Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 39 / III / 2010 TENTANG

2015, No Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahu

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 82 TAHUN 2015 TENTANG

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No personel ahli perawatan harus memiliki sertifikat kelulusan pelatihan pesawat udara tingkat dasar (basic aircraft training graduation

2017, No Udara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Informasi Aeronautika (Aeronautical Information Publication (AIP)) Indonesia secara elektronik; d. bahwa berdasarkan pertimbangan seb

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

2017, No dalam rangka Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation). Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 te

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan L

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 216 TAHUN 2017 TENTANG

2018, No Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara R

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 216 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR PK 7 TAHUN 2015 TENTANG INSPEKTUR PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA BADAN SAR NASIONAL

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang K

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PENGAMANAN INFORMASI

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tam

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

2016, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :.KP TAHUN TENTANG

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Indonesia Nomor 58 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubung

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, L

2016, No Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang; c. bahwa Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Per

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2018 TENTANG KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN DALAM IMPLEMENTASI PEMANFAATAN FASILITAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pe

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3

2017, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5048); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Ta

2017, No logistik guna mengembangkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu menyesuaikan ketentuan permodalan badan usaha di bidang pengusahaan an

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

PENINGKATAN FUNGSI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

2015, No Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara (Lembaran Negara Republik Ind

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 27/PJ/2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN DI TEMPAT PELAYANAN TERPADU KANTOR PELAYANAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXXXX TAHUN 2017 TENTANG SERTIFIKASI ALAT DAN/ATAU PERANGKAT TELEKOMUNIKASI

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pe

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 228/PMK.03/2017 TENTANG RINCIAN JENIS DATA DAN INFORMASI SERTA TATA CARA PENYAMPAIAN

2017, No c. bahwa untuk melaksanakan simplifikasi ketentuan yang mengatur mengenai rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaia

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

2016, No Negara Republik Indonesia Nomor 5601); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektr

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 596 TAHUN 2015 TENTANG

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 3

(SAFETY (ADVISORY DEPARTEMEN

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 ten

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Pera

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 55 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI KESEHATAN PENERBANGAN

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembar

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

PART 69-01) PENGUJIAN LISENSI DAN RATING PERSONEL PEMANDU

2017, No Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Fungsional pada Lembaga Administrasi Negara tidak sesuai lagi

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 67 TAHUN 2017 TENTANG PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMENUHAN STANDAR KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (EXEMPTION] DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap penyedia jasa penerbangan wajib mematuhi seluruh standar keselamatan penerbangan sipil; b. bahwa dalam keadaan tertentu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan, dan dapat diberikanpengecualian dari kewajiban pemenuhan standar keselamatan penerbangan sipil (exemption); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pengecualian dari Kewajiban Pemenuhan Standar Keselamatan Penerbangan Sipil (Exemption); Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

-2-2. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); 3. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 44 Tahun 2017tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 816); 5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 93 Tahun 2016 tentang Program Keselamatan Penerbangan Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1071); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMENUHAN STANDAR KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (EXEMPTION). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Penyedia jasa penerbangan adalah orang perseorangan, badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, badan usaha pemeliharaan pesawat udara, penyelenggara pendidikan dan pelatihan penerbangan, dan badan usaha

-3- rancang bangun dan pabrik pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponen pesawat udara. 2. Pengecualian dari kewajiban pemenuhan standar keselamatan penerbangan sipil (exemption), untuk selanjutnya disebut dengan exemption adalah keadaan penyedia jasa penerbangan tidak memenuhi ketentuan standar keselamatan penerbangan sipil. 3. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. 4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pasal2 Penyedia jasa penerbangan wajib mematuhi seluruh standar keselamatan penerbangan sipil. Pasal 3 (1) Dalam hal kondisi tertentuyang tidak lazim (extraordinary circumstances) yang menyebabkan tidak terpenuhinya standar keselamatan, penyedia jasa penerbangan dapat diberikan exemption. (2) Standar keselamatan penerbangan sipil yang dapat dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk standar keselamatan penerbangan di bidang investigasi kejadian dan kecelakaan pesawat udara. (3) Exemption dapat diberikan kepada penyedia jasa penerbangan terkait dengan pemenuhan standar keselamatan di bidang: a. kelaikudaraan; b. pelayanan navigasi penerbangan; c. pengoperasian pesawat udara; d. bandar udara; dan e. lisensi personel penerbangan.

- 4 - (4) Exemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara tertulis oleh Direktur Jenderal. (5) Penyedia jasa penerbangan yang diberikan exemption sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memgutamakan aspek keselamatan penerbangan. Pasal 4 Exemption sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 terdiri atas: a. Exemption standar; dan b. Exemption karena keadaan kahar (force majeur). BAB II EXEMPTION STANDAR Pasal 5 (1) Penyedia jasa penerbangan mengajukan permohonan exemptz'onstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara, dengan persyaratan: a. mengajukan surat permohonan secara tertulis; dan b. melampirkandata dukung. (2) Permohonan harus diterima oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tanggal pengecualian dibutuhkan. (3) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mempertimbangkan bahwaexemption terhadap peraturan perundang-undangan merupakan satusatunya jalan, dan jangka waktu 60 (enam puluh) hari ini dimaksudkan untuk: a. memastikan bahwa permohonan pengecualian dapat dikaji secara tepat dalam waktu yang cukup; b. mendorong penyedia jasa penerbanganagar menerapkan sistem perencanaan dan strategipenilaian hal-hal yang dapat menyebabkan

- 5 - tidak tercapainya keselamatan penerbangan (fall back management); dan c. memastikan bahwa pengecualian dari kewajiban (exemption) tersebut sangat dibutuhkan. (4) Apabila suatu exemption standar dibutuhkan segera, Direktorat Jenderal dapat menerima permohonan yang diajukan kurang dari 60 (enam puluh) hari sebelum exempti'onstandar tersebut dibutuhkan, dengan mempertimbangkan: a. maksud dan tujuan dari permohonan exemption standar yang diajukan; b. alasan permohonan tidak disampaikan 60 (enam puluh) hari sebelum exemption standar dibutuhkan; dan c. kecukupan waktu Direktorat Jenderal dalam melakukan evaluasi. Pasal 6 (1) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, paling sedikit memuat data pemohon sebagai berikut: a. nama; b. alamat; c. nomor fax; d. nomor telepon; dan e. alamat email. (2) Informasi nama dan alamat pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus memenuhi ketentuan berikut: a. apabila permohonan pengecualian diajukan oleh sebuah organisasi, maka permohonan harus memuat nama dan detail orang yang bertindak sebagai kontak utama dalam organisasi tersebut dalam permohonan ini; b. apabila nama dagang dan nama badan hukum pemohon berbeda, permohonan harus

-6- mencantumkan nama badan hukum yang akan menerima exemption standar yang diterbitkan; c. untuk permohonan dari badan hukum harus mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak; dan d. Jika exemptionstandar terkait dengan fasilitas, permohonan harus menjelaskan lokasi fasilitas tersebut. Pasal 7 Data dukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, paling sedikit memuat: a. kutipan ketentuan standar keselamatan penerbangan dari peraturan perundang-undangan yang dimohonkan mendapat exemption, termasuk nama peraturan perundang-undangan serta detil Pasal atau ayat yang mengatur standar keselamatan tersebut; b. jenis pengoperasian yang akan dilaksanakan berdasarkan exemption standar yang dimohonkan; c. tanggal pemberlakuan dan masa berlaku exemption standar yang dimohonkan; d. alasan pengajuan exemption standar; e. penjelasan mengenai bagaimana exemption standar ini akan berpengaruh terhadap kepentingan publik, serta keuntungan bagi publik dengan adanya exemption standar ini; f. penjelasan secara rincicara alternatif (alternative means) untuk memastikan bahwa level keselamatan yang sesuai dengan standar keselamatan penerbangan dapat tercapai, dengan memperhatikan pencapaian faktor resiko serendah mungkin sebagaimana ditetapkan dalam program keselamatan penerbangan nasional; g. penjelasan hal-hal lain terkait keselamatan penerbangan, termasuk informasi apapun mengenai kecelakaan atau kejadian, berkaitan dengan standar keselamatan penerbangan yang ingin dikecualikan,

-7- h. penilaian resiko (risk assesment) dan mitigasi resiko (risk mitigation); dan i. jika pemohon ingin melakukan operasi penerbangan di luar ruang udara Indonesia berdasarkan exemption standar yang diajukan, permohonan harus menyebutkan apakah exemption itu akan bertentangan dengan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan dari International Civil Aviation Organisastion (ICAO SARPs). Pasal 8 (1) Permohonanexemption standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dievaluasi oleh Direktorat teknis sebelum dinyatakan ditolak atau disetujui. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempertimbangkan: a. kepentingan publik (public interest) ; b. penilaian resiko (risk assessment) dan mitigasi resiko (risk mitigation); c. level keselamatan yang dapat diterima (acceptable level ofsafety); d. untuk penyedia jasa penerbangan yang akan melakukan kegiatan penerbangan di luar wilayah Indonesia, harus sesuai dengan dokumen dari International Civil Aviation Organisastion (ICAO) atau dokumen lain yang disetujui oleh Otoritas Penerbangan di negara tersebut; e. tanggapan dari pihak terkait mengenai pengecualian yang diajukan, apabila ada; dan f. informasi lain yang diperlukan. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: a. evaluasi administratif terhadap surat permohonan dan data dukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8; b. pengujian (test); c. wawancara;

-8- d. verifikasi lapangan;dan/atau e. demonstrasi. (4) Direktorat teknis menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal. Pasal 9 (1) Mekanisme penilaian resiko (risk assessment) dan mitigasi resiko (risk mitigation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Dalam memproses permohonan exemption standar, Direktorat Jenderal akan mempertimbangkan seluruh informasi yang disampaikan oleh pemohon dan catatan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal. (3) Apabila sebelumnya pemohon memiliki exemption standaryang telah dicabut, Direktorat Jenderal akan memperhatikan pencabutan itu sebagai pertimbangan mengenai kemampuan pemohon dalam melakukan fungsi yang diperlukan saat mendapatkan exemption standar. Pasal 10 (1) Untuk permohonan perpanjangan terhadap exemption standaryang sudah dimiliki, permohonan yang diajukan tersebut tidak perlu melampirkan informasi yang sudah disampaikan sebelumnya terkait dengan exemption standar yang disebutkan. Namun permohonan harus wajib dilampirkan risk assessment dan risk mitigation yang telah dievaluasi. (2) Apabila diperlukan, Direktorat Jenderal dapat meminta data dukung tambahan selain yang dipersyaratkan pada ayat (1) sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan penerbitan perpanjangan exemption standar.

-9- Pasal 11 (1) Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan exemption standar. (2) Direktur Jenderal menyampaikan suratpersetujuan atau penolakan terhadap permohonan exemption standar kepada pemohon, disertai dengan hasil evaluasi yang menjadi dasar permohonan disetujui atau ditolak. Pasal 12 (1) Untuk exemption standar yang melekat pada sertifikat yang memiliki masa berlaku maka masa berlaku exemption standar tersebut paling lama mengikuti masa berlaku sertifikat. (2) Untuk exemption standar yang melekat pada sertifikat yang masa berlakunya sepanjang masih beroperasi, maka masa berlaku pengecualian paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal mulai berlaku. Pasal 13 Persetujuan exemption standar yang sudah diterbitkan tidak dapat dipindahtangankan. Pasal 14 (1) Surat persetujuan exemption standar yang diterbitkan harus dilampirkan dalam dokumen yang memuat kewenangan dari pemohon terkait dengan standar keselamatan penerbangan yang mendapatkan exemption standar. (2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain dapat berupa: a. Sertifikat pengoperasian pesawat udara; b. Sertifikat bandar udara; atau c. Manual pengoperasian.

- 10- Pasal 15 (1) Penyedia jasa penerbangan dapat mengajukan permohonan ulang, apabila permohonan exemption standar ditolak. (2) Permohonan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan: a. perbaikan terhadap temuan yang salah; b. pertimbangan hukum yang menguatkan pemohon terhadap peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan termasuk dokumen ICAO; dan c. bukti tambahan terkait yang belum disampaikan pada permohonan pengecualian yang sebelumnya. (3) Evaluasi permohonan ulang akan dilakukan oleh Direktorat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 16 (1) Direktur Jenderal dapat menerbitkan exemption standaratas inisiatif sendiri dalam halterdapat kekurangan pada standar keselamatan penerbangan dimana penerbitan exemption standar merupakan satu-satunya cara untuk mengatasinya dalam jangka pendek. (2) Pengecualian yang diterbitkan atas inisiatif Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti dengan perubahan peraturan perundangundangan yang menetapkan standar keselamatan dan keamanan tersebut. BAB III EXEMPTION KARENA KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEUR) Pasal 17 (1) Exemption karena keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b

-11 - diterbitkan dalam hal terjadi kejadian kahar (force majeur). (2) Keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perang, kerusuhan sipil, gempa bumi, banjir, kebakaran dan bencana alam lain di luar kemampuan manusia. Pasal 18 (1) Exemption karena keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17diterbitkanoleh Direktur Jenderal dalam bentuk panggilan telepon, surat elektronik, SMS (short message service) atau bentuk lain yang memungkinkan dilakukan secepatnya. (2) Surat persetujuan resmi untuk exemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal persetujuan pengecualian melalui telepon, email, SMS (short message service) atau bentuk lain diberikan. Pasal 19 Masa berlaku persetujuan Exemption karena keadaan kahar (force majeur) paling lama 12 (dua belas) bulan. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 20 Penyedia jasa penerbangan yang memperoleh persetujuan exemption wajib mengevaluasi keefektifitasan pelaksanaan risk mitigation secara berkala sepanjang masa berlaku pengecualian dan meiaporkan hasilnya ke Direktur Jenderal. Pasal 21 Direktorat Jenderal melakukan pengawasan secara berkala terhadap persetujuan pengecualian yang telah diberikan.

- 12- Pasal 22 (1) Persetujuan exemption dapat dicabut secara sepihak oleh Direktorat Jenderal apabila berdasarkan hasil pengawasan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pemegang persetujuan exemption tidak dapat memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan pada saat exemption diberikan, dengan pertimbangan keselamatan penerbangan. (2) Direktorat Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan pencabutan pengecualian kepada pemegang pengecualian, dengan disertai alasan pencabutan. Pasal 23 Persetujuan exemption dapat dicabut berdasarkan permintaan dari pemegang persetujuan. Pasal 24 (1) Exemptionyang sudah diterbitkan disimpan dalam sistem database masing-masing Direktorat teknis yang melakukan evaluasi. (2) Exemptionyang memiliki dampak luas terhadap penerbangan dipublikasikan melalui Publikasi Informasi Aeronautika (AIP). BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai exemption sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara.

- 13- Pasal 26 Direktur Jenderal Perhubungan Udara mengawasi pelaksanaan Peraturan Menteri ini. Pasal 27 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor PM 82 Tahun 2015 tentang Pengecualian (Exemption) dari Kewajiban Pemenuhan Standar Keselamatan, Keamanan dan Pelayanan Penerbangan Sipil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 687), dinyatakan tidak berlaku.

- 14- Pasal 28 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2017 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd BUDI KARYA SUMADI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2017 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1103 suai dengan aslinya IRO HUKUM I RA 1AYU a Mi. da (IV/c) 198903 2 010

- 15- LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 67 TAHUN 2017 TENTANG PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMENUHAN STANDAR KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (EXEMPTION) PENILAIAN RISIKO (RISK ASSESSMENT) Penilaian risiko merupakan proses identifikasi, analisa, dan eliminasi dan/atau miitgasi pada tingkat yang dapat diterima terhadap risiko yang mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan. Penilaian risiko bertujuan untuk mencari keseimbangan alokasi sumber daya terhadap segala risiko dan pengendalian serta mitigasinya. Dalam manajemen risiko ditentukan terlebih dahulu probabilitas risiko dan keparahan/konsekuensi risiko. PROBABILITAS RISIKO Probabilitas adalah kemungkinan terjadinya situasi yang membahayakan. Pertanyaan yang dapat kita gunakan untuk menilai probabilitas terjadinya sesuatu antara lain: Apakah ada sejarah terjadinya peristiwa yang sama/serupa di masa lalu? Apakah ada peralatan atau komponen sejenis yang mungkin mengalami kerusakan serupa? Probabilitas Kejadian Defmisi kualitatif Frequent Arti Mungkin terjadi berkalikali (telah berulang kali terjadi) Nilai

- 16- Occasional Mungkin terjadi 4 beberapa kali (telah beberapa kali terjadi) Remote Kemungkinan kecil, 3 tetapi bisa terjadi (telah terjadi tapi jarang) Improbable Sangat kecil 2 kemungkinannya terjadi (belum pernah diketahui terjadi) Extremely improbable Hampir tidak mungkin 1 terjadi KEPARAHAN/KONSEKUENSI RISIKO Yang dimaksud dengan keparahan adalah kemungkina konsekuensi dari situasi bahaya, dimana sebagai patokan adalah situasi terburuk yang mungkin terjadi. Dalam menentukan keparahan dari suatu risiko dapat digunakan pertanyaan antara lain: Adakah ada kemungkinan korban jiwa dari pihak manapun (penumpang, pegawai atau masyarakat)? Apakah ada kemungkinan kerugian properti atau finansial dari pihak manapun? Seperti kerugian properti secara langsung atau kerusakan sarana prasarana atau kerusakan pihak ketiga atau adanya akibat finansial dan ekonomi? Apakah ada kemungkinan kerusakan lingkungan? Seperti tumpahan bahan bakar atau produk berbahaya lainnya atau gangguan fisik terhadap habitat alamiah. Apakah ada implikasi politik dan/atau ketertarikan media? Keparahan Risiko Suatu Peristiwa Definisi penerbangan Arti Nilai Catastrophic Peralatan hancur A Banyak kematian

- 17- Hazardous Penurunan besar dari batas Major Minor Negligible keselamatan, tekanan fisik atau beban kerja sedemikian rupa sehingga penyelenggara tidak dapat diandalkan untuj dapat melaksanakan tugas dengan akurat atau paripurna Cedera serius atau kematian bagi sejumlah orang Kerusakan besar pada peralatan Penurunan signifikan dari batas keselamatan, berkurangnya kemampuan penyelenggaran dalam menghadapi kondisi operasi yang sulit sebagai akibat dari peningkatan beban kerja, atau sebagai akibat dari kondisi yang mempengaruhi efisiensi penyelenggara tersebut Insiden serius Cidera serius Gangguan Keterbatasan operasi Penggunaan prosedur darurat Insiden kecil Konsekuensi kecil C D E

5D - 18 - TOLERABILITAS RISIKO Setelah dilakukan penilaian terhadap probabilitas dan keparahan suatu risiko, maka penilaian tersebut dimasukkan ke dalam matrik penilaian risiko. Masing-masing warna menyatakan toleransi keberadaaan suatu risiko. PROBABLITAS RISK SEVERITY (RISIKO KEPARAHAN) RISIKO Catastrophic Hazardous Major Minor Negligible A B C D E Frequent 5 5E Occasional 4 Remote 3 ^ 4D 4E 3B 3C 3D 3E Improbable 2 2A 2B 2C 2D 2E Extremely Improbable 1 1A IB 1C ID IE

- 19 - Setelah diperoleh indeks dari matriks penilaian risiko, hasilnya dimasukkan dalam matrik toleransi sebagai berikut: 5A, 5B, 5C, 4A, 4B, 3A Tidak dapat diterima pada kondisi yang ada 5D, 5E, 4C, 4D, 4E, 3B, 3C, 3D, 2A, 2A, 2B, 2C, 1A, IB Pengendalian risiko/mitigasi memerlukan keputusan manajemen. Dapat diterima setelah mengkaji pelaksanaan operasi 3E, 2D, 2E, 1C, ID, IE Dapat diterima KONTROL/MITIGASI RISIKO Setelah diperoleh indeks dan usulan kriteria, maka dilakukan langkah kontrol/mitigasi terhadap risiko tersebut. Mitigasi merupakan tindakan untuk menghilangkan potensi bahaya atau mengurangi probabilitas atau tingkat risiko. Mitigasi risiko tersebut harus menyeimbangkan antara: Waktu; Biaya; dan Tingkat kesulitan dalam mengurangi atau menghilangkan risiko (pengelolaan risiko) Dalam mitigasi terdapat 3 (tiga) defences yang dapat diterapkan: Teknologi; Training; dan Regulasi/prosedur. Manajemen risiko yang efektif berupaya untuk memaksimumkan keuntungan menerima sebuah risiko (pengurangan waktu dan biaya) dengan tetap meminimalisir risiko itu sendiri.

- 20- MONITOR DAN REVIEW Ketika perubahan dilakukan dengan menempatkan defences tersebut, maka harus dipastikan bahwa perubahan tersebut tidak membawa hazard baru, dan defences bekerja sebagaimana semestinya. Review dilakukan untuk melihat apakah defences sudah benar-benar dapat berjalan sehingga probablitias menjadi berkurang. MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd BUDI KARYA SUMADI i dengan aslinya RQ HUKUM t A I RAt AYU a Muda (IV/c) 198903 2 010