1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian

Perkembangan Sepanjang Hayat

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membangun kehidupan sosial dan kehidupan bermasyarakat secara luas bagi seorang anak.

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

2. TINJAUAN PUSTAKA. II. 1 Remaja II Definisi Rice (1999) mendefinisikan remaja sebagai: the period of growth from childhood to maturity (h.

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

LAMPIRAN A SKALA UJI COBA A-1. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I. perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016).

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. dunia sosial remaja. Hubungan ini memunculkan emosi kuat, baik positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase krusial dalam

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB IV HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

HUBUNGA SEKSUAL SKRIPSII. Diajukan Oleh: F HUBUNGA

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

Transkripsi:

1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahap perkembangan remaja, individu memiliki tugas perkembangan membangun hubungan intim dengan lawan jenis yang berguna untuk membentuk hubungan berpacaran pada masa dewasa dan hubungan pernikahan nantinya. Erikson melihat perkembangan dari membangun suatu hubungan intim sebagai hal yang penting dari tahap perkembangan dewasa muda. (Harvey & Omarzu, 1997; Reis & Patrick, 1996; Papalia et al., 2007). Pengalaman dalam berhubungan romantis merupakan bentuk dari perkembangan identity dan intimacy (Erikson, 1968 dalam Santrock, 1998). Intimacy seharusnya berkembang sejalan dengan perkembangan identitas yang stabil dimana remaja yang memiliki hubungan intim yang sehat dengan individu lain, akan mencapai intimacy dan apabila tidak yang terjadi adalah terisolasi. Dalam suatu studi yang dilakukan Conolly & Johnson (dalam Santrock, 1998) dikatakan bahwa remaja yang terlibat dalam hubungan romantis merasakan berkurangnya perasaan terisolasi secara sosial dan kesepian. Dengan berpacaran, seorang individu merasa memiliki seseorang dan juga untuk melakukan aktivitasaktivitas bersama-sama. Selanjutnya berhubungan intim mendapatkan perhatian yang besar untuk beberapa individu karena berhubungan dengan orang yang mereka cintai merupakan aspek sentral dalam hidup mereka. Mereka akan mendapat kebahagiaan terbesar ketika hubungan ini berjalan lancar dan merasakan kesedihan yang mendalam ketika hubungan ini berakhir dengan buruk (Brehm, 1992). Menurut Brehm (1992), terdapat beberapa dimensi dari hubungan intim, yaitu intensitas dari hubungan, komitmen agar hubungan bertahan lama, emosi, seksualitas, dan perbedaan gender dalam pendekatan hubungan intim. Seksualitas disini merupakan faktor yang terlepas dari keintiman secara psikologis. Beberapa hubungan intim diartikan sebagai seks dan beberapa tidak. Beberapa hubungan diartikan dengan keintiman secara psikologis dan beberapa tidak. Perilaku seksual menurut Sarwono (2006) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk dari

2 tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersanggama. Pada beberapa kasus hubungan seksual (sexual intercourse) dalam berpacaran diindikasikan dapat mempererat ikatan emosional pada pasangan yang melakukannya (Crooks & Baur, 1999). Pengalaman seksual pertama merupakan pengalaman yang sangat signifikan dalam mengembangkan suatu hubungan karena kebanyakan orang mengingat pengalaman tersebut secara detail. Pasangan tersebut biasanya melakukan hubungan seksual sebagai ekspresi cinta dan merasakan peningkatan komitmen dalam hubungan yang dijalaninya (Regan, 2003). Rice (1999) mengadakan suatu survey pada remaja dari beberapa ras di Amerika. Dalam survey tersebut, ketika ditanya mengenai mengapa seseorang melakukan hubungan seksual premarital untuk pertama kalinya, 51% laki-laki menyatakan bahwa mereka merasa penasaran, dan 25% laki-laki menyatakan sebagai bentuk afeksi terhadap pasangannya. Berkebalikan dengan perempuan, dimana 50% menyatakan sebagai bentuk afeksi dan 25% menyatakan karena merasa penasaran. Dalam survey yang sama pula, terdapat sebagian kecil perempuan dan laki-laki yang menyatakan seks sebagai pemuas kebutuhan fisik. Kebanyakan laki-laki menyatakan tidak mencintai partner seks pertamanya, sementara kebanyakan perempuan menyatakan mencintai partner pertamanya. Utomo (1997) mengatakan bahwa semakin kuat komitmen dalam suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan dan akan berjalan menuju kearah pernikahan, semakin besar pula kecenderungan pada pasangan muda Jakarta untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan pasangannya. Santrock (1998) mengatakan bahwa keterlibatan dalam perilaku seksual sebagai bentuk komitmen terjadi pada masa remaja akhir dan awal masa dewasa. Damayanti (2007) melakukan penelitian dengan jumlah partisipan sebanyak 8.951 atau 4,72% dari siswa SLTA di DKI. Dari penelitian tersebut, diperlihatkan berbagai macam perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja di jakarta.

3 Perilaku Pola Pacaran Perempuan Laki-laki Total (%) (%) (%) Berciuman bibir 27.0 31.8 20.5 Meraba-raba dada 5.8 20.3 13.5 Meraba-raba alat 3.1 10.9 7.2 kelamin Menggesek-gesekan alat 2.2 6.5 4.5 kelamin (petting) Melakukan seks oral 1.8 4.5 3.3 Melakukan hubungan 1.8 4.3 5.2 seks Suumber : Tabel Distribusi Frekuensi Pola Perilaku Pacaran dalam Penelitian Peran Biopsikosial terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di DKI 2006 Terdapat perbedaan gender dalam memandang hubungan seksual. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan dalam tingkah laku seksual (Brehm, 1992). Laki-laki lebih permisif dalam nilai-nilai dan sikap seksual daripada perempuan (Hendrick & Hendrick, 1987 ; Snyder, Simpson & Gangestad, 1986). Laki-laki cenderung menikmati hubungan seksual tanpa keintiman secara psikologis, sedangkan perempuan lebih menyukai aktivitas seksual sebagai bagian dari hubungan intim secara psikologis (DeLamater, 198 ; Whitley, 1988). Terdapat pula perbedaan gender dalam memandang komitmen dimana perempuan dikatakan lebih berkomitmen pada hubungannya dibandingkan laki-laki. Hubungan percintaan tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Menurut Brehm (1992), berakhirnya suatu hubungan intim dapat menjadi suatu pengalaman yang traumatis (Bloom, Asher, & White, 1978; Menaghan & Lieberman, 1986; Stroebe & Stroebe, 1986). Tetapi tidak semua individu merasakan kehancuran dengan hilangnya pasangan tersebut; dengan berjalannya waktu, individu akan dapat melakukan penyesuaian diri yang baik (Hansson, Stroebe, & Stroebe, 1988; McCrae & Costa, 1988). Reaksi individu ketika suatu hubungan berakhir berbedabeda tergantung dari kualitas hubungan tersebut. Individu yang puas, merasakan kedekatan dengan pasangannya, merasakan komitmen yang tinggi dan percaya bahwa mereka hanya memiliki sedikit alternatif untuk membangun hubungan yang baru, akan merasakan kesulitan yang besar ketika hubungan ini berakhir (Regan, 2003).

4 Demikian juga dengan seks. Seks dapat menjadi bagian dari kenikmatan terbesar dalam hidup, dan juga dapat menjadi bagian dari kesedihan terbesar dalam hidup (Miracle,et al, 2003). Perasaan kesepian, kehilangan cinta, merasa ditolak, dan perasaan bersalah serta malu dalam hubungan seksual dapat mengganggu secara emosional. Sejalan dengan Miracle, Kinsey dalam Conger (1991) mengatakan bahwa, remaja perempuan yang sebenarnya belum siap secara emosional untuk melakukan hubungan seksual premarital akan mengalami perasaan bersalah dan kecemasan, atau menjadi trauma atau memberikan konsekuensi negatif daripada memfasilitasi kapasitas dari remaja tersebut untuk respon yang sukses pada saat pernikahan nantinya. Reivich & Shatte (2002) mengemukakan beberapa emosi yang biasa dialami individu dengan berakhirnya suatu hubungan percintaan, yaitu kesedihan dan depresi, perasaan bersalah, marah, kecemasan, dan juga perasaan malu. Selanjutnya dalam www.psc.uc.edu dikatakan bahwa terjadi juga perubahan mood yang kuat, cepat dan sering, perasaan mudah tersinggung, kesepian, mengalami masalah yang berkaitan dengan pola tidur dan nafsu makan, merasa putus asa, dan bingung. Emosi-emosi ini akan bertambah apabila individu tersebut putus pacaran setelah melakukan hubungan seksual premarital, khususnya pada perempuan. Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Indonesia, sama halnya dengan masyarakat budaya timur lainnya, berlaku double standard dalam memandang perilaku seksual sebelum menikah, dimana perempuan tidak diperbolehkan dan laki-laki diperbolehkan (Duvall & Miller, 1985). Virginity atau keperawanan seorang perempuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga dan seharusnya diberikan kepada suaminya kelak. Double standard tidak hanya berarti boleh dan tidak boleh dalam melakukan hubungan seksual premarital, tetapi juga menempatkan perempuan untuk memutuskan akan melakukan hubungan seksual sebelum menikah atau tidak; dimana perempuan menghadapi dilemma yaitu apabila ia tidak mau melakukan hubungan seksual premarital maka pacarnya tersebut tidak akan tertarik lagi padanya atau bahkan memutuskan hubungan percintaan tersebut dan apabila memutuskan untuk melakukannya maka ia akan dianggap sebagai perempuan murahan (dirangkum dari Crooks & Baur, 1999).

5 Dalam survey yang dilakukan dalam majalah Cosmopolitan (September, 2005), 57% responden yang semuanya adalah perempuan, merasa bahwa laki-laki masih menganggap keperawanan sebagai aset penting pada seorang perempuan. Hal ini juga peneliti temui dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa laki-laki yang sudah melakukan hubungan seksual premarital dimana mereka akan lebih memilih untuk menikah dengan perempuan yang belum pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain. Selanjutnya Subiyanto (2005) menyatakan bahwa pasangan yang telah melakukan hubungan seksual premarial akan menghadapi dilemma ketika harus mengambil keputusan untuk kelangsungan hubungannya, dimana kalaupun hubungan tersebut harus berakhir akan terjadi luka dan trauma yang cukup mendalam. Dalam Budiman (1999) tergambar bagaimana kekhawatiran seorang perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual kelangsungan hubungannya : premarital akan Saya kejeblos dalam hal yang sangat dilarang dan saya sangat menyesal terlebih karena hal ini sudah melanggar prinsip saya. Saya merasa amat bodoh, merasa tidak berharga lagi. Saya benar-benar mengalami depresi samapi badan saya kurus sekali. Yang mengganggu pikiran saya adalah kami sering bertengkar dan berkali-kali ia mengancam akan meninggalkan saya, tetapi saya pikir, belum tentu ada yang mau lagi dengan keadaan saya yang tidak utuh lagi. (Hal 28) Hal serupa juga dinyatakan oleh seorang teman peneliti yang telah putus hubungan dengan pasangan pertamanya : Setelah melakukan itu untuk pertama kalinya dengan pasangan saya, saya merasa shock banget dan saya langsung nangis karena nyesel. Tapi karena saya sayang banget sama dia dan dia bisa ngeyakinin saya kalo saya nantinya akan nikah sama dia, saya jadi tenang. Tapi ternyata hubungan kita harus selesai setelah kita jadian selama 3 tahun. Saya saat itu lebih merasa bersalah sama diri sendiri dibanding menyalahkan dia. Trauma ketika suatu hubungan cinta berakhir tidak akan hilang begitu saja. Akan tetapi kemampuan resiliensi dapat memudahkan dan membantu seorang individu untuk mengatasi perasaan sakit tersebut, dan pada waktu yang tepat seseorang akan mulai untuk membangun suatu hubungan kembali. Siebert (2005) mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali (bounce

6 back) dari perkembangan hidup yang dirasakan menjatuhkan. Ketika seorang yang resilien terganggu kehidupannya, mereka akan menghadapi perasaan negatif dengan cara yang sehat. Mereka tetap merasakan perasaan marah, sedih, kehilangan, dan kebingungan misalnya seperti yang dirasakan ketika individu putus cinta tetapi tidak membuat perasaan-perasaan tersebut menjadi permanen. Selanjutnya Reivich & Shatte (2002) mengemukakan definisi resiliensi sebagai kemampuan untuk tetap gigih dan menyesuaikan diri ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Terdapat tujuh domain yang membangun resiliensi, yaitu regulasi emosi, implus kontrol, optimisme, analisis kausal, empati, self-efficacy dan reaching out. Masten, Best, & Garmezy (1990) dalam Lynn Blinn-Pike (1999), mengatakan bahwa resiliensi merupakan suatu proses, kapasitas, atau hasil dari keberhasilan adaptasi dari keadaan yang menantang atau mengancam. Sejalan dengan definisi sebelumnya, Bernard (2004) mengatakan bahwa resiliensi bukan merupakan kualitas yang dimiliki seseorang dari sejak lahir, melainkan merupakan proses dari perkembangan manusia yang sehat. Proses itu sendiri dipengaruhi oleh interaksi kepribadian seseorang dengan lingkungannya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Tugade & Fredrickson (2004) dinyatakan bahwa seorang individu yang resilien akan menyadari bahwa regulasi emosi positif lebih berguna daripada emosi negatif. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa individu yang resilien dapat mengatasi pengalaman buruknya secara lebih baik, ketika individu lain mengalami kondisi serupa dan tidak dapat mengatasinya sebaik individu yang resilien. Karena itulah ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif dan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa individu yang resilien ketika putus cinta setelah melakukan hubungan seksual premarital menunjukkan beberapa karakteristik yaitu dapat meregulasi emosi-emosi negatif akibat putus cinta secara efektif sehingga tidak berlarut-larut dengan emosi tersebut dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru yaitu keadaanya yang tidak lagi menjalin hubungan dengan pasangan pertamanya tersebut. Sebaliknya individu yang tidak resilien tidak dapat meregulasi emosi-emosi negatif akibat putus cinta secara

7 efektif. Dengan adanya perbedaan karakteristik tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital. Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah proses terjadinya resiliensi serta faktor-faktor yang berpengaruh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tujuan menggali informasi secara mendalam mengenai resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital. Hubungan seksual premarital merupakan masalah yang sensitif untuk dibahas dan juga terdapat karakteristik-karakteristik yang harus dimiliki oleh subjek penelitian sehingga penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan pemberian kuisioner secara kuantitatif. 1.2 Permasalahan Permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital? 2. Bagaimana proses resiliensi pada perempuan tersebut? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi resiliensi tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam mengenai proses resiliensi pada perempuan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah - Bagi ilmu psikologi, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu khususnya pada bidang resiliensi dan hubungan seksual premarital.

8 - Memberikan informasi mengenai perkembangan resiliensi yang dapat dimanfaatkan oleh remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual premarital. - Memberikan informasi mengenai dampak negatif dari hubungan seksual premarital untuk mencegah para remaja perempuan melakukan hubungan seksual premarital. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bab, yaitu pendahuluan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, analisis, dan kesimpulan. Bab I Pendahuluan berisi mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan, dan manfaat penelitian. Bab II Tinjauan Kepustakaan berisi mengenai teori-teori yang dipakai sehubungan dengan permasalahan yang dibahas. Bab III Metode Penelitian, berisi mengenai hal-hal berkaitan dengan metode yang digunakan selama penelitian ini berlangsung. Bab IV berisikan Analisis dari masing-masing subjek penelitian. Dan Bab V berisikan Kesimpulan, Saran, dan Diskusi dari hasil penelitian.