BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang harus dimiliki individu dan tujuan yang akan dicapai dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

Circle either yes or no for each design to indicate whether the garden bed can be made with 32 centimeters timber?

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diana Utami, 2014

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013

2014 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE) 5E UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan keterampilan intelektual. Matematika juga merupakan ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Khaeratun Nisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

2016 PENERAPAN MODEL CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) DENGAN METODE HYPNOTEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

Senada dengan standar isi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006, The National Council of Teachers of Mathematics

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

, 2015 PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. matematika dikehidupan nyata. Selain itu, prestasi belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap peserta didik perlu memiliki kemampuan matematis pada tingkatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih pola

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

2015 PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS ANTARA SISWA YANG MENDAPATKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari siswa di sekolah. Proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar apabila dilakukan secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar matematika, seseorang dikatakan berpikir bila orang tersebut melakukan kegiatan mental. Matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi dan berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya bersifat deduktif (Hudojo, 1988). Pembelajaran matematika tidak hanya memberi tekanan pada keterampilan menghitung dan kemampuan menyelesaikan soal, sikap dan kemampuan menerapkan matematika merupakan penopang penting untuk membentuk kemampuan siswa dalam memecahkan masalah sehari-hari yang dihadapinya kelak. Sebagai ilmu dasar, matematika dipelajari pada semua jenjang pendidikan sekolah (SD, SMP, SMA). Sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan, matematika mempunyai peranan penting dalam membentuk keterampilan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan mampu bekerja sama. Dengan demikian dalam pembelajaran di kelas, tingkat kemampuan berpikir matematis siswa perlu menjadi dasar pertimbangan untuk menilai hasil belajar siswa. Kemampuan berpikir matematis telah banyak mendapat perhatian para

2 peneliti maupun pendidik. Perhatian tersebut difokuskan pada pemahaman siswa terhadap konsep dan juga pada keterampilan berpikir, penalaran, dan penyelesaian masalah mereka dengan menggunakan matematika. Gagasan aktivitas matematis yang berfokus pada kemampuan tersebut memandang matematika sebagai proses aktif dinamik, generatif, dan eksploratif. Henningsen dan Stein (Sumarmo, 2006) menamakan proses matematika itu dengan istilah bernalar dan berpikir matematis tingkat tinggi (high-level mathematical thinking and reasoning). Beberapa aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah pemecahan masalah matematis, komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis (NCTM, 2000). Kemampuan penalaran merupakan salah satu kemampuan matematis yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika siswa SMA. Hal ini dikarenakan proses penalaran merupakan aspek atau bagian yang esensial dari berpikir matematis. Namun, pembelajaran yang dikembangkan oleh guru selama ini kurang mendukung berkembangnya kemampuan bernalar siswa. Di beberapa sekolah, pembelajaran masih bersifat satu arah, siswa tidak terlibat secara aktif dalam menggali konsep-konsep atau ide-ide matematis secara mendalam dan bermakna, siswa menerima pengetahuan dalam bentuk yang sudah jadi sehingga pengetahuan lebih bersifat hafalan. Lemahnya proses pembelajaran yang dikembangkan oleh guru menjadi salah satu faktor utama kurang berkembangnya kemampuan penalaran siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sumarmo (1987) yang menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitifnya, skor

3 kemampuan penalaran matematis siswa masih rendah. Lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa juga dapat dicermati melalui laporan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS 2003 dan 2007). Dalam TIMSS 2003 dilaporkan bahwa untuk salah satu soal yang berkaitan dengan penalaran matematis hanya sekitar 7% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab soal tersebut. Pada TIMSS 2007, untuk jenis soal yang sama ada 17% siswa Indonesia yang menjadi sampel mampu menjawab. Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematika. Hal ini sesuai dengan temuan Wahyudin (1999) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika akibat siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Hasil penelitian Rif at (2001) juga menunjukkan kelemahan kemampuan matematis siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar. Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika disebabkan karena kesalahan menggunakan penalaran deduktif. Matz (dalam Priatna, 2003) juga mengemukakan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika. Sementara Vinner et al. (dalam Suzana, 2003) menyatakan bahwa kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika disebabkan karena proses generalisasi yang tidak tepat.

4 Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa khususnya generalisasi siswa masih rendah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003) mengenai penalaran matematis, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan penalaran (generalisasi) matematika siswa masih rendah karena skornya hanya 50% dari skor ideal. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis, antara lain Sumarmo (1987), Priatna (2003), Dahlan (2004), Maesarah (2007), Awaludin (2007) dan Dasari (2009). Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penalaran matematis itu penting dan perlu terus dikembangkan. Dahlan (2004) merekomendasikan agar dilakukan analisis kualitatif terhadap penalaran ketika siswa menyelesaikan masalah matematika. Hasil dari penelitian ini memberi peluang untuk melanjutkan penelitian tentang penalaran matematis khususnya penalaran induktif yaitu generalisasi dengan pengkajian yang lebih mendalam. Ellis (2010) juga menemukan bahwa tindakan membuat dugaan dan generalisasi umum menciptakan kesempatan bagi siswa untuk menanggapi, menerima atau menolak, merenungkan, memperbaiki, dan membangun upaya awal. Siswa menyaring ide-ide untuk menentukan bahwa mereka kuat secara matematis. Oleh karena itu, penulis mengkaji lebih jauh mengenai kemampuan generalisasi matematis siswa. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah sikap siswa terhadap matematika. Hal ini penting karena sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1991) dan merupakan salah satu tujuan pendidikan matematika yang dirumuskan dalam Kurikulum

5 2006, maupun tujuan yang dirumuskan National Council of Teachers of Mathematics (2000). Sikap siswa terhadap matematika sangat erat kaitannya dengan minat siswa terhadap matematika, bahkan sebagian dari sikap merupakan akibat dari minat, misalnya siswa yang berminat terhadap matematika maka ia akan suka mengerjakan tugas matematika. Ini pertanda bahwa siswa tersebut bersikap positif terhadap matematika. Tanpa adanya minat sulit untuk menumbuhkan keinginan dan kesenangan dalam belajar matematika. Begle (Darhim, 2004) menemukan bahwa rata-rata siswa cenderung bersikap netral terhadap matematika. Lebih lanjut Begle mengatakan bahwa apabila siswa ditanya tentang mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, maka bila diurutkan pelajaran matematika ada dipertengahan. Ini memberikan petunjuk bahwa mata pelajaran matematika tidak disukai para siswa. Jika diamati secara seksama, masih rendahnya kemampuan generalisasi matematis siswa serta tidak disenanginya pelajaran matematika oleh siswa, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas. Dalam pembelajaran, siswa hendaknya diberikan kesempatan yang sangat luas untuk menggali dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan banyak terlibat didalam proses pembelajaran matematika yang berlangsung. Guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan maupun metode yang menyenangkan bagi siswa, metode yang banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Untuk itu diperlukan suatu strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa (student centered). Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal

6 fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Salah satu metode pembelajaran yang progresif dan menitikberatkan kepada aktifitas siswa dalam belajar adalah metode discovery (penemuan). Metode discovery (penemuan) memungkinkan siswa menemukan kembali konsep, teorema, rumus, aturan dan sejenisnya secara berkelompok maupun secara individu. Ini adalah cara paling alami bagi siswa untuk lebih mudah memahami materi yang sedang dipelajari, sehingga pelajaran akan lebih mudah diingat. Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa metode discovery (penemuan) adalah metode mengajar yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruh pengetahuan ditemukan sendiri dengan bantuan guru. Sejalan dengan Russeffendi, Sund (dalam Suriadi, 2006) mengungkapkan bahwa penemuan ialah proses mental ketika siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Diharapkan, jika siswa secara aktif terlibat di dalam menemukan suatu prinsip dasar sendiri, ia akan memahami konsep lebih baik, ingat lama dan akan mampu menggunakannya ke dalam konteks lain. Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa belajar melalui discovery itu penting sebab: 1. Pada hakikatnya ilmu-ilmu itu diperoleh melalui discovery;

7 2. Matematika adalah bahasa abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan lebih melekat bila melalui discovery dengan jalan memanipulasi dan pengalaman benda-benda konkrit; 3. Generalisasi itu penting, sebab melalui discovery generalisasi yang diperoleh lebih mantap; 4. Dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah; 5. Menemukan sesuatu oleh siswa akan menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan dapat menumbuhkan sikap positif terhadap matematika. Salah satu keuntungan belajar melalui penemuan adalah dapat menyebabkan berkembangnya potensi intelektual siswa. Dengan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang sedang dipelajari, siswa menjadi lebih mudah mengerti struktur atau rumus yang telah ditemukan. Selain itu Bruner (Dahar, 1996) mengemukakan beberapa keuntungan metode penemuan yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat; (2) hasil belajar melalui penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya; (3) secara menyeluruh metode penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas. Metode penemuan dibagi menjadi dua jenis yaitu penemuan murni dan penemuan terbimbing. Pada penemuan murni, pelajaran terfokus pada siswa dan tidak terfokus pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman yang diinginkan. Peranan guru adalah menyajikan suatu situasi belajar atau masalah kepada siswa. Kemudian para siswa di minta mengkaji dan menemukan fakta atau

8 relasi yang terdapat dalam masalah tadi dan akhirnya para siswa yang akan menarik suatu generalisasi dari apa yang mereka temukan. Berbeda halnya dengan penemuan terbimbing, guru mengarahkan atau memberi petunjuk kepada siswa tentang materi pelajaran, dengan bimbingan ini memungkinkan berkurangnya frustasi pada siswa. Bentuk bimbingan yang di berikan guru bisa berupa petunjuk, arahan, pertanyan atau dialog sehingga diharapkan siswa sampai pada kesimpulan atau generalisasi sesuai dengan yang di inginkan guru. Pada metode penemuan terbimbing struktur pembelajarannya adalah induktif, yaitu menekankan siswa untuk menemukan pola-pola, aturan, prinsip dan struktur matematik melalui eksplorasi terhadap contoh-contoh. Sebagaimana yang dikemukakan Taba (dalam Trisnadi, 2006) bahwa metode penemuan terbimbing melibatkan suatu urutan induktif, urutan ini dimulai tidak dengan penjelasan sebuah prinsip umum tetapi dengan menghadapkan siswa kepada beberapa contoh dari prinsip, sehingga mereka dapat menganalisis, memanipulasi dan bereksperimen. Selanjutnya Bruner (Dahar, 1996) mengemukakan bahwa keuntungan lainnya dari penerapan metode penemuan yaitu dapat meningkatkan kemampuan penalaran (generalisasi) siswa. Hal ini dikarenakan metode penemuan menuntut siswa menemukan konsep matematika yang dipelajari secara sendiri-sendiri maupun dengan berkelompok. Dalam proses menemukan konsep, siswa akan menggunakan kemampuan bernalarnya. Siswa akan cenderung memulainya dari hal-hal khusus menuju hal yang lebih umum (generalisasi). Sehingga secara sadar

9 ataupun tidak, siswa telah menggunakan kemampuan bernalarnya, dalam hal ini kemampuan generalisasi matematis. Tertulis dalam KTSP (2006), bahwa melatih kemampuan generalisasi merupakan bagian dari lima tujuan umum mempelajari matematika, yaitu: (1). Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Adapun dari kelima aspek di atas, yang akan menjadi fokus pada penelitian ini adalah pada poin kedua yaitu melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi. Dalam penelitian ini kemampuan siswa diklasifikasikan berdasarkan pengetahuan awal matematika, yang terdiri dari siswa kemampuan tinggi, kemampuan sedang, dan kemampuan rendah. Setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memahami matematika. Menurut Galton (Ruseffendi, 1991) dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan

10 selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar mengikuti sebaran normal. Proses penentuan kelompok tinggi, kelompok sedang dan kelompok rendah ini adalah dengan cara mengurutkan skor hasil belajar matematika sebelumnya (ulangan harian), serta pengklasifikasian yang dilakukan oleh guru kelas. Hal ini sejalan dengan temuan Begle (Darhim, 2004) melalui penelitiannya bahwa salah satu prediktor terbaik untuk hasil belajar matematika adalah hasil belajar matematika sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa peran variabel kognitif lainnya ternyata tidak sebesar variabel hasil belajar sebelumnya. Berdasarkan uraian, temuan-temuan sejumlah studi, dan analisis diatas, peneliti melaksanakan penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Metode. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada aspek generalisasi matematis siswa. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang, dan rendah) yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing?

11 3. Bagaimanakah level generalisasi matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang, dan rendah) yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing? 4. Bagaimanakah sikap siswa terhadap matematika yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing? C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan siswa dalam generalisasi matematis melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing dan pembelajaran konvensional. Secara rinci tujuan penelitian ini untuk: 1. Menelaah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing dengan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang, dan rendah) yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing. 3. Menelaah level generalisasi matematis siswa ditinjau berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang, dan rendah) yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing.

12 4. Menelaah sikap siswa terhadap matematika yang memperoleh metode pembelajaran penemuan terbimbing. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti bagi pihak-pihak tertentu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan diantaranya: 1. Bagi guru a. Memberikan informasi tentang implementasi metode penemuan terbimbing dalam meningkatkan hasil belajar siswa. b. Menjadi salah satu alternatif pembelajaran di sekolah. 2. Bagi Siswa a. Melatih siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. b. Melatih siswa dalam menemukan konsep matematika dengan cara menemukannya sendiri. 3. Bagi Sekolah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan dalam menerapkan inovasi model pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing guna meningkatkan mutu pendidikan. E. Definisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam penelitian ini, maka beberapa istilah yang terkait didefinisikan sebagai berikut: 1 Kemampuan generalisasi matematis adalah kemampuan menarik kesimpulan dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum.

13 Generalisasi tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan sebuah pola. Adapun indikator dari kemampuan generalisasi matematis antara lain: a. Perception of generality, yaitu proses mempersepsi atau mengidentifikasi pola. b. Expression of generality, yaitu menggunakan hasil identifikasi pola untuk menentukan struktur atau data atau gambaran atau suku berikutnya. c. Symbolic expression of generality, yaitu memformulasikan keumuman secara simbolis. d. Manipulation of generality, yaitu menggunakan hasil generalisasi untuk menyelesaikan masalah. 2. Metode penemuan terbimbing adalah suatu metode pembelajaran yang bersifat konstruktivis yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dalam memperoleh pengetahuannya melalui serangkaian proses kegiatan. 3. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru sehari-hari, yaitu pembelajaran secara tradisional atau klasikal. Proses pembelajaran diawali dengan guru menjelaskan materi pelajaran dengan cara ceramah, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan guru, siswa belajar sendiri-sendiri, kemudian siswa mengerjakan latihan, dan siswa dipersilahkan untuk bertanya apabila tidak mengerti, sehingga dapat dikatakan bahwa siswa merupakan individu yang pasif pada saat proses pembelajaran berlangsung.