BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB III PENDEKATAN LAPANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

PERSEPSI PESANGGEM MENGENAI HUTAN MANGROVE DAN PARTISIPASI PESANGGEM DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG PARIT

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership)

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang dan terluas kedua di dunia, yaitu sekitar lebih dari 95.181 Km panjang 1 dan sekitar 3,1 juta km 2 luasan. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Daerah pesisir sebagian di antaranya masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut (asin), sementara itu sebagian lainnya masih dipengaruhi oleh proses alami seperti sedimentasi, aliran air tawar, dan semua kegiatan manusia yang ada di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Hainim, 1996). Terlihat bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah hasil pembentukan antara gejala alam dengan campur tangan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, perubahan bentuk wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Wilayah pesisir baik daerah tropis maupun subtropis pada umumnya merupakan wilayah yang didominasi oleh hutan mangrove (IUCN, 1993). Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya terdapat di sepanjang wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak, pantai yang datar/landai dan di sekitar muara sungai yang besar (Witjaksono, 2002). Ironisnya, luas hutan mangrove yang merupakan sumberdaya pesisir dominan di wilayah Indonesia semakin berkurang. Sekitar tahun 1982-1993 terjadi penurunan luas hutan mangrove di Indonesia dari 4 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar (Dahuri, et. al., 1996). Menteri Kehutanan pada acara peresmian Gedung Pusat Informasi Mangrove di Banda Aceh, 15 April 2008, menyebutkan bahwa lebih kurang 70 persen dari 9,4 juta hektar luas potensial hutan mangrove (hutan bakau) di seluruh Indonesia rusak akibat masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang pentingnya ekosistem mangrove. Konversi lahan mangrove untuk areal tambak, pertanian dan pemukiman, serta pelebaran 1 Data dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=20090304131636 diakses pada 8 februari 2010 pukul 07.56.

2 jalan telah menyebabkan luas areal hutan mangrove terus berkurang. 2 Dapat dilihat bahwa penurunan luas hutan mangrove tersebut bukanlah karena seleksi alam atau gejala alam yang begitu saja terjadi. Kerusakan hutan mangrove tersebut adalah hasil dari kegiatan manusia persis seperti yang dikemukakan Berwick, yaitu kerusakan mangrove akibat dari tebang habis, pembangunan irigasi, konversi menjadi lahan pertanian dan perikanan, pembuangan sampah, pencemaran minyak, serta penambangan mineral (Berwick 1983 dalam Dahuri et.al., 1996). Penurunan luasan mangrove di Indonesia terutama diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove menjadi pertambakan. 3 Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan persaingan manusia dalam memperoleh kebutuhan hidup. Konversi mangrove menjadi pertambakan merupakan salah satu jalan pintas yang dilakukan masyarakat untuk memperoleh penghasilan yang besar. Hasil penelitian Witjaksono (2002) di pesisir Teluk Kendari menyatakan bahwa memang konversi mangrove terutama untuk pertanian serta pertambakan udang dan ikan memiliki keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan mangrove itu sendiri (misalnya untuk dimanfaatkan kayunya) bagi masyarakat setempat. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk mengkonversi hutan mangrove untuk diusahakan kegiatan pertanian dan pertambakan mengingat faktor penyebab lain juga mendukung seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang relatif masih lemah dan persepsi yang salah tentang hutan mangrove. Jika dianalisis lebih dalam, maka profitabilitas konversi mangrove yang besar sebenarnya bersifat jangka pendek. Hal ini karena menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Departemen Kehutanan, pengurangan satu hektar hutan mangrove menjadi tambak akan menghasilkan 247 kg ikan/tahun, tetapi akan menyebabkan pengurangan produksi ikan tangkapan sebanyak 840 kg ikan/tahun. Gambaran tersebut menjelaskan proporsi ekonomis 2 Diakses dari http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/5_pesisirdanlaut.pdf pada tanggal 20 Oktober 2009 pukul 14:25 WIB. 3 Dialog Nasional Dampak Perkembangan Industri Tambak Udang Terhadap Ekosistem Pesisir dan Hutan Mangrove di Indonesia pada 25 April 2000 di Jakarta.

3 tertinggi dari mangrove apabila tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. 4 Konversi hutan mangrove ke pertambakan memang mendatangkan keuntungan ekonomis secara langsung dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang tidak lah demikian karena stok ikan secara keseluruhan dalam ekosistem tersebut per tahunnya akan menurun drastis sehingga pada akhirnya akan sangat merugikan nelayan karena hasil tangkapan ikannya akan berkurang. Belum lagi kerusakan ekologi yang diakibatkan dari hilangnya ekosistem mangrove. 5 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem pengelolaan yang tepat agar hutan mangrove dapat memberikan fungsi ekologi sekaligus fungsi ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Dengan kata lain, hutan mangrove tetap ada dan masyarakat dapat mengambil keuntungan ekonomi dan sosial dari hutan mangrove tersebut. Perum Perhutani 6 merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam pengusahaan ekonomi hasil-hasil hutan. Perum Perhutani menjadi BUMN tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di wilayah Jawa Tengah dan jawa Timur. Selanjutnya, berdasarkan PP Nomor 2 tahun 1978, Kawasan kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Barat. Visi dari Perum Perhutani adalah menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, Perum Perhutani berusaha untuk mengelola hutan yang ada di pulau Jawa agar memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dan negara tanpa merusak ekosistem hutan tersebut. Oleh karena itu salah satu wujud implementasi untuk mencapai visi tersebut, Perum Perhutani memiliki sistem pengelolaan hutan, yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) yang ada. Perum Perhutani menjalin kerjasama dalam pengelolaan hutan dengan berbagai pihak yang ada pada suatu wilayah misalnya masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa 4 Diakses dari http://www.dephut.go.id/informasi/rrl/rlps/mangrove.htm pada tanggal 20 Oktober 2009 pukul 15:00 WIB. 5 Cooper, Harrison, dan Ramm., 1995 dalam Murdiyanto, 2003 6 Diakses dari http://www.perumperhutani.com/ pada tanggal 24 Mei 2010 pukul 12.00 WIB.

4 Hutan (LMDH), pemerintah daerah, swasta, dan pihak lain sehingga setiap pihak tersebut mendapat keuntungan tentunya tanpa merusak ekosistem hutan. Sistem ini telah berjalan semenjak tahun 2001 hingga 2007 yang melibatkan kerjasama dengan 5.165 desa hutan atau 95 persen dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura. Dengan sistem pengelolaan ini, masyarakat desa sekitar hutan mendapat manfaat langsung seperti terciptanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di dalam hutan, serta manfaat dari bagi hasil produksi hutan berupa kayu dan non kayu. Namun dalam perkembangannya, PHBM senantiasa dievaluasi dan ditingkatkan sehingga dengan SKPT 268 Tahun 2007, muncul PHBM Plus sebagai perbaikan dari PHBM. PHBM Plus menyiratkan suatu perbaikan dari sistem PHBM yang telah berjalan tujuh tahun. Beberapa perbaikan yang dilakukan, yaitu: (1) hubungan Perum Perhutani dengan pemerintah daerah lebih ditingkatkan; (2) Perum Perhutani memiliki pola tanam yang berbeda dengan dulu, yaitu sekarang tidak terbatas pada tanaman pokok perhutani; dan (3) perubahan pola pikir Perum Perhutani, masyarakat, dan stakeholder lain yang terkait dengan pengelolaan hutan, yaitu lebih mengutamakan fungsi ekologi hutan. Tujuan Perum Perhutani menjalin kerjasama dengan LMDH, pemerintah daerah, swasta, dan pihak lain melalui PHBM Plus tersebut yaitu untuk menjadikan hutan memiliki manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Hutan mangrove di Indonesia yang kondisinya semakin mengkhawatirkan terutama karena konversi menjadi pertambakan tentunya memerlukan pengelolaan khusus agar ekosistem mangrove tetap terjaga. Oleh karena itu, Perum Perhutani mengusahakan pengelolaan tambak ramah lingkungan yang mengikutsertakan masyarakat di dalamnya. Pengelolaan tambak ramah lingkungan adalah pengelolaan tambak yang memasukkan aspek lingkungan menjadi bagian dari sistem usaha budidaya itu sendiri, yang diharapkan memberikan keseimbangan antara produksi dan kelestarian lingkungan. 7 Teknik budidaya tersebut dikenal dengan istilah silvo fishery yang mempunyai tiga model, yaitu (1) model empang parit di mana areal tumbuh bakau dan tempat pemeliharaan ikan berada dalam satu hamparan. 7 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan (Disluktan) Kutai Kartanegara (Kukar) H. Syahran dalam http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/upayakan-budidayatambak-ramah-lingkungan/ diakses pada 24 Mei 2010 pukul 11.50 WIB

5 Pengelolaan airnya diatur melalui sebuah pintu yang menghubungkan hamparan kedua saluran air itu; (2) model jalur (pengembangan pola empang parit) yang menambahkan saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang; (3) model komplangan yang memisahkan budidaya dengan areal bakau. Tanggul pemisah memiliki dua buah pintu air sebagai penghubung untuk keluar masuk air. Kemudian dari arah areal bakau dibuat saluran pasang surut bebas ke areal pemeliharaan. Pengelolaan tambak ramah lingkungan ini diharapkan menjadi salah satu solusi dari maraknya kerusakan hutan mangrove akibat konversi menjadi pertambakan. Masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian namun mereka juga memiliki tanggung jawab untuk memelihara mangrove. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mina Wana Lestari merupakan LMDH yang terbentuk di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang yang aktif melakukan pengelolaan tambak ramah lingkungan. Namun dalam perjalanannya, ternyata tanaman hutan payau yang ditanam banyak yang tidak terpelihara. Tanaman tersebut seringkali hilang dan mati sehingga pihak Perum Perhutani sering harus menyulam kembali tanaman tersebut. Ketua LMDH Mina Wana Lestari mengatakan bahwa anggota LMDH (pesanggem) banyak yang partisipasinya sangat kurang dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan ini. Mereka cenderung hanya ingin memetik hasil dari tambak tanpa memelihara tanaman hutan payau karena tanaman tersebut dianggap mengganggu bagi pengelolaan tambak. Hal ini tentulah menjadi masalah dimana seharusnya partisipasi masyarakat sangat penting dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan. Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Puspasari (2010) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kegiatan pembangunan masyarakat sangat ditentukan dengan adanya partisipasi dari masyarakat. Pengelolaan tambak ramah lingkungan merupakan suatu kegiatan pembangunan masyarakat dari Perum Perhutani sebagai solusi atas konversi mangrove menjadi pertambakan yang marak terjadi. Partisipasi masyarakat yang masih minim tentunya menjadi penghambat keberhasilan kegiatan pembangunan ini.

6 Sementara itu, partisipasi masyarakat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat itu sendiri. Rakhmat (2007) dalam Puspasari (2010) mengemukakan bahwa perilaku seseorang merupakan tindakan yang dipengaruhi persepsi sehingga persepsi bukan saja suatu proses pemahaman tentang tindakan seseorang tetapi juga memahami motif tindakannya. Jika mengacu pada definisi partisipasi menurut Slamet (2003), maka partisipasi merupakan suatu bentuk perilaku. Oleh karena itu, persepsi pesanggem (penggarap tambak) terhadap hutan mangrove perlu dikaji untuk dilihat hubungannya dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan. Jika persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove saja sudah salah maka keikusertaan mereka dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan empang-parit diduga juga akan kurang. Hal ini karena tujuan utama dari pengelolaan tambak ramah lingkungan ini adalah menuju suatu tegakan hutan yang berbasis ekosistem, yaitu suatu kondisi hutan yang memiliki manfaat baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tidak hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi saja. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, dirumuskan beberapa perumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove? (2) Bagaimana partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit? (3) Bagaimana hubungan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah: (1) Menganalisis persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove. (2) Menganalisis partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit.

7 (3) Menganalisis hubungan persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove terhadap partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca maupun peminat studi yang dijadikan topik penulisan untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bagi penulisan ilmiah terkait dengan persepsi dan partisipasi: (1) Kalangan akademis dapat mengetahui persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove, mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan model empang-parit, serta mendalami hubungan antara persepsi dengan partisipasi masyarakat. (2) Kalangan masyarakat (khususnya pesanggem) dapat mengetahui sebenarnya bagaimana persepsi umum mereka terhadap hutan mangrove, mengetahui sejauh mana partisipasi mereka dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan, serta mengungkapkan masalahmasalah dalam pengelolaan tambak ini sehingga diharapkan menjadi bahan masukan bagi pihak yang berwenang dalam program. (3) Kalangan pemerintahan (khususnya Perum Perhutani) dapat mengetahui sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan dan masalah-masalah di lapangan yang terjadi sehingga pihak pemerintahan dapat memperbaiki program dan meningkatkan partisipasi masyarakat demi keberhasilan pembangunan.