4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Sejarah Awal mulanya kentang diintroduksi dari Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun 1570. Penerimaan masyarakat Spanyol menyebabkan penanaman dan distribusi kentang meningkat dan mulai dibudidayakan secara besar-besaran (Wattimena et al. 2002). Kentang dibawa ke sejumlah negara di Eropa dan dalam waktu kurang dari 100 tahun tanaman ini telah ditanam cukup luas. Penyebaran di luar Eropa dimulai tahun 1620 ke India, tahun 1700 ke Cina dan ke berbagai wilayah di daerah Asia lainnya (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Kentang pertama kali ditanam di wilayah Indonesia pada tahun 1794 di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa barat dan mulai dibudidayakan di daerah dataran tinggi lainnya sejak tahun 1804 yaitu di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Tanah Karo (Sumatera Utara) sampai ke Pegunungan Arfak (Irian Jaya) (Wattimena 2000). Saat ini kentang sudah dibudidayakan di 20 propinsi di Indonesia, yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Daryanto 2003 dalam Lisnawita 2007). Arti Ekonomi Kentang merupakan tanaman pangan sebagai penghasil kalori karena banyak mengandung protein dan karbohidrat (Soewito 1991). Nilai pangan kentang dengan serelia atau bahan pangan lain lebih tinggi berdasarkan produksi kalori dan protein (Suri & Jayasinghe 2002). Kentang merupakan tanaman pangan utama keempat dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Produksi kentang di Indonesia telah berkembang pesat dan menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara. Kebutuhan kentang dari tahun ke tahun semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan gizi (Rukmana 1997 dalam Lisnawita 2007). Peningkatan kebutuhan kentang juga dipengaruhi oleh perubahan pada konsumsi masyarakat Indonesia
5 saat ini. Di kota-kota besar mulai terlihat adanya pergeseran ke arah pemanfaatan kentang sebagai sumber karbohidrat alternatif (Lisnawita 2007). Kentang sudah menjadi alternatif diversifikasi pangan masyarakat Indonesia sehingga konsumsi bahan pangan berumbi ini semakin meningkat. Kentang tidak hanya untuk campuran sayur sup, dijadikan perkedel atau pastel, melainkan dijadikan juga sebagai keripik, french fries, dan menu lainnya (Samadi 2007). Semua ini karena masyarakat luas semakin mengetahui manfaat kentang sebagai bahan pangan. Taksonomi Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L (Samadi 2007). Syarat Tumbuh Tanaman kentang dapat tumbuh pada tanah dengan drainase yang baik, bertekstur sedang hingga kasar, dan ph 5,5-6,6. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan adalah 18-21 o C. Umbi kentang akan sulit terbentuk bila suhu tanah kurang dari 10 o C dan lebih dari 30 o C. Suhu tanah berpengaruh terhadap peningkatan kandungan pati dan gula pada umbi (Smith 1968 dalam Samadi 2007). Curah hujan rata-rata yang sesuai untuk pertumbuhan kentang adalah 1500 mm/tahun dengan lama penyinaran matahari 9-10 jam/hari (Samadi 2007). Curah hujan yang tinggi berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan kelembaban, penurunan suhu, berkurangnya penyinaran cahaya matahari, dan peningkatan kelengasan tanah. Kelembaban udara yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 80-90% (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tanaman mudah terinfeksi penyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora (Samadi 2007). Demikian pula, kelembaban udara yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan tanaman dan umbi.
6 Cara Budidaya Penanaman kentang diawali dengan pengolahan tanah dan dilanjutkan dengan pemupukan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Lahan dibajak sedalam 30-40 cm sampai gembur agar perkembangan akar dan perkembangan umbi dapat berlangsung dengan optimal, selanjutnya tanah dibiarkan selama dua minggu sebelum dibuat bedengan (Samadi 2007). Pada lahan datar, sebaiknya dibuat bedengan memanjang ke arah Barat- Timur agar memperoleh sinar matahari secara optimal, sedang pada lahan berbukit arah bedengan dibuat tegak lurus kemiringan tanah untuk mencegah erosi. Lebar bedengan 70 cm untuk 1 jalur tanaman atau 140 cm untuk 2 jalur tanaman, tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan 30 cm. Lebar dan jarak antar bedengan dapat diubah sesuai dengan varietas kentang yang ditanam. Di sekeliling petak bedengan dibuat saluran pembuangan air sedalam 50 cm dan lebar 50 cm. Adanya bedengan dan selokan akan memudahkan kegiatan pemberian pupuk, pengairan, pembuangan air yang berlebihan, dan pengendalian hama dan penyakit (Setiadi 1993 dalam Samadi 2007). Pemupukan terdiri dari pupuk organik dan pupuk anorganik yang diberikan sebelum tanam. Pemberian pupuk organik (kotoran ayam, kambing, atau sapi) pada permukaan bedengan dilakukan seminggu sebelum tanam. Bersamaan dengan pemberian pupuk organik, diberikan juga pupuk anorganik SP-36 sebagai pupuk dasar (Setiadi 1993 dalam Samadi 2007). Penanaman bibit kentang dapat dilakukan dengan cara meletakkan umbi secara mendatar dalam lubang tanam, dengan tunas menghadap ke atas. Kemudian, tutup dengan tanah dari sebelah kanan dan kiri lubang tanam. Bibit kentang akan mulai tumbuh sekitar 10-14 hari setelah tanam (Samadi 2007). Tanaman dipanen setelah berumur sekitar 90 hingga 160 HST. Panen dilakukan dengan cara menggali umbi dengan tangan. Hasil tanaman beragam tergantung pada kultivar yang digunakan dan wilayah produksi (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Perawatan tanaman selama penanaman masih tetap diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhannya normal dan tetap sehat. Selama fase pertumbuhan dan pembentukan umbi, ada banyak faktor yang menghambat, baik dari dalam
7 tanaman itu sendiri maupun faktor lingkungan tumbuhnya (Setiadi 1993 dalam Samadi 2007). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu suhu, kelembaban, curah hujan, atau adanya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme Pengganggu Tanaman Kentang OPT merupakan faktor penghambat pertumbuhan tanaman yang mendatangkan kerugian karena dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas dari tanaman yang dibudidayakan (Setiadi 1993 dalam Samadi 2007). Hama atau penyakit yang menyerang bagian tanaman dapat menurunkan jumlah produksi dari tanaman tersebut. Serangan hama atau penyakit dapat terjadi pada seluruh bagian tanaman, seperti daun, batang, buah, umbi, dan akar. Sehingga jumlah yang dipanen berkurang atau menurun dari keadaan normal. OPT terdiri dari hama dan penyakit tanaman. Beberapa hama yang menyerang tanaman kentang adalah ulat grayak, kutu daun, orong-orong, ulat tanah, dan penggerek umbi. Penyakit penting yang biasa menginfeksi tanaman kentang antara lain Nematoda Puru Akar (NPA, Meloidogyne spp.), Nematoda Sista Kentang (NSK, Globodaera), hawar daun kentang (Phytopthora infestans), virus (PVX, PVY, PLRV), layu bakteri (Ralstonia solanacearum), dan bakteri busuk akar (Erwinia carotovora) (Singh 1994; Luc et al. 1995). Meloidogyne spp. Taksonomi Meloidogyne termasuk dalam ordo Tylenchida, subordo Tylenchina, famili Heteroderoidae, dan genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Meloidogyne spp. memiliki lebih dari 79 spesies, empat spesies utama, yaitu M. incognita, M. hapla, M. javaniva, dan M. arenaria. Morfologi Ukuran tubuh yang kecil menyebabkan nematoda tidak dapat dilihat langsung dengan mata telanjang tetapi dapat dilihat di bawah mikroskop.
8 Nematoda jantan memiliki bentuk seperti cacing, sedangkan nematoda betina pada saat dewasa memiliki bentuk tubuh seperti buah pir atau sferoid (Agrios 2005). Betina dewasa berukuran panjang 430-740 µm. Stilet untuk menembus perakaran mempunyai panjang 11,5-14,5 µm. Nematoda betina memiliki stilet lemah melengkung ke arah dorsal dengan knob dan pangkal knob yang tampak jelas. Terdapat pola jelas pada striae yang terdapat di sekitar vulva dan anus disebut pola perineal (perineal pattern). Morfologi umum dari pola perineal Meloidogyne spp. dibagi menjadi dua, yaitu bagian dorsal dan ventral (Gambar 1). Bagian dorsal terdiri dari lengkungan striae dorsal, punctations (tonjolan berduri), phasmid, ujung ekor, dan garis lateral, sedangkan bagian ventral terdiri dari striae ventral, vulva, dan anus (Eisenback 2003). Setiap spesiess memiliki beberapa variasi pola perineal yang merupakan ciri khusus dari spesies untuk identifikasi. Gambar 1 Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003) Jantan dewasa panjang tubuhnya berukuran 887-1268 µm. Panjang stilet lebih panjang jika dibandingkan dengan stilet betina, yaitu 16-19 µm dan mempunyai kepala yang tidak berlekuk. Bergerak lambat di dalam tanah dengan ekor pendek dan membulat pada bagian posterior terpilin.
9 Biologi Nematoda puru akar bersifat obligat tersebar luas baik di daerah iklim tropik maupun iklim sedang. Pembiakan tanpa jantan dalam reproduksi terjadi pada banyak jenis, tetapi pada jenis yang lain reproduksi seksual masih terjadi dalam perkembangbiakannya. Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakkan berkelompok pada massa gelatinus yang betujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan jasad renik. Siklus NPA (Meloidogyne spp.) dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Siklus hidup Meloidogyne spp. (Sumber: http://www.ctahr.hawaii.edu )
10 Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan hingga 500 telur dalam massa gelatinus. Telur-telur mengandung zigot sel tunggal apabila baru diletakkan. Embrio berkembang menjadi juvenil 1 (J1) yang mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur. Telur menetas dan J1 mengalami perubahan menjadi J2 yang muncul pada suhu dan kelembaban yang sesuai dan bergerak di dalam tanah menuju ke ujung akar yang sedang tumbuh. J2 masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel akar dengan stiletnya. Setelah masuk ke dalam akar, J2 bergerak diantara sel-sel sampai tiba di tempat dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. J2 akan hidup menetap pada sel-sel tersebut, mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit menjadi J3 dan J4 yang selanjutnya akan menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin 1991). Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup di dalam tanah atau pada jaringan akar. Sedangkan betina dewasa tetap tertambat pada daerah makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada pada permukaan akar. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus menghasilkan telur hingga mencapai 1000 telur. Keberadaan nematoda akan merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuklah puru (Luc et al. 1995). Arti Penting Agrios (2005) menyatakan bahwa Meloidogyne spp. merupakan salah satu nematoda parasit pada tanaman kentang. Nematoda ini memiliki kisaran inang yang sangat beragam, lebih dari 2000 spesies tanaman dan sebagian besar adalah tanaman budidaya. Meloidogyne spp. tersebar luas di daerah tropik dan subtropik. Infeksi berat dapat menyebabkan tanaman layu dan mati, gejala penyakit oleh nematoda ini berupa pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil dengan perakaran yang banyak bintil atau disebut puru akar (Endah & Novizan 2002). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan nematoda meningkat atau sebaliknya. Nematoda berkembang dengan baik pada tanah berpasir dengan ph 5,0-6,6. Faktor lainnya adalah kepadatan inokulum, kelembaban tanah,
11 pemupukan, dan temperatur serta penurunan konsentrasi oksigen (Luc et al. 1995). Kehilangan hasil akibat infeksi Meloidogyne spp. bervariasi tergantung pada varietas tanaman dan keadaan lingkungan, dan dapat mencapai 25% dari produksi. Sedangkan kerugian ekonomi yang disebabkan infeksi nematoda ini terhadap tanaman budidaya dapat mencapai 14% (Agrios 2005). Umbi yang terinfeksi secara ekonomi tidak dikehendaki dan dapat menjadi sumber inokulum penyebaran penyakit. Kerugian akibat infeksi Meloidogyne spp. terhadap tanaman kentang dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung berupa penurunan kualitas maupun kuantitas umbi yang dihasilkan. Sedangkan kerugian tidak langsung adanya interaksi Meloidogyne spp. dengan patogen lain seperti cendawan dan bakteri. Infeksi oleh Meloidogyne menyebabkan tanaman lebih rentan terhadap infeksi cendawan dan bakteri. Layu Fusarium pada beberapa tanaman meningkat persentase dan tingkat infeksinya apabila tanaman tersebut juga terinfeksi oleh NPA (Agrios 2005). Spesies Meloidogyne Meloidogyne spp. tersebar di seluruh dunia dan mempunyai kisaran inang yang sangat luas, meliputi gulma dan berbagai tanaman yang dibudidayakan (Dropkin 1991). Spesies ini memiliki lebih dari 75 spesies yang tersebar di dunia dan 4 diantaranya merupakan spesies utama pada tanaman kentang, yaitu M. incognita, M. hapla, M. javanica, dan M. arenaria. Meloidogyne incognita M. incognita merupakan parasit tanaman penting di seluruh daerah tropika. Beberapa tanaman inang spesies ini adalah kapas, kentang, tebu, wortel, tomat, tanaman hias, dan lain-lain (Thomas et al. 2004). Suhu optimum untuk reproduksi dari spesies ini berkisar antara 18 o -30 o C, namun spesies ini akan mengalami peningkatan populasi hingga 47% pada suhu 24 o -27 o C (Eisenback 2003).
12 Lengkungan striae menyiku (sudut ± 90 o ) Gambar 3 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne incognita (Sumber : Eisenback 2003) Lengkungan striae bagian dorsal yang dapat dilihat pada Gambar 3 berbentuk persegi (sudut ± 90 o ) dan merupakan karakter khusus dalam mengidentifikasi spesiess M. incognita (Eisenback et al. 1981). Jika dibandingkan dengan spesies lain, dapat dilihat bahwa lengkungan striae spesies ini tampak jelas bergelombang. Siklus hidup dari nematoda sekitar 30-60 hari tergantung dengan suhu tempat nematoda hidup. Beberapa faktor yang mempengaruhi hidup nematoda, yaitu suhu optimum, ketersediaan inang, dan lingkungan yang sesuai untuk bereproduksi. Meloidogyne hapla Spesies ini merupakan spesies yang terdapat di daerah beriklim sedang dan kadang-kadang terdapatt di dataran tinggi tropik (Luc et al. 1995). M. hapla akan mengalami populasi dan tingkat infeksi yang rendah apabila temperatur dari wilayah tersebut tidak disukai. Beberapa tanaman yang tingkat infeksi M. Haplanya rendah diantaranya semangka, kapas, dan jagung. Reproduksi dari M. hapla biasanya secara partenogenetik, namun dapat juga melalui seksual (Triantaphyllou 1993). Suhu optimum untuk reproduksi spesies
13 ini berkisar antara 20-25 o C. Telur nematoda akan menetas pada suhuu optimum 25 o C dan nematoda mengalami perkembangan yang baik pada suhu 15-20 o C. Tonjolann seperti duri pada ujung ekor Gambar 4 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla (Sumber: Eisenback 2003) Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa M. hapla memiliki ciri khusus pada pola perineal nematoda betina yang berbeda dengan spesies lainnya yaitu terdapat tonjolan-tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Eisenback et al. 1981). Tonjolan-tonjolan seperti duri ini membentuk lingkaran atau elips pada ujung ekor yang tidak dimiliki oleh spesies Meloidogyne lainnya. Gejala yang disebabkan oleh M. hapla berbeda dengan yang disebabkan oleh spesies lainnya, yaitu purunya kecil, bentuk seperti bola, dan terbentuk cabang akar yang berasal dari jaringan puru (Luc et al. 1995). M. hapla juga berasosiasi dengan patogen lain. Meloidogyne javanica M. javanica tersebar di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai 3000 m dari permukaan laut (Semangun 2006). Pada daerah dataran tinggi atau pegunungan, jenis ini merupakan nematoda puru akar yang dominan. Tanaman inang dari spesies ini sama seperti spesies lainnya, yaitu tomat, kentang, wortel,
14 tanaman hias, tembakau, macam-macam sayuran dan buah-buahan (Semangun 2006). Terdapat suhu optimum untuk stadium yang berbeda pada daur hidup M. javanica (Southey 1978). Suhu optimum yang diperlukan untuk spesies ini berkembang dengan baik antara 25-30 o C. Munculnya populasi M. javanica terbesar terjadi pada ph antara 6,4 sampai 7 dan akan terhambat pada ph di bawah 5,2 (Southey 1978). Garis lateral antara striae dorsal dan ventral Gambar 5 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica (Sumber: Eisenback 2003) Identifikasi spesies ini dapat dilihat dari pola perineal yang memiliki ciri adanya dua garis lateral yang memisahkan striae bagian dorsal dan ventral (Gambar 5). Menurut Orton Williams (1972) diantara dua garis lateral tersebut terdapat daerah kosong dan tidak ada striae dorsal dan ventral yang saling berikatan. Menurut Luc et al. (1995) kentang yang terinfeksi memiliki puru yang umumnya lebih besar daripada yang disebabkan oleh M. hapla dan M. chitwoodi. M. javanica dapat dikendalikan dengan cara rotasi tanaman, perlakuan panas pada telur dan larva, dan menanam tanaman yang resisten. Kemampuan bertahan hidup telur dan larva M. javanica akan berkurang apabila diperlakukan pada suhu 45 0 C selama tiga jam (Eisenback 1988).
15 Meloidogyne arenaria M. arenaria merupakan salah satu spesies Meloidogyne yang sangat berpengaruh pada perekonomian dunia. M. arenaria tidak hanya berada pada daerah tropik, nematodaa ini umumnya juga terdapat di daerah subtropik (Luc et al. 1995). Karakteristik morfologi dari nematoda ini dapat dilihat dari pola perineal nematoda betinanya. Secara khusus pola perinealnya dapat dilihat padaa Gambar 6 sangat variabel ditandai oleh lengkungan tepi yang rendah dan bulat, dengan striae yang halus hingga bergelombang (Eisenback dan Triantaphyllou 1991). Pola perineal dari spesies ini merupakan variasi dari spesies M. hapla dan M. incognita. Bagian striae bercabang pada garis lateralnya dan merupakan pola yang dimiliki oleh sebagian besar spesies ini. Nematoda jantan memiliki bentuk kepala dan stilet yang pendek dan agak bulat (Eisenback et al. 1981). Lengkungan tepi rendah dan bulat, striae halus hingga bergelombang Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria (Sumber: Eisenback 2003) M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica berinteraksi dengann cendawan Fusarium oxisporum dan menyebabkan tanaman layu (Luc et al. 1995). Pengendalian spesies ini tidak berbeda dengan spesies lainnya, yaitu penanaman tanaman yang resisten, penggunaan nematisida, dan rotasi tanaman.