BAB I PENDAHULUAN. didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula.

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya, Bandung, 1994

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK ANGKAT DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERDATA. A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

KHUSDJONO ABSTRACT. Keywords: Adopting a Child, Chinese Ethnic Group, Adoptive Parents Property

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RANCANGAN QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah. budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 1 Undang- perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

KEDUDUKAN ANAK KAUNAN YANG DIANGKAT OLEH TOPARENGNGE (KAUM BANGSAWAN) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT TONDON DI KABUPATEN TORAJA UTARA

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB I PENDAHULUAN. Pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

SKRIPSI KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN DAN PENCABUTAN TESTAMENT (SURAT WASIAT)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beberapa Provinsi dan berbagai macam suku yang bermukim dari Nangroe Aceh Darusalam (Sabang) sampai Papua (Merauke), suku di Indonesia sangat banyak aneka ragamnya seperti suku Padang, Lampung, Baduy, Betawi, Jawa, Batak, Palembang, Sunda, Bali, Bugis, Dayak, Ambon, Sasak dan masih banyak lagi macamnya, dari banyaknya aneka ragam bentuk suku diatas, maka Indonesia dapat dikatakan bangsa yang majemuk yang didukung oleh keanekaragaman perilaku budaya yang berbeda pula. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara makhluk lainnya. Manusia diberikan akal pikiran untuk dapat menjalani kehidupan serta mengelola dan memanfaatkan seluruh isi dunia ini. Selain itu kodrat manusia cenderung untuk berkembang memperbanyak diri, sebagai proses yang dilalui manusia dalam mempertahankan eksistensinya. Mempertahankan eksistensinya tersebut, manusia melakukan perkawinan untuk membentuk sebuah masyarakat. Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah masyarakat dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah. 1

2 Pelengkap dari suatu masyarakat adalah kelahiran anak. Apabila dalam sebuah masyarakat telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam masyarakat tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat, para anggotanya sebagian besar masih tetap hidup dengan hukum adatnya masing-masing berdasarkan ikatan teritorial dan ikatan genealogis atau campuran antara keduanya, yaitu yang bersifat genealogis teritorial. Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur dan para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. 1 Setelah disahkannya Undang-Undang Perkawinan, maka seluruh rakyat Indonesia dalam hal perkawinan berlaku satu hukum yang sama dalam pengaturannya yaitu dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, lengkap dengan Peraturan Pelaksanaannnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Hal ini merupakan satu langkah kemajuan dalam hukum kemasyarakatan di Indonesia. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk masyarakat (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1992, hal. 108 1 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

3 Akibat dari adanya suatu perkawinan adalah adanya hubungan antara suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak dan harta benda. Hubungan antara orang tua dengan anak akan timbul, apabila dalam masyarakat tersebut lahir seorang anak. Namun apabila dalam suatu masyarakat tidak dikaruniai seorang anak, maka akan timbul suatu permasalahan, baik yang menyangkut penerusan keturunan maupun penerusan harta kekayaan. Kehadiran seorang anak adalah suatu hal yang sangat diidam-idamkan. Kebahagiaan dan keharmonisan suatu masyarakat ditandai dengan lahirnya seorang anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentuk pada takdir Ilahi, dimana keinginan untuk mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam hal keinginan memiliki anak, usaha yang bisa mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak (adopsi). 2 Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena; Tujuan dari perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum, karena, misalnya, ketiadaan keturunan (anak). Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya 2005, hal. 15 2 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,

4 frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang dilakukan didalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan, maka tujuan perkawinan itu tidak tercapai. 3 Selanjutnya Soerojo Wignjodipoero menjelaskan pengangkatan atau adopsi anak merupakan Suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. 4 Oleh karena itu, tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan, manakala di dalam suatu perkawinan tidak dikaruniai anak. Hal ini merupakan salah satu jalan keluar dan alternatif positif serta manusiawi terhadap kehadiran seorang anak dalam pelukan masyarakat. Akan tetapi perkembangan masyarakat sekarang menunjukkan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak semata-mata atas motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi juga karena faktor politik, sosial budaya dan sebagainya. 5 Bagi suatu masyarakat yang tidak mempunyai anak, mereka akan melakukan pengangkatan anak atau disebut adopsi. Pengangkatan anak merupakan suatu kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan dan aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat, penerus masyarakat, pemeliharaan atas harta kekayaan orang tua dan penerus silsilah orang tua atau kerabat. Perkembangan selanjutnya, orang tidak membatasi dari anak kalangan masyarakat sendiri saja, tetapi juga pada anak-anak yang lain yang terdapat pada panti-panti asuhan, penampungan bayi dan sebagainya. Meskipun adopsi belum 3 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Takeko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 275 4 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1992, hal. 117-118 5 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Cet: 11, 1992, hal. 7-8

5 diatur secara tegas dalam perundang-undangan yang bersifat nasional, dalam prakteknya adopsi itu sering terjadi di masyarakat. Imam Sudiat menjelaskan bahwa pengangkatan anak menurut hukum adat adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar kedalam kerabat, sehingga terjadi suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewenangan biologis. Anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut masuk ke dalam kerabat yang mengadopsinya, dengan suatu pembayaran berupa benda-benda magis. Jadi adopsi itu merupakan perbuatan tunai. 6 Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak terhadap orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Proses pengangkatan anak secara langsung akan menimbulkan hubungan hukum yang membawa akibat hukum terhadap anak, orang tua dan harta kekayaan dan kebudayaan. Hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya menjadi putus, maksud dari terputus itu adalah hubungan adat anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak ada lagi tetapi hubungan biologis masih ada, anak yang sudah diangkat mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya. Sehingga ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandungnya. Pengangkatan anak yang merupakan bagian dari Hukum Adat, di beberapa daerah telah mengalami perkembangan sehingga kadang-kadang timbul masalah di dalam pengangkatan anak secara adat. Persoalan yang sering muncul adalah 6 Imam Sudiat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102

6 mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak, karena pengangkatan anak menimbulkan akibat-akibat hukum tersendiri. Bila dibandingkan antara pemeliharaan anak dengan pengangkatan anak, maka yang bersifat pemeliharaan itu adalah lebih menyeluruh, walaupun pengangkatan anak terdapat di seluruh Nusantara. Seseorang diambil anak atau dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki, mungkin pula seorang anak perempuan. Jumlah anak angkat seseorang tidak terbatas, sesuai dengan kemampuannya untuk mengangkat anak. Dapat saja ia mengangkat anak dua atau tiga orang atau lebih. Tentang umurnya tidaklah menjadi masalah, walaupun banyak daerah yang menentukan anak yang masih kecil yang akan diangkat anak. Mungkin yang masih bayi dan mungkin pula yang masih dalam kandungan. Ada bermacam-macam batas umur yang ditentukan oleh daerahdaerah mulai dari usia, 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 9 tahun, 10 tahun, 12 tahun, 15 tahun atau 16 tahun. Ada yang menyebutkan asal belum dewasa, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan orang mengangkat anak yang telah dewasa. Hal ini adalah sesuai dengan kegunaannya. 7 Mengenai kewenangan anak angkat, pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangan anak kandung. Bila dikatakan anak kandung berwenang mengurus dan mengelola serta mengerjakan harta-benda berupa sawah, ladang kebun dari orang tua, demikian pula anak angkat dapat melakukannya. Anak angkat sama seperti anak kandung, mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orang tua angkat, menjaga dan memeliharanya dalam keadaan sakit serta menyelenggarakan hari-hari terakhirnya bila meninggal. 8 Pengangkatan anak banyak dilakukan baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan, dan pada umumnya yang diangkat anak adalah saudara, akan tetapi tidak jarang juga yang diangkat anak bukan dari lingkungan masyarakat sendiri, seperti 7 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 45 8 Ibid

7 anak yang terdapat di panti-panti asuhan, tempat-tempat penampungan bayi terlantar dan sebagainya, walaupun orang masih bersikap sangat selektif. Pengangkatan anak, hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat serta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. 9 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan, bahwa Pengangkatan anak terdiri atas: (a) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dan (b) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Sedangkan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia meliputi (a) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan (b) Pengangkatan anak berdasakan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam suatu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan Pengangkatan anak ini dapat dimohonkan Penetapan Pengadilan. Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain adalah: 1. Karena tidak mempunyai anak. 2. Sebagai pemancing agar dapat mempunyai anak kandung. 9 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Perlindungan Anak, Nuansa Aulia, Bandung, hal.29-30

8 3. Karena hanya mempunyai anak perempuan saja, maka diangkatlah anak lakilaki atau sebaliknya. 4. Karena belas kasihan, disebabkan anak tersebut tidak mempunyai orang tua (yatim piatu). 5. Agar si anak mendapatkan pendidikan yang layak demi masa depannya. 6. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. 7. Karena merasa kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Hal ini dilakukan melalui Penetapan Pengadilan. Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Anak angkat diasuh dan diperlakukan seperti anak keturunannya sendiri, sehingga menimbulkan akibat hukum, yaitu anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya sendiri, juga termasuk hak

9 untuk dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia. Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Masalah pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum pengangkatan anak ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai suatu cara untuk meneruskan keturunan, maupun sebagai perwujudan dari perasaan kasihan. 10 Masyarakat yang memiliki adat tertentu telah lama dijumpai, salah satunya masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kota Pekanbaru, namun motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Menurut hukum adat Tionghoa, pengangkatan anak dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah masyarakat yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan masyarakat tersebut dapat dikaruniai anak. Anak yang diangkat tersebut diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak dirasakan lagi dari mana asal anak tersebut dengan demikian diberi status anak dari orangtua yang mengangkatnya. 11 Hukum adat Tionghoa juga mengatur bahwa yang seharusnya masuk dalam preferensi pertama anak yang diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama. 12 Pengangkatan anak secara sah menurut hukum yang berlaku diperlukan suatu lembaga pengangkatan anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 10 Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 36. 11 Tia Arisanti, Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan), (Skripsi), Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012, hal. 3 12 Ibid

10 tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUH Perdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Pasal 280 sampai 290 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa. 13 Pengangkatan anak tidak hanya berlaku bagi anak laki-laki tetapi juga bagi anak perempuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No.907/1963/pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 558/63.6 tertanggal 17 Oktober 1963, bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu keputusan antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6, dan 15 ordonansi S.1917:129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 14 Pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Demi menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang. Undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Kemampuan pembentuk Undang-undang itu terbatas, ada kalanya pembentuk Undang-undang tidak sempat mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang tetapi mengatur lebih lanjut dalam perundang-undangan lain. Ada 13 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 1999, hal. 178 14 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 202

11 kemungkinan pembentuk undang-undang sengaja tidak mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang karena menyerahkan kepada Hakim untuk mengisinya. Equality before the law adalah hakim pengadilan harus memperlakukan semua pihak secara adil tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, kecacatan, seksualitas, usia, agama, latar belakang sosial ekonomi, ukuran atau sifat masyarakat. Hormat dan sopan harus menjadi keunggulan dari perilaku hakim. Sikap paternalistik atau menggurui tidak punya tempat diruang sidang. McHugh J menjelaskan: Diskriminasi bisa muncul seperti mudah dari suatu tindakan yang memperlakukan secara sama orang-orang yang berbeda. 15 Fenomena menarik yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru mengenai pengangkatan anak. Pengangkatan anak menurut masyarakat Tionghoa kebanyakan dilakukan sebagai berikut: a. Anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan masyarakat sendiri atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota masyarakat. b. Anak yang diangkat dari luar lingkungan masyarakat orangtua angkat, biasanya orang tua angkat mengakui anak tersebut dilahirkan diluar daerah atau kota. 15 http://www.judcom.nsw.gov.au/publications/benchbks/equality/section01.pdf

12 c. Pengakatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dengan terangterangan yang diketahui oleh seluruh sanak masyarakat. 16 Inilah yang menjadi dasar penulis untuk menelaah lebih jauh mengenai pengangkatan anak pada Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapalan Kota Pekanbaru dengan judul Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Studi pada Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapalan Kota Pekanbaru) B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Bagaimana tata cara penggangkatan anak yang dilakukan pada warga Negara Indonesia masyarakat Tionghoa? 2. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam hubungan warisan pada warga Negara Indonesia masyarakat Tionghoa? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah; 1. Untuk mengetahui tata cara penggangkatan anak yang dilakukan pada warga Negara Indonesia masyarakat Tionghoa. 16 Wawancara dengan,youngkie Darna Putra, Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan, Pekanbaru, di Pekanbaru, tanggal 22 November 2013

13 2. Untuk mengetahui kedudukan anak angkat dalam hubungan warisan pada warga Negara Indonesia masyarakat Tionghoa D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu pengangkatan anak dan akibat hukumnya terhadap harta benda perkawinan orang tua angkat pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris, dalam hal pemberian kuasa waris bagi anak dan akibat hukumnya terhadap harta benda perkawinan orang tua angkat pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru.

14 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat pada Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah sah adanya, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai pengangkatan anak dan harta orang tua angkat pada masyarakat Tionghoa, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pengakatan anak yang pernah dilakukan adalah: 1. Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian Pada Masyarakat Batak Toba Di Medan). 2. Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan). F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 17 17 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

15 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya. 18 Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap sebagai petunjuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. Teori-teori tersebut berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. 19 Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut di atas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Orangtua Angkat (Studi Pada Masyarakat Tionghoa Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru), maka dipergunakan teori keadilan dan teori kepastian hukum. Keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dengan kata lain semakin meluas/banyak pemuasan 18 Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1983, hal 129. 19 Ibid, hal.130.

16 kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia. 20 Tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut, tugas yang suci dan luhur dari hukum adalah dengan cara memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang seharusnya menjadi haknya yang ia terima. Untuk mewujudkan keadilan tersebut diperlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus yang terjadi di masyarakat. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan peraturan/ ketentuan umum (Algemeene Regels). 21 Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut : a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alatalatnya (aparatur negara). b. Sifat undang- undang yang berlaku bagi siapa saja. Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan 20 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.34. 21 Ibid, hal.35

17 adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan sering sekali tidak sejalan satu sama lain. Hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit. Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di dalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. 22 Menurut Pasal 24 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam 22 Rika Saraswati, Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Dasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal. 211

18 menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Sedangkan menurut Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa, Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Di Indonesia pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan bahwa hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat. Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 juncto Staatblad. 1924-557 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum masyarakatnya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak berlaku juga bagi golongan Timur Asing Tionghoa 23. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pengangkatan anak. Pengangkatan anak di kalangan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi, masyarakat Tionghoa harus mempunyai anak lakilaki untuk melanjutkan garis keturunannya. 24 23 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78. 24 I b i d, hal. 79.

19 Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, 25 dan kedudukan anak angkat disamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga apabila orangtua angkat meninggal dunia maka anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya tersebut. Hukum kewarisan memuat ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya. 26 Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua jenis, yaitu ahli waris ab intestato (menurut undang-undang) dan ahli waris testamentair (menurut surat wasiat). 27 Menurut Pasal 852 KUH Perdata mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1. Anak atau keturunannya dan isteri (suami) yang masih hidup; 2. Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris; 3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas. 4. Sanak masyarakat dalam garis kesamping sampai derajat ke enam. Sebagaimana diketahui bahwa masalah pengangkatan anak (adopsi) tidak diatur dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata yang diatur hanyalah pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada BUKU I Bab 25 Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 52. 26 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8 27 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan, Medan Pustaka Bangsa Press, 2010, hal. 23.

20 XII bagian III Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 KUH Perdata. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan saat ini, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas. 28 Pengangkatan anak dalam hukum perdata barat dikenal dengan istilah adopsi yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi KUH Perdata yang memang tidak mengatur masalah adopsi. Adopsi yang termuat dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut di atas hanya berlaku untuk golongan timur asing Tionghoa. Pasal 5 huruf a ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut menyebutkan, Suami, istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis keturunan laki-laki, baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya dari seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. Pasal 6 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak serta tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, Usia anak laki-laki yang diangkat harus 18 (delapanbelas) tahun lebih muda dari suami dan 15 (limabelas) tahun lebih muda dari istri. Pasal 10 Staatsblad 1917 Nomor 129 28 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakata, 2007, hal.174.

21 menyebutkan bahwa, Adopsi harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. Pasal 15 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak. Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan. Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya, akan tetapi secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa adalah agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki. Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. Disamping itu adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum. Akibat hukum pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan masyarakat asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai masyarakat adoptan datang tidak hanya dari masyarakat adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya. 29 29 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Angkat Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.192-193

22 Ada 3 (tiga) akibat hukum dari pengangkatan anak yaitu: 30 a. Memberikan ketentuan bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya b. Adopsi menghapus semua hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat asal, kecuali dalam hal, penderajatan masyarakat sedarah dan semenda dalam bidang hukum perkawinan, Ketentuan pidana didasarkan atas keturunan, perhitungan biaya perkaradan penyanderaan, mengenai pembuktian dengan saksi, mengenai saksi dalam pembuatan akta otentik. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat asalnya menjadi terputus, maka hal ini berakibat pula pada hukum waris, yaitu anak angkat tersebut tidak lagi mewaris dari masyarakat sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari masyarakat ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Pasal 11 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah, Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, Anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsinya. Anak adopsi dipersamakan kedudukan dan derajatnya dengan anak sah yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengadopsi anak tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya 30 I b i d, hal 194.

23 di bidang hukum waris, dimana anak adopsi tersebut berhak mewarisi harta kekayaan orang tua yang mengadopsinya bersama-sama dengan anak sah yang dilahirkan dari perkawinan suami-istri yang mengadopsinya. 31 2. Kerangka Konsep Kerangka konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. 32 Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. 33 Konsep pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. 34 Agar terdapat persamaan persepsi dalam memahami penulisan di dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa konseptual sebagaimana terdapat di bawah ini: Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 31 Herwando Pramanto, Hak Mewaris Anak Angkat Menurut KUH Perdata, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2006, hal.28. 32 Sumadi Suryabarata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal.3 33 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.5 34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.13

24 Pengangkatan Anak adalah : Perbuatan hukum yang melakukan pengangkatan terhadap seorang anak untuk dijadikan sebagai anak yang sama kedudukannya seperti anak kandungnya sendiri dimasyarakat orang tua angkat tersebut. Akibat Hukum Pengangkatan Anak adalah Suatu akibat yang terjadi dari suatu pengangkatan anak dimana hubungan keperdataan dengan orang tua kandungnya menjadi putus dan anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya dalam hal pembagian harta warisan. Anak angkat adalah anak yang diambil dan dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang laki-laki, mungkin pula seorang anak perempuan. Harta Warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris (hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang). 35 Ahli Waris adalah orang yang menggantikan kedudukan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian tertentu. 36 35 Surini Ahlan Sjarif, dkk, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang- Undang, Kencana, Jakarta, 2006, hal.10 36 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 7

25 Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. 37 Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Peraturan Pemerintah tentang Pengangkatan Anak memberikan defenisi anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan masyarakat orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Untuk membahas dan menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di 37 Sutarno Wadirman, Hak Asasi Anak Sebagian Dari Hak Asasi Manusia (Kajian Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Bumi Aksara, Bandung, 2009, hal. 58

26 bidang pengangkatan anak (adopsi), dan hukum perkawinan yang berlaku, serta hukum harta benda perkawinan di kalangan masyarakat Tionghoa, dimana peraturan perundang-undangan tersebut menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisis bagaimana praktek pelaksanaan pengangkatan anak di kalangan masyarakat Tionghoa dan juga akibat hukum pengangkatan anak tersebut terhadap harta benda perkawinan dari orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Tionghoa dalam prakteknya terjadi karena orangtua angkat tersebut tidak memiliki anak dalam perkawinannya atau karena orangtua angka tersebut merasa iba terhadap anak yang akan diangkatnya tersebut. Pada umumnya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Tionghoa adalah anak laki-laki sebagai pengurus keturunan namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengangkat anak perempuan. Pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan menggunakan hukum adat Tionghoa berupa upacara adat Tionghoa sebagai tanda pemberitahuan telah terjadi pengangkatan anak dari orangtua kandungnya kepada orangtua angkatnya. Sehingga anak tersebut telah terputus hubungannya dengan orangtua kandungnya dan menimbulkan hubungan hukum keperdataan baru dengan orangtua angkatnya khususnya di bidang hukum harta benda perkawinan. 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada masa sekarang, 38 yaitu mengenai motif, kriteria serta proses pengangkatan anak, kedudukan hukum anak 38 Winarno Surakhmad, Dasar dan Tehnik Research, Tarsito, Bandung, hal. 132

27 angkat di lingkungan masyarakat orang tua yang mengangkat, kedudukan anak angkat atas harta benda perkawinan orang tua yang mengangkat sikap pengadilan (Mahkamah Agung) terhadap kedudukan anak angkat pada masyarakat Tionghoa di Kota Pekanbaru. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen untuk memperolah data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) berupa wawancara dengan notaris, pemuka adat Tionghoa yang berdomisili di Kota Pekanbaru dan Hakim. Pengadilan Negeri Pekanbaru yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan nara sumber. 4. Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 39 Di dalam penelitian hukum normatif, pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan 39 Ibid, hal. 133.

28 pekerjaan analisis dan konstruksi. 40 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula. Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum tertulis yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum pengangkatan anak, hukum kemasyarakatan (hukum harta kekayaan), buku-buku dan karya ilmiah yang ada kaitannya dengan pembahasan tentang hukum pengangkatan anak, hukum kemasyarakatan / hukum harta kekayaan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, yang dijadikan pedoman untuk menghasilkan jawaban selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dan juga bahan hukum yang diperoleh dari studi lapangan yaitu berupa wawancara terhadap para informan dan narasumber yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. 41 2008, hal. 20 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25. 41 Riduwan Nurul Huda, Metode Penelitian Hukum Suatu Pengantar, Eressco, Bandung,