HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lahan Pertanaman Bawang Merah Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Secara umum tiga desa tersebut berada pada ketinggian 1458 di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 2634 mm/tahun dan suhu udara 16-24 C, jenis tanah Andosol, dengan ph tanah 4-5. Pada umumnya lahan pertanian di ketiga desa tersebut ditanami bawang merah, kubis, cabe, tomat, bawang daun wortel, buncis dan kentang. Tanaman lain yang juga ditanam oleh masyarakat setempat adalah padi sawah, tebu, kopi, casiavera dan jahe. Karakteristik Petani Bawang Merah di Kecamatan Lembah Gumanti Berdasarkan hasil wawancara terhadap 60 petani bawang merah di ketiga desa tersebut, sebagian besar petani responden pernah mendapatkan pendidikan formal. Petani dengan pendidikan Sekolah Dasar dan tidak tamat Sekolah Dasar hampir mencapai 60 %, sedangkan yang pernah/ lulus Sekolah Menengah Pertama 22%, Sekolah Menengah Atas 17 %, Perguruan Tinggi 5%. Hal ini menunjukan semakin merata dan membaiknya pendidikan petani. Rata-rata umur petani responden (80%) berkisar 21-50 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa rata-rata usia petani responden masih tergolong usia produktif. Sukirno (1981) menyatakan umur antara 15-50 tahun merupakan umur produktif di negara berkembang. Gambar 1 Tingkat pendidikan dan umur petani bawang merah di Kecamatan Lembah Gumanti
17 Bertani merupakan pekerjaan utama penduduk Kecamatan Lembah Gumanti yaitusebanyak 89%. Potensi lahan yang baik untuk usahatani hortikultura khususnya tanaman bawang merah merupakan faktor pendorong untuk tetap bertani. Hal ini terlihat juga dari pengalaman usahatani bawang merah sebagian besar petani yang cukup lama yaitu lebih 15 tahun. Selain petani, PNS dan wiraswasta banyak juga yang tertarik berinfestasi di sektor pertanian. Gambar 2 Pekerjaan dan pengalaman usaha bawang merah petani responden Berdasarkan survei diketahui bahwa sebanyak 90% petani responden sebagai pemilik lahan sendiri. Lahan yang ada merupakan warisan dari keluarga secara turun temurun dan hasil dari membeli dari petani lain. Luas lahan pada umumnya kurang dari 0.5 ha. Namun dewasa ini perkembangan usaha menjadi terhambat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dengan ketersedian lahan yang terbatas baik karena usahatani sendiri maupun karena konversi lahan pertanian menjadi perumahan. Sehingga kemungkinan persentase petani yang menyewa lahan (8%) dan penggarap (2%) akan bertambah. Gambar 3 Status kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola petani
18 Sebanyak 53,3% petani responden yang melakukan pola tanam rotasi. Petani melakukan rotasi tanaman dengan tanaman lain bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik dan merupakan alternatif untuk mengurangi resiko kegagalan panen menjadi lebih rendah. Sebanyak 45% petani responden melakukan pola tanam secara terus menerus sepanjang musim, bahkan petani tetap menanam bawang merah pada musim yang kurang baik untuk budidaya tanaman. Hal ini tidak menjadi pembatas bagi petani, terutama bagi petani yang dapat mengelola tanaman bawang dengan baik. Sebanyak 5% responden melakukan pola tanam secara tumpang sari antara tanaman bawang merah dengan cabe, bawang merah dengan salada dan bawang daun. Gambar 4 Pola tanam bawang merah di Kecamatan Lembah Gumanti Budidaya Tanaman Bawang Merah Bibit Petani di Desa Sungai Nanam (95%) dan Salimpat (85%) umumnya memperoleh bibit bawang merah dengan cara membibitkan sendiri. Sedangkan petani Desa Alahan Panjang sebagian besar petani membeli bibit dari petani lain (45%). Hal ini karena bibit yang dibeli mempunyai kualitas yang baik dan bisa langsung ditanam di lahan tanpa harus mengeringkan terlebih dahulu. Jenis varietas bawang merah yang digunakan adalah varietas lokal, antara lain Singkia medan, Singkia cirebon, Singkia gajah, Birma dan Thailand. Diantara varietas tersebut yang relatif tahan terhadap penyakit menurut petani adalah varietas Thailand, tetapi harga jualnya lebih rendah dibanding varietas yang lain. Varietas yang banyak dibudidayakan adalah varietas singkia medan dan
19 singkia Cirebon karena memiliki umur yang pendek (70 hari), dan memiliki kesesuaian dengan kondisi lahan setempat. Gambar 5 Asal bibit bawang merah yang digunakan petani responden Gambar 6 Varietas bawang merah yang digunakan petani responden Pengolahan tanah dan pemupukan Pengolahan tanah dilakukan dengan 3 tahap yaitu: penguludan, pemberian pupuk, dan pemasangan mulsa plastik. Guludan berukuran tinggi 20-30 cm, lebar 120 cm serta panjang disesuaikan berdasarkan luas lahan. Sebelum ditutupi dengan mulsa plastik, mulsa plastik dilubangi dengan teratur sesuai jarak tanam umumnya yaitu 15 x 20 cm dan 15 x 30 cm. Hampir semua petani menggunakan Pupuk an-organik untuk pertanaman bawang merah. Salah satu pupuk an-organik
20 yang banyak digunakan adalah pupuk NPK (NPK cap kuda, NPK mutiara dan NPK PONSKA) dan aplikasinya umumnya dicampur dengan jenis pupuk yang lain (gambar 7). Pupuk organik atau pupuk kandang yang digunakan adalah berasal dari kotoran ayam, kotoran sapi dan kompos. Sebagian besar petani responden menggunakan pupuk organik. Hal ini menunjukan kesadaran petani akan pentingnya penggunaan pupuk organik cukup baik, sehingga dapat memperbaiki struktur tanah yang berdampak negatif karena penggunaan pupuk an-organik secara terus-menerus. Gambar 7 Penggunaan pupuk an-organik oleh petani responden Gambar 8 Penggunaan pupuk organik oleh petani responden
21 Pengendalian gulma Pengendalian gulma dilakukan secara mekanik dengan mencabut langsung gulma menggunakan tangan, dan secara kimia menggunaan herbisida, serta penggunaan mulsa plastik hitam perak. Umumnya petani melakukan kombinasi ketiga metode pengendalian tersebut. Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak Umumnya petani sudah menggunakan mulsa plastik untuk budidaya bawang merah. Sebanyak 85% petani menggunakan mulsa sebagai salah satu cara untuk mengendalikan gulma. Pertimbangan petani menggunakan mulsa, karena mulsa dapat digunakan 3 sampai 5 kali musim tanam, sehingga petani dapat menghemat biaya penyiangan dan penggunaan pupuk. Selain itu diyakini oleh petani penggunaan mulsa plastik dapat mengurangi pencucian hara, meningkatkan kualitas produk, menekan gulma, meningkatkan kelembaban tanah dan meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi. Pemanfaatan mulsa juga diharapkan dapat membantu menurunkan laju penguapan dan porositas (penyerapan) air dalam tanah (Lamont, 1993; Zulkarnain, 1997). Penggunaan mulsa plastik di Kecamatan Lembah Gumanti mengalami peningkatan cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir. Gambar 9 Petani yang menggunakan mulsa plastik
22 Gambar 10 Pengalaman petani menggunakan mulsa plastik Permasalahan dalam usahatani Menurut petani masalah yang sering dihadapi dalam proses budidaya bawang adalah gangguan hama maupun penyakit dan cuaca atau kabut (gambar 11). Sebagian besar petani beranggapan yang menjadi penyebab kerusakan tanaman adalah dari kabut, karena setelah kabut terjadi tanaman bawang merah mengalami kerusakan pada bagian daun. Daun terlihat melengkung, menguning serta perkembangan tanaman bawang merah menjadi terhambat sehingga terjadi gagal panen. Petani di Desa Alahan Panjang dan Salimpat (29%) mengalami kesulitan mendapatkan air pada musim kemarau untuk budidaya karena irigasi kurang baik dan sebagian hanya mengandalkan hujan. Semenjak berkembangnya mulsa plastik, produktivitas hasil pertanian menjadi meningkat sehingga mendorong petani mengolah lahan mereka sendiri dari pada bekerja di lahan petani lain. Hal ini menyebabkan jumlah tenaga kerja berkurang dan semakin banyak lahan-lahan yang pada awalnya lahan tidur telah dimanfaatkan petani untuk bertanam bawang merah.
23 Gambar 11 Permasalahan yang sering dihadapi petani Kecamatan Lembah Gumanti Pengamatan Hama dan Penyakit Bawang Merah Hama bawang merah Hama yang banyak ditemukan di lahan pertanaman bawang merah adalah lalat pengorok daun Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae) dan ulat grayak Spodotera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Pengorok daun Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae) Serangan hama Liriomyza sp. ditemukan hampir di setiap lahan pengamatan. Serangan awal dapat terjadi pada saat tanaman berumur masih muda antara 2-3 minggu setelah tanam (MST). Perkembangan populasi Liriomyza sp. sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan terlihat dalam waktu 3 hari. Serangan dimulai saat imago menusukan ovipositornya pada daun bawang, terlihat seperti ada totol-totol putih kecil pada daun. Kemudian larva yang sudah menetas langsung mengorok bagian jaringan mesofil daun. Kerusakan yang terlihat pada bawang menyebabkan umbi membusuk dan daun menjadi kering seperti terbakar. Pada serangan yang berat seluruh areal pertanaman bawang akan mengalami busuk kering.
24. (a) (b) Gambar 12 Imago Liriomyza sp. (a) dan gejala serangannya (b) Tabel 1 Tingkat serangan Liriomyza sp. pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat. Desa Intensitas Kerusakan (%) P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 Sungai Nanam 17 17 23 27 11 12 Alahan Panjang 11 6 22 34 45 43 Salimpat 11 2 18 18 12 18 P) Pengamatan mingguan Intensitas kerusakan berkisar antara 2-45%. Intensitas kerusakan oleh Liriomyza sp. tertinggi terdapat di Desa Alahan Panjang yaitu 45% dan yang terendah di Desa Salimpat sebesar 2%. Tabel 1 dapat dilihat tingkat kerusakan hama ini di Desa Alahan Panjang cenderung meningkat tinggi pada tiap pengamatan.
25 Tabel 2 Rata-rata tingkat serangan Liriomyza sp. pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat. Desa Intensitas Kerusakan Rataan±Sd P-value Sungai Nanam 17.59 ± 11.18 0.096 Alahan Panjang 25.3 ± 3. 89 Sungai Nanam 17.59 ± 11.18 0.148 Salimpat 13.3 ± 8.78 Alahan Panjang 25.3 ± 3. 89 0.009 Salimpat 13.3 ± 8.78 Rata-rata intensitas kerusakan oleh Liriomyza sp. tertinggi terdapat di Desa Alahan Panjang yaitu 25,3% berbeda nyata dengan di Desa Salimpat sebesar 13.3 %. Hal ini diduga karena musim kemarau di Desa Alahan Panjang lebih lama dibandingkan dengan di Desa Salimpat sehingga kondisi tersebut dapat meningkatkan populasi hama, selain itu sebagian lahan yang diamati dan lahan disekitarnya banyak ditumbuhi oleh gulma, salada, buncis, yang merupakan tanaman inang Liriomyza sp, sehingga diduga Liriomyza sp dapat berpindah kepada lahan yang diamati, kemungkinan yang lain pestisida yang digunakan petani kurang efektif dalam mengendalikan hama tersebut. Ulat grayak Spodotera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) Serangan hama S. exigua menyebabkan hilangnya bagian daun dari tanaman yang ditandai dengan adanya telur dan larva pada bagian daun yang terserang. Kerusakan pada daun oleh ulat S. exigua ditunjukan adanya bercak-bercak putih yang makin lama makin meluas, sehingga daun berubah menjadi membran putih transparan atau lubang masuk (windowing). Bila populasi sangat tinggi larva S. exigua dapat merusak sampai ke umbi.
26 (a) (b) Gambar 13 Larva S. exigua (a) dan gejala seranganya (b) Tabel 3 Tingkat serangan S. exigua pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat. Desa Intensitas Kerusakan (%) P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 Sungai Nanam 5 4 0.5 1 3 0 Alahan Panjang 0 2 4 4 4 0 Salimpat 0.6 1 0 0 0 0.6 P) Pengamatan mingguan Intensitas kerusakan oleh S. exigua disetiap pengamatan tergolong rendah yaitu berkisar 0-5%. Serangan hama ini di Desa Salimpat ditemukan pada pengamatan 1 dan 2 dan pada beberapa pengamatan selanjutnya tingkat kerusakan tidak ada. Dari pengamatan langsung dapat terlihat bahwa sanitasi lahan dan penggunaaan pestisida di desa ini cukup baik sehingga dapat menekan perkembangan hama tersebut.
27 Tabel 4 Rata-rata tingkat serangan S. exigua pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat. Desa Intensitas Kerusakan Rataan±Stedev P-value Sungai Nanam 2.02 ± 4.36 0.817 Alahan Panjang 2.34 ± 5.29 Sungai Nanam 2.02 ± 4.36 0.087 Salimpat 0.4 ± 0.85 Alahan Panjang 2.34 ± 5.29 0.089 Salimpat 0.4 ± 0.85 Secara umum rata-rata intensitas kerusakan oleh S. exigua tergolong rendah yaitu berkisar 0.4-2.34 %. Berdasarkan uji t menunjukan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 5% di ketiga desa yang diamati. Salah satu faktor yang menyebabkan tingkat serangan yang rendah adalah penggunaan pestisida yang intensif, sanitasi lahan dan irigasi yang baik diduga dapat menekan perkembangan hama ulat grayak. Pada umumnya petani menggunakan insektisida berbahan aktif klorofukonazol karena menurut petani sangat efektif dalam menekan populasi hama tersebut. Penyakit bawang merah Becak ungu Altenaria porri Serangan A. porri mulai terlihat pada pengamatan minggu ke empat dan ke lima. Pergantian musim dari musim kemarau ke musim hujan diduga menjadi salah satu penyebab munculnya serangan A. porri. Menurut (Veloso, 2007) Keadaan udara yang lembab, suhu udara 30-32 C, cuaca mendung dan hujan rintik-rintik dapat mendorong perkembangan penyakit yang disebabkan oleh A. porri.
28 (a) (b) Gambar 14 Konidia A. porri (a) dan gejala penyakit bercak ungu (b) Tabel 5 Intensitas dan kejadian penyakit bercak ungu A. porri pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat Desa Intensitas Serangan (%) Kejadian Penyakit (%) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Sungai Nanam 0 0 0 0 31 32 0 0 0 0 61 71 Alahan Panjang 0 0 0 0 16 24 0 0 0 0 51 47 Salimpat 0 0 0 19 29 23 0 0 0 68 94 67 P) Pengamatan mingguan Gejala serangan A. porri tidak ditemukan diawal pengamatan. Serangan A. porri di ketiga desa mulai terlihat pada pengamatan 4 dan 5. Intensitas penyakit berkisar 16-32% dengan kejadian penyakit berkisar 51-94%. Serangan A. porri di Desa Salimpat ditemukan lebih awal yaitu pada pengamatan ke-4. Berdasarkan pengamatan di lapang musim hujan di desa ini mulai terjadi sebelum ditemukan gejala penyakit pada pengamatan ke 4. Hal ini diduga dapat menyebabkan gejala awal penyakit bercak ungu di desa ini.
29 Tabel 6 Rata-rata intensitas dan kejadian penyakit bercak ungu A.porri pada tanaman bawang merah di Desa Sungai Nanam, Alahan Panjang, dan Salimpat. Desa Intensitas Penyakit Kejadian Penyakit Rataan±Sd P-value Rataan ± Sd P-value Sungai Nanam 10.48 ± 24.64 0.395 22 ± 37.84 0.445 Alahan Panjang 5.57 ± 13.22 14.33 ± 30.73 Sungai Nanam 10.48 ± 24.64 0.825 22 ± 37.84 0.173 Salimpat 11.77 ± 13.69 38.17 ± 42.89 Alahan Panjang 5.57 ± 13.22 0.118 14.33 ± 30.73 0.033 Salimpat 11.77 ± 13.69 38.17 ± 42.89 Intensitas serangan A. porri di ketiga desa tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Serangan penyakit dapat ditekan oleh petani dengan penggunaan fungisida, drainase yang baik dan pengaruh musim kemarau. Berdasarkan pengamatan langsung di lapang musim hujan lebih cepat terjadi di Desa Salimpat dibandingkan kedua desa yang lain, sehingga menyebabkan meningkatnya perkembangan penyakit ini di Desa Salimpat. Menurut (Semangun, 2007) infeksi penyakit terjadi selain oleh kelembaban yang tinggi, juga diperlukan adanya lapisan air dipermukaan daun paling sedikit selama 4 jam. Hama dan penyakit lain yang ditemukan Ulat tanah Agrotis ipsilon (Lepidoptera : Noctuidae) Hama A. ipsilon tidak ditemukan pada lahan yang diamati, tetapi ditemukan pada lahan yang bersebelahan dengan lahan yang diamati, khususnya di Desa Sungai Nanam dengan intensitas kerusakan 4,8 %. Secara umum hama ini sulit ditemukan pada lahan petani, hal ini diduga karena pengaruh penggunaan pestisida secara intensif yang dilakukan oleh petani. Pestisida yang digunakan petani umumnya bersifat kontak dan sistemik. Insektisida sistemik diserap oleh organ tanaman, sehingga dapat masuk ke dalam organ pencernaan A. ipsilon melalui bagian tanaman yang dimakan dan insektisida kontak masuk ke dalam
30 tubuh serangga ini lewat kulit (bersinggungan langsung) sehingga dapat menekan perkembangan hama ini. Penyakit busuk daun atau embun bulu (Peronospora sp.) Serangan Peronospora sp. hanya ditemukan pada salah satu lahan di Desa Sungai Nanam, tetapi tidak pada tanaman contoh. Hal ini diduga kerena intensitas hujan sangat tinggi pada waktu pengamatan tersebut. Menurut ( Semangun, 2007) perkembangan penyakit embun bulu meningkat pada musim hujan bila udara sangat lembab dan suhu malam hari rendah. Pengendalian OPT Pengendalian hama secara non kimiawi dilakukan oleh petani dengan cara memungut hama maupun tanaman yang terserang penyakit yang ada di lahan pada waktu pengamatan namun hanya sedikit petani yang melakukannya (8%). Hampir semua petani menggunakan pestisida untuk pencegahan atau pengendalian hama dan penyakit. Rata-rata petani melakukan penyemprotan 2-3 kali seminggu. Pengendalian kimiawi banyak dilakukan oleh petani disebabkan karena dianggap ampuh (80%), mudah dan praktis dalam aplikasinya. Seringkali pestisida yang digunakan tidak selalu mampu untuk mengendalikan OPT, sehingga petani sering mengganti dengan pestisida jenis baru. Gambar 15 Metode pengendalian OPT di Kecamatan Lembah Gumanti
31 Gambar 16 Alasan pengendalian kimia di Kecamatan Lembah Gumanti Prediksi kehilangan hasil produksi bawang merah oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) berdasarkan pengalaman petani dapat mencapai > 80% dari jumlah produksi normal. Kehilangan hasil terjadi akibat tingginya serangan OPT, dan seringkali menyebabkan kegagalan panen. Pestisida yang biasanya menjadi andalah petani seringkali tidak bisa mengendalikan OPT tersebut, sehingga sebagian besar petani merasa cukup kesulitan dalam mengendalikan OPT bawang merah. Gambar 17 Prediksi petani terhadap kehilangan hasil yang disebabkan OPT pada tanaman bawang merah
32 Petani responden yang pernah mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yaitu di Desa Sungai Nanam (15%) dan di Desa Alahan Panjang (20%), sedangkan petani responden di Desa Salimpat tidak ada yang pernah mengikuti SLPHT. Oleh karena itu pengelolaan tanaman yang dilakukan petani pada umumnya cenderung ke pola konvensional yang lebih mengedepankan pestisida sebagai metode pengendalian OPT. Keputusan dalam pengendalian OPT yang dominan dilakukan petani di ketiga desa rata-rata tergantung cuaca (35%). Petani umumnya kesulitan dalam memprediksi cuaca (kabut), karena sering terjadi pada dini hari. Jika kabut terjadi petani akan menyemprot tanaman lebih intensif. Penyemprotan terjadwal (35%-43%) dilakukan petani untuk pencegahan serangan OPT terutama dalam mencegah serangan penyakit dengan menggunakan fungisida. Grafik 18 Petani yang pernah mengikuti SLPHT Gambar 19 Sikap petani dalam mengambil keputusan pengendalian OPT bawang merah
33 Sikap petani terhadap penggunaan pestisida beragam, khususnya terhadap pestisida yang tidak ampuh dalam mengendalikan OPT. Petani akan meningkatkan konsentrasi/dosis pestisida berkisar (28-50%) atau mengganti dengan pestisida baru berkisar (29-46%), karena sebagian besar tidak mau mengambil resiko kerugian akibat serangan OPT. Gambar 20 Sikap petani pada penggunaan pestisida dalam mengendalikan OPT bawang merah Analisis Efesiensi Usahatani Gambar 21 Rasio R/C usahatani bawang merah Desa Sungai Nanam, Alahan panjang dan Salimpat
34 Berdasarkan nilai rasio R/C usahatani bawang merah di ketiga desa tersebut diperoleh angka dengan kisaran 0.04-1.87. Gambar 21 menunjukkan bahwa sebanyak 55-75% nilai rasio R/C lebih kecil dari satu. Keuntungan usahatani dapat diperoleh apabila rasio R/C lebih besar dari satu, sedangkan keuntungan normal (normal profit) diperoleh apabila nilai R/C sama dengan satu. Hal ini menunjukkan bahwa hasil usahatani mengalami kerugian pada tingkat harga jual bawang merah Rp 7000/kg (harga saat dilaksanakan penelitian). Nilai rasio R/C lebih besar dari satu petani di Desa Sungai Nanam lebih tinggi dibandingkan kedua desa yang lain. Hal ini menunjukan pengelolaan usahatani bawang merah di Desa Sungai Nanam lebih baik. Rendahnya keuntungan petani disebabkan karena besarnya biaya produksi yang digunakan dan fluktuatif harga yang terjadi saat petani panen. Hal tersebut terjadi antara lain karena ketergantungan petani dengan pestisida dalam pengendalian OPT, besarnya biaya tenaga kerja, tingginya harga pupuk dan penggunaan mulsa plastik, serta adanya saingan bawang merah yang berasal dari luar daerah khususnya dari jawa.