BAB I. merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

suami yang sah dan melahirkan anak-anak serta mendidik untuk menjadi generasi yang berguna.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi

Jika menertibkan monyet sudah, ditunggu aksi Gubernur Jokowi untuk menertibkan yang haram-haram

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda di setiap diri individu. Semuanya berkembang sesuai dengan apa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masalah pelacuran di Indonesia merupakan salah satu masalah sosial yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam

PERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

I. PENDAHULUAN. membentuk kehidupan secara bersama-sama dan saling melengkapi antar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana

I. PENDAHULUAN. budaya, masyarakatnyapun memiliki keunikan masing-masing. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR : 15 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KOTA BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus. mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah perilaku yang menyimpang dari norma, selalu menjadi bahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON

AKTIVITAS EKONOMI PENYAKIT SUSILA: FAKTOR PENYEBAB DAN PENANGGULANGANNYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI. Pengaruh Interaksi Sosial pada Perilaku Enjokousai Tokoh Tomoko dalam Film

BAB I PERANAN POLISI DALAM PELAKSANAAN PENERTIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang, mengenai pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau

BAB І PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan adanya hubungan yang serasi

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI KOTA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep

BAB IV PENUTUP. Peneliti dengan judul Jaringan prostotusi di desa gempol. kualitatif yang menjadikan para pekerja seks komersial sebagai

PERSEPSI DAN RESPON WANITA TERHADAP PERKEMBANGAN PELACURAN DI KOTA DENPASAR Oleh : Ni Gst. Ag. Gde Eka Martiningsih

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

FENOMENA KUPU-KUPU ABU-ABU SEBAGAI BENTUK PENYIMPANGAN SOSIAL PADA KALANGAN REMAJA DI CIANJUR

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

BAB V PEMBAHASAN PENELITIAN. Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2003 tentang Penyakit

mereaksi dengan cara yang khas pula terhadap situasi sosial yang ada. dengan perkembangan tehnologi industrialisasi dan urbanisasi.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kota Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur, tempat

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2015 REKONSTRUKSI SOSIAL KEHIDUPAN KAUM WARIA DI KOTA CIMAHI

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

BAB I PENDAHULUAN. dan peruntukannya, demikian juga halnya dengan daerah Kota Batam. Berdasarkan Undang-

Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi penduduk merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35

BAB III DESKRIPSI PERDA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN ATAU TEMPAT UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, Kementerian Pariwisata mempublikasikan bahwa industri

BAB VI PENUTUP. penelitian dilapangan yakni penulis menemukan bahwa praktek prostitusi memberi

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan suatu

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN KONSEP DIRI PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL YANG MENGALAMI PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Kenakalan remaja merupakan salah satu masalah dalam bidang pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Prostitusi mengandung makna

BAB I PENDAHULUAN. Kampus adalah satu ikon penting sebagai tempat berlangsungnya pendidikan.

3740 kasus AIDS. Dari jumlah kasus ini proporsi terbesar yaitu 40% kasus dialami oleh golongan usia muda yaitu tahun (Depkes RI 2006).

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

Sosialisasi sebagai proses belajar seorang individu merupakan salah. satu faktor yang mempengaruhi bagaimana keberlangsungan proses

BAB I PENDAHULUAN. panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma

BAB I PENDAHULUAN. apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimana pun. Menurut Kartono (1988), pelacuran atau yang sering disebut dengan prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri. Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Masalah prostitusi adalah masalah struktural. Permasalahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat adalah mereka masih memahami masalah prostitusi sebagai masalah moral. Mereka tidak menyadari persepsi moral ini akan mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan korban semakin tertindas. Di antara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang

2 lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya. Banyak budaya yang menyebabkan wanita akhirnya menjadi PSK. Koentjoro (2004) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan di Indramayu, terdapat budaya yang menganggap bekerja sebagai PSK adalah baik dan justru mendapat dorongan orangtua dan keluarga. Bahkan, keluarga menyelenggarakan slametan agar anaknya mendapat banyak pelanggan dan dapat mengirimi uang untuk keluarga di rumah. Selain itu, masih banyak faktor yang menyebabkan perempuan menjadi PSK. Di antaranya kekerasan seksual seperti perkosaan oleh orang-orang terdekat seperti bapak kandung, paman, atau guru. Faktor lain, penipuan dan pemaksaan dengan berkedok agen penyalur tenaga kerja. Kasus penjualan anak perempuan oleh orang tua sendiri pun juga kerap ditemui. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai obyek seks. Karenanya, seringkali penanganan dan pencarian solusinya bersikap parsial dan bias. Tuntutan sebagian masyarakat untuk menghilangkan keberadaan prostitusi di satu sisi sangatlah kencang diutarakan, sementara di sisi lain masyarakat juga tidak siap untuk mencarikan jalan keluar secara praktis bila lokalisasi pelacuran dibubarkan. Selain itu sebagai masyarakat pada umumnya yang mengutuk keras akan adanya praktikprostitusi seharusnya melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan atau setidaknya dapat mengetahui dan menginformasikan kepada masyarakat dampak butuk yang akan timbul akibat praktik prostitusi

3 Fenomena pelacuran merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara manusiawi. Keinginan yang timbul ini merupakan akibat dari nafsu biologismanusia yang sederhana. Ketika semua sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka jalan keluar pelacuran dapat dipakai sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem ekonomi tidak akan mampu menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut. Bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci. Namun, berkembangnya praktek di sekitar kita tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat Indonesia sendiri yang memberikan peluang bagi praktek ini untuk terus berkembang dari masa ke masa. Sampai detik ini, prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah pun seolah-olah melegalkan praktek yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini. Padahal masyarakat sendiri sudah banyak mengetahui bentuk ancaman yang akan dihadapinya apabila prostutisnya ini tetap berkembang, seperti ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.

4 Aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya. Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung. Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masingmasing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka. Menurut pemantauan Dinas Sosial, khususnya daerah-daerah tempat prostitusi yang berada di Bandarlampung, meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK. Seperti kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel -hotel), eks Pasar Seni Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jl. Pramuka, Jl. Urip Sumoharjo, sepanjang Jl. Yos Sudarso, dan daerah kawasan daerah Telukbetung.

5 Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar. Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab hal ini bergantung faktor adat istiadat norma susila dan agama yang menentang segala bentuk pelacuran. Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi. Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono (tokoh pemuda muhammadiyah), dapat dilihat dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran. Pertama, tidak adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi,

6 dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempattempat prostitusi/ hiburan. Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama dan sosisal sehingga menimbulkan krisisnya moral. Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis maupun politik. Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktifitas perkerjaan sebagai WTS. Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama, prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah/ area tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi. Kedua adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang

7 melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun terorganisir. Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait. Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan. Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang. Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar. Penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas yang masih

8 beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan. Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab. PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka. Praktek-praktek pelacuran biasanya ditolak oleh masyarakat dengan cara mengutuk keras, serta memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya. Namun demikian ada anggota masyarakat yang bersifat netral dengan sikap acuh dan masa bodoh. Disamping itu ada juga yang menerima dengan baik. Sikap menolak diungkapkan dengan rasa benci, jijik, ngeri, takut dll. Perasaan tersebut timbul karena prostitusi dapat mengakibatkan sebagai berikut. : 1. Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin dan penyakit kulit. Penyakit kelamin tersebut adalah sipilis dan gonorrgoe. Keduanya dapat

9 mengakibatkan penderitanya menjadi epilepsi, kelumpuhan, idiot psikotik yang berjangkit dalam diri pelakunya dan juga kepada keturunan. 2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. 3. Memberi pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya remaja dan anak-anak yang menginjak masa puber. 4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan minuman keras dan obat terlarang (narkoba). 5. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. 6. Terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lain yang dilakukan oleh germo, pemeras dan centeng kepada pelacur. 7. Menyebabkan terjadi disfungsi seksual antaralain : impotensi, anorgasme. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apa dampak keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi : a. Ketertiban b. Kehidupan Masyarakat 2. Apa tanggapan informan sekitar tentang adanya cafe-cafe di lingkungan tempat tinggal?

10 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi : a. Ketertiban b. Kehidupan Masyarakat 2. Untuk menganalisis tanggapan masyarakat dengan adanya keberadaan cafe-cafe di daerah mereka tinggal. D. Mamfaat Penelitian Dalam penelitian ini penulis ingin menemukan bahwa manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang khususnya konsep diri seorang perempuan pekerja seks komersial. Hal ini akan memberi gambaran dan pengetahuan baru tentang keberadaan pekerja seks komersial dalam dunia realitas masyarakat yang disesuaikan dengan konsep-konsep teoretis dalam perkuliahan khususnya sosiologi lingkungan, sosiologi kesehatan, sosiologi pendidikan.

11 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi nyata kepada masyarakat Bandar Lampung atas keberadaan pekerja seks komersial secara mendasar. Harapannya akan muncul motivasi dan niat untuk meninggalkan aktivitas pelacuran dan dapat diterima di masyarakat kembali. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga yang menangani masalah sosial secara langsung sehingga dapat memudahkan dalam mengambil sebuah kebijakan terhadap keberadaan pekerja seks komersial (PSK).