BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan salah satu komponen yang mendominasi dalam membangun pondasi struktur penerimaan dalam negeri di Indonesia. Pembangunan nasional pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama sama dengan pemerintah. Oleh sebab itu, pajak adalah iuran yang berasal dari masyarakat, maka peran dan kesadaran masyarakat tersebut dalam hal kewajiban membayar pajak harus selalu ditingkatkan. Pentingnya pajak bagi kelangsungan pembangunan negara tidak diragukan lagi, penerimaan pajak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan dalam negeri. Langkah pemerintah sebagai fiskus untuk meningkatkan penerimaan pajak telah dimulai melalui reformasi perpajakan pada tahun 1983 dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejak berlakunya reformasi, Indonesia menganut sistem self assessment. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:101), Self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dengan berlakunya Self Assessment System ini akan menciptakan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan penyelundupan atau penggelapan pajak (tax evasion). Hal itu sesuai dengan pendapat F.B. Hirawan (2007) yang 1
2 mengungkapkan bahwa secara eksplisit, self-assessment system merupakan sistem perpajakan yang sangat rentan sekali menimbulkan penggelapan pajak (tax evasion). Menurut M. Zain (2008:44) Tax Evasion adalah manipulasi secara illegal atas penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Kasus Tax Evasion (penggelapan pajak) saat ini makin sering terjadi di Indonesia dan berikut adalah contoh kasus kasus Tax Evasion (penggelapan pajak) yang terjadi di Indonesia : Tabel 1.1 Kasus Penggelapan Pajak Tahun Kasus Penggelapan Pajak 2009 Kasus Gayus Tambunan. 2011 Pencucian uang PT. Asian Agri Group (AAG). 2012 Kasus penggelapan pajak PT. Mutiara Virgo 2013 Kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh salah seorang pengusaha yang bergerak dibidang perdagangan elektronik di Riau. 2014 Kasus penggelapan pajak oleh seorang pengusaha di Sumbawa. Sumber : www.pajak.go.id Menurut Sri Hutami tax evasion biasa dilakukan perusahaan dengan cara membuat faktur palsu, tidak mencatat sebagian penjualan, atau laporan keuangan yang dibuat adalah palsu. Tetapi praktek penggelapan pajak seperti itu sudah sering ketahuan, maka modus penggelapan pajak sekarang berubah. Perusahaan biasanya melaporkan pajaknya relative kecil, sehingga akan ada pemeriksaan oleh aparat pajak. Hasil pemeriksaan biasanya kurang bayar yang sangat besar, perusahaan akan berusaha menyuap pegawai pajaknya agar kurang bayarnya menjadi kecil, hal ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak.
3 Semakin canggihnya skema skema transaksi keuangan yang ada dalam dunia bisnis tentu akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk merencanakan pajaknya. Ada dua hal yang sering dilakukan untuk menghemat jumlah pajak yang dilakukan perusahaan yaitu : tax avoiden (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Jika dipandang dari segi hukum, jelas bahwa tax avoiden adalah sah sepanjang tidak ditemukan unsur kejahatan pada saat pemeriksaan, tetapi untuk tax evasion jelas merupakan pelanggaran (Darussalam, 2009). Tax evasion ini akan membawa akibat, menurut McGee (1994) dana pajak yang seharusnya diterima negara untuk membangun fasilitas umum, membiayai kegiatan pemerintah tidak sampai pada negara, sehingga akan menghambat pembangunan, hak rakyat miskin untuk memperoleh subsidi dari negara tidak bisa diwujudkan. Banyak hal yang terhambat karena dana dari pembayaran pajak tidak masuk ke keuangan negara. Hasil survey Simon James et, al (1996:350), menunjukkan bahwa wajib pajak melakukan tindakan Tax Evasion akibat dipengaruhi oleh : Faktor persepsi wajib pajak terhadap tarif pajak, sistem perpajakan yang berkeadilan, bagaimana kebijakan pemerintah dalam menggunakan pajak yang sudah dibayar, dasar kecenderungan individu terhadap negara dan hukum secara umum, pengaruh lingkungan terhadap negara dan hukum secara umum, pengaruh lingkungan terhadap perilaku individu, bentuk administrasi perpajakan, praktisi perpajakan, tingkat dan deteksi kemungkinan hukuman, dan pelayanan bagi pembayar pajak.
4 Tinggi rendahnya ketidakpatuhan wajib pajak yang mengarah pada tindakan penggelapan pajak (tax evasion) secara material dipengaruhi juga oleh besaran biaya biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak (Safri Nurmantu, 2003:160). Dalam memenuhi kewajiban dan hak perpajakannya, Wajib Pajak tentunya akan mengeluarkan sejumlah biaya, baik biaya langsung secara tunai maupun biaya tidak langsung seperti biaya untuk waktu yang habis terpakai dalam menyelesaikan kewajiban kewajiban perpajakan. Biaya biaya untuk memenuhi kewajiban perpajakan dikenal dengan Biaya Kepatuhan Perpajakan (Tax Compliance Cost). Menurut Sanford v. Berg (2005:15), Tax Compliance Cost didefinisikan sebagai seluruh biaya di luar pajak terutang yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakannya, mulai dari aspek perpajakan dalam investasinya hingga saat menerima putusan banding dan melunasi pajak terutangnya. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Dadan Kusumawardana (2009) menyatakan bahwa Tax Compliance Cost yang ditanggung oleh wajib pajak relative besar dan hal tersebut mendukung terjadinya tindakan tax evasion. Berikut ini adalah hasil penelitiannya : Tabel 1.2 Tax Compliance Cost Wajib Pajak Badan KPP Pratama Bandung Cibeunying Tahun 2009 Tax Compliance Cost Hasil Penelitian Kriteria Direct Money Cost Fee konsultan pajak dalam sebulan >Rp 5.000.000 Besar Fee akuntan public dalam sebulan >Rp 5.000.000 Besar
5 Biaya mempelajari peraturan perpajakan dalam setahun >Rp 1.000.000 Besar Biaya transport pulang pergi untuk penyetoran dan pelaporan pajak dalam setahun Biaya mempekerjakan pegawai untuk mengarsip data perpajakan Biaya berkomunikasi ( surat menyurat, telpon) dengan account representative. >Rp 500.000 s.d. Rp 1.000.000 >Rp 1. 500.000 s.d. Rp 1.800.000 >Rp 500.000 s.d. Rp 1.000.000 Cukup Besar Cukup Besar Cukup Besar Biaya tak terduga berhubungan dengan pajak setahun >Rp 5.000.000 Besar Time Costs Waktu yang dibutuhkan WP untuk mengisi SPT tahunan Waktu terpakai untuk pulang pergi ke kantor pajak 2 hari 3 jam s.d. 4 jam Cukup Lama Cukup Lama Waktu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak >4 jam Lama Psychic Costs Perasaan WP setelah menyetor dan melaporkan pajak Tenang Perasaan WP saat menunggu hasil pemeriksaan Tidak Tenang Perasaan WP saat menunggu hasil pengajuan keberatan dan banding Tidak Tenang Sumber : Kusumawardana, Dadan (2009). Menurut Novita (2010:15), faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak badan antara lain sikap individu, niat individu, kondisi keuangan perusahaan, fasilitas perusahaan dan iklim perpajakan. Hal serupa juga dihasilkan dalam pengamatan Norma D. Nowak dalam M. Zain (2008:33), peningkatan penerimaan pajak sebesar 95% adalah hasil dari pengembangan iklim perpajakan. Untuk mencapai iklim perpajakan yang menunjukkan kepatuhan, berbagai
6 langkah telah ditempuh oleh wajib pajak. Salah satunya, melalui training perpajakan, atau menyewa jasa tax agent, sehingga perhitungan yang dihasilkan mempresentasikan nominal seharusnya. Untuk melakukan hal hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, disamping seperti biaya fotokopi dokumen, formulir, transportasi ke kantor pajak, pengarsipan, dll. Barbone et, Al (2012:2) menyatakan bahwa kepatuhan tidak akan terjadi tanpa effort (usaha), sehingga menjadi warga negara yang patuh terhadap hukum, dibutuhkan effort yang lebih, yakni tax compliance costs. Biaya kepatuhan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak apabila sangat besar maka keengganan Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan benar secara material semakin tinggi, sehingga tindakan tindakan penggelapan pajak (tax evasion) akan semakin meningkat. Esensi dari reformasi birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak adalah memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan meningkat secara berkelanjutan. Dalam hal kualitas pelayanan pajak (Tax Service Quality), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendapat kesan dan pandangan umum yang disampaikan oleh masyarakat bahwa masih belum maksimalnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal tersebut didukung oleh hasil survey PT. Surveyor Indonesia yang menyatakan bahwa dari 84.16% indeks kepercayaan yang didapat, 43.52% responden menjawab bahwa kinerja pelayanan DJP sama dengan tahun lalu, artinya tidak ada peningkatan kualitas pelayanan yang dirasakan. Munculnya oknum makelar pajak seperti Gayus, Dhana Widyatmika dan banyak petugas lainnya membuat keyakinan wajib pajak atas kinerja pelayanan pajak berkurang sehingga wajib pajak tidak mau membayar
7 pajak karena takut uangnya digelapkan, adanya biaya - biaya yang dipungut dan bukan untuk pembangunan negara (Nugroho, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari Kring Pajak 500200 dalam Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2012, wajib pajak yang menghubungi dalam hal melakukan pengaduan selama tahun 2012 adalah sebanyak 7.402 panggilan yang masuk, sedangkan panggilan yang berhasil dijawab sebanyak 5.821 atau 78.64%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan kepada wajib pajak masih belum memadai. Reformasi perpajakan berkelanjutan seharusnya diiringi oleh kualitas pelayanan yang lebih maksimal, ternyata fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:149) salah satu penyebab terjadinya tindakan penggelapan pajak (tax evasion) adalah pelayanan fiskus yang mengecewakan. Pelayanan aparat pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. Hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa dirinya telah memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak. Jika pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya merasa telah diapresiasi oleh fiskus. Mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar dengan pelayanan yang ramah saja, tetapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar pajak kembali. Mengacu fenomena seperti itu, maka aparat pajak dituntut untuk memberikan pelayanan yang ramah, adil dan tegas setiap saat kepada wajib pajak
8 serta dapat memupuk kesadaran wajib pajak tentang tanggung jawab membayar pajak (Fikriningrum, 2012). Jatmiko (2006) dalam penelitiannya mengartikan pelayanan sebagai cara petugas pajak dalam membantu mengurus atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan wajib pajak. Fenomena kualitas pelayanan yang belum maksimal ini turut berkontribusi pada terjadinya tindakan penggelapan pajak (tax evasion). Munculnya fenomena dimana semakin besarnya Tax Compliance Cost yang dikeluarkan oleh wajib pajak, terjadi peningkatan kasus Tax Evasion di Indonesia setiap tahunnya. Fenomena berikutnya juga berhubungan dengan peningkatan kasus Tax Evasion, yakni pada saat proses reformasi perpajakan yang terus berkelanjutan, seharusnya juga diiringi oleh peningkatan Tax Service Quality oleh fiskus, namun yang terjadi pun justru kualitas pelayanan cenderung tidak mengalami peningkatan. Berdasarkan fenomena, teori, pendapat para ahli yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, serta masih belum optimalnya pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diindikasikan berkontribusi dalam terciptanya tindakan penggelapan pajak atau disebut Tax Evasion. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menguji lebih lanjut mengenai hal menarik yang dilandasi fenomena fenomena di atas dalam penelitian yang berjudul : PENGARUH TAX COMPLIANCE COSTS WAJIB PAJAK BADAN DAN TAX SERVICE QUALITY TERHADAP TINDAKAN TAX EVASION.
9 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang penulis uraikan maka permasalahan yang akan diidentifikasi adalah : 1. Bagaimana pengaruh Tax Compliance Costs wajib pajak badan terhadap tindakan Tax Evasion? 2. Bagaimana pengaruh Tax Services Quality terhadap tindakan Tax Evasion? 3. Apakah Tax Compliance Costs wajib pajak badan dan Tax Services Quality berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan Tax Evasion? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini adalah agar dapat memberikan bukti empiris mengenai masalah yang diteliti yakni pengaruh Tax Compliance Costs wajib pajak badan dan Tax Services Quality terhadap tindakan Tax Evasion. Kemudian sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk menguji pengaruh Tax Compliance Costs wajib pajak badan terhadap tindakan Tax Evasion. 2. Untuk menguji pengaruh Tax Services Quality terhadap tindakan Tax Evasion. 3. Untuk menguji pengaruh Tax Compliance Costs wajib pajak badan dan Tax Services Quality terhadap tindakan Tax Evasion.
10 1.4. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat pada beberapa pihak diantaranya : 1. Bagi penulis Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi (S1) pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama, serta untuk menambah wawasan pengetahuan sebagai bagian dari proses belajar sehingga dapat lebih memahami bagaimana sebenarnya aplikasi dari teori teori yang telah penulis peroleh selama duduk di bangku kuliah, tentunya dengan topik yang penulis pilih. 2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sebagai masukan dalam rangka menekan jumlah Tax Compliance Costs wajib pajak, meningkatkan Tax Services Quality oleh petugas pajak dan mengurangi kasus Tax Evasion. 3. Bagi pihak lain Sebagai masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk mengkaji topik topik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
11 1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Karees. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai dengan selesainya penelitian ini.