BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropis, terutama di negara berkembang. Kejadian leptospirosis lebih banyak ditemukan di daerah tropis daripada subtropis. Faktor yang berpengaruh adalah keadaan iklim dan lingkungan. Lingkungan yang tercemar leptospira memberikan andil besar terhadap penularan leptospirosis (WHO, 2003). Leptospirosis dapat berkembang menjadi epidemi di daerah perkotaan maupun pedesaan (Bharadwaj et al., 2002). Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil pada pasien dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf, pembesaran hati dan limpa (WHO, 2003). Penyakit dengan gejala tersebut oleh Goldsmith pada tahun 1887, disebut sebagai Weil s Disease (Levett, 2001). Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa Weil s Disease disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohaemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan (WHO, 2003). Leptospira patogenik (Leptospira interrogans), terdiri dari 200 serovar dalam 25 serogroup. Serovar icterohaemorrhagiae paling sering menimbulkan penyakit berat dan fatal (WHO, 2003). Menurut Alangaden (2000), berdasarkan karakter agglutinogenic leptospira diklasifikasikan menjadi 300 serovar dalam 23 serogroup. Menurut Brooks et al. (2001), leptospira patogenik yang telah diidentifikasi sebanyak 170 serovar dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Dalam risalah Partoatmojo (1964, disitasi oleh Widarso & Purba, 2002), di Indonesia telah diisolasi 1
2 berbagai serovar leptospira dari hewan liar maupun piaraan di Ambarawa, yaitu; ichterohaemorrhagiae, javanica, pyrogenes dan semaranga. Menurut Setiawan (2008), sampai saat ini serovar leptospira yang beredar di Indonesia belum seluruhnya diketahui secara pasti. Penentuan jenis serovar sangat penting, karena beberapa serovar hanya menginfeksi mamalia tertentu. Jenis serovar leptospira dapat untuk memperkirakan sumber potensial penularan dan rencana penanggulangan penyebaran penyakit (Issazadeh et al., 2009). Jenis-jenis serovar yang dikaitkan dengan beberapa binatang tertentu antara lain; pomona dan interrogans menginfeksi lembu dan babi. Serovar grippotyphosa menginfeksi lembu, domba, kambing, dan tikus. Serovar ballum dan icterohaemorrhagiae menginfeksi tikus serta serovar canicola menginfeksi anjing (Judarwanto, 2009). Leptospira dapat menginfeksi sekurang-kurangnya 160 spesies mamalia (McGraw-Hill, 2007). Hewan peliharaan yang paling berisiko adalah kambing dan sapi. Reservoir utama di Amerika adalah anjing, ternak, tikus, hewan liar dan kucing (Judarwanto, 2009). Hewan-hewan ini sebagai host reservoir dan leptospira hidup di ginjal serta air kemihnya. Leptospira akan terpapar di lingkungan melalui urin yang dikeluarkan oleh binatang terinfeksi (WHO, 2003). Manusia terinfeksi setelah kontak dengan air tergenang yang terkontaminasi dengan urin binatang terinfeksi, atau mempunyai pekerjaan berhubungan dengan tanah basah yang terkontaminasi dengan leptospira (Sanford, 1994). Leptospira masuk melalui lesi kulit atau membran mukosa (Ashford et al., 2000). Gejala klinis akan timbul 7-12 hari setelah terpapar leptospira. Gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang sangat berat, seperti panas tinggi, nyeri otot dan sendi yang sangat hebat, kelainan pernafasan, hati, ginjal, sampai terjadi penurunan kesadaran
3 (Rowland & Frey, 2006). Leptosprosis berat akan tampak pada hari ke 3-7 setelah timbulnya penyakit. Tanda dari Weil s syndrome adalah gangguan fungsi hati, ginjal dan pembuluh darah. Gejala klinis Weil s syndrome antara lain jaundice (warna kuning pada kulit dan mata), penurunan volume urin kadang anuria, hipotensi, ruam, shock, dan kadang disertai gangguan kejiwaan berat. Bercak merah pada kulit (blood shot eyes) dan dahak berdarah menandakan telah terjadi kerusakan pembuluh darah sehingga memungkinkan terjadinya perdarahan (Rowland & Frey, 2006). Diagnosis pasti yang paling baik ditegakkan berdasarkan isolasi bakteri dari dalam darah maupun urin, akan tetapi pemeriksaan ini memerlukan waktu cukup lama agar bakteri dapat berkembang dan tumbuh dalam biakan. Penentuan diagnosis yang sering digunakan dalam pelayanan kesehatan berdasarkan gejala klinis dan tes serologis. Tes serologis yang digunakan secara internasional dan sebagai metode pemeriksaan rujukan gold standard adalah microscopic agglutination test (MAT). Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah rapid test, misalnya lateral flow test (LFT ) dan Dri dot Test serta enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan serta memastikan diagnosis leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat, karena penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain. Manfaat lainnya adalah untuk menentukan jenis serovar penyebab infeksi, yang dapat digunakan untuk memperkirakan sumber penularan (WHO, 2003). Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Priyanto et al, 2008). Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum pasti. Hal ini disebabkan belum lengkapnya sarana laboratorium, khususnya di negara-negara berkembang. Laporan-laporan yang tersedia saat ini menyebutkan insidensi leptospirosis berkisar antara 0,1-1 per
4 100.000 penduduk per tahun pada daerah beriklim hangat dan 10-100 per 100.000 penduduk per tahun di daerah beriklim lembab (WHO, 2003). Angka kematian leptospirosis berkisar antara 5%-16,6% (Esen et al., 2004). Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Widarso& Purba, 2002). Angka kejadiaan leptospirosis di Indonesia belum diketahui secara pasti. Beberapa hasil penelitian mengenai angka kejadian leptospirosis di beberapa daerah menunjukkan angka yang berbeda-beda (Suratman, 2006). International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas (Widarso & Purba, 2002). Victoriano et al. (2009) menyebutkan annual incidence leptospirosis di Indonesia termasuk sedang, berkisar 1-10 per 100.000 penduduk. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Penderita pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi (Widarso& Purba, 2002). Prevalensi leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta belum diketahui secara pasti (Murtiningsih et al., 2005). Menurut laporan tahunan Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah kasus leptospirosis di seluruh wilayah kabupaten/kota dari tahun 2008 sampai tahun 2010 mengalami peningkatan. Jumlah kasus pada tahun 2008 sebanyak 38 orang dengan case fatality rate (CFR) =5,26 %, tahun 2009 sebanyak 90 orang dengan case fatality rate (CFR) =6,67 % dan pada tahun 2010 (sd. Oktober 2010) sebanyak 186 orang dengan case fatality rate (CFR) =10,22 % (Dinkes
5 Daerah Istimewa Yogyakarta, 2008-2010). Kasus leptospirosis tahun 2008-2010 di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber : Dinkes. Prov DIY dan Dinkes. Kab. Sleman Gambar 1. Grafik Kasus Leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kab. Sleman Th 2008-Okt 2010 Dari gambar 1, dapat dilihat perkembangan kasus leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Sleman tahun 2008-Oktober 2010. Pada tahun 2008 di Kabupaten Sleman dinyatakan terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis berdasarkan SK Bupati no: 189/Kep.KDH/A/ 2008, tertanggal 9 Mei 2008. Jumlah kasus pada tahun 2008 sebanyak 33 penderita dengan case fatality rate (CFR) =6,06 % dan proporsi terhadap total kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 86,84%. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah kasus mencapai 80 penderita dengan case fatality rate (CFR) =6,25 % dan proporsi terhadap total kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 88,89%. Pada tahun 2010 sedikit menurun menjadi 63 kasus dengan case fatality rate (CFR) =4,76 % dan proporsi terhadap total kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 33,87 %. Wilayah endemis leptospirosis di Kabupaten Sleman adalah di Kecamatan Moyudan dan Minggir. Di kedua wilayah kecamatan
6 tersebut selama 3 tahun berturut-turut (tahun 2008-2010) selalu ditemukan kasus leptospirosis (Dinkes. Kab. Sleman, 2008-2010). Pendekatan seroepidemiologi dikaitkan dengan faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis sangat penting untuk mengetahui dinamika penularan penyakit pada wilayah endemis. Klasifikasi leptospira berdasarkan serovar sangat penting dan dapat digunakan sebagai data epidemiologi. Serovar tertentu akan berkembang menjadi komensal atau mempunyai hubungan patogenik ringan dengan host reservoir tertentu (WHO, 2003). Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis melakukan penelitian terhadap jenis serovar leptospira dengan pemeriksaan microscopic agglutination test (MAT) serta faktor risiko yang turut berperan menimbulkan kesakitan pada daerah endemis leptospirosis di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Menggunakan analisis terhadap dinamika penularan tersebut, diharapkan dapat diketahui intervensi yang lebih baik untuk pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan leptospirosis di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas yaitu tingginya angka kejadian leptospirosis di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2008-2010 dan belum diketahuinya serovar leptospira serta faktor risiko kejadian leptospirosis, maka peneliti menetapkan suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran jenis serovar leptospira yang ada di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimana gambaran faktor pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, pengetahuan dan sikap masyarakat yang berhubungan
7 dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Bagaimana gambaran perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta? 4. Bagaimana kondisi lingkungan di sekitar pemukiman masyarakat yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk memperoleh gambaran/deskripsi tentang kejadian leptospirosis secara obyektif dengan pendekatan seroepidemiologi serta faktor risiko untuk memperkuat sistem surveilans yang efektif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran jenis serovar leptospira yang ada di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Untuk mengetahui gambaran faktor pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, pengetahuan dan sikap masyarakat yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. d. Untuk mengetahui kondisi lingkungan di sekitar pemukiman masyarakat yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di daerah endemis Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
8 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengambilan kebijakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan leptospirosis. b. Sebagai dasar untuk meningkatkan kerjasama lintas sektoral dalam rangka pemecahan masalah yang ditemukan. 2. Bagi Institusi Pendidikan (UGM). Informasi yang diperoleh diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan kualitas penelitian lebih lanjut. 3. Untuk peneliti. Menambah wawasan pengetahuan khususnya tentang leptospirosis. E. Keaslian Penelitian Tabel 1a-1d memperlihatkan beberapa dari penelitian sejenis yang telah dilakukan, selanjutnya dibandingkan dengan penelitian yang akan dikerjakan. Tabel 1a. Penelitian Sejenis dari Ramadhani & Yunianto (2011) Penelitian Ramadhani & Yunianto (2011) Persamaan Perbedaan a. Judul : Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian Luar Biasa b. Variabel yang diteliti : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan jenis serovar c. Desain penelitian : Cross sectional d. Tempat : Kab. Kulon Progo Yogyakarta e. Subyek: Penderita leptospirosis yang datang berobat di yankes & jenis tikus. Pemeriksaan serovar dengan MAT, variabel umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan Variabel : pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan. Tidak melakukan pemeriksaan pada tikus. Desain penelitian: case-control Tempat: Kab. Sleman Subyek : masyarakat yang berdomisili di daerah endemis.
9 Tabel 1b. Penelitian Sejenis dari Kawaguchi et al. (2008) Penelitian Kawaguchi et al. (2008) Persamaan Perbedaan a. Judul : Seroprevalence of Leptospirosis and Risk Factor Analysis in Floodprone Rural Areas in Lao PDR b. Variabel yang diteliti : Umur, jenis kelamin, pekerjaan. Sumber air. Aktifitas individu.fasilitas sanitary. Jenis binatang ternak c. Desain penelitian : Cross sectional d. Tempat : Negara Laos e. Subyek: Masyarakat yg tinggal di desa rawan banjir. Beberapa variabel bebas ada yang sama, penentuan jenis serovar leptospira dengan menggunakan pemeriksaan MAT. Variabel : perilaku dan lingkungan akan dikembangkan lebih mendalam. Desain penelitian: case-control Tempat: Kab. Sleman DIY bukan daerah banjir Subyek : masyarakat yang berdomisili di daerah endemis. Tabel 1c. Penelitian Sejenis dari Thai et al. (2006) Penelitian Thai et al. (2006) Persamaan Perbedaan a. Judul : Seroepidemiology of leptospirosis in southern Vietnamese children b. Variabel yang diteliti : Umur & Jenis Kelamin responden. Jenis hewan peliharaan Sumber air. Riwayat kontak dengan air atau tanah: Berenang di sungai, menyeberangi sungai, bertempat tinggal di dekat pertanian, mencuci di sungai, jenis sampah c. Desain penelitian : Cross sectional d. Tempat : Vietnam Selatan. e. Subyek: Murid SD. Beberapa variabel bebas ada yang sama, penentuan jenis serovar leptospira dengan menggunakan pemeriksaan MAT. Variabel : perilaku dan lingkungan akan dikembangkan lebih mendalam. Desain penelitian: case-control Tempat: Kab. Sleman DIY bukan daerah banjir Subyek : masyarakat yang berdomisili di daerah endemis.
10 Tabel 1d. Penelitian Sejenis dari Ismail et al. (2006) Penelitian Ismail et al. (2006) Persamaan Perbedaan a. Judul : Retrospective Serosurvey of Leptospirosis Among Patients With Acute Febrile Illness and Hepatitis in Egypt. b. Variabel yang diteliti : Jenis Serovar leptospira c. Desain penelitian : case-control d. Tempat : Rumah sakit Infeksi di Mesir e. Subyek: Penderita dengan keluhan demam dan penderita hepatitis. Pemeriksaan serovar dengan MAT, desain penelitian case-control Variabel : Semua variabel bebas Tempat: Kab. Sleman DIY Subyek : masyarakat yang berdomisili di daerah endemis.