ASAS LEGALITAS DALAM DOKTRIN HUKUM INDONESIA: PRINSIP DAN PENERAPAN. Oleh: Dwi Afrimeti Timoera* ABSTRACT

dokumen-dokumen yang mirip
Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN:

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

ANALISIS PENGHAPUSAN FRASA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN DALAM PASAL 335 KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

TENTIR UJIAN TENGAH SEMESTER PENGANTAR HUKUM INDONESIA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS HUKUM 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Kapita Selekta Ilmu Sosial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTENTANGAN ASAS LEGALITAS FORMIL DAN MATERIIL DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KUHP *

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

BAB V PENUTUP. permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini, penulis dapat mengambil

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

Transkripsi:

ASAS LEGALITAS DALAM DOKTRIN HUKUM INDONESIA: PRINSIP DAN PENERAPAN Oleh: Dwi Afrimeti Timoera* ABSTRACT The principle of legality is a principle which determines that no act which is prohibited and punishable by criminal if not determined in advance in legislation. This principle is usually known as nullum delictum nulla poena sine praevia lege (no offense, no crime without law first. There are four principles of legality that is, the lex scripta (written law), lex chert (which includes criminal law), nonretroaktif (rule not retroactive) and analogy. Key Words: Law, principle of legality, criminal. Pendahuluan Asas umum dalam semua hukum menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa yang terjadi dan tidak mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang bisa menyatakan suatu undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan yang secara hirarki tingkatannya lebih tinggi dari undangundang itu sendiri (undang-undang dasar/konstitusi). Artinya suatu undang-undang tidak bisa menyimpangi ketentuan non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum nasional. Perubahan ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya akan dijadikan pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya. Selain akan dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam undang-undang dasar ini juga berlaku ketentuan peralihan, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan, Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Ini berarti peraturan perundangundangan yang ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku, sebelum dikeluarnya ketentuan baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya ketentuan Dosen Program Studi PPKn Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Pasal 1 KUHPidana (Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya asas legalitas dan non retroaktif. Aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandeman), tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan eksplisit tentang berlakunya asas legalitas dan nonretroaktif. Berarti, secara teoritis UUD 1945 (sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya yang merumuskan ketentuan asas legalitas (Purnomo 1994: 71). Landasan Argumen Seiring dengan berlakunya UUD 1945, maka berarti pula ketentuan yang mengatur tentang berlakunya asas legalitas dalam hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif. Masa Orde Lama di bawah rezim Sukarno, banyak menawarkan konsepkonsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan menyimpang dari ketentuan undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang, dan digantikan oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto. Belajar dari pengalaman masa sebelumnya yang banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi, maka tema besar pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenangwenang. Akibatnya memungkinkan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia. Di tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak pertengahan 80-an. Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right) ini ialah, ditempatkannya isu demokratisasi pada bagian penting, dalam pergerakan modal internasional. Di beberapa belahan negara

Dunia Ketiga, inilah awal dimulainya proyek redemokratisasi, yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998 rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh, diganti dengan Orde Reformasi. Tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dimasa yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang melegitimasi dirinya dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul suara-suara untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang amandemen pertama berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 19 Oktober 1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses amandemen. Rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan perubahan ke empat UUD 1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses amandemen UUD 1945 membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci dan memberikan kepastian hukum. Mengenai pencantuman asas legalitas dan prinsip non retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara, UUD 1945 pasca amandemen kembali memasukkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas legalitas dan prinsip nonretroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 I ayat (1). Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kata-kata yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun memberikan penegasan bagi ketentuan pasal tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi memberikan peluang bagi berlakunya suatu aturan yang menganut prinsip berlaku surut (retroaktif). Bambang Purnomo (1994: 71) mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan memperlakukan suatu undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan khusus yang mengatur hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk itu. Hal itu boleh dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan dan hanya terhadap perbuatan-perbuatan

yang menurut sifatnya membahayakan kepentingan umum. Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. Ernest Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingankepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundangundangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela) (Utrecht 1960: 194). 1. Pengertian Asas Legalitas Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility/ Criminal liability). Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht. Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu: a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturanaturan undang-undang. b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Pengertian pertama, bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam Pasal 1 KUHP dimana dalam teks Belanda disebutkan wettijke straf bepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal di atas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih berlaku, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan negara. Sifat melawan hukum yang materiil harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formil. 2. Dasar Asas Legalitas Asas legalitas tercantum didalam Pasal 1, ayat 1, KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan asas legalitas yaitu tak

ada pelanggaran dan tak ada hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan asas legalitas pada hukum pidana Islam ada tiga cara dalam menerapkannya, yaitu: a) Pada hukuman-hukuman yang sangat gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan dan ketentraman masyarakat asas legalitas dilaksanakan dengan teliti sekali sehingga tiap-tiap hukuman dicantumkan hukumannya satu persatu. b) Pada hukuman-hukuman yang tidak begitu berbahaya, syara memberikan memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman,. Syara hanya menyediakan sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu dengan hukuman yang sesuai bagi peristiwa pidana yang dihadapinya. c) Pada hukuman-hukuman yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan umum, syara memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan macamnya hukuman. Adapun pada hukum pidana positif cara penerapan asas legalitas untuk semua hukuman adalah sama yaitu suatu hal yang menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada mulanya hukum pidana positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan pidana, namun hal ini menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan yang tidak gawat setelah mereka mengingat aturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian, hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam) yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum. 3. Makna Asas Legalitas dalam Hukum Memahami makna asas legalitas, tergambar di situ sebuah supremasi hukum bagi masyarakat yang hidup dalam sebuah negara, karena dengan adanya asas ini pemerintah tidak dapat melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelum revolusi Perancis. Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk kejahatanpun berkembang dan semakin bervariasi jenis operandinya. Hal ini menuntut kita semua khususnya bagi para ahli hukum untuk menemukan hukum-hukum baru yang

disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Pembaharuan sangat diperlukan karena untuk mengganti bentuk-bentuk hukum yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Namun yang jelas dan tidak diragukan, manusia dan masyarakat pendukung hukum merasa tidak puas tentang hukum yang berlaku, karena adanya tuntutan pembaharuan, seperti halnya dengan kitab undang-undang hukum kita khususnya kitab Undang-undang Hukum Pidana kita (KUHP). Dalam KUHP kita perlu diadakan pembaharuan-pembaharuan lebih lanjut, karena pada dasarnya KUHP kita merupakan peninggalan kolonial, meskipun KUHP peninggalan kolonial ini sudah banyak dirubah akan tetapi masih saja kurang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak berpegang teguh pada adat. Dalam pandangan masyarakat dan para ahli hukum kita banyak yang menginginkan pembaharuan terhadap hukum pidana kita, yaitu dengan memasukan unsur-unsur hukum adat. Karena banyak peristiwa yang terjadi, dalam KUHP tidak diatur tetapi menurut pandangan masyarakat sebuah perbuatan tersebut bisa dikenai sanksi hukum, tidak bisa dilakukan dengan alasan KUHP tidak mengaturnya. Hal ini tentu akan melukai perasaan hukum yang ada dalam masyarakat kita. Maka dari itu dengan melalui seminarseminar tentang pembaharuan hukum pidana kita atau melaui forum-forum lainnya diharapkan sedikit banyak bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk KUHP kita. Mengenai asas legalitas dalam rancangan KUHP baru kita bahwa adanya perluasan konsep perumusan asas legalitas yaitu dengan mengakui eksistensi hukum yang hidup (hukum adat atau hukum tidak tertulis) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan tersebut tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang. Perluasan perumusan ini tentunya diharapkan bisa mewujudkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Berbeda lagi dengan asas legalitas yang ada dalam syari ah Islam. Dalam syari ah Islam asas legalitas sudah ada sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri yaitu mulai diturunkan ayat-ayat al-qur an yang berkaitan dengan masalah hukum. Apabila sebuah perbuatan tidak sanksinya tidak begitu dijelaskan dalam al- Qur an kita bisa melihat pada al-hadits, bila dalam al-haditspun tidak dijelaskan kita bisa melihat Ijma para ulama, dan

seterusnya pada Qiyas. Hal ini merupakan acuan bagi syari ah Islam dalam memutuskan suatu perkara. Maka di sini kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi antara syari ah Islam dengan hukum pidana kita terutama mengenai keberadaan asas legalitas dan konsepkonsepnya (untuk konsep dijelaskan lebih lanjut pada bab-bab berikutnya). Kita semua berharap agar rancangan pembaharuan KUHP bukan hanya merupakan sebuah konsep semata melainkan ada bentuk nyatanya, Sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat selama ini segera terwujud untuk menegakkan keadilan. 4. Fungsi Asas Legalitas Dalam KUHP Asas legalitas merupakan salah satu asas yang mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana kalau tidak ada undang undang yang mengaturnya. kalaupun ada kejahatan yang tidak atau belum diatur dalam undang undang maka pelaku kejahatan tersebut dikenakan sanksi atau hukuman yang dapat meringankan atau menguntungkan si pelaku tersebut. Kita tentu masih ingat pelaku bom Bali yang dulu dieksekusi mati sesuai dengan putusan majelis hakim yang terhormat. Tetapi di balik semua itu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan praktisi hukum. Di dalam KUHP telah jelas diterangkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana kalau belum ada undang-undang yang mengaturnya. Sama halnya dengan kasus yang menimpa Amrozi dan kawan kawan. Ini tentu sangat bertentangan dengan KUHP. Bagaimana tidak, undangundang terorisme keluar setelah peristiwa pemboman di Bali terjadi. Inilah yang menjadi kerumitan dari kasus tersebut, ditambah lagi dengan penolakan Judicial Review yang diajukan oleh tim pengacara Amrozi cs di Mahkamah Konstitusi. Di dalam konstitusi negara kita telah di sebutkan bahwa, setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hokum. Apakah dengan adanya berbagai tanggapan dari luar negeri membuat kita untuk berbesar kepala dan merasa bangga bahwa bangsa Indonesia tidak main-main dengan pelaku terorisme, dan lantas kita mengabaikan sistem hukum kita yang sudah lama kita jalankan dan kita patuhi. Kiranya ini merupakan tindakan yang sangat gegabah menurut saya. dan bisa jadi ke depannya, para penegak hukum kita akan sewenang wenang mengambil keputusan yang sangat tidak berdasarkan keadilan yang sesungguhnya.

5. Penerapan Asas Legalitas Materiil Di Indonesia Lahirnya kodifikasi Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 1918 menjadi jawaban penting bagi bangsa Indonesia sabagai dasar terhadap penghapusan konsep dualisme hukum pidana yang dapat memperkosa nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Pada tahun 1946 melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie mengalami perubahan menjadi Wetboek Van Srtafrecht Voor Indonesie yang dinyatakan berlaku di Indonesia sebagai salah satu bentuk yang menjadi bukti perjuangan bangsa menuju kemerdekaan Indonesia. Pentingnya hukum pidana sebagai pedoman dalam mengatur hidup kemasyarakatan maupun menyelenggarakan tata aturan dalam masyarakat menjadi suatu hal yang sangat urgen, sehingga fungsi hukum pidana secara khusus dalam hal melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan, kehormatan, harta, kemerdekaan) dari perbuatan yang hendak merusaknya dengan memberikan sanksi berupa pidana menjadi tujuan utama lahirnya hukum pidana. Beberapa asas yang menjadi landasan hukum keberlakuan Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang juga merupakan landasan bagi tujuan hukum secara umum dicantumkan di dalamnya guna memberikan rasa keadilan bagi warga negara, antara lain, yaitu asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege Poenalle) yang sudah secara tegas dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 (1) KUHP sebagai pandangan bagi hukum pidana yang mengandung makna : Pertama, Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana apabila hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang- Undang. Artinya bahwa untuk mengatakan bahwa perbuatan tersebut patut atau tidaknya dikatakan perbuatan melawan hukum apabila telah diatur undang-undang tersebut. Kedua, Untuk menentukan ada tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas). Artinya bahwa salah satu konsekuensi dianutnya asas legalitas formal dalam pasal 1 (1) KUHP adalah larangan untuk tidak menggunakan analogi dalam menentukan ada tidaknya suatu perbuatan melawan hukum. Ketiga, Larangan berlaku surutnya aturan pidana (asas non retro-aktif). Larangan berlaku surutnya aturan pidana hakikatnya sangat logis tertera dalam asas legalitas, berhubungan adanya ketentuan, bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi

pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana yang sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Jadi prinsip ini juga mengandung pengertian, bahwa undangundang itu hanya berlaku untuk hal-hal yang terjadi kemudian. Dominasi positivisme dalam hukum pidana Indonesia merupakan alasan negara dalam hal memberikan kepastian hukum serta rasa keadilan bagi setiap warga negara. Sadar terhadap kenyataan, bahwa di tengah konsep ideal yang ditawarkan dengan lahirnya produk hukum (undangundang) dan segala aspek yang melandasi lahirnya undang-undang tersebut, ternyata juga memberikan berbagai permasalahan hukum yang disebabkan kekurang pahaman konsep hukum tersebut terhadap prinsipprinsip yang hidup pada tatanan budaya bangsa Indonesia. Dominasi positivisme dalam hukum pidana Indonesia sebagai akibat di-marginal-kannya hukum (pidana) tidak tertulis (living law) menjadi salah satu hal yang menyebabkan nilai-nilai kebudayaan dari bangsa Indonesia terabaikan. Sebab, dalam banyak hal, asasasas/prinsip-prinsip yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih saja menampilkan wajah lamanya sebagai hukum pidana yang bersumber dari nilai-nilai budaya Barat yang seringkali bertentangan, bahkan merusak nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Salah satu contoh yang menggambarkan prinsip-prinsip/asas-asas yang bertentangan terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia tertera pada asas legalitas formal. Asas tersebut berpandangan bahwa untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum atau sebagai perbuatan pidana, harus didasarkan pada undang-undang atau peraturan tertulis saja, sehingga jika perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang tertulis, maka perbuatan tersebut tidak dapat dinggap sebagai perbuatan pidana, meskipun perasaan hukum atau nilai-nilai hukum masyarakat Indonesia memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela ataupun bertentangan/melawan perasaan hukum (nilai-nilai) masyarakat Indonesia. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pandangan yang hanya sematamata menititikberatkan pada legalistis normatif sebagai dasar untuk mengedepankan asas kepastian hukum kurang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sebab dalam masyarakat Indonesia juga mengakui hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan, apakah

perbuatan tersebut dianggap bersifat melawan hukum atau tidak. Dengan kata lain, aturan tidak tertulis juga menjadi ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan/tindakan pidana atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan asas legalitas meteriil Delik perzinahan yang dilakukan di luar nikah menjadi salah satu contoh perbuatan yang di kualifikasikan oleh nilainilai yang hidup pada masyarakat Indonesia sebagai perbuatan melawan hukum, yang mana dalam Pasal 284 KUHP membatasi pandangan delik perzinahan hanyalah pada persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang telah terikat perkawinan. Kualifikasi delik perzinahan yang dilakukan oleh pasangan yang belum terikat tali perkawinan sebagai perbuatan melawan hukum pada masyarakat Indonesia adalah hal yang bersifat mutlak. Apabila melihat deskripsi di atas yang tidak hanya selalu mengedepankan peraturan perundang-undangan tertulis, akan tetapi juga menjadikan landasan hukum tidak tertulis sebagai dasar untuk mengukur perbuatan melawan hukum, akanlah menjadi hal yang diharapkan oleh prinsip-prinsip yang tumbuh dari budaya Indonesia. Melalui jalan pikir ini, kekosongan dalam hukum tertulis tidak harus dijadikan alasan hukum untuk tidak mengkualifikasikan perbuatan perzinahan tersebut kedalam perbuatan melawan hukum. Pada berbagai putusan Mahkamah Agung juga telah menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya bertolak pada hukum secara legalistis (fomal) yang bertumpuk pada rasa kepastian hukum semata, akan tetapi, Mahkamah Agung juga telah memperluas pengertian asas legalitas, di mana asas legalitas tersebut tidak hanya mencakup perbuatan melawan hukum pada asas legalitas formil, tetapi juga berdasar pada asas legalitas meteriil (Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 666K/pid/1984). Kesimpulan Telah dijelaskan bahwa, dasar pokok dalam menjatuhi hukuman pada seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis, yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (criminal responsibility/ criminal liability). Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada

dasar yang pokok, yaitu, asas legalitas, yang merupakan asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan lebih dahulu). Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Pengertian pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang. Jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu harus ada, itu dengan jelas tampak dalam Pasal 1 KUHP dimana dalam teks Belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini konsekuensinya adalah bahwa perbuatanperbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih berlaku, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Tidak ada seorang ataupun individu dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya yang masih dipakai dalam kebanyakan negara. Sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada. DAFTAR PUSTAKA Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005. Lamintang, P.A.F., dan Samosir, Djisman, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001. Purnomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Utrecht, Ernest, Hukum Pidana I, Bandung: Universitas, 1960.