permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

I. PENDAHULUAN. aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia. 1 Jika

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

I. PENDAHULUAN. Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

I. PENDAHULUAN. Tujuan Negara Indonesia yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

I. PENDAHULUAN. diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kondisi sosial budaya dan politik suatu negara berkembang untuk menuju sistem

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

I. PENDAHULUAN. mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

I. PENDAHULUAN. tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. PENDAHULUAN. aliran tenaga listrik. Tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

Nama : ALEXANDER MARWATA

Transkripsi:

A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap. Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. (Evi Hartanti, 2005: 5). Penyidikan dan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam pembuktian tindak pidana korupsi tidaklah mudah, maka diperlukanlah kerjasama instansi penegak hukum dan instansi terkait seperti Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (selanjutnya disingkat BPKP), sebagai lembaga Non -Departemen yang bertugas mengaudit setiap lembaga pemerintah secara independen. BPKP sudah seharusnya menjadi lembaga yang dapat mengidentifikasi bahwa telah terjadi suatu tindak pidana korupsi dalam jajaran aparatur negara, begitu juga dalam proses pembuktian di persidangan Auditor BPKP selalu dihadirkan untuk memberikan keterangan tentang adanya kerugian negara atau menghitung seberapa besar kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Kerjasama dilaksanakan dalam rangka mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu dilakukan penertiban, khususnya penyimpangan dan pengelolaan keuangan negara termasuk dana nonbudgeter serta pengadaan barang dan jasa. Dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan negara yang dapat menghambat laju pembangunan nasional, sehingga perlu adanya kesamaan persepsi dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi termasuk dana nonbudgeter. Berdasarkan hasil pra riset, berkaitan dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK yang menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah), subsider 3 (tiga) bulan kurungan dan uang pengganti Rp. 137.380.120 (seratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus delapan puluh ribu seratus dua puluh rupiah) kepada terdakwa pelaku tindak pidana korupsi Hariadi Sadono, mantan General Manager Perusahaan Listrik Negara (selanjutnya disingkat PLN) wilayah Lampung yang secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama pengadaan alat Customer Information System (selanjutnya disingkat CIS). Sesuai dengan Undang-Undang No.

31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 (1) jo Pasal 18 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan jelas menyebutkan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hal ini tentu mengakibatkan terjadinya perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan putusan yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Hal yang meringankan apakah yang menyebabkan Majelis Hakim yang menangani perkara ini di Pengadilan Negeri Tanjung Karang memberikan putusan yang menurut penulis, putusan ini adalah putusan yang ringan dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi dan tidak sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK, yang terdapat perbedaan atau ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan putusan yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dimana terdakwa hanya dihukum 3 (tiga) tahun sedangkan didalam Undang -Undang Tindak Pemberantasan Korupsi pidana penjara minimal 4 (empat) tahun. M elalui penulisan skripsi yang berjudul Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Pengadaan Alat Customer Information System (CIS) Di PLN Wilayah Lampung (Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK). B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah : a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada pembahasan terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. a. Kegunaan Teoritis Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek tindak pidana korupsi. b. Kegunaan Praktis Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto ; 1996 : 125). Skripsi ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi, untuk mempertajam fakta tersebut sangat penting untuk mengetahui pasal-pasal dalam peraturan hukum yang berlaku menyangkut fakta tersebut dan teori-teori serta interpretasi dari para ahli. Perbuatan yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat ( dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah ( schute hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana ( shute in ruime zin) terdiri dari 3 (tiga) unsur : 1. Toerekening strafbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. a) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. b) Kelakuan yang sengaja. 2. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan : culva, schute in enge zin). 3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur Toerekenbaar heid). (Andi Hamzah, 2003 : 130). Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melarang larangan tersebut, (Roeslan Saleh, 1982 : 126). Orang yang telah melakukan perbuatan pidana kemudian juga akan dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut pada dasarnya mempunyai kesalahan, pasti akan dipidana. Tetapi, jika seseorang

tidak mempunyai kesalahan walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela, tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis tiada dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. Pertanggungjawaban pidana seseorang berkaitan dengan kesalahan, kesalahan dalam hukum pidana ada 2 (dua) macam yaitu sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (culpa) : 1. Kesengajaan (dolus/opzet) Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana yaitu : a) Kesengajaan untuk mencapai sesuatu kesengajaan yang dimaksud/tujuan/dolus directus; b) Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (kesengajaan dengan kepastian); c) Kesengajaan seperti sub diatas, tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian, bahwa sesuatu akibat akan terjadi (kesengajaan dengan kemungkinan/dolus eventualis). 2. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa) Kurang hati-hati/kealpaan (culpa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang berhati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi. (Wirjono Projodikoro. 1986: 20) Menurut D. Simon (Soedarto. 1986 : 40) unsur-unsur Strafbaar Feit atau tindak pidana adalah : 1. Perbuatan manusia (Positif atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. 2. Diancam dengan pidana (Straafbaar gesteid), 3. Melawan hukum (Onrechmatig), 4. Dilakukan dengan kesalahan (Met Shuld inverband stand), 5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Toerekening varbaar person). Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) dinyatakan, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 28 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan data-data uang autentik serta para saksi yang dapat dipercaya. Tugas hakim tersebut dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan suatu putusan bebas dapat dilihat dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan: jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Mengenai alat bukti yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim, terdapat dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP, menurut KUHAP harus ada alat-alat bukti yang sah, di mana alat bukti tersebut berupa keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa seperti hal ini bertujuan untuk mendapat keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik dan lain- lain. Hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula. 2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto; 1996 : 32). a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, (Roeslan Saleh, 1982: 80). b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melarang larangan tersebut (Moeljatno 1993: 54). c. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 Ayat (1) Undang -Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara). e. Customer Information System (CIS) adalah sistem pelayanan mengenai jasa pelayanan listrik terhadap konsumen yang berbasis sistem komputerisasi atau disebut juga sistem informasi pelanggan yang terintregasi dengan Geografical Information System (GIS). (Eddy Prahasta, 2004: 12)

E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami permasalahan dan pembahasan dari tema atau judul diatas, maka penulisan skripsi ini disusun dalam 5 (lima) bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri dari : pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana dan pengertian tindak pidana korupsi. III. METODE PENELITIAN Merupakan bab yang menjelaskan metode yang dilakukan untuk memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisa data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi tentang pembahasan berdasarkan penelitian terhadap pemasalahan penelitian yaitu meliputi Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung. Dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan sanksi tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung. V. PENUTUP Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran-saran penulis mengenai apa yang harus ditingkatkan dari pengembangan teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelitian demi perbaikan dimasa mendatang.