BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

suami yang sah dan melahirkan anak-anak serta mendidik untuk menjadi generasi yang berguna.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan. Meskipun pengaturan tentang kejahatan di Indonesia sudah sangat

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. rumah lebih dari satu hari keperluan tempat untuk tidur, istirahat, keselamatan,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. Anak merupakan generasi penerus bangsa, memiliki potensi tumbuh kembang

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jenis Kelamin. Umur : tahun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 284. (1) di hukum penjara selama lamanya sembilan bulan: berlaku padanya.

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah Negara Republik Indonesia. Negara Indonesia adalah negara

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau

BAB I PERANAN POLISI DALAM PELAKSANAAN PENERTIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. kenyamanan dalam rangka menuju masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Prostitusi bukan merupakan suatu masalah yang baru muncul di dalam masyarakat, akan

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berdasarkan atas hukum ( rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus. generasi muda. Generasi muda merupakan bagian dari pembangunan

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERAN POLRI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA CABUL PADA ANAK DI POLSEK KECAMATAN LOLAK KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROVINSI SULAWESI UTARA

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang besar. Perubahan tersebut membawa dampak, yaitu munculnya problema-problema terutama dalam lingkungan pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. itu, hukum pidana dan segala pengaturanya diatur dalam Kitab Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, pribadi yang akibatnya mengganggu dan merugikan pihak lain.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2003 T E N T ANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DI KABUPATEN JEMBRANA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. pangan, dan papan tercukupi. Akan tetapi pada kenyataannya, masih ada

III. METODE PENELITIAN. empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. melanjutkan kehidupan yang baik pula.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (United

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA. Oleh : Ahmad Sofian

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib kehidupan

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Praktek prostitusi merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental dan dapat menghancurkan keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya melarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam praktek prostitusi terdapat adanya mucikari, mucikari tersebut merupakan orang yang penghasilannya di peroleh dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh wanita-wanita yang tinggal bersama dia serumah dengan para langganannya. Mucikari diatur dalam Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Pasal 506 KUHP juga berlaku untuk mucikari yang rumusannya sebagai berikut : Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam pidana kurungan paling lama satu tahun. berdasarkan kedua Pasal tersebut dapat dikatakan terdapat pelarangan mengenai suatu perbuatan seorang yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan cabul dan dapat menjadi mata pencahariannya. Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang 1

mucikari. Disini para mucikari menggunakan seorang wanita untuk melakukan cabul dengan orang lain atau dapat disebutkan sebagai Pekerja Seks Komersial yang selanjutnya disebut PSK. Praktek prostitusi telah ada di daerah Salatiga kelurahan Sarirejo yang dikenal dengan sebutan Sembir. Tempat prostitusi ini umumnya terdiri dari rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo yang dulunya sering digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan intim (seks). Peraturan Daerah (PerDa) yang melarang segala bentuk pelacuran di Salatiga masih berlaku. Bahkan pada 1937 di masa kolonial, dalam perda tersebut sudah disebutkan Ver Ordening Ter Beteugeling Van De Straat Prostitue (peraturan yang membatasi prostitusi). Dua tahun kemudian diperbarui menjadi Salatigase Bordeel Verorneing Dua ketetapan itu dipertegas pada era kemerdekaan dengan Perda Nomor 62 Tahun 1954. Perda terakhir ini hingga sekarang belum pernah direvisi, diubah ataupun diganti sehingga masih tetap berlaku. Terakhir terdapat Keputusan Wali Kota Madya Nomor 462.3/328/1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Penghentian dan Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha Rehabilitasi serta Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo 1. Pada kenyataannya, pada tahun 2011 setelah adanya Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2011 pasal 2 dan pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga adalah menjadikan kota Salatiga sebagai alat operasional pelaksanaan pembangunan di wilayah kota Salatiga, menjadikan pedoman untuk 1 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/16/183339/penataan-sarirejo- Jangan-Rugikan-Siapa-pun 2

memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Salatiga, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan perkembangan wilayah kota Salatiga serta keserasian, memberikan arahan bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW kota, pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat dan penetapan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota 2. Pemerintah telah merubah tempat tersebut yang dulunya menjadi tempat prostitusi di daerah sarirejo ini yang kini dikenal atau dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk wisata karaoke bagi masyarakat di daerah salatiga. Tetapi masih saja disalahvgunakan oleh masyarakat untuk melakukan hubungan intim (seks), dimana masyarakat sekitar daerah Salatiga ini melihat bahwa selain mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke ada juga sebagian dari mereka yang menjajahkan dirinya untuk melakukan hubungan intim kepada setiap orang yang ingin melakukan hubungan intim. Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebisaan. Dengan demikian, pelaku prostitusi melakukan perbuatan tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan seksnya, juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Prostitusi di kenal juga sebagai penyakit sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang keberadaannya seperti kebiasaan manusia pada umumnya dan terus berkembang dalam bentuk-bentuk tindakan prostitusi itu sendiri. 2 Peraturan daerah kota salatia nomor 4 tahun 2011,tentang rencana tata Ruang Wilayah kota Salatiga 3

Peran dari Kepolisian Salatiga dilihat dari Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan dinyatakan tentang tugas dan wewenang Kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat agar dapat menyelenggarakan proses pembangunan nasional dan tercapainya tujuan nasional yang terjamin keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk lainnya yang meresahkan masyarakat. Dalam hukum pidana, dikenal adanya delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan tersebut. 3 Berdasarkan penjelasan delik tersebut diketahui bahwa suatu tindak pidana tersebut ada karna adanya perbuatan yang dilakukan. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan yang dilakukan adalah memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dan dengan orang lain. Sedangkan jika dilihat dari delik biasa perbuatan tindak pidana yang sudah termasuk dalam peraturan perundang-undangan dianggap perbuatan tindak pidana. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan ini sudah dianggap tindak pidana dan melanggar aturan serta norma-norma yang ada. Sesuai dengan tugas dan wewenang kepolisian yang telah dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 4 dan 5 tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian, seharusnya praktek seperti ini yang terjadi di daerah salatiga khususnya daerah sembir tidak boleh dibiarkan, supaya 3 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si.,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Hal.59. 4

penegakan hukum terhadap kejahatan kesusilaan dan atau perdagangan orang dapat dilaksanakan dan dapat terlaksana dengan baik. Prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. 4 Sedang prostitue adalah pelacur yang dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tuna susila. Pelacur sering dianggap sebagai wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Prostitusi adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Sehingga prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat. Prostitusi merupakan permasalahan yang sering menjadi wacana pembicaraan masyarakat di Salatiga. Prostitusi sering dikaitkan dengan masalah ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia sehingga berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi kaum wanita Indonesia. Kemiskinan yang tiada berujung seringkali membuat para wanita Indonesia menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dengan cara menjual diri. Kondisi tersebut merupakan fenoma yang banyak terjadi bahkan tidak hanya di Indonesia bahkan juga terjadi di beberapa Negara Asia seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand dan banyak Negara lainnya. Revolusi media cetak dan elektronikpun membawa dampak negatif terhadap masyarakat Indonesia seperti melemahnya hubungan kekerabatan antar keluarga, komunikasi antar keluarga, dan lingkungan sosial bahkan menurunnya nilai 4 WYS Poerwadarminto, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. 5

moral seseorang dimata masyarakat luas. Hal tersebut juga seringkali memunculkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengkoordinir atau mengakomodasikan para pekerja seks. Keadaan ini membuat banyak para pekerja seks maupun pengguna jasa pekerja seks beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS. 5 Ditinjau dari sudut wanita sebagai PSK atau pelaku prostitusi, terdapat berbagai persoalan hidup yang hanya dapat diselesaikan hanya dengan satu jalan yaitu menjajahkan dirinya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidup. Prostitusi sendiri sebenarnya sangat bertentangan dengan hukum di Indonesia yang diatur dalam Pasal 296 KUHP yang menyatakan : Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. 6 Meskipun undang-undang di Indonesia tidak ada yang melarang prostitusi, ada beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau istilah adalah seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat 5 Gunawan, Rudy (2000). Sex sebagai Simbol. Jakarta: Grasindo. 6 Kitab Undang-Undang Hukum pidana pasal 296 6

yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dibuang jauh-jauh. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, setiap orang dewasa memiliki hak beraktivitas apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi tubuh mereka, yang dalam hal ini adalah seks. Mengingat permasalahan prostitusi merupakan masalah yang rumit, maka diperlukan adanya suatu proses refleksi oleh semua pihak yang terkait mulai dari pemerintah, akademisi, kaum intelektual, dan masyarakat secara umum. Untuk memicu terjadinya hal tersebut diperlukan adanya penyadaran, bahwa kesadaran praktis yang selama ini ada dan oleh masyarakat sudah tidak berjalan lagi, yang terbukti dengan terpuruknya nasib para pekerja seks. Dengan tergoncangnya kesadaran praktis untuk kembali ke tahap kesadaran diskursif dimungkinkan adanya perubahan sosial pada prostitusi di negara kita dan bahkan di dunia. Terdapat faktor-faktor penyebab suatu prostitusi. Ada dua faktor yang menjadi penyebab prostitusi yaitu : (a) Faktor internal Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu- 7

satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk. (b) Faktor eksternal Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya. Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain: 1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu mereka patuhi. 2. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. Masyarakat sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung tidak memperdulikan sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat. 3. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaankebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi 8

kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot. Kepolisian Salatiga sudah semestinya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di salatiga ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5), perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan juga menjaga kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat 7 Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum menemui adanya kasus tindak pidana prostitusi ini, dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke yang sering menjadikan tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara tersembunyi yang belum diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus lebih sigap dan siap untuk mengatasi kasus prostitusi di daerah Salatiga ini 7 Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian Republik Indonesia. 9

khususnya di kelurahan Sidorejo agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan tidak menggangu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti permasalahan dalam penelitan ini adalah : Tindakan hukum apa yang diambil oleh pihak Polres Salatiga dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga khususnya di lokalisasi Sarirejo? C. Tujuan Penelitian. Menganalisis strategi dan langkah hukum yang diambil Polres Salatiga terhadap prostitusi di kota Salatiga. D. Manfaat Penelitian. 1. menganalisis strategi dan langkah-langkah yang akan diambil Polres Salatiga dengan cara mengelompokkannya menjadi dua cara yakni : a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penegak hukum di Indonesia juga masyarakat luas khususnya masyarakat kota 10

Salatiga untuk ikut dan berperan serta dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga. E. Metode Penelitian. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif, dimana penelitian normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan 8, dan juga dilengkapi dengan penelitian yuridis sosiologis. 2. Bahan hukum Penelitian menggunakan tiga jenis data yang meliputi : a. Bahan hukum primer, KUHP, Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia No.2 tahun 2002, dan Perda no.4 tahun 2011 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang meliputi teori-teori para ahli atau pakar hukum yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan tersier, dimana bahan tersebut merupakan bahan penunjang bagi hukum primer dan sekunder antara lain kamus umum, majalah, jurnal ilmiah dan surat kabar sebatas dipandang masih relevan dengan penelitian ini. 8 Rony Hanitijo Soemitro., metode penelitian hukum, Jakarta : ghalia Indonesia 1982, hal.24 11

3. Tekhnik pengumpulan Bahan hukum Tekhnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara kepustakaan atau library research. Teknik ini mengumpulkan literatur yang relevan dengan penelitian ini, sedangkan bahan hukum data primer dilakukan wawancara terhadap pihak kepolisian. 4. Unit analisis. Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif terkait dengan pelaksanaan Peranan Polres Salatiga Dalam Menangani Prostitusi. Dengan menggunakan penalaran hukum deduktif dan interprestasi hukum. 12