BAB 4 HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
Prevalensi pre_treatment

UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PREVALENSI MIKROFILARIA ANTARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK DENGAN BRUGIA RAPID SKRIPSI

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. 1

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

Screening Uji Tapis/Screening

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Semarang Jawa Tengah. Data diambil dari hasil rekam medik dan waktu

PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I Infeksi dengue adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

BAB 4 HASIL PENELITIAN. Tabel 4.1. Frekuensi Pasien dengan Hiperplasia Folikel Limfoid Diagnosis PA Hiperplasia Folikel

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang. paling sering disebabkan oleh infeksi virus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. kusta maupun cacat yang ditimbulkannya. kusta disebabkan oleh Mycobacterium

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

ABSTRAK. Pembimbing II : Penny S M., dr., Sp.PK., M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. sepsis terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, 2004). Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

NILAI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS SPUTUM BTA PADA PASIEN KLINIS TUBERKULOSIS PARU DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting dalam. pelayanan kesehatan modern. Jika digunakan secara

Pengumpulan Data Lapangan Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB IV. Hasil dan Pembahasan. positif (Positive Predictive Value/PPV), nilai duga negatif (Negative Predictive

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

Transkripsi:

Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL PENELITIAN Sebanyak 1857 orang penduduk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penduduk laki-laki sebanyak 878 orang dan penduduk wanita sebanyak 979 orang. Gambar 1 menunjukkan prevalensi mf dan brugia rapid pada penduduk sebelum pengobatan. 80 70 60 50 40 30 79.8 20 10 0 25.9 Prevalensi MF Prevalensi BR Metode pem eriksaan Gambar 4.1. Prevalensi pasien positif filaria dengan menggunakan teknik membran filtrasi dan teknik Brugia Rapid sebelum dilakukan pengobatan. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 ll-20 21-30 31-40 41-50.>50 % MF % br Gambar 4.2. Perbandingan jumlah pasien positif filaria dengan menggunakan mikroskopik dan brugia rapid berdasarkan kelompok umur. 12

13 Pada gambar 2 diperbandingkan jumlah pasien positif filaria antara pemeriksaan mikroskopik dengan pemeriksaan brugia rapid berdasarkan kelompok umur sebelum dilakukan pengobatan. Dari tabel di atas ditemukan bahwa prevalensi mikrofilaria tertinggi dengan menggunakan teknik membran filtrasi adalah pada kelompok usia di atas 50 tahun. Sedangkan dengan menggunakan teknik brugia rapid, prevalensi tertinggi adalah pada kelompok usia 41-50 tahun. Dari gambar ini juga terlihat bahwa dengan pemeriksaan brugia rapid ditemukan prevalensi filariasis hampir 3 kali lipat lebih tinggi pada semua kelompok umur dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik. Tabel 4.1. Prevalensi pasien dengan brugia rapid berdasarkan jenis kelamin sebelum pengobatan massal Sebelum pengobatan BR Total Positif Negatif Jenis Kelamin Laki-laki 259 67 326 Total % 79% 21% 100,0% Perempuan 345 86 431 Total % 80% 20% 100,0% Pada tabel 1 diperlihatkan bahwa dengan menggunakan teknik brugia rapid, prevalensi filariasis tertinggi ditemukan pada jenis kelamin wanita yaitu sebesar 57,1% dari jumlah penderita. Tabel 4.2. Prevalensi pasien dengan brugia rapid berdasarkan jenis kelamin sesudah pengobatan massal Sesudah pengobatan BR Total Positif Negatif Jenis Kelamin Laki-laki 34 293 327 Total % 10% 90% 100,0% Perempuan 50 356 406 Total % 12% 78% 100,0%

14 Pada tabel 2 terlihat bahwa setelah pengobatan massal terdapat penurunan jumlah penduduk dengan hasil brugia rapid positif, baik laki-laki maupun perempuan. Prevalensi filariasis tertinggi tetap ditemukan pada jenis kelamin wanita, yaitu sebesar 59,5%. Tabel 4.3 Uji diagnostik antara pemeriksaan mikroskopik dan pemeriksaan Brugia Rapid Status Mf Total Positif Status BR Positif 187 (31%) Negatif 9 (6%) Total 196 (26%) Negatif 417 (69%) 144 (94%) 561 (74%) 604 100% 153 (100%) 757 (100%) Sensitivitas = 95,4 % Spesifitas = 25,67% NP+ = 30,96% NP- = 94,12% Prevalens = 25,89% RK+ = 1,28 RK- = 17,92 Pada tabel 4 dilakukan uji diagnostik antara teknik membran filtrasi dengan teknik brugia rapid untuk menentukan teknik yang paling relevan. Dari hasil perbandingan ditemukan perbedaan yang signifikan antara teknik membran filtrasi dengan teknik brugia rapid (p=0,000). Berdasarkan gambar 3 didapatkan penurunan prevalensi IgG4 setelah pengobatan MDA sebanyak lima kali. Penurunan prevalensi ini merupakan penurunan prevalensi yang signifikan. Tetapi sampai saat ini belum ada kriteria

15 dari WHO yang menentukan apakah MDA itu harus diteruskan atau dihentikan berdasarkan prevalensi IgG4.

BAB 5 PEMBAHASAN Sampai saat ini, keberadaan mikrofilaria di darah tepi masih menjadi gold standard untuk mendiagnosis infeksi filariasis limfatik karena sensitivitasnya yang tinggi. Selain diagnosis melalui mikroskop, infeksi filaria juga dapat ditentukan secara serologis, yaitu dengan menggunakan Brugia Rapid test yang mengandung antigen rekombinan BmR1 untuk menguji adanya imunoglobulin anti-filaria, IgG4 dalam tubuh manusia. 6 Dari hasil penelitian tersebut didapatkan prevalensi filariasis berdasarkan teknik membran filtrasi adalah 25,9%, sedangkan dengan menggunakan teknik Brugia Rapid, ditemukan 79,8% reponden menderita filariasis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan Brugia rapid dapat meningkatkan sensitivitas diagnosis untuk prevalensi filariasis sebanyak 3 kali. Perbedaan yang signifikan antara kedua teknik diagnosis filariasis limfatik mengindikasikan bahwa ada responden yang tidak memiliki mikrofilaria dalam darahnya namun memiliki atau menghasilkan antibodi IgG4 dalam darahnya. Hal ini dapat disebabkan karena: 6 Responden terinfeksi parasit namun memiliki jumlah parasit yang sangat sedikit Larva tidak menghasilkan mikrofilaria (cryptic infection) Infeksi di masa lampau Baru saja terpajan oleh larva infektif Berdasarkan hasil uji diagnostik seperti yang tercantum pada tabel 4, didapatkan bahwa sensitivitas dari pemeriksaan Brugia Rapid mencapai 95,4%, sedangkan spesifisitasnya hanya mencapai 25,67%. Hal ini menunjukkan bahwa teknik diagnosis terbaru ini memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi IgG4 dalam tubuh pada hasil uji mikroskopik positif, namun tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut akut atau kronik. Selain itu pada penderita 15

16 dengan uji mikroskopik negatif dapat memberikan nilai positif pada deteksi IgG4 (cryptic infection, densitas parasit rendah, baru terpajan L3). Selain sensitivitas dan spesifisitas, hal yang juga perlu diperhatikan adalah nilai duga dari uji diagnostik Brugia Rapid. Berdasarkan tabel 4 ditemukan bahwa nilai duga positif dari uji tersebut adalah 30,96%. Hal ini menunjukan bahwa jika ditemukan hasil Brugia Rapid positif maka terdapat kemungkinan sebesar 30,96% subyek tersebut menderita filariasis limfatik. Sedangkan nilai duga negatif dari teknik Brugia Rapid ini adalah 94,12%. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu subyek menerima hasil Brugia Rapid negatif, maka terdapat kemungkinan sebesar 94,12% subyek tersebut tidak menderita filariasis limfatik. Dari hasil uji diagnostik yang didapat, ditemukan bahwa sensitivitas teknik Brugia Rapid sangat tinggi (95,4%), sehingga teknik ini sangat cocok untuk skrining di lapangan. Sedangkan untuk diferensiasi penyebab kelainan, teknik ini masih belum bisa menggantikan gold standard uji diagnostik filariasis yaitu teknik membran filtrasi. Hal ini disebabkan karena nilai spesifisitas Brugia Rapid masih sangat rendah (25,67%) dan nilai duga positifnya juga cukup rendah (30,96%).