofiber komposit sebagai adsorben pada zat warna biru metilen. Variasi waktu kontak, ph larutan, konsentrasi awal adsorbat adalah parameter yang ditinjau selama proses adsorpsi, serta dilakukan juga kajian desorpsinya.

5 I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mempelajari cara pembuatan nanofiber paduan kitosan-pektin-pva dengan metode electrospinning. 2. Mengetahui komposisi kitosan-pektin-pva yang dapat digunakan sebagai adsorben biru metilen. 3. Mengetahui model isoterm yang sesuai dalam kajian adsorpsi biru metilen pada nanofiber paduan kitosan-pektin-pva. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat memberikan informasi kepada para peneliti lain tentang pemanfaatan bahan polisakarida alam untuk pembuatan nanofiber dengan electrospinning dan aplikasinya sebagai adsorben zat warna.