HASlL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

EFEKTlVlTAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN PROGESTERON INTRAVAGINAL' DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kambing PE

BAB I. PENDAHULUAN A.

HASIL DAN PEMBAHASAN

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

M. Rizal Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon ABSTRAK

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali dan sapi Peranakan Onggol (PO) yang dipelihara petani

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

TINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINGKAT PENCAPAIAN SIKLUS BIRAHI PADA KAMBING BOERAWA DAN KAMBING KACANG MELALUI TEKNOLOGI LASER PUNKTUR

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

Transkripsi:

HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Penentuan saat estrus kambing didasarkan atas kesediaan betina menerima pejantan untuk kopulasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kambing-kambing PE percobaan yang estrus menampakkan tanda-tanda estrus (TTE) seperti vulva merah bengkak basah (VMBB), menggoyang-goyangkan ekor, mengembik terus menerus (ribut), mengintip pejantan, nafsu makan berkurang, urinisasi dan diam dinaiki. Betina yang estrus akan diam jika didekati dan dinaiki oleh pejantan. Sebagian betina dengan aktif mendekati dan menggosokkan badannya ke tubuh pejantan. Sebaliknya betina yang tidak estrus menolak pejantan untuk kopulasi dan segera lari jika didekati pejantan. Tanda-tanda estrus menggoyang-goyangkan ekor biasanya muncul apabila kambing pejantan pengusik berada didalam kandang kambing PE betina percobaan. Betina yang tidak menampakkan TTE menggoyang-goyangkan ekor, vulvanya akan dicium oleh pejantan pengusik lebih lama, seoleh-olah untuk memastikan bahwa betina tersebut benar dalam keadaan estrus. Tanda-tanda estrus VMBB yang diperlihatkan oleh kambing betina PE percobaan disebabkan karena meningkatnya suplai darah pada saat proestrus (Mc. Donald, 1989). Meningkatnya suplai darah dibagian vulva ini memberikan efek lebih hangat dibanding dengan vulva kambing yang tidak dalam keadaan estrus. Hasil pengukuran suhu rectal menunjukkan rataan suhu sebelum estrus 38OC dan waktu estrus 39.04OC.

Hasil pengamatan rataan lama estrus yang diperoleh dalam percobaan ini berkisar 31.8 jam sedangkan untuk rataan panjang siklus estrus 21.6 hari (Tabel 2). Tabel 2. Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada kambing PE percobaan Nomor ternak Lama estrus Panjang lntensitas estrus Siklus... (hari) Skor Kategori F Rataan (jam) 1 I I = Estrus ke 1,2 dan sedang sedang sedang - sedang rendah sedang - sedang - Lama estrus yang panjang ditunjukkan oleh lama waktu aktivitas penerimaan seksual. Gejala estrus dan aktivitas penerimaan pejantan timbul akibat adanya rangsangan estrogen terhadap susunan saraf pusat. Hasil pengamatan lama estrus alamiah dari kambing percobaan ini masih berkisar pada angka 24 sampai dengan

48 jam seperti yang dinyatakan oleh Toelihere (1980 ) dan Hafez (1993) serta 25 sampai dengan 40 jam (Sutama, 1995). Lama estrus yang panjang diduga dipengaruhi oleh interval waktu antara awal estrus dengan peristiwa ovulasi dan jumlah ova yang diovulasikan. Semakin panjang interval waktu tersebut semakin panjang lama estrus (Hafez, 1993). Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron Onset dan Keserentakan Estrus Data hasil pengamatan onset estrus pada kambing PE betina setelah diberikan implan CIDR-G yang mengandung progesteron 0.33 gram dengan lama implan intravaginal 7 dan 14 hari menunjukkan bahwa semua temak kambing PE betina percobaan telah menampakkan estrus pada kisaran waktu lebih kecil dari 24 dan 24 sampai dengan 48 jam (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14 hari terhadap onset dan keserentakan estrus Perlakuan Lama implan Jumlah temak (e ko r) Onset estrus estrus setelah spons dicabut c 24 jam 24-48 jam 12 Total (ekor) Rataan (%) I, = lmplan 7 hari l2 = lmplan 14 hari 12 23-5 (41.67) 7 (58.33) 9 14 33.13 60.67 Sebagian besar (60.67%) kambing PE percobaan memperlihatkan onset estrus pada kisaran waktu 24 sampai dengan 48 jam setelah penarikan CIDR-G

kejadian ini juga menggambarkan bahwa pada kisaran waktu tersebut (24 sampai dengan 48 jam) terjadi proporsi keserentakan estrus yang. Hasil uji-t (Lampiran 5) menunjukkan bahwa implan progesteron selama 7 dan 14 hari tidak menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap onset dan keserentakan estrus pada ternak kambing PE betina perwbaan. Respons yang sama baik terhadap onset dan keserentakan estrus ini, diduga dikarenakan oleh adanya keseragaman kondisi fisiologis yang terjadi di ovarium. Dengan demikian berarti proses perkembangan dan pematangan folikel serta ovulasi diantara individu kambing percobaan diduga berjalan dalam waktu yang relatif hampir sama. Persentase Estrus Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan berhasil menginduksi estrus sebanyak 23 (95.83%) dari 24 ekor kambing PE percobaan (Tabel 4). Dalam pengamatan respons persentase estrus ini, tingkah laku estrus diam dinaiki (DD) oleh pejantan pengusik menjadi patokan untuk mengidentifikasi bahwa temak tersebut berada dalam keadaan estrus. Tabel 4. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap Jumlah ternak yang estrus Perlakuan Lama implan 11 12 Total (ekor) I, = lmplan 7 hari l2 = lmplan 14 hari Jumlah temak (e kor) 12 12 24 Respons estrus... Estrus Tidak estrus ---- (n,%) ---- I1 (91.96) 1 (8.33) 12 (100.0) 0 (0.0) 23 (95.83) 1 (4.17)

Selama implan berlangsung, dosis 0.33 gram progesteron cukup menekan aktivitas estrus dari sebagian besar ternak percobaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa preparat progesteron memiliki kemampuan untuk mencegah estrus. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Romano (1996) yang melakukan penelitian dengan menggunakan dosis fluorgestone 30 mg dan medroxy progesteron. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa telah terjadi penekanan perkembangan folikel oleh progesteron akibat umpan balik negatif FSH dan LH sehingga estrogen yang bertanggung jawab terhadap timbulnya manifestasi tingkah laku estrus kosentrasinya didalam darah rendah. Sebaliknya konsentrasi estrogen akan meningkat dalam waktu yang singkat apabila implan progesteron dilepas dan hambatan perkembangan folikel hilang akibat pelepasan FSH dan LH yang tadinya terbendung oleh progesteron. Selama implan ClDR berlangsung kadar progesteron dalam darah akan meningkat dan tetap stabil dipertahankan selama periode perlakuan. Selama konsentrasi horrnon progesteron dalam darah masih, folikel dominan dari gelombang perkembangan folikel sulit mencapai folikel ovulatorik. Respons estrus yang relatif sama baik antara lama implan ClDR 7 dan 14 hari diduga kemungkinan disebabkan karena pada saat perlakuan dimulai temakternak percobaan berada dalam kondisi fisiologis yang relatif hampir sama yaitu memiliki CL. Dugaan ini didasarkan pada hasil pengamatan dua siklus estrus ternak-ternak percobaan pada pra perlakuan. Data perkiraan kondisi fisiologis temak kambing percobaan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa 7 dan 6 ekor masing-masing untuk perlakuan lama implan progesteron 7 dan 14 hari dalam keadaan tidak estrus pada saat CIDR-G dipasang.

Hal ini menggambarkan bahwa proporsi jumlah ternak dengan kondisi fisiologis memiliki CL relatif hampir sama jumlahnya diantara kedua perlakuan yang ada. Kalau ternak-ternak percobaan berada dalam kondisi memiliki CL pada waktu memperoleh perlakuan, berarti pada saat yang bersamaan pula temak-ternak tersebut memiliki progesteron endogen. Pernyataan ini juga mengandung arti bahwa progesteron endogen dan eksogen dapat bekerja sama serta berhasil menekan estrus dari ternak-ternak percobaan tanpa memandang waktu lama implan ClDR yang mengandung progesteron 0.33 gram. Progesteron eksogen yang terkandung dalam ClDR akan bereaksi sama dengan progesteron dari CL melalui penekanan pada output gonadotropin dari adenohipofisis. Adanya progesteron eksogen ini nampaknya seperti membuat CL tiruan atau memberi kesempatan hidup dan fungsi dari CL menjadi lebih panjang. Hal ini dapat dibenarkan karena program sinkronisasi dengan menggunakan progesteron eksogen dalam penelitian ini berarti adalah upaya dari luar untuk meniru fungsi CL itu sendiri. Kejadian ini dapat dimengerti karena pada prinsipnya pelaksanaan sinkronisasi estrus adalah sesungguhnya merupakan kontrol daya hidup CL. Penghilangan perlakuan dalam percobaan ini akan mengakibatkan CL beregresi secara spontan. Proses hilangnya CL dalam kedua kelompok perlakuan ini berjalan relatif hampir sama, sehingga kejadian respons terhadap persentase estrus pada ternak-ternak tersebut baik yang mendapat perlakuan 7 maupun 14 hari spontan menunjukkan angka yang relatif hampir sama. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa implan CIDR-G yang mengandung progesteron 0.3 gram selama 14 hari memberikan respons persentase estrus yang relatif lebih (100%) dibandingkan dengan lama implan 7 hari (91.67%). Tingkat sinkronisasi rendah pada perlakuan lama implan 7 hari (short

term) diduga ketika progesteron digunakan selama hari-hari pertama dari siklus estrus yang spontan, CL masih belum regresi sampai dengan akhir masa perlakuan. Tidak terjadinya regresi CL ini berarti tidak terjadi penurunan konsentrasi progesteron dalam plasma darah yang berhubungan dengan tingkah laku estrus. Dugaan ini didukung oleh pendapat dari beberapa peneliti yang menyatakan bahwa percobaan dengan menggunakan preparat progesteron eksogen dalam bentuk apa saja, jika dilakukan lebih dari tujuh hari (12 sampai dengan 16, rata-rata 14 hari) akan menghasilkan respons sinkronisasi estrus yang lebih bagus (Macmilan et all 1993 ; Johle et all 1993 ; dan Wherman et a/, 1993). Penjelasan ini juga mengandung arti bahwa semakin lama penggunaan progesteron eksogen berarti akan semakin meningkatkan persentase ternak yang estrus. Apabila ditinjau dari waktu yang diperlukan untuk menyerentakan estrus sekelompok ternak dan penghematan biaya pakan, maka lama implantasi CIDR-G selama 7 hari akan memberikan efisiensi yang lebih karena sisa progesteron pada kemasan ini dapat digunakan lagi pada kegiatan sinkronisasi berikutnya baik pada temak yang sama maupun temak yang lain. Hal inilah yang menjadi dasar penggunaan lama implan progesteron 7 hari pada percobaan tahap II. lntensitas Estrus lntensitas estrus adalah penentuan taraf aktifitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan terhadap temak-temak perwbaan. Pengamatan intensitas estrus tersebut dikategorikan dalam tiga tingkatan yakni 1) intensitas rendah, dimana ternak tersebut menampakkan TIE yang terinventarisir selama pengamatan dengan skor lebih kecil atau sama dengan 15 ; 2) lntensitas sedang, dimana temak

menampakkan TTE yang terinventarisir dengan skor lebih besar atau sama dengan 16 sampai dengan 25 dan 3) intensitas, dimana temak menunjukkan TTE yang terinventarisir dengan skor lebih besar atau sama dengan 26 sampai dengan 36 (Tabel 5). Tabel 5. Respons intensitas estrus sesudah perlakuan Nomor urut* Tanda-tanda estrus Skor Banyaknya temak.... 11 12 ---- &or, % ---- Total (e kor) 1 2 3 4 5 6 7 8 VMBB Ekor digoyang-goyang Lendir transparan Mengembikterus-menerus Mengintip pejantan Urinisasi Nafsu makan kurang Diam dinaiki 6 7 5 4 3 1 2 8 11 (91.7) 12 (100) 7(58.3) 8(66.7) 10 (83.3) 10 (83.3) 7 (58.3) 8 (66.7) 7(58.3) 9(75) 4 (33.3) 6 (50) 5(41.7) 5(41.7) ll(91.7) 12(100) 23 15 20 15 16 10 10 23 * Disesuaikan dengan TTE yang muncul terdahulu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua temak yang memperoleh perlakuan lama implan progesteron selama tujuh maupun 14 hari menampakkan intensitas estrus dalam tiga kategori (rendah, sedang maupun ) dengan total nilai yang berbeda (Lampiran 7). Temak-temak yang masuk dalam kelompok perlakuan lama implan intravaginal progesteron tujuh hari menujukkan hasil intensitas estrus rendah, sedang dan masing-masing satu (9.1%), tiga (27.3%) dan tujuh ekor (63.6%). Sedangkan untuk kelompok perlakuan 14 hari memperlihatkan hasil satu (8.33%), dua (16.7%) dan sembilan (75%) masing- masing untuk tingkat rendah, sedang dan (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap intensitas estrus kambing PE Perlakuan Lama implan (hari) Respons estrus (e kor) lntensitas estrus <.<<. *.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,. %,.A.A... Rendah Sedang Tinggi 12 Total (ekor) 11 = lmplan 7 hari 12 = lmplan 14 hari 12 23 I I (8.33) 2 (16.67) 9 (75.00) 2 (8.70) 5(21.74) 16(69.57) Baik jeleknya penampakan tingkah laku kawin yang dimanifestasikan dalam bentuk proses fenomena biologis maupun fisiologis (tingkah laku estrus) tersebut secara langsung dipengaruhi oleh mekanisme hormonal ovarium. Progesteron dan estrogen akan beke ja secara sinergis untuk menstimulir ovulasi dan menggertak pelepasan LH dari hipofisisis. Frekuensi pulsa LH meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan estrogen. Akibat turunnya progesteron akan meningkatkan rangsangan terhadap sekresi endogen yang selanjutnya dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH yang diperlukan untuk ovulasi. Mekanisme FSH dalam ovarium yaitu dengan jalan mengaktifkan reseptor-reseptor untuk FSH sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa FSH akan berikatan dengan reseptomya yang nantinya akan mengaktifkan enzim adenilat siklase sehingga CAMP intraseluler meningkat. Meningkatnya CAMP ini akan mengaktifkan enzim protein kinase yang dibutuhkan untuk berlangsungnya sintesis hormon steroid (estrogen) yang sangat dibutuhkan untuk tingkah laku estrus. Reseptor progesteron

ditemukan dalam sitoplasma sel sasaran diantaranya saluran telur, uterus, vagina dan sistem reproduksi lainnya pada hewan betina (Norman dan Litwack, 1987). Hasil uji-t (Lampiran 8) membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) antar perlakuan. Tetapi nampak ada kecenderungan bahwa lama implan intravaginal progesteron 14 hari menunjukkan hasil yang lebih baik (9 ekor masuk kategori intensitas ) sedangkan untuk perlakuan lama implan 7 hari hanya 7 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas estrus temak yang disinkronisasi lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor perlakuan lama implan intravaginal progesteron. Respons Angka Kebuntingan Terhadap Waktu lnseminasi Angka kebuntingan merupakan salah satu tolok ukur yang menentukan keberhasilan inseminasi. Angka kebuntingan dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan inseminasi buatan karena lebih mendekati kebenaran dan memberikan gambaran yang tepat mengenai tingkat kesuburan atau fertilitas kelompok ternak perlakuan. Hasil perolehan rataan angka perkiraan temak yang bunting atau Non Retum Rate (NR) dalam penelitian ini adalah sebesar 36.67% (11 dari 30 ekor betina yang tidak estrus pada siklus berikutnya dan diperkirakan bunting) (Tabel 7). Pada perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus dijumpai tujuh (46.67%) dari 15 ekor temak yang diperkirakan bunting, sedangkan dari kelompok temak yang mendapat perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus diperoleh hasil empat (26.67%) yang diperkirakan bunting. Semua angka perkiraan

kebuntingan yang dicapai oleh kedua kelompok perlakuan tersebut pada akhirnya menjadi angka tetap. Dengan kata lain bahwa temak yang barhasil bunting pada IB pertama dari kedua perlakuan berjumlah 11 ekor (CR 36.67%). Tabel 7. Respons angka kebuntingan kambing PE terhadap perlakuan waktu inseminasi Perlakuan Waktu inseminasi wi 2 temak yang di IB (e kor) 15 Banyak ternak yang bunting (ekor, %) 7 (46.67) Total (ekor, %) WI = 14-23 jam setelah onset estrus W2 = 27-34 jam setelah onset estrus 1 1 (36.67) Rendahnya angka kebuntingan yang dicapai pada penelitian ini diduga disebabkan oleh sulitnya pelaksanaan inseminasi pada ternak kambing. Tingkat kesulitan IB pada kambing relatif dibandingkan dengan pada sapi, karena anatomi alat reproduksi kambing betina agak kecil dan berbelok ke arah bawah sehingga menyulitkan gun untuk mencapai tempat yang baik selain posisi cincin satu (mulut cervix) untuk deposisi semen. Sebagian besar temak percobaan yang diinseminasi deposisi semennya hanya mencapai mulut cervix. Peristiwa ini tidak menutup kemungkinan bahwa proporsi angka kebuntingan yang dihasilkan belum dapat mencapai angka yang diharapkan. Rendahnya angka kebuntingan yang diperoleh pada deposisi semen dimulut cervix dipengaruhi oleh terganggunya transpor spermatozoa waktu melewati cervix untuk mencapai uterus dan saluran telur khususnya sampai ke tempat terjadinya fertilisasi di ampula tuba fallopii. Deposisi semen di mulut cervix (vagina), spermatozoa akan didorong kearah bagian

dalam oleh kontraksi vagina. mukus yang tipis dan berair. Di dalam cervix, spermatozoa berenang melalui Dalam penelitian ini diduga mukus inilah yang merupakan kendala yang menghambat perjalanan spermatozoa. Spermatozoa tersebut agak sulit berenang di dalam mukus ini karena konsistensinya telah berubah dari bentuk cair mengarah ke bentuk yang lebih kenyal lagi. Perubahan tingkat kekenyalan dari mukus ini sebagai media tempat berenangnya spermatozoa diduga dipengaruhi oleh penggunaan tunggal preparat progesteron pada saat pelaksanaan sinkmnisasi estrus. Kelemahan penggunaan progesteron ini sangat jelas apabila temak langsung diinseminasi pada estrus pertama setelah perlakuan. Atau dapat juga dijelaskan bahwa rendahnya fertilitas yang dihasilkan setelah inseminasi dengan menggunakan semen beku dan deposisi semen di mulut cervix diakibatkan oleh kegagalan tercapainya jumlah spermatozoa yang cukup di dalam cervix bersamaan dengan terganggunya transportasi spermatozoa didalam saluran reproduksi kambing betina. Haryanto dkk (1977) menyatakan bahwa fertilitas temak yang disinkronisasi pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan estrus alami, karena transpor spermatozoa berlangsung kurang baik. Lebih lanjut Lindsay dan Pearce (1984) menyatakan bahwa kerugian utama dari sinkronisasi menggunakan preparat progesteron adalah fertilitas yang relatif rendah pada estnrs pertama setelah pelepasan alat. Kejadian ini mengikuti efek merusak transpor sperma dan survivalnya pada traktus reproduksi betina. Rexroad et a1 (1977), melaporkan bahwa penggunaan implan intravaginal 60 mg medroxy progesteron akan meningkatkan sekresi mukus selama estrus, sehingga mengurangi aktifitas pergerakan spermatozoa. Meningkatnya sekresi mukus akan mengusir spermatozoa dari tempat penampungannya di cervix dan akhimya berpengaruh terhadap penurunan angka fertilitas. Quispe et a1 (1994) menyatakan

bahwa penundaan inseminasi sampai pada estrus kedua setelah perlakuan dapat menaikkan angka konsepsi dari 29.7% menjadi 56.5%. Dugaan lain sebagai penyebab rendahnya angka kebuntingan kemungkinan disebabkan oleh sebagian dari ternak percobaan mengalami estrus tetapi tidak diikuti dengan ovulasi. Sutama dan Budiarsana (1997) menyatakan bahwa 5 sampai dengan 10% temak mengalami estrus tetapi tidak disertai dengan ovulasi sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat konsepsi pada estrus pertama. Satu ha1 lagi yang diduga menjadi penyebab rendahnya angka kebuntingan yang dicapai dalam penelitian ini kemungkinan karena terjadinya perkembangan folikel yang tidak memenuhi syarat. Fenomena ini dapat terjadi karena interval waktu penghilangan perlakuan dengan penampakan estrus pertama kali dalam penelitian ini hanya berkisar antara satu sampai dua hari ; Hal ini tidak dapat dikatakan normal, sebab oosit yang dihasilkannya kurang baik sehingga menyebabkan rendahnya angka konsepsi yang tercapai. Interval waktu estrus satu sampai dua hari tersebut adalah bukan merupakan waktu yang optimal bagi suatu pertumbuhan dan perkembangan folikel serta ovulasi daripada folikel yang memiliki kualitas yang lebih baik atau fertil. Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk tahapan perkembangan folikel (pertumbuhan, seleksi dan dominasi), tetapi karena mengalami perlakuan maka tidak ada waktu yang optimal untuk menghasilkan kualitas oosit yang relatif lebih baik. Hasil uji-t (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P> 0.05) terhadap angka kebuntingan pada temak kambing percobaan. Dengan pengertian bahwa waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 atau 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus tidak menyebabkan perbedaaan terhadap angka kebuntingan pada ternak kambing

percobaan. Namun nampaknya kelompok temak yang memperoleh perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus cenderung menghasilkan angka kebuntingan yang relatif lebih (46.47%) dibandingkan dengan temak yang diinseminasi dengan kisaran waktu 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus (26.67%). Adanya kecenderungan respons menghasilkan angka kebuntingan yang relatif lebih (46.67%) dan berada di atas angka memadai (40%) ini, ditunjukkan oleh kelompok temak yang waktu inseminasi pada kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus. Angka kebuntingan yang dicapai temak dalam di kelompok perlakuan inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus relatif lebih besar dibandingkan dengan hasil perolehan Sianturi dkk (1997) yang melakukan implan spons mengandung progestagen selama 8 hari pada temak kambing PE. Secara khusus juga dapat dijelaskan bahwa kondisi ini dapat terjadi karena kelompok tersebut dikawinkan pada kisaran waktu yang mendekati ketepatan waktu untuk pelaksanaan inseminasi bagi temak-temak yang estrusnya disinkronisasikan dengan progesteron. Waktu inseminasi yang disarankan tersebut berkisar antara 12 sampai dengan 18 jam setelah masuk periode estrus (Toelihere, 1981). Waktu ini ditetapkan karena pada prinsipnya pelaksanaan inseminasi harus mendahului ovulasi (24 sampai dengan 27 jam sesudah estrus) (Hafez, 1993). Hal ini disebabkan karena umur sel telur relatif singkat dan spermatozoa memerlukan waktu untuk kapasitasi di dalam saluran kelamin betina sebelum membuahi ovum. Cortell (1981") menyatakan bahwa disamping mutu dan deposisi semen dalam saluran reproduksi betina, keberhasilan IB dipengaruhi oleh faktor ketepatan waktu inseminasi karena proses fertilisasi dalam periode yang sangat terbatas.

Walaupun secara keseluruhan terlihat bahwa angka kebuntingan yang dicapai dalam penelitian ini masih di bawah angka optimal bahkan angka memadai, tetapi apabila dilihat dari sifat dan sasaran penelitian ini maka dapat dinyatakan bahwa proporsi angka kebuntingan (46.67%) yang dicapai oleh kelompok ternak yang mendapat perlakuan inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus telah menunjukkan keberhasilan. Nilai sumbangsih dari hasil angka kebuntingan ini akan turut memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap laju perkembangan populasi kambing PE apabila dibandingkan dengan ternak yang dikawinkan secara alami tanpa diikuti dengan program sinkronisasi estrus. Sekelompok betina produktif tanpa mengalami periakuan, berarti menampakkan waktu estrus yang bervariasi. Ketidak seragamannya waktu estrus tersebut berarti menghasilkan waktu yang bervariasi pula untuk pelaksanaan waktu inseminasinya. Kejadian tersebut secara langsung telah turut mempengaruhi kesempatan dari induk produktif untuk menjadi bunting dan melahirkan dalam waktu yang relatif pendek (dekat). Kesemuanya ini akan mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan dalam sekelahiran. Berbeda dengan kelompok betina yang mengalami perlakuan, berarti memberikan kesempatan pada induk-induk tersebut untuk memperoleh penyeragaman waktu inseminasi, kemudian menjadi bunting dan melahirkan anak dalam waktu yang relatif hampir sama dan kemungkinan interval beranaknya diperpendek. Kesempatan untuk bunting secara keseluruhan akan meningkat apabila dilakukan inseminasi ulang pada periode estrus berikutnya. Angka persentase melahirkan yang dicapai dalam penelitian ini yaitu 11 (36.67%) dari 30 ekor betina yang diinseminasi pertama berhasil bunting dan melahirkan anak sebanyak 11 ekor dengan kidding size sebesar satu (Lampiran 10).

Jumlah anak per induk dalam sekelahiran (Kidding size) berkaitan erat dengan sel telur yang diovulasikan dan yang berhasil dibuahi serta kemampuan hidup dari embrio (Hulet dan Shelton, 1980). Sedangkan menurut Subandriyo (1986) faktor yang mempengarwhi jumlah anak dalam sekelahiran pada kambing adalah bangsa, umur induk, nutrisi dan lingkungan. Rendahnya kidding size yang diperoleh dalam percobaan ini diduga kemungkinan disebabkan oleh faktor umur dan tipe kelahiran (tunggal ataupun kembar). Kambing PE merupakan temak yang mempunyai kemampuan menghasilkan anak lebih dari satu ekor (prolifik), namun pada kelahiran pertama sering tejadi kelahiran tunggal (Setiadi dan Sitorus, 1985). Namun secara umum kidding size yang diperoleh dalam penelitian ini berada dalam kisaran angka seperti yang dinyatakan oleh Devendra dan Bums (1983) dimana jumlah anak yang lahir dalam sekelahiran pada kambing-kambing tropis berkisar antara 1.0 sampai dengan 2.1 ekor. Dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas, jelas tergambar bahwa untuk memperoleh efisiensi reproduksi yang mencerminkan keberhasilan atau optimalisasi IB tidak lepas dari beberapa faktor yang kesemuanya saling berkaitan satu sama lainnya. Faktor-faktor tersebut menurut Toelihere (1997) adalah 1) Kesuburan bibit (semen) pejantan (J) ; 2) Kesuburan betina akseptor IB (B) ; 3) Ketrampilan inseminator berserta teknisi lainnya (I) dan 4) Pengetahuan zooteknik petemak (P). Apabila semua faktor tersebut benar pada tingkat optimal (280%) maka hasil akhir program IB akan mendatangkan peningkatan efisiensi reproduksi dengan peningkatan angka kebuntingan secara keseluruhan dalam kelompok temak yang ditangani.