Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa, hal ini tertulis jelas di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISA TERHADAP OPINI DISCLAIMER BPK-RI ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT (LKPP) TAHUN 2007

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

-32- RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM KABUPATEN SUKABUMI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republi

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 7 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI PEMERINTAH DAERAH 1. Dr. H. Harry Azhar Azis, M.A.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 93, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720)


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ten

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 15 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT Rancangan PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Transkripsi:

91 g) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dalam kedua konsep tersebut di atas menurut penulis baik dalam konsep pengembalian terhadap pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang dan konsep tuntutan ganti rugi, pada intinya terkandung rumusan mengenai konsep pembayaran yang tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) sebagaimana diatur didalam KUHPerdata, dimana pihak yang telah melakukan pembayaran tanpa adanya kewajiban untuk melakukan hal tersebut kepada kreditur, si kreditur yang menerima pembayaran tanpa hak tersebut diwajibkan mengembalikannya kepada debitur, yang mana didalam konsep pengembalian terhadap pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang yang menjadi debiturnya adalah wajib pajak dan yang menjadi krediturnya adalah negara, dan pada konsep tuntutan ganti rugi, yang menjadi debiturnya adalah negara dan yang menjadi krediturnya adalah bendahara dan orang bukan bendahara. BAB 4 ANALISIS PENGGUNAAN INSTRUMEN HUKUM PERDATA PEMBAYARAN TIDAK TERUTANG (ONVERSCHULDDIGDE BETALING) DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS KORUPSI

92 (TINJAUAN KASUS KORUPSI MANTAN PRESIDEN SOEHARTO) A. SEKILAS MENGENAI KASUS POSISI, KASUS KORUPSI MANTAN PRESIDEN SOEHARTO Mengenai kasus posisi kasus korupsi mantan Presiden Soeharto sudah dipaparkan didalam pendahuluan oleh penulis, tanpa bermaksud mengulangnya, berikut kasus posisi dimaksud : Kasus korupsi mantan presiden Soeharto dimulai ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia mendaftarkan kasus korupsi Soeharto melalui jalur perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dalil Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diduga melakukan penyelewengan terhadap dana yayasan tersebut. Seperti yang diketahui Yayasan Beasiswa Supersemar pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank milik pemerintah (BUMN) dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 tentang pengaturan lebih lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari Laba Bersih Bank- Bank Milik Pemerintah, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Beasiswa Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut Kejaksaan, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata. Kejaksaan menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai US$ 420 juta dolar AS dan Rp. 185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp.10 triliun. Banyak pihak yang menyangsikan dalil yang digunakan oleh Kejaksaan didalam gugatan perdata tersebut di atas tidak dapat berbuat banyak didalam kerangka pengembalian kerugian keuangan negara oleh Soeharto maupun oleh Yayasan. Hal ini terbukti pada keputusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

93 yakni Majelis mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan. Namun majelis justru tak menemukan kesalahan Soeharto. Majelis beranggapan selaku pendiri dan ketua yayasan, Soeharto mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus yayasan. Lantaran itu, majelis pun membebankan kesalahan itu kepada Yayasan Beasiswa Supersemar. Yayasan diwajibkan mengganti kerugian kepada pemerintah. Nilai ganti rugi yang dibebankan adalah 25 persen dari tuntutan ganti rugi yang diajukan negara, atau sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar. Ganti rugi 25 persen itu sesuai dengan asas kepatutan. Padahal dana yang berhasil dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar sampai dengan Maret 1998 mencapai Rp.1,2 trilyun. Ini baru dana yang berhasil dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar, belum yayasan-yayasan Soeharto lainnya. Diketahui bahwa Soeharto mengetuai 7 (tujuh) yayasan sosial yaitu Yayasan Dharmais, Dana Karya Abadi, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Gotong Royong, dan Trikora. Ciri umum sumber pendanaan yayasan-yayasan Soeharto adalah adanya pungutan yang pada hakikatnya bersifat sukarela, namun kadangkala terkesan menjadi sebuah kewajiban. Terhadap BUMN (Badan Usaha Milik Negara) pungutan itu dilembagakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 yang intinya mewajibkan sumbangan 5 % (lima persen) keuntungan BUMN ke Yayasan Dharmais dan Supersemar. Sementara itu untuk wajib pajak badan/perorangan dengan laba di atas Rp.100 juta/tahun, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 tahun 1995 (diperbarui dengan Keputusan Presiden Nomor 92 tahun 1996) yang mewajibkan mereka menyumbangkan 2 % penghasilan setelah pajak untuk dialokasikan kepada masyarakat pra-sejahtera, untuk menampung dan mengelola dana tersebut dibentuklah YDSM (Yayasan Dana Sejahtera Mandiri) yang dikelola oleh Soeharto selaku Ketua. Keputusan Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan bertentangan dengan amanat dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa

94 setiap tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di samping itu, terdapat indikasi H.M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana Yayasan. Melalui keran yayasan inilah Soeharto memobilisasi dana dari masyarakat dengan berbagai legitimasi, bahkan sering menggunakan jargon demi kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat yang dikaburkan dengan kepentingan pribadi. Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut caracara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Ketua Yayasan. Namun ditemukan bahwa selain digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada PT.Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito. Terhadap Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan tersebut, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1998 yang menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 dan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun1996; 2. Menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 yang ditujukan kepada para Menteri,Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND, Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/ BUMD untuk mencabut semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikota dan Direksi BUMN dan BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi

95 semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan surat Nomor S.475/MK.01/1998 untuk mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu, Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad; B. ANALISIS KASUS DAN ANALISIS MENGENAI PENGGUNAAN INSTRUMEN HUKUM PERDATA PEMBAYARAN TIDAK TERUTANG (ONVERSCHULDDIGDE BETALING) DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS KORUPSI (KHUSUSNYA DALAM KASUS KORUPSI MANTAN PRESIDEN SOEHARTO) 1. Analisis Kasus Korupsi Mantan Presiden Soeharto Sebagaimana telah dijelaskan didalam Bab-Bab terdahulu, bahwa penegakan hukum dalam kasus korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan ganjaran secara fisik bagi para pelakunya namun juga dimaksudkan agar uang negara yang dikorupsi kembali kepada negara untuk memulihkan kembali kemampuan negara dalam melayani hak-hak rakyatnya, sehingga dalam proses hukum pidana diakomodir pula sarana perdata, seperti ketentuan uang pengganti dan denda yang dibebankan kepada terpidana, bila denda atau uang pengganti tidak dibayar maka hukuman akan ditambah maksimal tidak melebihi ancaman hukuman. Dalam hal penegakan hukum kasus korupsi jika tersangka/terdakwa meninggal dunia atau tidak terbukti bersalah atau karena bebas dari segala tuntutan sementara nyata telah ada kerugian negara yang diakibatkan perbuatan

96 tersangka/terdakwa atau diduga terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun telah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 32, 33, 34, dan 38 C), mengatur mengenai mekanisme gugatan perdata dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara yang terjadi, yang mana gugatan diajukan terhadap ahli waris bila tersangka atau terdakwa meninggal dunia dan terhadap pelaku, hal itu tidak lain dimaksudkan untuk menyelamatkan uang negara yang sudah dikorupsi. Sebagaimana telah dijelaskan penggunaan ketentuan Pasal 32, 33, 34, dan 38 C UU PTPK mensyaratkan untuk dapat dilakukannya gugatan perdata adalah adanya unsur kerugian keuangan negara yang nyata dan setelah upaya pidana tidak dimungkinkan lagi dilakukan untuk mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara karena dihadapkan unsur tidak cukup bukti, tersangka atau terdakwa meninggal dunia atau karena putusan bebas, serta gugatan terhadap terpidana yang telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap tetapi diduga menyembunyikan hasil korupsi yang belum dikenai perampasan. Di sisi lain, didasari asumsi bahwa ditemukan adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata (onrechtmatig daad) yang nyata-nyata menimbulkan kerugian keuangan negara, sehingga memungkinkan diajukannya gugatan perdata. Terkait dengan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto, gugatan perdata yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sudah memenuhi ketentuan dalam Pasal 33 UU PTPK, dan sudah memenuhi karakteristik dapat digunakannya gugatan perdata, yaitu adanya unsur kerugian keuangan negara yang nyata dan setelah upaya pidana tidak dimungkinkan lagi dilakukan untuk mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara karena meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Di sisi lain, ditemukan adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar secara perdata (onrechtmatig daad) yang nyata-nyata menimbulkan kerugian keuangan negara, sehingga memungkinkan diajukannya gugatan perdata. Perbuatan melawan hukum tersebut adalah Mantan Presiden Soeharto dan

97 Yayasan Supersemar didakwa telah mengunakan dana yang terkumpul berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 dengan menyimpang dari tujuannya perbuatan tersebut bertentangan dengan pasal 2 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978, serta Anggaran Dasar Yayasan Beasiswa Supersemar yang menyatakan bahwa tujuan Yayasan adalah membantu/membina para siswa/mahasiswa yang cukup cakap tetapi tidak dapat melanjutkan pelajarannya (vide Pasal 3 ayat (2) Anggaran Dasar Yayasan). 81 Putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan 82 terhadap gugatan tersebut, majelis memutuskan mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan. Namun majelis justru tak menemukan kesalahan Soeharto. Majelis beranggapan selaku pendiri dan ketua yayasan, Soeharto mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus yayasan. Lantaran itu, majelis pun membebankan kesalahan itu kepada Yayasan Supersemar. Yayasan diwajibkan mengganti kerugian kepada pemerintah. Nilai ganti rugi yang dibebankan adalah 25 persen dari tuntutan ganti rugi yang diajukan negara, atau sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar. Ganti rugi 25 persen itu sesuai dengan asas kepatutan. Padahal dana yang berhasil dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar sampai dengan Maret 1998 mencapai Rp.1,2 trilyun. 81 Lihat Dokumen Gugatan Perbuatan Melawan Hukum tertanggal 9 Juli 2007, dengan Tergugat I HM. Soeharto dan Tergugat II Yayasan Beasiswa Supersemar. 82 Sampai saat penelitian ini ditulis, penulis belum mendapatkan putusan pengadilan negeri dimaksud, dikarenakan saat ini terhadap putusan tersebut sedang dilakukan banding oleh kuasa Tergugat.

98 Jika dikaitkan dengan tujuan utama dari penggunaan instrumen perdata (gugatan perdata) adalah untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, dalam kasus korupsi mantan Presiden Soeharto, penulis menemukan bahwa kontruksi hukum didalam gugatan Kejaksaan Agung, masih kurang tepat untuk dapat mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara. Kejaksaan Agung masih berupaya untuk meminta atau terkesan memaksakan pertanggungjawaban mantan Presiden Soeharto atau kepada ahli waris sehubungan dengan kasus korupsi yang terjadi, padahal yang menjadi fokus utama dalam gugatan perdata korupsi khususnya dalam kasus korupsi mantan Presiden Soeharto adalah untuk mengoptimalkan kerugian keuangan negara yang mana kerugian keuangan negara tersebut sudah nyata terjadi dan secara pidana tidak lagi dapat diupayakan pengembaliannya, yang mana dalam kasus ini adalah karena tersangka/terdakwanya telah meninggal dunia, sehingga yang harus dikejar adalah bagaimana menyelamatkan uang negara. Dalam kasus ini penulis melihat gugatan Kejaksaan Agung lebih fokus pada masalah penyalahgunaan uang yang terkumpul berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 yang tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukannya, dan meminta ganti rugi terhadap uang yang telah disalahgunakan tersebut. Yang dengan sendirinya jika pengadilan sependapat dengan gugatan tersebut, ganti rugi yang akan diputuskan hanya terkait dengan uang yang disalahgunakan, padahal jika kita tarik kasus ini lebih kebelakang, khususnya pada pengumpulan dana/uang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 dan agar disetorkan ke Yayasan Beasiswa Supersemar. Penulis menemukan terdapat kontruksi hukum lain yang dapat digunakan dan dipilih

99 selain yang sudah digunakan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus ini, yang dapat mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dalam rangka penyelamatan uang negara. Yakni Onverschulddigde Betaling atau pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 KUHPerdata). Kontruksi hukum Onverschulddigde Betaling atau pembayaran yang tidak terutang, bukannya tidak mempermasalahkan mengenai penyalahgunaan dana/uang yang terkumpul yang sudah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar, namun lebih ditujukan pada pengembalian dan penyelamatan uang negara semaksimal mungkin. Kontruksi hukum Onverschulddigde Betaling atau pembayaran tidak terutang melihat bahwa seluruh dana/uang yang dibayarkan oleh Bank-Bank Pemerintah dan diterima oleh Yayasan Beasiswa Supersemar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 dapat dituntut pengembaliannya berdasarkan Pasal 1359 KUHPerdata, yang mana berdasarkan 1360, 1362 dan atau Pasal 1363 KUHPerdata Yayasan Beasiswa Supersemar diwajibkan untuk mengembalikannya, jika tidak maka dapat dituntut telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagai diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Penuntutan pengembalian terhadap dana/uang yang sudah dibayarkan tersebut didasarkan pada tidak adanya kewajiban dari Bank-Bank pemerintah tersebut melakukan penyisihan sebagian labanya untuk disetorkan atau dibayarkan kepada Yayasan Beasiswa Supersemar, dikarenakan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank- Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978 yang mencantumkan kewajiban pembayaran tersebut, pada dasarnya bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 (sebelum amandemen) dan Soeharto selaku Presiden tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah yang

100 mengatur mengenai hal tersebut, karena berdasarkan UUD 1945 Pasal 23, pungutan semacam itu harus dibuat dalam bentuk UU dan bukannya Peraturan Pemerintah, hal ini diperkuat pada masa kepemimpinan BJ Habibie sebagai Presiden yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978, dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1998 dan Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1998, karena dipandang Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978, tidak memiliki dasar hukum dan berpotensi korupsi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa Bank-Bank Pemerintah tersebut sedari awal sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran/penyetoran dana/uang kepada Yayasan Beasiswa Supersemar dan Yayasan Beasiswa Supersemar tidak memiliki hak atas dana/uang yang sudah dibayarkan tersebut oleh karena itu berdasarkan Pasal 1359, Pasal 1360, 1362 dan 1363 KUHPerdata, Bank-Bank Pemerintah dapat meminta/menuntut pengembalian terhadap dana/uang tersebut, dan Yayasan Beasiswa Supersemar wajib mengembalikannya, jika tidak, maka Yayasan Beasiswa Supersemar dapat dituntut telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. 2. Analisis Mengenai Penggunaan Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) Dalam Kasus Korupsi Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya penggunaan jalur perdata dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, dilakukan untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, di saat jalur pidana

101 sudah tidak dapat digunakan kembali padahal nyata-nyata kerugian keuangan negara sudah terjadi. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara tegas mengenai bagaimana muatan dari gugatan perdata dibuat dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara dalam suatu kasus korupsi. UU PTPK hanya mengatur mengatur mengenai kapan gugatan perdata dapat digunakan, yaitu dalam hal jalur pidana sudah tidak dapat digunakan dan dalam hal kerugian keuangan negara sudah nyata terjadi. Penulis melihat didalam contoh-contoh kasus pelaksanaan gugatan perdata terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, terlalu terfokus pada kontruksi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku yang menyebabkan kerugian keuangan negara tersebut dapat terjadi, sehingga yang menjadi tujuan utama dari penggunaan jalur perdata ini yaitu mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara tidak tercapai, karena otomatis didalam kontruksi hukum dengan gugatan perdata semacam itu, terkait jumlah kerugian keuangan negara yang akan dikembalikan oleh pelaku, hanyalah jumlah kerugian keuangan negara yang nyata-nyata timbul sebagai akibat perbuatan si pelaku (lihat contoh kasus tindak pidana korupsi mantan Presiden Soeharto). Padahal jika tujuan utamanya adalah untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, KUHPerdata mengatur mengenai Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling), dimana seorang debitur dapat meminta pengembalian terhadap apa yang sudah dibayarkan kepada kreditur dengan mengamsumsikan adanya suatu kewajiban pada dirinya, padahal sebenarnya kewajiban tersebut tidak ada padanya atau sudah tidak ada lagi (hapus), terhadap pembayaran yang semacam itu kreditur diwajibkan untuk melakukan pengembalian kepada debitur sejumlah uang dibayarkan jika penerimaan tersebut dilakukan dengan itikad baik, dan sejumlah uang yang dibayarkan ditambah bunga dan hasil-hasilnya terhitung dari hari pembayaran jika penerimaan tersebut dilakukan dengan itikad buruk.

102 Dalam penelitian ini penulis juga menemukan bahwa antara rumusan Pembayaran Tidak Terutang dalam Pasal 1359 KUHPerdata dengan beberapa modus operandi tindak pidana korupsi khususnya terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTKP yaitu perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara terdapat persamaan didalam perumusannya, adapun modus operandi dimaksud adalah sebagai berikut : a) Tindak Pidana Korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara yang berkenaan dengan aset. Contohnya : Pengadaan Barang dan Jasa, bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut : (i)mark Up untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender. Kualitas dan kuantitas barang sudah benar,tetapi harganya lebih mahal, (ii) Harga yang lebih mahal dikarenakan kualitas barang yang dipasik dibawah persyaratan, harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih rendah daripada yang dipersyaratkan. Dalam praktik, didalam pengadaan barang dan jasa yang dipersoalkan adalah bentuk pembayaran yang lebih mahal. Pelepasan Aset, istilah yang sering kita dengar adalah pelepasan kekayaan negara atau pelepasan harta negara. Bentuk pelepasan aset dan kerugian yang dapat ditimbulkannya adalah : (i) Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku (nilai buku akutansi) sebagai patokan. Panitia penjualan menyetujui harga jual di atas nilai buku. Proses penjualan bisa dengan atau tanpa tender. Pelaku berargumen bahwa penjualan aset menimbulkan keuntungan negara karena dijual di atas nilai buku, padahal sebenarnya harga dipasaran melebihi harga didalam kontrak sehingga negara mengalami kerugian.(ii) Tukar guling tanah dan bangunan milik negara dengan tanah, bangunan atau aset lain, didalam bentuk pelepasan aset ini

103 kerugian yang ditimbulkan adalah ternyata terdapat selisih antara aset negara yang ditukar gulingkan dengan aser yang diterima negara dalam arti nilainya tidak seimbang sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara. b) Tindak Pidana Korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara yang berkenaan dengan aset. Contohnya : Pejabat lembaga negara, BUMN dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang menimbulkan kewajiban atau utang, jika dilihat dari luar, transaksi ini tampak seperti transaksi yang wajar, namun apabila dilihat dari dalam, ada unsur memperkaya pejabat tersebut dan.atau orang lain dan/atau korporasi, dengan cara negara membayar kewajiban atau utang yang tercantum didalam kontrak, padahal sebenarnya kewajiban atau utang negara tidak sebesar yang tercantum didalam kontrak, atau padahal sebenarny sedari awal sebenarnya negara tidak memiliki kewajiban atau utang namun oleh pihak-pihak yang terkait dibuat negara seakan-akan memiliki kewajiban atau utang sehingga negara harus membayar, dimana dari uang yang dibayarkan oleh negara ini kemudian dibagi-bagi oleh pihak-pihak terkait untuk memperkaya dirinya masing-masing. c) Tindak Pidana Korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara yang berkenaan dengan pengeluaran. Contohnya : kerugian keuangan negara berkenaan dengan transaksi pengaluaran dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut : Kegiatan Fiktif, modus ini dalam percakapan dan pemberitaan sehari-hari dikenal sebagai pengeluaran fiktif. Sebenarnya pengeluarannya tidak fiktif (benar-benar ada), yang fiktif adalah kegiatannya sehingga terjadi kerugian keuangan negara. Lebih tepatnya, kegiatan yang sudah dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD, Anggaran BUMN dan seterusnya) tidak dilaksanakan, tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan.

104 Pengeluaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi. Contohnya pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah dengan merunjuk peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku. Pengeluaran bersifat resmi, tetapi dilakukan lebih cepat, misalnya dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor. Pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai. Penulis melihat bahwa pada intinya dalam modus operandi tindak pidana korupsi di atas terdapat persamaan didalam perumusannya dengan Konsep pembayaran yang tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) yang diatur didalam KUHPerdata, yang mana dapat dikelompokan kedalam 2 (dua) variasi,yakni : 1. Negara melakukan pembayaran dengan mengamsumsikan bahwa dirinya memiliki kewajiban atau utang, walaupun sebenarnya kewajiban atau utang tersebut sebenarnya tidak ada. 2. Negara melakukan pembayaran dengan mengamsumsikan bahwa dirinya memiliki kewajiban atau utang karena terdapat kontrak atas kewajiban atau utang tersebut, padahal sebenarnya kewajiban atau utang yang dibayarnya (tercantum dalam kontrak) sebenarnya lebih kecil dari kenyataannya. Sehingga terdapat selisih pembayaran yang sebenarnya bukan kewajiban negara untuk membayar. Dengan adanya persamaan ini, penulis berpendapat tentunya akan mempermudah dari Kejaksaan Agung (Jaksa Penuntut Umum) didalam merumuskan surat gugatannya, terlebih dari sudut pembuktian tentu lebih mudah pembuktiannya. Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat instrumen hukum perdata Perdata Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat saja digunakan sebagai dasar gugatan secara perdata sepanjang jalur pidana sudah tidak dapat digunakan dan dalam hal kerugian keuangan negara

105 sudah nyata terjadi serta sepanjang si kreditur sudah diberitahukan terlebih dahulu, namun tidak juga melakukan pengembalian. Karena penggunaan instrumen hukum perdata Perdata Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) sebagai dasar gugatan secara perdata didalam tindak pidana korupsi lebih memberi jaminan didalam pengembalian kerugian keuangan negara dan dari sudut pembuktian, lebih mudah pembuktiannya. BAB 5 PENUTUP