LAJU PERTUMBUHAN PRASAPIH DAN SAPIH KAMBING BOER, KACANG DAN BOERKA-1 (Growth Rate of Boer, Kacang and Boerka-1 Goats as Preweaning and Weaning Periods) FERA MAHMILIA, FITRA AJI PAMUNGKAS dan M. DOLOKSARIBU Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Sungei Putih, Galang 20585 ABSTRACT This research was conducted at the Research Institute for Goat Production Sungei Putih. The aim of this research was to study the growth rate of Boer, Kacang and Boerka-1 (50% B; 50% K) goats. The kids were raised linked up with doe until weaning period. The result showed that weaning weight of Boer was significantly (P < 0.01) different from Kacang and Boerka-1, is specially for with and weaning weight were: 2.85 ± 0.53 kg, 2.08 ± 0.53 kg, 1.71 ± 0.31 kg and 10.47 ± 2.09 Kg, 7.68±1.60 Kg, 6.66±0.21 Kg. While the weight at 6 and 9 months between Boerka-1 with Kacang was not different (P > 0.05). Daily weight gain of Boer goat at pre weaning period was also significantly different from that of Kacang or Boerka-1 goats (82.29 ± 21.39, 61.30 ± 18.00 and 54.12 ± 12.42 g/day/head for Boer, Kacang and Boerka-1goats, respectively). However daily weight gain at weaning period was not significanly different among those goats. Key Words: Crossbred, Pre Weaning, Weaning ABSTRAK Penelitian ini telah dilakukan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sungei Putih. Penelitian ini bertujuan mengetahui laju pertumbuhan prasapih dan sapih kambing Boer, Kacang dan Boerka-1 (50% B; 50% K). Kambing anak disatukan dengan induknya hanya selama periode prasapih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot lahir dan bobot sapih kambing Boer berbeda nyata (P < 0.01) dibandingkan dengan Boerka-1 mapupun Kacang, berturut-turut untuk bobot lahir dan sapih adalah: 2,85 ± 0,53 kg, 2,08 ± 0,53 kg, 1,71 ± 0,31 kg dan 10,47 ± 2,09 kg, 7,68 ± 1,60 kg, 6,66 ± 0,21 kg. Sedangkan bobot 6 bulan dan 9 bulan antara Boerka-1 dengan Kacang tidak berbeda (P > 0,05). Pertambahan bobot hidup harian prasapih antara ketiganya juga berbeda (P < 0,01), masing-masing pada Boer, Boerka-1 dan Kacang adalah 82,29 ± 21,39 g/h/e, 61,30 ± 18,00 g/h/e dan 54,11 ± 12,42 g/h/e. Sedangkan pertumbuhan pascasapih pada ketiganya tidak berbeda. Kata Kunci: Persilangan, Prasapih, Sapih PENDAHULUAN Kambing Kacang adalah salah satu kambing lokal Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi dan tersebar luas. Salah satu kelebihan kambing Kacang adalah mampu berproduksi pada lingkungan yang kurang baik. Namun kambing ini mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil dan laju pertambahan bobot hidupnya relatif rendah (SETIADI et al., 2001), dengan bobot hidup dewasa yang cukup rendah yaitu sekitar 20 25 kg (SETIADI et al., 1997). Sedangkan permintaan pasar khususnya untuk ekspor adalah dengan bobot potong minimal 30 kg. Salah satu metode untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan serta telah meluas dilaksanakan, adalah dengan menyilangkan (cross breeding) dengan genotip kambing unggul impor (BRADFORD, 1993; SAKUL et al., 1994). Kambing Boer merupakan salah satu jenis kambing unggul penghasil daging terbaik (ERASMUS, 2000) yang telah berkembang di Afrika Selatan. 441
Ukuran kambing Boer yang dipelihara di Wurtemburg, Jerman menurut BIRNKAMMER (1986) berurut-turut pada jantan dan betina diantaranya; mempunyai bobot hidup dewasa 80 130 kg dan 50 75 kg, serta tinggi pundak sekitar 50 75 cm dan 60 70 cm. Namun demikian kambing Boer dipotong dengan bobot hidup sekitar 35 40 kg untuk jantan dan 30 35 kg untuk betina. Bobot lahir sekitar 3 4 kg dengan laju pertambahan bobot hidup harian 140 250 g/h/e. ELIESER et al. (2005) melaporkan bahwa rataan bobot hidup jantan dan betina dewasa kambing Boer yang ada di Sei Putih masingmasing adalah 40,45 ± 13,78 kg dan 39,48 ± 8,78 kg. Angka ini jauh lebih rendah dibanding laporan DEVENDRA dan MC LEROY (1982) yang mengamati Boer di Malaysia, dengan bobot hidup pada betina dewasa sekitar 60 75 kg dan jantan sekitar 75 100 kg. Perbedaan ini diduga karena type Boer yang digunakan berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan prasapih dan sapih kambing ; Boer, Kacang dan Boerka-1 yang ada di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. MATERI DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 139 ekor kambing anak yang terdiri dari hasil perkawinan antara: (1) kambing Boer dengan pejantan Boer sebanyak 15 ekor, (2) kambing Kacang dengan pejantan Boer sebanyak 62 ekor, (3) kambing Kacang dengan pejantan Kacang sebanyak 62 ekor. Kambing anak disatukan dengan induknya selama priode prasapih. Sumber makanan pokok bagi induk adalah hijauan yang diambil dari lapang dalam bentuk cut dan carry (sekitar 10% dari bobot hidup). Pakan tambahan yang diberikan berupa konsentrat (± 1% bobot hidup) Pemberian konsentrat dilakukan pada waktu pagi hari, sedangkan hijauan diberikan siang dan sore hari dan air minum disediakan ad libitum. Parameter yang diamati adalah tampilan prasapih dan sapih, dengan melakukan penimbangan anak pada waktu lahir, dan dilanjutkan secara periodik sebulan sekali hingga berumur 12 bulan. Seluruh parameter pengamatan dianalisis dengan uji rata-rata menggunakan metode linear dari paket SPSS versi 10 (SANTOSO, 2002). Bobot hidup Bobot lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan bobot lahir kambing Boer, Boerka-1 dan Kacang berturut-turut adalah 2,85 ± 0,53 kg, 2,08 ± 0,53 kg dan 1,71 ± 0,31 kg. Bobot lahir kambing Boer nyata lebih tinggi (P < 0,01) dibanding 2 genotip lainnya. Bobot lahir kambing hasil persilangan (Boerka-1) juga nyata (P < 0,01) lebih berat dibandingkan dengan bobot lahir kambing Kacang. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan bobot lahir adalah faktor pejantan yang digunakan. Dari data pada Tabel 1 terlihat adanya peningkatan yang nyata dari bobot lahir Boerka-1 sebesar 21,64% dibandingkan dengan kambing Kacang. Bobot lahir jantan (2,10 ± 0,55 kg ) lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir betina (1,91 ± 0,65 kg), namun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan. Rataan bobot lahir tipe tunggal (2,08 ± 0,56 kg) nyata lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan dengan bobot lahir anak tipe kembar (1,80 ± 0,52 kg). Menurunnya bobot lahir tersebut diakibatkan meningkatnya jumlah anak yang lahir perinduk. Anak yang dilahirkan tunggal dapat menyerap makanan secara penuh dari induknya, sebaliknya pada anak kembar akan terjadi persaingan dalam menyerap makanan dari induknya selama pertumbuhan embrio dalam uterus (ATKINS dan GILMOUR, 1981). Bobot sapih Bobot sapih atau bobot hidup umur 90 hari secara umum dapat dijadikan kriteria seleksi ternak. Bobot sapih yang tinggi diharapkan akan menghasilkan laju pertambahan bobot hidup pascasapih yang tinggi pula. Rataan bobot sapih kambing Boer, Boerka-1 dan Kacang pada umur 90 hari berturut-turut 442
Tabel 1. Rataan bobot lahir, bobot sapih, bobot 6 bulan dan bobot 9 bulan berdasarkan genotipe, jenis kelamin dan tipe lahir Uraian Genotipe Boer Boerka-1 Kacang Jenis kelamin Jantan Betina Tipe lahir Tunggal Kembar 2 Bobot hidup (kg) Bobot lahir Bobot sapih Bobot 6 bulan Bobot 9 bulan 2,85 ± 0,53 (15) a 10,47 ± 2,09 (7) a 14,50 ± 3,50 (6) a 18, 20 ± 5,93 (2) a 2,08 ± 0,53 (62) b 7,68 ± 1,60 (50) b 10,23 ± 1,67 (20) b 11,34 ± 2,92 (7) b 1,71 ± 0,31 (62) c 6,66 ± 0,21(47) c 8,9 ± 0,40 (12) b 10,01 ± 1,09(8) b 2,10 ± 0,55 (72) 7,79 ± 1,42 (56) 10,51 ± 1,41 (16) 11,97 ± 2,35 (6) 1,91 ± 0,65 (64) 6,98 ± 1,60 (48) 9,58 ± 2,25(18) 11,28 ± 4,16 (11) 2,08 ± 0,56 (101) A A 7,65 ± 1,60(76) 10,34 ± 2,10 (24) 12,82 ± 4,26(9) 1,80 ± 0,52(35) B 6,76 ± 1,23 (28) B 9,24 ± 1,22 (10) 10,06 ± 1,93(8) abc Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) AB Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P < 0,05) ( ) jumlah ternak yang diamati adalah 10,47 ± 2,0 kg, 7,68 ± 1,60 kg dan 6,66 ± 0,21 kg. Bobot sapih kambing Boer nyata lebih tinggi (P < 0,01) dibanding 2 genotip lainnya. Bobot sapih sangat erat kaitannya dengan bobot lahir, dimana semakin tinggi bobot lahir, maka bobot sapih juga akan semakin tinggi (PITONO et al., 1992). Bobot sapih Boerka-1 secara persentase meningkat 15,32% dibandingkan dengan kambing Kacang. Hasil ini masih lebih rendah dari yang dilaporkan SETIADI et al. (2001) yaitu sebesar 50 70% dengan menyilangkan kambing Kacang dengan kambing Boer (menggunakan semen beku). Perbedaan ini diduga karena tipe Boer yang digunakan berbeda, disamping manejemen dan lingkungan yang juga berbeda. Bobot hidup umur 6 bulan Rataan bobot hidup umur 6 bulan kambing Boer, Boerka-1 dan Kacang berturut-turut adalah 14,50 ± 3,50 kg, 10,23 ± 1,67 kg dan 8,90 ± 0,40 kg. Bobot hidup kambing Boer nyata lebih tinggi (P < 0,01) dibanding 2 genotip lainnya. Bobot hidup Boerka-1 tidak berbeda dibandingkan dengan bobot hidup kambing Kacang. Bobot hidup umur 9 bulan Rataan bobot hidup kambing Boer, Boerka-1 dan Kacang pada umur 9 bulan adalah 18,20 ± 5,93 kg, 11,34 ± 2,92 kg dan 10,01 ± 1,09 kg. Bobot hidup kambing Boer nyata lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan dengan 2 genotip lainnya. Secara keseluruhan dari Tabel 1 terlihat adanya peningkatan bobot hidup anak dari lahir sampai umur 9 bulan pada kambing hasil persilangan (Boerka-1) dibandingkan dengan kambing Kacang. Tetapi peningkatan tersebut cendrung menurun. Hal ini mungkin disebabkan belum terpenuhinya faktor pendukung terutama pakan, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga ternak belum mampu untuk tumbuh optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Pertambahan bobot hidup harian Hasil perhitungan dari penimbangan rutin 2 x seminggu menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot hidup harian prasapih ketiga genotipe kambing ini berbeda (P < 0,01). Dimana pertambahan bobot hidup harian 443
kambing Boer (82,29 ± 21,39 g/hari/ekor) lebih tinggi dari kambing Boerka-1 (61,30 ± 18,00 g/hari), dan kambing Boerka-1 lebih tinggi dari kambing Kacang (54,11 ± 12,42 g/hari/ekor). Perbedaan ini dikarenakan setiap bangsa ternak mempunyai kemampuan maksimal untuk tumbuh sesuai dengan potensi genetiknya sepanjang faktor pendukung terutama pakan tersedia (ADIATI et al., 2001). Disamping itu laju pertumbuhan ternak kambing selama bulan pertama setelah lahir sangat tergantung pada produksi susu induk (ANGGORODI, 1979), kemudian tingkat ketergantungannya semakin berkurang dengan menurunnya produksi susu induk. Pada Gambar 1. dapat dilihat laju pertumbuhan Boer, Boerka-1 dan Kacang dari lahir sampai umur 9 bulan. Bobot hidup (kg) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 3 6 9 Umur (bulan) Boer Boerka-1 Kacang Gambar 1. Laju pertumbuhan kambing Boer, Boerka-1 dan Kacang Pertambahan bobot hidup harian prasapih pada jantan (63,74 ± 15,48 g/hari/ekor) lebih tinggi (P < 0,01) dari betina (54,27 ± 13,45 g/hari/ekor), kondisi ini ada hubungannya dengan kemampuan menyusu. Kambing jantan, relatif lebih mampu menyusu dibanding kambing betina. Disamping itu pengaruh hormon testosteron yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Demikian pula dengan meningkatnya tipe kelahiran, maka laju pertambahan bobot hidup harian cendrung lebih rendah. Pertambahan bobot hidup harian pascasapih (3 6 bulan) pada semua kelompok (genotipe, jenis kelamin dan tipe lahir) bila dibandingkan dengan pertambahan bobot hidup harian prasapih (0 3 bulan). Kondisi ini mungkin disebabkan setelah sapih kambing anak mengalami stres (cekaman) akibat penghentian susu. Sehingga kondisi tubuh dan kesehatan agak terganggu. Konsekuensinya konsumsi menurun dan pertumbuhan jadi terhambat. Sedangkan menurut BUDIARSANA et al. (2001) pertumbuhan kambing setelah sapih sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas pakan yang dikonsumsi. KESIMPULAN Laju pertumbuhan kambing Boerka-1 (hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan pejantan Boer) dari lahir sampai sapih lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang. Tabel 2. Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) prasapih dan sapih berdasarkan genotipe, jenis kelamin dan tipe lahir Uraian PBHH prasapih (g/hari) PBHH pascasapih (g/hari) Genotipe Boer Boerka-1 Kacang 82,29 ± 21,39 (7) a 61,30 ±,18,00 (50) b 54,11 ± 12,42 (47) c 33,89 ± 8,64 (2) 25,02 ± 19,90 (19) 25,98 ± 5,73 (13) Jenis kelamin Jantan Betina 63,74 ± 15,48 (57) a 54,27 ± 13,45 (47) b 26,88 ± 12,22 (15) 25,67 ± 17,67 (19) Tipe lahir Tunggal Kembar 2 60,79 ± 15,19 (75) 56,03 ± 15,20 (29) 30,00 ± 16,98 (24) 24,63 ± 8,10 (10) ab c Superskrip berbeda pada kolom dan kelompok yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) ( ) jumlah ternak yang diamati 444
DAFTAR PUSTAKA ADIATI, A., I-K. SUTAMA, D. YULISTIANI, R. DHARSANA, I G.M. DHARSANA dan HASTONO. Meningkatkan Produktifitas Kambing Peranakan Etawah dengan Perbaikan Pakan Selama Bunting Tua dan Laktasi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. ANGGORODI. R. 1979. Ilmu makanan ternak umum. PT Gramedia, Jakarta. ATKINS, K.D. dan A.R. GILMOUR. 1981. The comparative 1productivity of five ewe breeds, 4. Growth and carcase characteristics of purebred and cossbreed lambs. Aust. J. Exp. Agr. Anim. Husb. 21: 172 178. BIRNKAMMER, H. 1986. The Boer goat a highly produtive meat type breed. CAB pp. 87 89 (abstract). BRADFORD, G.E. 1993. Small ruminant breeding strategies for Indonesia. Proc. of workshop. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Research Institute for Animal Production, Ciawi, Bogor. pp. 83 94. BUDIARSANA, I G.M., I K. SUTAMA, R. DHARSANA, U. ADIATI, HASTONO, S. HIDAYAT, MULYAWAN, BACHTIAR dan R. SUKMANA. 2001. Siklus Birahi dan Fertilitas Kambing PE pada Perkawinan Alami dan Inseminasi Buatan. Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. DEVENDRA, C. dan M. BURN. 1983. Goat Production in the Tropic. Topan Printing Co (S). Common Wealth Agricultural Bureux, UK. ELIESER. S, M. DOLOKSARIBU, F. MAHMILIA dan FITRA AJI PAMUNGKAS. 2005. Analisis Produktivitas dan Perbanyakan Bibit Unggul Kambing Persilangan. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian PAATP 2005. Sei Putih. ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rum. Res. 36: 179 187. PITONO, A.D., E. ROMJALI dan R.M. GATENBY. 1992. Jumlah anak lahir dan bobot lahir domba lokal Sumatera dan hasil persilangannya. J. Penelitian Peternakan Sungei Putih SAKUL, H.G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO. 1994. Prospects for genetic improvement of small ruminant in Asia. Proc. Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pasific. SR-CRSP, Univ. of California Davis. SANTOSO, S. 2002. SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Edisi ketiga. Gramedia, Jakarta. SETIADI, B., P. SITORUS dan SUBANDRIYO. 1987. Produktivitas ternak kambing pada stasiun percobaan Cilebut, Bogor. Ilmu dan Peternakan. SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAJA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T. SARTIKA, B.TIESNAMURTI, K. DIWYANTO dan L. PRAHARANI. 2001a. Evaluasi Peningkatan produktivitas kambing persilangan. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. DISKUSI Pertanyaan: 1. Untuk apa dicrossing kalau menurut statistik hasilnya tidak berbeda? 2. Kandungan konsentrat dan pakan basal apa yang digunakan? 445
Jawaban: 1. Hasil crossing jadi tidak berbeda setelah ternak berumur di atas 6 bulan, walaupun secara angka Boerka-1 tetap lebih tinggi dari kambing Kacang. Banyak hal yang menyebabkan kondisi tersebut, diantaranya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pakan baik secara kualitas maupun kuantitas. Bangsa yang besar akan membutuhkan pakan dan nutrisi yang lebih banyak, keadaan inilah yang menjadi penyebab Boerka-1 belum mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi genetiknya. 2. Konsentrat yang digunakan adalah yang mengandung 16,5% PK dan ME 2600 kkal serta menggunakan rumput lapangan sebagai pakan basal. 446