BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

JURNAL ILMIAH. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH FEBRI SRI UTAMI

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

III. METODE PENELITIAN. dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

III. METODE PENELITIAN. digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

III. METODE PENELITIAN. metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan.ketika pejabat penyidik pada saat mulai mengayuhkan langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah adalah mengumpulakan bukti-bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang 1

2 terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus sebagai tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan.jadi, meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidikan. Penyidik yang melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dilakukan akan mengalami kegagalan dalam upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, maka sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan seharusnya sejak awal sudah harus memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap sarana pembuktian, seperti yang diatur dalam pasal 116 sampai dengan pasal 121 KUHAP tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan tersangka dalam penyidikan. KUHAP mengatur tata cara pemeriksaan saksi dan tersangka dipenyidikan guna pemeriksaan saksi di kepolisan berjalan dengan baik sehingga tidak merugikan hak-hak terdakwa dan saksi. Sehingga berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian memuat keterangan saksi dan terdakwa sesuai dengan yang saksi dan tedakwa nyatakan berdasarkan kemauan mereka, tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

3 Saksi sebagai orang yang memberikan keterangan berdasarkan peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sangat diperlukan keterangannya dalam proses pembuktian. Keterangan saksi yang diberikan kepada penyidik harus bebas dari tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan (bukan dengan mengingat sumpah jabatan) kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi yang memberikan keterangan setelah ia menyetujui isinya (Pasal 75 jo 118 ayat (1) KUHAP). Dalam hal saksi tersebut tidak mau membubuhkan tanda tangannya maka penyidik tidak perlgu memaksa, akan tetapi cukup memberikan catatan dalam BAP disertai dengan alasannya 1. Keterangan saksi di penyidikan sangat penting untuk proses pembuktian dalam persidangan, karena dari BAP kepolisian (berkas perkara) dan kemudian oleh penuntut umum dimuat dalam dakwaannya, menjadi pedoman dalam pemeriksaan sidang. Hakim mempertimbangkan berita acara pemeriksaan di penyidikan yang dilanjutkan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan keterangan yang diberikaan oleh saksi secara langsung di persidangan.apakah keterangan di penyidikan sesuai dengan keterangan saksi di persidangan dan sebagai penambah keyakinan hakim dalam membuat putusan terhadap perkara tersebut.jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam bekas perkara, hakim 1 HMA Kuffal,SH, penerapankuhap dalam praktik, Umm Press, Malang, 2008, hal 176

4 ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan (Pasal 163 KUHAP). Dalam pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya maka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa keyakinan hakim mempunyai fungsi yang lebih dominan dibanding keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak dominaan, namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya berdasarkan pada keyakinan saja.karena keyakinan hakim itu harus didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup (minimal dua) 2. Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah : 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3. surat, 4. petunjuk, 5. keterangan terdakwa. Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana, hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan 2 Ibid, hal 35

5 saksi.meskipun yang dimintai keterangannya oleh hakim dalam persidangan adalah keterangan terdakwa, namun dalam hirarki alat-alat bukti yang sah keterangan saksi (terutama saksi korban) dianggap yang pertama, karena keterangan saksi adalah keterangan yang disampaikan oleh orang yang mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan dimuka sidang pengadilan. Dengan kata lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Lalu bagaimana jika saksi tidak dapat hadir kepersidangan untuk memberikan keterangan terhadap apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami? Karena saksi tidak dapat hadir ke persidangan untuk memberikan keterangan, maka keterangan saksi di penyidikan atau keterangan saksi dalam berita acara penyidikan kepolisian dibacakan di depan sidang. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kedudukan keterangan saksi di penyidikan yang dibacakan di depan sidang pengadilan itu sebagai alat bukti mengingat Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan. Kedudukan sebagai saksi merupakan kewajiban bagi setiap orang.karena begitu besarnya peranan saksi dalam pembuktian perkara pidana maka undang - undang mewajibkan kepada setiap orang untuk menjadi saksi untuk mengungkap suatu tindak pidana. Karena itu saksi yang dipanggil kepersidangan wajib memenuhi panggilan itu dan jika ia menolak untuk memenuhi panggilan atau memberikan

6 keterangan di muka sidang pengadilan ia dapat dituntut dan diancam pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan untuk perkara pidana, dan dalam perkara lain diancam pidana selama 6 (enam) bulan, (Pasal 224 KUHP). Dalam praktik, sering dijumpai tidak hadir atau tidak dipangginya saksi untuk memberikan keterangan di muka sidang.saksi tidak hadir dipersidangan dan tidak dilakukan pemanggilan karena alasan tertentu seperti meninggal dunia, karena berhalangan yang sah, tidak dipanggil karena jauh kediamannya, karena tugas negara maka keterangan yang telah diberikan (kepada penyidik) dibacakan di persidangan (Pasal 162 ayat (1) KUHAP). Lalu bagaimana kekuatan pembuktian yang disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang? Mengenai hal ini M. Yahya Harahap menyatakan bahwa keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan, dalam hal ini undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan pada sidang pengadilan. Namun demikian, kalau bertitik tolak dari ketetntuan Pasal 162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa disumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.tetapi nilai pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim.

7 KUHAP memberikan alternatif terhadap permasalahan keterangan saksi di penyidikan agar menjadi alat bukti yang sah.karena dalam praktik yang terjadi dalam peradilan, dimungkinkan saksi tidak dapat hadir dan memberikan keterangan langsung di hadapan majelis hakim.maka terhadap hal seperti ini hakim dapat menjadikan keterangan saksi di penyidikan (keterangan dalam berita acara pemeriksaan) yang dibacakan di persidangan sebagai alat bukti yang sah.untuk menjadikannya sebagai alat bukti, tentunya ada syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi tersebut menjadi alat bukti, yaitu keterangan saksi di penyidikan harus dilakukan di bawah sumpah. Permasalahan seperti ini, telah dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Negeri Stabat yang memutus perkara dengan terdakwa Mbantu Sembiring dengan Nomor Register 752/Pid.B/2012/PN.Stb yang menjadi kasus dalam tulisan ini. Penulis mencoba menyajikan pembahasan tentang bagaimana Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, khususnya terhadap alat bukti keterangan saksi.oleh karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/Pid.B/2012/PN.Stb).

8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah penerapan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana? 2. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam KUHAP? 3. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi dalam BAP kepolisian sebagai alat bukti yang sah di persidangan? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia; 2. untuk mengetahui bagaimana kedudukan saksi sebagai alat bukti dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Piadana; 3. untuk mengetahui kedudukan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai ketentuan hukum

9 pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia terutama tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. 2. secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai hukum pembuktian khususnya tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum, maka skripsi yang berjudul Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb) belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. E. Tinjauan kepustakaan 1. Pengertian saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat,

10 dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi memiliki enam pengertian, yaitu : a. saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. b. saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. c. saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. d. saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui. e. saksi diartikan sebagai bukti kebenaran. f. saksi adalah orang yang dapat diberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri. 3 Dalam Kamus Hukum, saksi diartikan sebagai seseorang yang mengalami, melihat sendiri, mendengar, merasakan sesuatu kejadian dalam perkara pidana. 4 Jadi bila dilihat perbandingan antara penegertian saksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pengertian saksi dalam kamus hukum, dapat dikatakan pengertian saksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih luas daripada Kamus Hukum. 3 Eddy O.S. Hiriej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hal 55 4 Ibid, hal 56

11 2. Pengertian Penyidikan Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan yaitu Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencarai serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 5 Penyidik yang dimaksud dalam defenisi penyidikan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) atau pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP). Sesuai dengan perumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, maka sasaran atau target tindakan penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/ jelas sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya. 6 Disamping penyidik polri, penyidik pegawai negeri sipil, ada juga penyidik jaksa yang bertugas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia.selain itu juga demi terlaksannaya hukum acara pidana yang efektif. Bagianbagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut: 5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 120 6 HMA Kuffal, Op. Cit. hlm.53,

12 a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. c. Pemeriksaan ditempat kejadian. d. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. e. Penahanan sementara. f. Penggeledahan. g. Pemeriksaan atau interogasi. h. Berita acara ( penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). i. Penyitaan. j. Penyampingan perkara. Sebelum dilakukan penyidikan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgai tindak pidana guna menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgaai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 5 KUHAP). Penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan.dengan adanya tahapan tindakan penyelidikan sebelum dilakukan tindakan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP yang berlaku sekarang ini dikandung maksud agar aparat penyidik dalam menggunakan kewenangan upaya

13 paksa lebih berhati-hati dan menghindarkan diri dari cara-cara yang menjurus kepada tindakan pemerasan pengakuan tersangka daripada upaya menemukan alat-alat bukti yang sah. Dengan demikian apakah akan dilakukannya penyidikan atau tidak terhadap suatu tindak pidana ditentukan oleh hasil penyelidikan. Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberi pembuktian-pembuktian mengenai kesalahan yang dilakukannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyidik akan menghimpun keterangan sehubungan dengan fakta-fakta tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. 7 Keterangan-keterangan yang dihimpun tersebut adalah mengenai: a. fakta tentang terjadinya suatu kejahatan b. identitas dari korban c. tempat diamana telah terjadi kejahatan d. bagaiamana kejahatan itu dilakukan e. waktu terjadinya kejahatan f. apa yang menjadi motif, tujuan, serta niat, dan g. identitas pelaku kejahatan. Dimulainya penyidikan adalah ketika digunakannya upaya paksa dalam rangka penyidikan suatu tindak pidana.sejak saat telah dimulainya penyidikan itulah timbul kewajiban penyidik untuk memberitahukan tentang telah dimulainya suatu 7 Gerson W. Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hal 19

14 penyidikan atas suatu tindak pidana kepada penuntut umum. 8 Setelah disampaikannya pemberitahuannya kepada penuntut umum, maka dengan otomatis telah terjalin hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum.tidak dapat dipungkiri, jaksa penuntut umum sangat butuh informasi-informasi dari hasil penyidikan untuk keperluan dakwaan bahkan sampai tahap tuntuan dalam persidangan. 3. Pengertian Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. 9 Selain itu, alat bukti dapat didefenisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. 10 Mengenai apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu peradilan akan mengaturnya secara rinci dan berbeda antara satu dengan lainnya. Misalnya, alat-alat bukti dalam hukum acara pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara perdata. 8 Harun M.Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, 1991, hal 104 9 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 11 10 Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, Hal 52

15 Andi Hamzah menyatakan alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atu dalam pidana perkara dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara pidana termasuk persangkaan dan sumpah. 11 Menurut pendapat Colin Evansdalam konteks teori, wujud bukti dapat beraneka ragam seperti saksi mata, ahli, dokumen, sidik jari, DNA, dan lain sebagainya.apa pun bentuknya, Colin Evans membagi bukti dalam dua kategori, yaitu bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (circumtantial evidence). Kendatipun demikian, dalam konteks persidangan pengadilan tidak ada pembedaan antara bukti langsung dan bukti tidak langsung, namun kekuatan pembuktian pembedaan tersebut cukup signifikan.terkait dengan bukti langsung dan tidak langsung, Phyllis B. Gerstenfeld membedakan, bukti langsung adalah bukti yang cenderung menunjukkan keberadaan fakta tanpa bukti tambahan.sementara itu, bukti tidak langsung adalah bukti yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan atas bukti tersebut. 12 Alat bukti mempunyai peranan yang sangat penting dalam persidangan.salah satu ketentuan dalam sistem hukum acara pidana di negara-negara modern sekarang ini, termasuk juga hukum acara pidana di Indonesia, bahwa untuk menghukum 11 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 2 12 Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, hal 52

16 seseorang haruslah didasarkan pada adanya alat-alat bukti.berdasarkan alat-alat bukti tersebut, hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan terdakwa dan menjatttuhkan hukuman (pidana) terhadapnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. F. Metode Penelitian Metode berasal dari bahasa Yunani Methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. 13 Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. 14 Sehubung 13 http://asep-solihin.blogspot.com/2012/11/metode-penelitian-2html, diakses tanggal 25 Februari 2014, pukul 13.30 WIB. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 1984, hlm 7.

17 dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif), dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka (library research). Selain itu untuk mendukung data penulis juga menggunakan metode penelitian empiris. Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara kepada hakim yang memberikan putusan dalam kasus ini. 2. Jenis Data dan Sumber Data a. Jenis Data Penelitian skripsi ini menggunakan jenis data sekunder.data sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. b. Sumber Data Sumber data sekunder ini mencakup tiga bahan hukum, yaitu : 1) Bahan hukum primer adalah bahan tulisan yang berupa undang-undang, di mana dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang Hukum Pidana. 2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasilhasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum.

18 3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus kamus bahasa dan kamus hukum yang relevan dengan skripsi ini. 3. Alat Pengumpulan Data Penelitian skripsi ini menggunakan analisis kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian dikaji sebgai suatu kesatuan yang utuh juga melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur-literatur yang berkenaan dengan materi skripsi. 4. Analisis Data Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif.metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasakan sumber-sumber hukum dan doktrin yang ada, bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai proses pemeriksaan saksi di pengadilan, serta pemaparan mengenai pertimbangan hakim dalam meringankan dan memberatkan terdakwa dalam putusannya.

19 G. Sistematika Penulisan Seluruh uraian yang ada dalam skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang akan memudahkan pembaca dalam membaca dan memahami isi skripsi ini. BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakng masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian, asas, dan tujuan dalam hukum acara pidana, pengertian hukum pembuktian, teori-teori pembuktian, macam-macam alat bukti menurut KUHAP, serta tujuan pembuktian. BAB III: KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI Dalam bab ini diuraikan mengenai syarat-syarat menjadi saksi, jenisjenis saksi, serta tata cara pemeriksaan saksi dipersidangan.

20 BAB IV: KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN DALAM PUTUSAN NO.752/PID.B/2012/PN.STB Bab ini diuraikan tentang kedudukan keterangan saksi dalam penyidikan yang dijadikan bukti yang sah dalam persidangan, serta pertimbangan hakim dalam menentukan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa pelaku tindak pidana pemerkosaan di Pengadilan Negeri Negeri Nomor 752/PID.B/2012/PN.STB BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah bagian penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah dibahas yaitu mengenai kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan (Studi putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/PID.B/2012/PN.STB)